Mengapa Pinjaman Online Harus Terdaftar di OJK?

Selalu ada cerita tentang pinjaman online alias pinjol di sekitar kita. Kemajuan teknologi memunculkan perusahaan finansial teknologi atau fintech dengan pinjol sebagai produknya.

Pinjol memfasilitasi publik untuk memperoleh pinjaman dana dengan waktu yang lebih singkat dan proses yang lebih mudah, dibandingkan dengan meminjam di bank, misalnya. Menjadi wajar jika kemudian pinjol semakin diminati masyarakat.

Photo by Pixabay on Pexels.com

Kalau dilihat-lihat, sebenarnya ada kesamaan antara pinjol dengan makanan, terutama dalam urgensi regulasi. Produk makanan bisa dengan mudah dijumpai, dijual di berbagai tempat, tapi akan menjadi beda maknanya ketika dia didaftarkan ke Dinas Kesehatan atau BPOM. Saat didaftarkan, boleh jadi ada kandungan zat-zat yang harus dibatasi, misalnya kandungan Bahan Tambahan Pangannya. Konsumen jadi lebih terlindungi karena pembatasan zat-zat tersebut didasarkan atas kajian keamanan berbasis bukti.

Sama halnya dengan pinjol. Jumlahnya mungkin banyak sekali, tetapi ketika sudah terdaftar OJK, maka suatu pinjol akan berada di level yang berbeda. Peraturan yang utama adalah Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Ketika sudah terdaftar, otomatis suatu pinjol juga berada dalam operasional yang resmi dan pada saat yang sama diawasi oleh OJK itu sendiri. Secara administrasi publik, registrasi semacam ini bermanfaat untuk semua pihak dan sesungguhnya yang paling dilindungi adalah masyakarat.

Sederhananya, kalau cuma berpikir ala-ala New Public Management (pola pikir pelayanan menuju kuno yang menyamakan layanan pemerintah semata-mata kayak kita datang ke bank), registrasi-registrasi macam ini kurang cocok. Orang yang datang ke bank adalah pinjol yang datang ke OJK, sementara teller banknya anggaplah OJK-nya. Sudah dong, urusannya cuma mereka berdua itu.

Padahal, dengan proses pendaftaran itu ada pihak lain yang jadinya lebih terlindungi ketimbang kalau pendaftaran itu tidak ada. Namanya citizen alias masyarakat. Kalau pakai contoh orang datang ke bank, masyarakat nggak kelihatan perannya, padahal justru mereka yang diuntungkan. Pada titik inilah sudah semestinya kita mengedepankan pendekatan New Public Service.

Salah satu contoh pinjaman online yang sudah terdaftar adalah Tunaiku, yang merupakan produk dari Amar Bank. Amar Bank sendiri merupakan salah satu fintech pertama di Indonesia yang menyediakan pinjaman uang secara daring tanpa agunan sejak tahun 2014.

Tunaiku sendiri merupakan produk dari Amar Bank. Pada tahun 2018, Amar Bank meraih penghargaan Indonesia Best Banking dari Warta Ekonomi. Amar Bank juga memperoleh penghargaan sebagai TOP SME LENDER 2019 (UMKM) kategori Buku 2 dari Majalah Infobank pada tahun 2020.

Bank Amar sebagai induknya Tunaiku sendiri merupakan bagian dari perusahaan multinasional TOLARAM yang sudah berdiri lebih dari 60 tahun dan bidang bisnisnya cukup banyak di Eropa, Asia, hingga Afrika dengan kantor pusatnya di Singapura.

Kantor dari Tunaiku dan Amar Bank sendiri cukup jelas dan tentu saja hal itu memiliki relevansi dengan keamanan dan transparansi produk itu sendiri. Pinjol dari Tunaiku memungkinkan untuk dipantau statusnya dengan mudah, kapanpun dan dimanapun. Oya, saat ini, Tunaiku juga telah melakukan pengembangan dengan memiliki fitur tabungan dan deposito online melalui Tunaiku Invest.

Sekali lagi, seperti halnya makanan banyak tapi kita bisa memilih yang akan kita beli dan makan, maka demikian pula dengan pinjol. Pinjol memang banyak tetapi jika memang pada akhirnya harus pakai pinjol, utamakan pinjaman online yg terdaftar ojk ya, tentunya demi keamanan dan kenyamanan bersama.

Gotong Royong Mendukung Vaksinasi Guna Mengakhiri Pandemi COVID-19

“…Saya dengan sengaja memakai perkataan gotong royong oleh karena perkataan gotong royong ini adalah perkataan asli Indonesia yang menggambarkan jiwa Indonesia yang semurni-murninya…”

Kalimat tersebut adalah kutipan pidato Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno pada tahun 1957. Konteks peristiwanya memang era Demokrasi Terpimpin. Walau demikian, pernyataan itu tentu tidak serta merta kehilangan muatannya. Gotong royong bahkan merupakan bagian dari pemikiran monumental Bung Karno untuk Indonesia, terutama pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945, yang di kelak kemudian hari diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila.

Salah satu momentum perihal fenomenalnya gotong royong adalah ketika Bung Karno menawarkan Ekasila sebagai alternatif untuk Pancasila—bersama-sama dengan Trisila. Untuk memeras begitu banyak nilai yang terkandung pada Pancasila, Bung Karno memilih kata gotong royong. Perlu diingat bahwa Pancasila, Trisila, hingga Ekasila bukanlah konsep yang benar-benar berbeda. Doktor PJ Suwarno—beliau ini fenomenal sekali untuk urusan Pancasila dan secara keren pernah mengajar bapak saya dan di kemudian hari juga mengajar saya—menggarisbawahi pada pidato 1 Juni 1945 tersebut, Bung Karno tetap menekankan agar Pancasila diterima dan demikianlah realitanya kemudian.

Sebagai buah pikir yang mendarah daging di Indonesia, gotong royong jelas menjadi salah satu hal yang menarik untuk diteliti oleh akademisi baik dalam maupun luar negeri. Salah satunya adalah John R. Bowen, yang menulis artikel berjudul On the Political Construction of Tradition: Gotong Royong in Indonesia pada The Journal of Asian Studies tahun 1986. Oleh Bowen, gotong royong dipahami sebagai saling bantu yang saling menguntungkan. Gotong royong disebut olehnya berasal dari bahasa Jawa ngotong—atau dalam bahasa Sunda disebut sebagai ngagotong—yang bermakna sejumlah orang mengerjakan sesuatu bersama-sama. Bowen sendiri pada artikel tersebut meyebut bahwa dirinya tidak mendapati makna dari kata ‘royong’ sehingga cenderung menyebut bahwa kata tersebut adalah tambahan yang menyesuaikan rima.

Di sisi lain, sejumlah publikasi juga menyebut bahwa sejatinya gotong royong juga merupakan terminologi yang hadir pada negara tetangga serumpun seperti Malaysia dan Singapura. Kata gotong royong bahkan hadir di judul buku yang ditulis oleh Josephine Chia ‘Kampong Spirit Gotong Royong: Life in Potong Pasir, 1955 to 1965’ yang mengisahkan tentang kehidupan Singapura pada periode tersebut. Oleh Chia, ditekankan bahwa dalam gotong royong terjadi hubungan saling bantu tanpa adanya motif personal, tetapi sepenuhnya untuk kebaikan komunitas.

Pengertian Gotong Royong Menurut John R. Bowen dan Josephine Chia

Satu hal yang menarik adalah perkembangan dari gotong royong itu sendiri. Pada tahun 1979, melalui buku Sistem Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Khusus Ibukota Jakarta terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah diidentifikasi bahwa sejumlah bentuk gotong royong sudah punah atau lenyap dari kebudayaan suatu masyarakat. Artinya, jika di era sekarang kita seolah mendapati bahwa gotong royong tampak hilang di masyarakat, sejatinya fenomena itu sudah ditangkap sejak 30 tahun yang lalu.

Selayang Pandang COVID-19

Secara umum, dunia sepakat bahwa pandemi COVID-19 adalah kondisi bencana. Pada akhir Januari 2020, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan Keputusan Kepala BNPB Nomor 9A Tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia. Lebih lanjut lagi, pada tanggal 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan COVID-19 sebagai pandemi. Hal ini sebelumnya telah didahului dengan penetapan Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) pada 30 Januari 2020.

Tanggal Penting Perkembangan COVID-19

Faktanya pula, sampai sekarang status pandemi belum diturunkan sama sekali oleh WHO dan seluruh negara di dunia. Bahwa kemudian ada yang bilang bahwa pandemi ini bukan pandemi COVID-19 tapi pandemi tes PCR, atau juga yang bilang bahwa pandemi ini sebagai PLAN-demi dan narasi lainnya, ya itu preferensi masing-masing yang sayangnya agak tidak terlalu tepat dengan konsep gotong royong itu sendiri.

Satu hal yang pasti, asal muasal COVID-19 masih berada dalam penelusuran. Ketika kemudian disebut sebagai senjata biologis yang bocor atau apapun, seharusnya hal itu tidak mengurangi kewaspadaan kita mengingat situasi yang terjadi di sekitar. Memahami dan meyakini bahwa COVID-19 mungkin adalah bagian dari konspirasi pada kenyataannya tidak membuat kita kebal jika virusnya mampir ke tubuh. Mau dari apapun asalnya si virus, kondisinya sekarang adalah secara genomik sudah dibuktikan bahwa virusnya ada dan bahkan sudah bermutasi jadi banyak tipe.

Sohrabi, Alsafi, O’Neill dan kawan-kawan pada publikasi yang berjudul World Health Organization declare global emergency: A review of the 2019 novel coronavirus (COVID-19) menyebut bahwa permasalahan utama pada penanganan wabah ini adalah TRANSPARANSI. Sebagaimana ditulis oleh kenalan saya yang lama tinggal di China bernama Novi Basuki, Li Wenliang pada 3 Januari 2020 justru diminta oleh kepolisian setempat untuk menyebarkan rumor perihal penyakit yang mirip SARS. Padahal, itulah titik kuncinya. Komite Kesehatan Kota Wuhan baru membuka kondisi riil terkait segala yang terjadi pada pertengahan Januari 2020. Itu sejak dr. Zhong Nanshan ditunjuk oleh Komisi Kesehatan Nasional China untuk menginspeksi Wuhan.

Intinya, sih, kondisinya sekarang sudah kadung. Virusnya kadung menyebar dan kadung bermutasi. Sejumlah negara yang awalnya cukup sukses menghalau pandemi, pada akhirnya juga harus berhadapan dengan gelombang demi gelombang kasus baru dengan varian baru. Negara-negara seperti New Zealand, Taiwan, maupun Vietnam terbilang cukup sukses menahan laju penyebaran karena KEPATUHAN warga negara pada kebijakan pemerintah, terutama mengenai protokol kesehatan, setidaknya demikian menurut Lokuge, Banks, Davis, dan teman-teman pada publikasi ini.

Lantas apa hubungan antara gotong royong dengan COVID-19?

Asti Mardiasmo bersama Paul Barnes pada tahun 2015 menulis tentang konteks terminologi gotong royong dalam respon terhadap bencana sebagai pedang bermata dua. Budaya gotong royong disebut mendorong elemen positif berupa dukungan komunitas. Di sisi lain, pada konteks bencana ada potensi ketika gotong royong itu menjadi kontras terhadap respon yang dibuat oleh pemerintah termasuk sampai pada aktivitas pemulihannya yang melibatkan tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas.

Photo by cottonbro on Pexels.com

Apakah gotong royong bermakna jelek? Jelas tidak, sebab keduanya tetap sepakat bahwa nilai komunitas dan mekanisme tata kelola sangat mungkin dikawinkan.

Satu hal yang penting untuk dipahami, bahwa sebagaimana dikutip oleh saya sendiri pada jurnal ini dari Kashte dan teman-teman (2021) bahwa dengan kondisi yang ada, vaksin adalah satu-satunya pilihan untuk pulih dari pandemi.

Memang, tes-lacak-isolasi itu tetap penting. Masalahnya adalah di Indonesia ini levelnya sudah komunitas sehingga pada satu lingkungan, klasternya boleh jadi 0 tapi bisa jadi pula lebih dari 1. Pelacakannya butuh upaya luar biasa dan harus sangat persisten karena dampaknya adalah pada fasilitas pelayanan kesehatan.

Pada bulan Desember 2020, fasilitas kesehatan di Indonesia sempat berada di kondisi gawat. Saya sendiri sempat mengalami keribetan kala mencarikan ruang ICU untuk teman sekantor. Indonesia pernah berada dalam kondisi bahwa pengaruh pejabat, orang dalam, dan apapun itu yang sejenis sudah tidak mempan dalam soal ruang ICU ini karena memang ruangnya tidak ada. Semoga sih kondisi tersebut tidak terjadi lagi.

Tingkat Keterisian ICU 2 Januari 2021
Kondisi ICU sejumlah provinsi pada 2 Januari 2021 (Sumber; CNN)

Berkaca dari kondisi tersebut, kita tidak bisa melakukan penanganan di ujung alias di fasilitas kesehatan. Pada umumnya pasien ke RS karena sudah parah dengan sejumlah kerusakan pada tubuh. Menangani hal semacam ini tidak akan kelar-kelar, kecuali obatnya sudah ada. Persoalannya kemudian, yang disebut obat untuk COVID-19 belum ada. Yang ada adalah dua jenis obat yang sejatinya bukan untuk COVID-19 tapi berdasarkan kajian ilmiah diperbolehkan untuk digunakan melalui Emergency Use Authorization oleh otoritas pengawas obat setempat, namanya Remdesivir dan Favipiravir.

Harapan sebenarnya adalah menghindari tambahan pasien, atau kalaulah memang ada yang bertambah itu datang ke RS dalam kondisi yang tidak terlalu parah sehingga masih bisa ditangani. Cara utama untuk menghindari tambahan pasien tersebut, terutama di negeri dengan level transmisi komunitas adalah dengan VAKSINASI.

Gotong Royong Mendukung Vaksinasi COVID-19

Soepomo memahami bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dari seseorang yang lain maupun dunia luar. Ketika COVID-19 masih di Wuhan, sesungguhnya lockdown maupun karantina masih dapat menjadi solusi. Sayangnya, nyaris seluruh negara tidak dapat menghalaunya pada masa-masa awal pandemi. Bagaimanapun, COVID-19 menyebar dengan lebih cepat daripada flu Spanyol juga karena kemudian akses dari satu negara ke negara lain pada masa kini sehingga dunia luar dan diri kita sejatinya memang sudah sangat terhubung dengan mudah.

Pada titik inilah seperti yang disebut Soepomo: segala sesuatunya bersangkut-paut. Dan dalam ihwal vaksinasi COVID-19, sangkut-paut dan pengaruh-mempengaruhi menjadi semakin jelas. Ingat, target dari vaksinasi adalah kekebalan komunitas atau herd immunity. Namanya komunitas, pembentukan herd immunity itu tentu membutuhkan upaya bersama dari masing-masing anggota komunitas.

Pengaruh Vaksinasi Untuk Komunitas

Pada upaya mencapai herd immunity, sikap satu orang dapat mempengaruhi konstelasi di komunitas. Sederhananya, melalui vaksinasi, diharapkan anggota masyarakat dan komunitas tertentu sudah memiliki kekebalan pada suatu penyakit, dalam hal ini COVID-19. Vaksinasi memang tidak mencegah orang untuk jadi positif COVID-19, tetapi jika seseorang sudah divaksinasi, sistem imunnya sudah kenal sehingga dapat membentuk kekebalan yang diharapkan. Dengan demikian, kalaupun positif, tingkat keparahannya lebih minimal. Semakin tidak parah, kemungkinan untuk sampai meninggal semakin kecil pula.

Memang agak sulit memahami bahwa ada satu virus yang bisa menginfeksi orang tapi tidak menimbulkan gejala pada satu orang, tetapi bisa menyebabkan kematian pada orang yang lain. Hal itu sejatinya sejalan dengan kondisi individu masing-masing. Terlebih, sejak awal sudah dikenali bahwa COVID-19 cenderung lebih parah pada orang-orang dengan komorbid. Dan jangan salah, untuk Indonesia, komorbid itu masalah besar sebab Indonesia tengah bergelut dengan tingginya angka Penyakit Tidak Menular seperti diabetes maupun hipertensi. Lebih gawat lagi, Kementerian Kesehatan menyebut bahwa dari 10 orang Indonesia, hanya 3 yang tahu bahwa mereka memiliki PTM. Tujuh lainnya? Baru tahu ketika sudah komplikasi alias sudah parah. Lebih gawatnya lagi, dari 3 yang sudah tahu itu, cuma (((SATU))) yang berobat rutin.

Sekarang mari tempatkan kondisi PTM tersebut dengan laporan awal perihal case fatality rate (CFR) pada periode awal COVID-19 dari Wu dan McGoogan (2020). CFR awal adalah 2,3% tapi angkanya melonjak jadi 8% pada pasien dengan usia 70-79 tahun dan bahkan 14,8% pada pasien di atas 80 tahun. CFR pada pasien dengan hipertensi adalah 6%, lebih dari 7% pada penderita diabetes, dan mencapai 10,5% pada penderita penyakit kardiovaskuler.

Sebagai contoh, data di Provinsi DI Yogyakarta menurut dashboard covid19.go.id memang menyebut bahwa 92,2% pasien COVID-19 itu sembuh. Tetapi, mari kita lihat pula fakta kematian untuk pasien di atas 60 tahun: 60,1% meninggal. Sederhananya, kalau ada 10 pasien di atas 60 tahun, maka 6 diantaranya pasti meninggal. Jangankan itu, data yang sama juga menyebut bahwa untuk usia 46-59 tahun, persentase kematiannya mencapai 30,4%! Padahal di usia tersebut, justru banyak yang anaknya masih SMA atau kuliah sehingga tetap butuh biaya hidup. Masak ya kita membiarkan dari 10 orang berusia 46-59 tahun yang kena COVID-19, 3 diantaranya meninggal?

Vaksinasi bertujuan untuk mereduksi kematian-kematian itu. Kajian cepat dari Kementerian Kesehatan telah memperlihatkan data yang sesuai bahwa vaksinasi mampu mencegah kematian akibat COVID-19 sampai dengan 98%! Untungnya pula, pada dasarnya orang Indonesia cukup percaya pada manfaat vaksin. Survei CSIS di Jogja cukup membuktikan hal tersebut dengan angka yang lumayan tinggi, mencapai 68%. Hal itu adalah modal baik untuk masa depan vaksinasi.

68% Percaya Pada Kemanjuran Vaksin

Ada banyak pendapat yang cukup menyesatkan soal COVID-19. Saya sering mendapatinya di kolom komentar Instagram. Yang paling sering adalah, “Teman saya yang kena COVID-19 semua tanpa gejala, tuh! Ini penyakit biasa saja sama kayak flu.”

Jika diterjemahkan dalam konsep gotong royong, pernyataan itu jadi tidak relevan. Ingat bahwa kehidupan manusia itu pengaruh-mempengaruhi. Benar bahwa teman kita oke-oke saja, tapi temannya yang lain bahkan sampai meninggal. Dalam circle saya, ada satu orang yang sudah sempat masuk ICU dan kemudian sembuh tapi ada pula rekan yang bahkan umurnya baru 34 tahun, anaknya dua masih kecil-kecil, dan pada akhirnya harus meninggalkan dunia akibat COVID-19. Sekali lagi, dalam ruang lingkup gotong royong, pernyataan semacam itu menjadi tidak cocok sama sekali.

Hidup memang harus terus berjalan. Kita memang tidak akan dapat diam di rumah selamanya. Untuk itulah, kombinasi dari VAKSINASI dan penerapan pendekatan kesehatan masyarakat atau di Indonesia disebut sebagai PROTOKOL KESEHATAN menjadi kunci untuk bisa hidup senormal mungkin di tengah pandemi yang masih terjadi. Dan untuk membuatnya efektif, tentu saja dibutuhkan kerja bersama dari setiap individu di dalam masyarakat, yang saling menunjang satu sama lain, dengan menihilkan kepentingan pribadi sampai titik yang paling optimal, demi tercapainya tujuan bersama.

Ya, dengan gotong royong kita dapat mengakhiri pandemi COVID-19 ini. Dengan nilai-nilai dasar yang sudah kita kenal sejak lama, kita bisa mengalahkan SARS-CoV-2 dan mutasi-mutasinya. Kemungkinan itu ada, sisanya kembali ke kita sendiri: mau atau tidak?

Semoga mau, ya~



Tulisan ini diikutsertakan kompetisi dalam rangka memperingati Bulan Pancasila dengan tema Keistimewaan Pancasila: Toleransi, Berbagi, Gotong Royong yang diselenggarakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIY.