Alasan Harus Ikut Kelas Inspirasi

Kowe kudu melu… Aku wae nyesel lagi melu saiki…

Bagi yang nggak paham, pernyataan bahasa Javanese barusan kira-kira bermakna:

“Lo harus ikut… Gue aja nyesel baru ikutan sekarang…”

Masak sih?

2 Hari Yang Aneh: Jadi Juri Lomba Twitpic

Hidup itu kadang aneh-aneh saja. Jadi ceritanya saya yang menahbiskan diri sebagai apoteker, blogger, dan penulis ini kejatahan menjadi juri lomba twitpic selama 2 hari, berturut-turut pula. Padahal kemampuan saya dalam fotografi juga nggak bagus-bagus bener, karena saya sendiri baru sekali jadi fotografer beneran, pas Kelas Inspirasi Bekasi.

Kalau lomba twitpic yang pertama sih memang kudu saya, karena merupakan konteks twitpic-nya Oom Alfa. Masak si Oom Alfa yang disuruh menilai? Apa ceritanya nanti seonggok sepeda motor dari abad pertengahan harus ngetwit memberi tahu soal pemenang lomba twitpic? Ya sudah, saya saja.

LANJUT GAN!

PPIC Itu Ngapain Aja Sih?

PPIC Ngapain Aja

Tidak terasa sudah empat tahun saya berkecimpung kemplang kemplung di dunia per-PPIC-an. Oke, ini dusta. Sebenarnya ya terasa sekali, terutama karena saya itu sama sekali nggak bisa memaksa orang untuk berbuat sesuai kehendak saya. Kalau saya bisa, mending juga saya ikut MLM yang itu tuh, dalam 4 tahun katanya sih sudah dapat kapal pesiar atau liburan ke Paris.

Melalui posting ini saya hanya hendak membagi pengalaman yang saya punya, utamanya untuk anak-anak muda yang hidupnya sedang labil karena sudah lulus dan belum bekerja dan lihat lowongan PPIC di koran.

Sebenarnya PPIC itu apa sih?

Lebih lanjut disini

Review: Cinta Dengan Titik (Bernard Batubara)

#virtualbooktour #day8. Gila. Mau ngetik review aja butuh perjuangan minta ampun menyembah-nyembah ke modem supaya sinyalnya bagus. Fiuh. Iya, saya tidak terlalu suka mengetik di aplikasi pengolah kata lalu kemudian memindahkannya ke blog. Kenapa? Kurang suka aja, titik.

Review saya kali ini adalah novel Cinta. milik Bernard Batubara, seseorang yang sosoknya justru saya tahu karena pernah menjadi tokoh di sebuah novel. Kebetulan juga, saya pernah ikut di project-nya Bara yang bernama Radio Galau FM Fans Stories. Sejujurnya nih, Cinta. adalah novel pertama Bara yang saya baca. Biasanya kalau yang pertama ini kesannya lain, tidak ada ekspektasi berlebihan, atau juga tidak ada perasaan meragukan. Biasanya sih.

Kebetulan lagi, Cinta. ini bersanding dengan buku saya di website Bukune. Nemplok dulu ah, biar ikutan tenar. Uhuk.

Bukune

Ini kok malah iklan?

Baiklah, mari kita serius.

Ada satu kalimat di Cinta. ini yang langsung saya tulis di Twitter ketika saya sedang membacanya, dan kalimat itu adalah:

Mengapa cinta membuatku mencintaimu ketika pada saat yang sama kau mencintai orang lain yang bukan aku?

Tanpa saya sadar, kalimat di atas ini ternyata juga menjadi kalimat pertama di blurb. Apa artinya? Ya, kalimat ini penting bagi jalan cerita di novel ini. Plus, kalimat di atas tadi juga mengandung tiga kata cinta dalam 1 kalimat. Hal ini rada penting buat saya karena sejatinya saya sudah bertanya-tanya dari awal, kenapa judul novel ini harus Cinta. alias Cinta Dengan Titik, yang di covernya juga harus ditambahkan cara membacanya? Dan sebenarnya, saya baru benar-benar menemukan filosofi judul ini begitu membaca cerita Mbak Iwied sebagai Editor.

Jadi pada intinya, saya sendiri harus berjuang menemukan makna Cinta Dengan Titik dan korelasinya dengan isi. Bagi yang belum baca, daripada berat-beratin pikiran, mending lupakan keinginan untuk mencari tahu hubungan judul dengan isi. Nanti juga ketemu kok. Tenang saja.

Cinta. berkisah tentang Nessa. Bara sendiri bilang bahwa Nessa adalah tokoh utama perempuan pertama yang dia garap. Sejatinya kalau Bara nggak bilang di blognya, saya juga nggak akan ngerti. Gaya bertutur dalam cerita Bara memang akan lebih mudah masuk ke dalam karakter perempuan, itu sudah saya temukan sejak membaca ceritanya di RGFM Fans Stories.

Nessa adalah “korban” perselingkuhan, yang lantas kemudian terjerat dalam pusaran dengan kata kunci yang sama. Disitu kemudian muncul nama Demas, lalu Endru, dan kemudian Ivon serta Bian. Nessa menjadi pelaku hubungan-resmi-yang-ada-di-atas-hubungan-resmi-lainnya. Buat saya, itu ngenes.

Sebagai laki-laki yang pernah mengganggu kehidupan berpacaran orang, saya sendiri kurang suka dengan Demas. Okelah, dia memperjuangkan cinta yang dipilih oleh hatinya, tapi pada saat yang sama dia juga mempertaruhkan kelelakiannya dalam sebuah komitmen ganda. Dalam beberapa konteks, saya justru mempertanyakan kelelakian Demas. Di posisi ini, justru saya tertarik dengan posisi Endru, yang selalu ada bagi Nessa. Kebetulan pula, saya pernah ada di posisi Endru, juga dengan pernyataan yang sama, dan dengan penolakan yang sama.

*toss dulu sama Endru*

Ending di novel ini cukup menarik bagi saya. Sebuah perpisahan nyatanya dibutuhkan untuk mengetahui sebenar-benarnya perasaan yang ada dalam diri kita. Dan itu yang kemudian terjadi.

Saya menghabiskan novel ini hanya dalam beberapa jam saja, lalu kemudian telat bangun dan telat berangkat kerja besok harinya. Maksud saya adalah bahwa novel ini tidak cukup berat untuk dituntaskan dalam waktu cepat. Kan ada tuh novel-novel yang butuh jeda permenungan terlebih dahulu sebelum kemudian lanjut membaca.

Di Cinta. ini akan ada pergulatan dari pembaca mengenai siapa yang ada di posisi benar: orang pertama, orang kedua, atau orang ketiga. Dan bahwa kita tidak selalu bisa menjustifikasi bahwa orang ketiga yang selalu salah. Sebenarnya, orang ketiga juga nggak akan ada kalau orang pertama tidak mulai. Makanya saya nggak suka sama Demas.

Soal review jalan cerita, beberapa review yang lain dan yang akan datang mungkin akan lebih menarik. Saya sendiri lebih asyik menelisik soal pemilihan nama tokoh yang bagi saya aneh-aneh. Ya, Nessa yang punya inisial NEM, saya bahkan jarang menemukan setiap kata yang ada di nama itu sebagai bagian dari nama orang. Demikian juga dengan Demas, apalagi Endru. Memang, kalau nama terlalu biasa, kita juga malas baca novel, tapi dengan tiga nama yang bagi saya aneh semua ini, saya juga agak terganggu.

Saya juga menyoroti sudut pandang yang diambil Bara perihal pekerjaan Nessa dan Demas. Plus, pekerjaan Endru yang saya tidak tahu aslinya apa. Maklum, saya orang pabrik, meski cinta menulis. Jadi soal copywriter freelance plus editor, itu asli hanya ada di awang-awang saya.

Kemudian, Bara dengan sukses membuat saya merasa gagal dalam hal eksplorasi Jogja. Hampir delapan tahun saya di Jogja, tapi nggak pernah sekalipun saya tahu tempat-tempat yang disebut di dalam Cinta., kecuali Amplaz.

JADI DI JOGJA SAYA NGAPAIN AJA?

Oke. Santai.

Dan satu lagi adalah soal kebetulan. Yah, pertemuan Demas dan Nessa di pesawat, lalu dilanjutkan pertemuan berikutnya bagi saya adalah soal kebetulan. Mbak Windy pernah menjawab twit saya bahwa kebetulan tidak masalah asal ditunjang oleh hubungan sebab-akibat yang jelas. Nah, jadi apakah pertemuan itu bermasalah dari sisi plot?

Nggak. Sama sekali tidak. Saya itu hanya iri hati karena dari puluhan kali naik pesawat, nggak pernah mengalami duduk bersebelahan sama cewek yang sedang baca buku puisi. Padahal kalau ada, kan lumayan buat pengisi hati yang hampa ini.

*eh curhat*

Novel ini juga bikin saya makjleb di beberapa konteks, seperti: pertanyaan orang tua soal pasangan, teman akrab yang sudah menikah, sampai durasi waktu menjomblo. Buat saya, Bara menggunakan banyak sisi kontekstual yang tepat untuk membuat pembaca merasa “ini gue banget”, sehingga kemudian pembaca bisa memilih sisi itu, dan muaranya adalah keinginan mengikuti jalan cerita hingga usai.

Kalaulah ada diksi dan konteks yang agak bikin bertanya-tanya, ada di halaman 83 dan 87. Semacam kontras, walau sebenarnya tidak ngaruh benar dengan jalan cerita. Dan kalaulah ada adegan yang bikin ehem-uhuk-uhuy-ahay, itu ada di halaman 94.

Apa itu?

Makanya beli dan baca ya. Jangan lupa beli Oom Alfa juga. #tetepngiklan

Begitu saja hasil olah batin dan olah pikir saya terhadap novel Cinta. milik Bara, semoga berkhasiat bermanfaat.

bagaimana jika kita bicarakan satu hal saja. Cinta. Tanpa ada yang lain setelahnya. Kita lihat ke mana arahnya bermuara…

🙂

PS: Bara juga sukses mengingatkan saya pada seseorang, melalui sebuah menu minuman kopi, persis di halaman 100. *sambil nyanyi terjebak nostalgia*

Dan Satu Lagi Mimpi Jadi Nyata

Saya sedang di kamar, dan tentu saja bukan kamar mandi, karena saya sedang berada di depan Tristan. Di samping saya ada 10 eksemplar buku yang semuanya sama persis. Bukan buku yang biasa-biasa saja bagi saya, karena disitu tertulis nama “Ariesadhar” sebagai penulisnya. Di halaman terakhir bagian dalam juga ada nama dan foto saya.

Judul buku itu adalah “Oom Alfa”, ditulis oleh saya, dan diterbitkan oleh Penerbit Bukune. Satu-satunya penerbit yang ada di otak saya ketika saya menuntaskan naskah “Oom Alfa” itu.

Oom Alfa

Dan saya masih setengah percaya bahwa saya sekarang sudah punya buku sendiri. Makanya, sambil menulis posting ini, saya masih suka lirik-lirik ke tumpukan buku bercover hitam bergaris kuning itu. Masalahnya, di kamar ini memang nggak ada cewek atau bahkan foto cewek sekalipun yang bisa dilirik. Maklum, jomblo.

Ada sekian “kalau” yang kemudian menjadi titik kunci kenapa kemudian mimpi saya untuk menjadi penulis buku akhirnya bisa jadi nyata.

11 Januari 2011, persis ketika saya berganti usia, atasan saya di kantor yang lama memanggil saya ke dalam ruangannya yang mirip akuarium *if you know what i mean*. Sesudah mengucapkan selamat ulang tahun, PakBos bilang macam-macam hal, yang pada intinya kemudian adalah…

…sebuah tawaran untuk promosi.

Saya kerja belum genap 2 tahun, dan sudah ditawari jabatan baru yang lebih tinggi. Hanya orang gila yang akan menolak tawaran semacam itu.

Dan kebetulan, saya termasuk yang gila. Tawaran promosi itu saya tolak. Kenapa? Semata-mata karena hati saya memang menolaknya. Dan ada seseorang yang menjadi tempat curahan hati saya ketika ada tawaran ini, dia selalu bilang, “ikuti kata hatimu”. Perkara tawaran promosi itu yang kemudian menuntun saya mencari-cari, apa sih passion saya yang sebenarnya. Ada kali 1-2 minggu saya bergulat penuh nafsu kegamangan. Sampai akhirnya saya menemukan kembali blog ini, yang pernah saya buat tahun 2008. Ada kok riwayatnya disini, cari aja.

Kalau saja PakBos di kantor lama tidak menawari saya promosi, tidak akan ada blog ini.

Lalu, kemudian, seseorang yang menjadi faktor kunci keputusan saya menolak promosi dengan selalu mengingatkan saya soal hati itu, mengirimi saya link blog-nya. Bahkan saya baru tahu kalau dia itu bisa menulis, bagus pula. Saya kemudian menjadi penikmat setia blognya, bahkan sesudah dia tidak lagi mengirimi saya link postingan barunya.

Sampai suatu saat, dia menulis sebuah cerita pendek. Ahay! Terakhir kali saya menulis cerita pendek adalah ketika perjanjian Renville. Jadi sudah lama sekali saya tidak menulis cerpen. Terpacu oleh blognya, saya kemudian mulai menulis cerita pendek. Sebelumnya, blog saya memang hanya berisi refleksi-refleksi ringan saja, kadang-kadang malah copy paste berita yang ditambahkan sedikit komentar.

Kalau saya tidak membaca sebuah blog yang itu, maka saya tidak akan pernah mulai menulis cerpen.

Cerpen demi cerpen kemudian dihasilkan dari sebuah inspirasi yang datang itu. Hingga kemudian ketika saya buka-buka laptop, saya melihat sebuah foto bersama Alfa. Iseng, saya kemudian membuat posting khusus soal itu. “Cerita Alfa” adalah awal mula dari semuanya. Memang, Alfa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan kehidupan saya.

Sebagai orang yang baru kembali menulis sesudah sekian tahun tidak menulis, naskah tentang Alfa menjadi sebuah PR besar bagi saya, yang pada akhirnya memang selesai juga. Bagi saya, harus ada cara buat saya untuk menjadi penulis di penerbitan mayor, karena itulah yang ada di benak saya ketika saya ogah menapak tangga karier yang lebih tinggi–waktu dapat tawaran dulu.

Nyatanya, ya, jalannya tidak mudah. Tapi tidak perlulah saya berkisah soal ketidakmudahan itu. Mungkin nanti jatahnya ada di kisah benda-benda mati saya yang lain, seperti si LEPI–laptop sebelum Tristan–, atau juga Bang Revo atau Si BG. Akan ada waktunya.

Masih ada sederet kalau yang lain, sampai kemudian “Oom Alfa” bisa mendarat di kamar saya. Sebagai penulis, saya mengalami fase yang lebih baik daripada J.K. Rowling. Naskah pertama saya tidak ditolak. Iya sih, naskah kedua dan ketiga saya yang bergenre Romance malah sudah ditolak. Bahkan kata “Oom Alfa” itu adalah judul asli dari naskah yang saya kirimkan ke Bukune, alias tidak diubah sama sekali.

Melalui posting ini, saya hendak mengucapkan terima kasih kepada seluruh pembaca setia ariesadhar,com atau yang dulu masih bernama ariesadhar.wordpress.com, karena disitulah sebenarnya embrio dari “Oom Alfa” ada. Kisah-kisahnya masih ada kok di blog ini, tapi saya simpan agar tidak kebanyakan spoiler. Nanti kalian nggak beli. Uhuk.

Terima kasih kepada seseorang yang sudah memberikan petunjuk soal hati pada saya, berikut juga ilham untuk turun tangan menulis cerita pendek, yang lantas malah jadi novel ini. Saya berharap bisa mengucapkan terima kasih secara langsung sama kamu.

Terima kasih juga kepada Bukune, Mbak Windy, Fial, dan Elly, serta tim lain yang ikut serta dalam perdamaian dunia…

…eh, salah, ikut serta dalam proses meluncurnya “Oom Alfa” ke pasaran. Saya ingat betul bahwa Bukune adalah satu-satunya penerbit yang ada di bayangan saya ketika “Oom Alfa” ditulis. Bahkan file-nya, sudah menyesuaikan standar pengiriman naskah ke Bukune. Entahlah, tapi dari hati saya keukeuh bahwa “Oom Alfa” hanya untuk Bukune.

Seperti biasa, mimpi saya akhirnya tercapai dengan tidak mudah. Ada usaha dan rangkaian doa disana. Tentu saja, saya akan berbuat yang terbaik pada buku pertama saya ini. Kalau bisa ya best seller, atau apapun yang lebih baik dari itu.

Thanks all!

🙂

Tipe-Tipe Penonton Pertandingan Sepakbola

Ini lagi nonton sepakbola, ceritanya tim Garuda Muda alias Indonesia U-19, dan kok ya pas lagi kalah. Jadilah sandal sudah siap saya lempar ke TV. Untungnya masih ingat kalau itu TV punya orang, dan kebetulan pula orangnya ada di belakang saya. Jadi kalau TV-nya saya lempar, mungkin dia lempar kursi ke kepala saya.

Jadi mari kita urungkan niat melempar sandal.

Nah, sekarang lagi mulai nih babak kedua. Dan saya jadi mencoba berpikir tipe-tipe penonton pertandingan sepakbola, berdasarkan pengalaman saya sebagai tukang komentar yang jelas nggak bisa main bola. Sekadar informasi, selama saya main bola, saya sudah dipecat dari posisi striker, lalu kemudian gelandang, dan lantas bek. Untungnya saya diterima di posisi kiper karena memang nggak banyak orang yang pengen berciuman dengan sepatu bola.

Pokoknya Bukan Indonesia

Ini jarang terjadi di Indonesia Raya Merdeka-Merdeka, tapi beneran ada lho. Ada dulu teman kos saya yang selalu memilih jalur anti-mainstream setiap menonton pertandingan sepakbola bareng-bareng. Mau Indonesia lawan Bayern Muenchen, Uruguay, Arab Saudi, sampai Laos dan Kamboja sekalipun, dia akan dengan senang hati mendukung lawannya Indonesia.

Kalau lagi baru pulang gitu, dia akan bertanya, “Indonesia kalah piro?”

Saya sih agak heran, dia itu sebenarnya punya KTP apa nggak.

“Gitu Aja Nggak Bisa”

Komentar yang paling keren dari setiap penonton sepakbola kalau yang ditonton salah umpan atau salah jodoh adalah, “gitu aja nggak bisa…”

Padahal yang ngomong itu nendang bola aja nggak bisa. Padahal juga yang diomongin itu kerjaan sehari-harinya nendang bola. Kok ya berani-beraninya? Nah, demi menciptakan azas keadilan, kalau saya selalu menambah keterangan, “gitu aja nggak bisa…

…kayak saya.”

Deg-Degan Sambil Pegang Dompet

Selalu ada penonton sepakbola yang deg-degan sambil lirik-lirik dompet. Orang sejenis begini sudah punya pengetahuan soal voor-vooran, mulai dari seperempat sampai satu tiga perempat dan seterusnya. Iye, ini adalah penonton sepakbola tipe penjudi. Padahal kan Bang Rhoma bilang…

…judi. Toettt.

Tipe penonton semacam ini umumnya realistis. Jadi kalau Indonesia lawan Uruguay, dia nggak akan mendukung Indonesia walaupun lahir dan besar di Indonesia. Kalau Indonesia lawan Singapura, dia akan lihat voor-vooran, dan melupakan KTP selama 90 menit ke depan.

Newbie

“Eh, itu kok berhenti sih?”

“Eh, itu kok ada lasernya sih?”

“Itu kenapa nggak boleh pakai kaki?”

“Kalau kebelet boker gimana dong?”

Pernah nonton sama orang yang kayak gini? Saya sih pernah, dan rasanya gemes habis. Soalnya saya kenal sepakbola sejak zaman prasejarah, dan saya itu kurang sabaran kalau ngejelasin sama orang. Kalau sudah ada yang memberikan pertanyaan yang aneh-aneh bin absurd, lebih baik dijawab, “ya memang begitu…”

Masalahnya adalah kalau ada penonton begini, akan susah menjelaskan kepada newbie untuk istilah semacam:

Gelandang Angkut Air: air mana yang mau diangkut?
Strategi Parkir Bis: memangnya bis boleh masuk lapangan?
Turun Minum: turun kemana, kan lapangannya rata gitu?

Ya sudah, nikmati saja.

Begitu dulu ya. Ini sudah menit ke 78. Indonesia lagi menyerang. Semoga menang ya.

Sudut Pandang Lain Yang Tetap Luar Biasa

Oke. Ini judul asli kurang kreatif. Soalnya saya memang hanya menelurkan masterpiece judul tulisan sesekali saja, dan salah satu judul yang pernah diapresiasi oleh orang adalah 30 Menit Yang Luar Biasa. Judul itu saya berikan pada sebuah posting tentang kisah saya ketika menjadi relawan pengajar dalam Kelas Inspirasi 2, 20 Februari 2013 silam di SDN 03 Palmerah.

Nah, dikarenakan saya sudah pernah menjadi relawan pengajar, maka di event Kelas Inspirasi Bekasi yang dihelat pada 11 September 2013, saya mau coba alih profesi sebagai fotografer. Baiklah, saya seorang APOTEKER, yang merangkap BLOGGER, dan sekarang saya jadi FOTOGRAFER. Uhuk. Saya jadi FOTOGRAFER tanpa tahu banyak soal konsep-konsep fotografi. Terima kasih kepada panitia yang atas dasar foto-foto di halaman ini, mau memilih saya sebagai fotografer.

Kenapa saya pengen jadi fotografer? Alasan pertama adalah karena saya sudah pernah merasakan nikmatnya mengajar, jadi pengen sudut pandang lain dalam konteks turun tangan dengan memberi inspirasi. Kedua, karena dulu saya belum punya si Eos, dan sekarang saya sudah punya si Eos yang kemarin saya bayar cicilan ketiganya.

Ya, walaupun kredit, yang penting tidak menimbulkan konspirasi kemiskinan. Tenang saja.

Jadi, bagaimana cerita saya hari ini?

Saya bangun pagi buta dari gua hantu. Eh, itu si buta. Maaf, salah. Sekitar jam 5 pagi saya sudah bangun dan harus mandi serta menggosok gigi mengingat di kos-kosan saya ada banyak anak pabrik yang berangkat jam 6. Untungnya saja, saya sudah berhasil menularkan virus inspirasi pada salah seorang anak kos yang juga adek kelas saya waktu kuliah, si Bayu. Jadi, kita sama-sama bangun lebih pagi. Bayu sendiri bertugas memberikan inspirasi soal pekerjaannya sebagai apoteker si pembuat obat di sebuah SD di Jatibening.

Jam 05.45, saya dan Bayu meninggalkan kos, dan tentu saja tidak meninggalkan kenangan. Kami berpisah di POM bensin Pintu Jababeka 2 karena dia akan naik bis, dan saya akan melajukan si BG ke Bekasi via jalur heroik bernama Kalimalang. Percayalah, 2 tahun lebih saya jadi penghuni Kabupaten Bekasi, si BG baru kali ketiga ini menginjak Kota Bekasi. Namun mengingat SD tempat saya hendak foto-foto letaknya dekat dengan jalur Kalimalang, jadi sekalian saja. Seandainya saya dapat di Bekasi Barat, mungkin akan beda kisahnya.

Perjalanan saya bisa dibilang melawan arus karena kebanyakan di jalur itu adalah orang yang tinggal di Bekasi dan hendak kerja di Cikarang. Jadi, perjalanan saya semacam santai kayak di pantai saja. Tapi sesantai-santainya, tetap saya butuh waktu 30 menitan. Saya masuk ke sebuah gang di depan BTC pada pukul 06.15, dan tugas DIMULAI.

Oya, tim saya kali ini tentu saja beda dengan yang dulu. Sekarang timnya lebih kecil dengan hanya 4 relawan pengajar dan 1 fotografer. Maksud saya daftar fotografer itu mungkin kayak Nanda dan Oka, ada dua, jadi bisa gantian. Eh, malah dapat sendirian deh. Hiyuh.

Ini dia timnya.

Kelompok 2
Kelompok 2

Kebetulan sekali bahwa di KI 2 saya kelompok 2, dan di KI Bekasi ini, kelompok 2 juga.

Ada Mbak Wulan, seorang dosen dengan basic teknik sipil. Dan kalau melihat penampilannya, saya asli nggak nyangka kalau dia punya gelar akademik yang aduhai. Paling senior di kelompok 2, tapi pasti banyak orang yang salah menerka jarak angkatannya dengan saya dan Alvan.

Ada Alvan, seorang engineer di provider telekomunikasi paling terkemuka di Indonesia.Kenapa paling terkemuka, karena saya pakai provider itu. Yah, ini sungguh alasan yang mencuatkan kontroversi hati. Latar belakang Alvan adalah Teknik Elektro.

Ada Bimo, staf di KPU. KI memang keren, sampai-sampai saya punya kenalan orang yang mengurus Pemilihan Umum gara-gara KI ini. Didapuk sebagai ketua kelompok, Bimo menjadi orang yang bertugas membawakan ID KI pada manusia-yang-tidak-datang-briefing seperti saya. Pak Ketua ini berbasis pendidikan Hukum.

Dan terakhir ada Petra. Gadis Batak dengan marga yang sama dengan guru kelas VI d SD Margahayu 22 dan tentu saja marga yang sama dengan bos saya. Marga apa itu? ADA DEH. Di KI ini, Petra akan lebih memberikan inspirasi sebagai petualang. Soal basis pendidikan, Petra adalah yang mengospek Alvan. Dunia memang sempit kayak celah sumpit.

Saya sendiri, walaupun menulis APOTEKER di ID, tapi tidak usah dihitung ya.

Empat kawan baru saya ini membawakan materi masing-masing di 3 kelas. Jadi kelas 1-2 digabung, 3-4 juga, dan demikian pula dengan 5-6. Ini tentu beda dengan yang saya alami waktu 6 kali 30 menit langsung bablas mengajar waktu di Palmerah. Dan modal mereka untuk mengajar sungguh mantap. BEDA BANGET SAMA SAYA DULU YANG CUMA BAWA KOTAK OBAT DAN SULAP PENUH DILEMA.

Oke, santai.

Manisnyaaa
Manisnyaaa

Alvan membawakan soal telekomunikasi, dan memperkenalkan anak-anak SD pada teknologi Skype. Di 3 kelas, dia melakukan komunikasi via Skype dengan teman-temannya di luar negeri. Jadilah anak-anak SD bisa dadah-dadah sama om dan tante yang ada di luar negeri sana.

Bimo sendiri, sesuai per-KPU-annya, membawakan topik pemilihan umum di kelas, mulai dari memilih buah, sampai memilih ketua kelas. Ah, tentu saja runyam. Plus, Bimo membawakan alat peraga berupa gambar-gambar tokoh, dan…

…ternyata pengetahuan anak-anak tentang Iqbal CJR lebih baik daripada pengetahuan mereka tentang Ibu Megawati. Itu fakta.

Petra membawa topi pantai, dan aneka perkakas petualangan lainnya. Dan yang jadi rebutan anak-anak itu adalah foto-foto yang cantik-cantik dari luar negeri. Saya paling terkesan sama anak ini:

Pokoknya Eiffel
Pokoknya Eiffel

karena dengan teguh kukuh berlapis stainless SS 316 mempertahankan foto Eiffel, dan dengan quote:

“Biar udah sobek juga nggak apa-apa, gue suka banget sama Eiffel…”

Iya, itu foto sudah sobek, efek dari rebutan. Hati juga kalau dipakai rebutan juga bisa sobek kok.

Dan Mbak Wulan yang paling modal dengan segala alat peraganya. Mulai dari jembatan kayu, sampai aneka gambar gedung-gedung dan bangunan ternama. Namanya anak-anak, begitu lihat barang baru, ya dirubung kayak playboy ketemu cewek caem.

Penasaran...
Penasaran…

 

Sebuah konsep bagus juga yang saya dapat dari sini adalah:

“Melewati jembatan mungkin cuma butuh 2 menit, tapi membangunnya bisa jadi butuh 2 tahun.”

Ah, mungkin demikian juga dengan membangun hubungan…

…eh, kebablasan galau.

Sebuah sudut pandang lain saya peroleh dengan menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mengabadikan momen di Kelas Inspirasi kali ini. Kalau dulu saya punya konsep memperkenalkan profesi apoteker sebagai poin utama, sekarang justru saya menangkap senyum, tangis, dan teriakan dari anak-anak itu sebagai inti kerja saya.

Ya, senyum-senyum itu berseliweran di depan si Eos dan sampai saya lumayan sebel sama satu anak yang nongol dimanapun Eos berada. Perhatian mereka pada kamera ternyata lumayan juga, dan lumayan bisa mendistraksi perhatian yang seharusnya diperoleh oleh relawan pengajar. Yup, menjadi orang yang merekampun ternyata tidak sesederhana yang tampak.

Terimakasih Tripod
Terimakasih Tripod

Dan saya tidak akan paham kalau saya tidak menjalaninya.

Saya juga menyempatkan diri jajan di belakang sekolah dan mendapati masih ada nasi goreng harga 1000, tentu saja dengan porsi anak-anak. Dan tentu saja, nggak di PokWe, nggak di burjo, minuman saya tetap yang warna warni.

Monggo Mas
Monggo Mas

Yah, saya mencoba mencari sudut pandang lain dan saya memperolehnya. Saya juga belajar banyak soal menangkap momen pada hari ini. Sebuah pembelajaran luar biasa bagi fotografer dengan kamera masih tiga kali angsur lagi. Dan kesimpulan saya tetap sama bahwa mengajar itu sulit.

Poin utama saya juga tetap sama, bahwa tidak ada salahnya membangun mimpi anak-anak itu, yang datang dari latar belakang anak ABK, pemulung, sampai bakul tisu di bis. Memberikan inspirasi ini hanya sebuah langkah kecil dari sebuah mimpi yang besar.

Anggi Mau Jadi Guru

Satu lagi yang menjadi poin saya sejak menjadi anak KI–dibuktikan dengan 2 ID tergantung di kamar–bahwa bergaul dengan orang yang penuh semangat positif sejatinya memberikan dampak yang positif juga dalam diri kita. Ketika ada orang yang rela cuti untuk berbagi inspirasi, padahal hak cuti itu setahun hanya ada 12, apa tidak positif itu namanya?

Saya masih mendapati teman-teman yang merasa pekerjaannya bukan sebuah inspirasi, atau merasa hal semacam ini nggak penting. Masih ada, dan mungkin akan tetap ada. Tapi saya hanya hendak bilang, cobalah masuk ke wadah semacam ini, bertemu dengan orang-orang bersemangat positif, lalu perhatikan apa yang akan terjadi kemudian.

SUPER SEKALI BUKAN?

484 foto saya dapatkan dari jepretan si Eos, dan itu juga penyebab posting ini tidak sepanjang kisah saya di Kelas Inspirasi sebelumnya. Tapi percayalah, meskipun sudut pandangnya berbeda, rasanya tetap LUAR BIASA!

IMG_2422

WHOOOSHHHHH!!!!

Petualangan #10daysforASEAN

Terima kasih kepada nasib yang sudah membantu saya bertemu dengan acara sosialisasi komunitas ASEAN untuk para @aseanblogger. Untung juga saya mendaftar lewat Kompasiana, padahal ya saya itu sudah follow @aseanblogger beberapa waktu. Dan untung juga saya menahan diri untuk tidak pulang sebelum acara berakhir, seperti banyak pemirsa lainnya. Karena di saat terakhir inilah saya dapat info ketika Mbak Indah bilang bahwa akan ada lomba blog #10daysforASEAN.

YEAH!

Oke. Niat awal saya menunggu sampai malam adalah kali-kali menang lomba livetweet. Tapi saya juga sadar sih, dengan si Young yang ngedrop 4 kali selama acara, nggak mungkin juga saya menang lomba itu.

Menulis cepat itu adalah keahlian saya, tapi soal isi ya nanti dulu. Saya bisa saja disuruh menulis 1 postingan atau 1 cerpen dalam waktu cepat, tapi dengan kualitas yang diragukan. Itu kenapa banyak posting di blog ini yang pendek-pendek, termasuk mungkin posting yang ini. Nah, karena menulis cepat itu saya bisa, akhirnya saya email ke Mbak Ani Berta untuk menjadi peserta #10daysforASEAN.

Begitu hari pertama nongol temanya, saya langsung bingung. Seperti yang bisa dibaca di posting saya berjudul Salon Thailand? Siapa Takut? ini. Saya tulis disitu bahwa seumur-umur ke salon itu ya cuma dua kali. Sisanya saya ke barber shop alias tempat potong rambut khusus lelaki. Bagaimana ceritanya saya mau menulis soal salon kalau latar belakang saya seperti itu? Apalagi pakai embel-embel Thailand pula. Maka, setelah garuk-garuk aspal, saya kemudian memberanikan diri menulis posting itu, dan hari pertama selesai.

Topik kedua nongol dengan indahnya, dan bikin ingat mantan.

#sigh

Ya, persis seperti yang ditulis di posting #10daysforASEAN saya yang kedua ini. Saya sendiri juga kurang paham soal percandi-candian. Saya lebih paham pergalauan soalnya. Jadi, topik hari kedua ini benar-benar memaksa saya untuk browsing. Eh, kok ya kebetulan kalau browsing pakai bahasa Indonesia yang nongol adalah kabar bahwa Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman alias Salomo. Daripada saya ngakak ngehek, jadi saya cari pakai bahasa Inggris saja. Pas benar dengan hasil diskusi di ruang Caraka Loka bahwa bahasa Inggris itu penting. Nah gara-gara Angkor Wat ini, saya jadi belajar bahasa Inggris lagi.

Hari ketiga dimulai dengan tantangan yang sungguh oye. Menciptakan usulan nation brand dalam waktu singkat. Apalagi saya kemudian pulang malam karena besoknya akan cuti. Jadi harus pandai-pandai memilah dan memilih istilah yang bagus. Hingga kemudian saya menemukan istilah Indonesia, A Tropical Paradise. Orang marketing saja susah payah berhari-hari mikir merk yang oke, lha ini saya mikir dalam waktu 1 hari, disambi-sambi meeting sana sini. Untung nggak berubah jadi Indonesia, Meeting Sana Sini. Kan berabe.

Masuk hari keempat mulai susah. Di hari Kamis saya ada perjalanan ke Montong dalam urusan penerbitan buku. Malamnya dilanjutkan perjalanan kereta api ke Jogja. Sudah begitu, saya dikasih tahu teman yang ikutan #10daysforASEAN juga soal topiknya via Whatsapp. Topiknya soal Visa Myanmar pula. Pusing saya. Sambil menikmati perjalanan via Kopaja AC Ragunan Monas, lalu kemudian menatap galau busway yang nggak lewat-lewat di Sarinah, akhirnya saya menulis juga dengan gamang di ruang tunggu Stasiun Senen, dan nge-tweet laporannya ketika saya sudah di dalam kereta api Senja Utama Solo. Dan di ruang tunggu itu, cuma saya yang lagi ngetik pakai laptop. Ini stasiun pula, bukan bandara.

Saya lantas sampai Jogja dan nangkring di kos-kosan adek saya yang bungsu. Begitu ngulet habis bangun sesudah terkapar saya melihat kopi dan merknya sama dengan kontes blog kopi yang sedang saya ikuti. Jadi urutannya, lihat kopi, ingat kontes blog kopi, lalu ingat blog, kemudian ingat kewajiban posting untuk #10daysASEAN di blog. Urutannya panjang sekali, sedikit lebih panjang daripada jalan kenangan. Nah, begitu saya buka topiknya, eh, soal kopi.

Saya sedikit mengutuk diri karena saya punya banyak bahan menulis tentang kopi tapi itu di laptop saya yang lama, yang sudah rusak. Itu dulu saya pengen nulis soal kopi, dan sudah seperenambelas jalan. Bahannya lumayan banyak. Yah, tapi ya sudah, saya menulis saja soal Kopi ASEAN.

Hari Sabtu, saya sudah mikir bahwa bakal sulit. Hari itu adek saya sumpahan apoteker. Dan pastinya akan rempong sedunia. Kapan saya mau ngeblognya, dan kapan saya mau nyari bahan juga kalau topiknya susah. Pas topik keluar, tentang Laos pula. Nggak ada bayangan di kepala selain fakta bahwa Laos itu termasuk herbal, teman-temannya kayu manis, dan daun bungur yang saya kelola sehari-hari.

Untungnya saya punya adek anak IPS. Begitu saya bilang Laos, eh dia menyebut soal negara tanpa pantai, sungai Mekong, dan bla…bla…bla.. lainnya. Akhirnya saya tulislah posting itu. Dan sesungguhnya, posting soal Laos ini adalah satu-satunya posting yang digarap di banyak tempat. Mulai dari Ruang Multimedia Kampus III USD Paingan, ruang tunggu Kencana Photography, meja makan restoran Jejamuran, sampai kamar kos adek saya. Cukup heroik untuk sebuah lomba blog yang pernah saya ikuti.

Minggunya dapat topik yang susah juga, soal perbatasan Singapura-Malaysia. Dan hari Minggu itu bahkan saya tidak sempat ke gereja. Karena sepagian saya sudah berangkat ke Sendangsono untuk ziarah rohani, dan kemudian diteruskan dengan perjalanan pulang ke Cikarang. Saya nggak mungkin buka laptop di terminal Jombor, pun di atas bis Rosalia Indah. Untungnya bisnya sampai lumayan subuh, jadi saya segera bisa menulis soal Peta ASEAN. Begitu kelar nulis, eh sudah jam 6 dan saya sudah harus berangkat kerja karena ada pengiriman bahan baku jam 7.

KAPAN SAYA TIDURNYA???

Senin ke Senin, sudah seminggu saya mengikuti #10daysforASEAN dan hitung-hitung tentu saja topiknya nggak akan jauh-jauh dari Filipina. Eh, bener juga. Hari Senin 2 September topiknya tentang kebebasan berekspresi dan mengambil latar Filipina, sebuah negara yang sudah kenal People Power bahkan sebelum saya lahir. Dan karena riwayatnya nggak jauh-jauh dari yang saya ingat semasa SD, jadi menulis soal People Power ini jadi lumayan tidak menyiksa.

Nah, hari kesembilan. Tinggal kurang Brunei sama Indonesia. Sudah pasti Brunei. Saya sudah kepikiran saya soal minyak. Eh, nongolnya kok malah KTT ASEAN dan tiga pilar. Lalu saya mau nulis apa? Ya, pada akhirnya dengan segala sesat pikir, saya tulislah tulisan yang menggelegar ini.

Sampai di hari ke-10, hari terakhir, saya kira sudah tinggal evaluasi, kesimpulan, dan saran. Dan ternyata saya salah lagi, saudara-saudara. Pantas saya jomblo, menebak topik saja saya salah, apalagi menebak isi hati perempuan.

#EAACURHAT

Di hari terakhir ini pembahasannya soal Jakarta. Kebetulan saya pengikut berita Jokowi Ahok, jadi cukup paham kemajuan Jakarta sejak duet maut itu menjabat dan tentunya kaitan dengan keberadaan Jakarta sebagai ibukota ASEAN.

Dan selesailah sudah.

ZZZZZZZZ…

Mengingat track record saya yang baru sekali dapat hadiah dari lomba blog, itu juga voucher 100 ribu yang merupakan hadiah hiburan dan jumlah hadiah hiburannya ada 45, plus nyaris menang di lomba blog Batik karena masuk nominasi saja, jadi saya cukup pasrah untuk tidak menang di #10daysforASEAN ini.

Setidaknya, karena #10daysforASEAN ini blogpost saya nambah 10 (HAHAHAHAHA), dan saya bisa menulis topik berat dengan bahasa gelo. Saya paling suka posting sepele saya yang “Aku Nggak Punya Visa”. Entah kalau yang lain ya. Kebetulan pula, ketika saya ikut lomba ini, kok pageview saya nggak nambah banyak ya? Hiks. Setiap hari saya memantau pageview saya dan angka segitu-segitu saja, maksudnya rata-rata sama dengan hari-hari lainnya. Bukan apa-apa sih, kalau pageview masih segitu-segitu aja, gimana saya bisa mempromosikan Komunitas ASEAN 2015? Sebagai seorang yang pas di Caraka Loka disapa blogger, saya merasa gagal.

Sedikit masukan saya ke panitia adalah lebih kepada hal teknis. Soal pendaftaran lebih dahulu ini saya suka banget. Ini sekaligus menguji komitmen seseorang. Masukan saya sepele saja kok. Semisal updatenya dibentuk dalam model spreadsheet di Google Docs, itu bakal lebih enak. Jadi kolom 1 adalah list peserta plus nama blognya, lalu kolom ke-2 sampai 11 adalah link blogpost mereka. Jadi kita bisa tahu nih, sudah masuk atau belum dan nggak repot scroll atas bawah.

Saya tahu mengelola kontes macam ini susah, jadi usul saya nggak repot-repot kok.

Salam #10daysforASEAN!

Saat Nggak Punya Apa-Apa

Melihat segala benda mati yang saya punya sekarang, kadang jadi ingat 4 tahun silam. Ya, lebih dari 4 tahun sih. Pokoknya periode ketika saya kemudian meninggalkan segala yang saya punya di Jogja untuk bekerja di Palembang.

Ada dua benda penting milik orang tua yang dulu menjadi kekuasaan saya, si anak pertama.

Selanjutnya

Memang Harus Jakarta

Jakarta, kotaku indah dan megah
disitulah aku dilahirkan
rumahku di salah satu gang
namanya gang kelinci

Lagu “Gang Kelinci” adalah satu dari satu-satunya lagu lawas yang nangkring di MP3 andalan saya sejak dibeli tahun 2007. Sudah ada 6 tahun lamanya lagu itu ada disana dan selalu saya dengar setiap kali perjalanan. Utamanya sih perjalanan ke Jakarta. Maklum, anak Cikarang, jadi kalau mau gaul sedikit, ya kudu ke Jakarta, naik 121, dan biar asyik yang mendengarkan MP3.

Nah, dari lagu jadul itu saja kita sudah tahu kalau Jakarta adalah kota yang indah dan megah. Kota yang dahulu bernama Batavia ini juga merupakan pusatnya Indonesia. Hanya di Jakarta ini saya pernah menggunakan bahasa Jawa, bahasa Minang, dan bahasa Palembang dalam 1 jam menjelajah. Sederhananya, semuanya ada disini.

Soal Jakarta sebagai Diplomatic City of ASEAN seharusnya tidak perlu ditanya lagi karena gedung Sekretariat ASEAN saja sudah sejak lama ada di Jakarta. Dengan mekanisme simpel saja sebenarnya penetapan Jakarta sebagai ibukotanya ASEAN adalah hal yang mudah karena faktor lokasi sekretariat itu.

Atau kalau kita mau adil bahwa 40% alias mayoritas penduduk ASEAN itu adanya ya di Indonesia. Jadi dari sisi majority ini juga, sudah layak dan sepantasnya Jakarta, sebagai ibukotanya Indonesia, juga dijadikan sebagai ibukotanya ASEAN.

Okelah secara historis memang Jakarta beda sama Bangkok, soalnya Bangkok mencatatkan diri ketika Adam Malik, Narsisco Ramos, Tun Abdul Razak, Thanat Khoman, dan S. Rajaratnam berkumpul dan menghasilkan Deklarasi Bangkok. Tapi toh setidaknya, nama Adam Malik ada disana. Indonesia adalah 1 dari 5 pemrakarsa terbentuknya ASEAN.

Sekretariat di Jakarta, penduduk terbanyak di Indonesia, plus Indonesia adalah pendiri ASEAN bersama 4 negara lainnya. Nggak ada alasan untuk tidak menaruh ibukota ASEAN di Jakarta kan?

Nah, masalahnya sekarang, siapkah Jakarta?

Sungguh suatu kebetulan yang menarik ketika menjelang persiapan Komunitas ASEAN 2015 ini Jakarta dipegang oleh 2 pemimpin yang mumpuni. Seluruh Jakarta bahkan Indonesia sudah bisa melihat hasil karya sepasang anak bangsa pada ibukotanya dalam rentang waktu yang bahkan belum lama. Mereka adalah Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Simpelnya tentu saja Jokowi dan Ahok.

Sekretariat ASEAN terletak di Jalan Sisingamangara yang dekat betul dengan Sudirman-Thamrin, yang tentu saja sudah macet sejak zaman pra-sejarah. Apa iya nanti ibukota ASEAN akan identik dengan macet?

Sejatinya Jakarta sudah terbeban berat dengan proses yang ada sekarang, tapi menjadi pusat ASEAN adalah kesempatan yang tidak boleh dilepaskan. Paralel dengan itu, adalah tugas pemerintah daerah di bawah pimpinan Jokowi dan Ahok untuk melakukan pembenahan. Kebetulan juga aksi mereka ditunjang oleh Dahlan Iskan dengan sinergi bandara ke Jakarta via kereta api pimpinan Ignasius Jonan. 

Akses dari langit akan mudah karena bandara di Cengkareng sana juga akan diperbesar. Kalau-kalau memang kapasitas penuh, sudah disiapkan di Karawang, yang tidak jauh-jauh banget dari Jakarta.

Apalagi kalau nanti MRT sudah tersedia. Okelah sekarang kita sudah tertinggal puluhan tahun dengan Singapura soal MRT dan Malaysia dengan monorail-nya. Tapi di tangan Jokowi-Ahok sepertinya sudah mulai ada titik terangnya.

Satu hal yang pasti, isu keamanan menjadi penting. Setiap lewat kedutaan besar, saya selalu heran dengan pagarnya yang tinggi-tinggi, tebal-tebal, plus kawat duri. Yang paling ekstrim tentu saja milik Australia dan Amerika Serikat. Sedangkan Thailand, Kamboja, dan lainnya yang kebetulan bersebelahan memang tidak tampak tinggi sekali pengamanannya. Cuma, melihat bentuk yang begini, itu pertanda ada ketakutan kan? Tentu saja bom Kedubes Australia bertahun silam tidak mudah untuk dilupakan. 

Kalau isu keamanan di Jakarta perlahan bisa diperbaiki, plus jaminan tata kota yang baik dari duo kotak-kotak, akhirnya saya bisa bilang bahwa kota indah dan megah bernama Jakarta ini memang harus menjadi pusatnya ASEAN.

Salam Jakarta!