Melihat segala benda mati yang saya punya sekarang, kadang jadi ingat 4 tahun silam. Ya, lebih dari 4 tahun sih. Pokoknya periode ketika saya kemudian meninggalkan segala yang saya punya di Jogja untuk bekerja di Palembang.
Ada dua benda penting milik orang tua yang dulu menjadi kekuasaan saya, si anak pertama.
Nomor 1 adalah komputer yang pada prosesnya diambil bersama mantan nomor 1, dan sering digunakan bersama mantan nomor 2. Komputer yang digunakan berjamaah oleh teman-teman yang silih berganti mampir di kos. Komputer yang sama yang pada akhirnya digunakan mengetik skripsi yang kemudian bikin saya lulus.
Nomor 2 adalah sepeda motor. Waktu itu sepeda motor saya namanya Bang Revo. Lagi manis-manisnya dia karena umurnya baru akan 2 tahun. Walau begitu, dia sudah menjelajah sampai ke belantara Kulonprogo hingga Bantul, blusukan ke Gunungkidul hingga Jogja. Tentu saja Sleman juga termasuk.
Saya lalu pindah ke Palembang.
Tanpa laptop, tanpa sepeda motor.
Sampai 2 bulan pertama, saya adalah pengguna setia angkot Lemabang. Angkot hijau dengan tarif 2500 sekali jalan, jauh dekat. Di bulan ketiga akhirnya ada teman yang punya motor dan bisa dipinjam. Soal komputer, ya saya punya di kantor, tapi nggak mungkin saya ngetik cerpen di kantor kan?
Satu hal yang penting adalah saya bisa melakoni itu semua.
Sampai kemudian saya akhirnya bisa beli si Lepi dan kemudian si BG. Sebuah laptop dan sebuah sepeda motor. Apa yang penting disana?
Bahwa saya punya kepuasan lebih ketika saya memiliki benda-benda itu tidak sebagai pemberian orang tua, tapi sebagai hasil jerih payah sendiri. Jadi, nggak punya apa-apa tidak selalu berarti nggak enak. Rasakanlah sampai kemudian kita puas oleh hasil jerih payah itu.
š