Beda Acara Televisi Dulu dan Sekarang

Sebelumnya, saya hendak mengucapkan turut berduka cita atas meninggalnya Haji Sulam, si tukang bubur yang naik haji. Dan saya baru sadar bahwa selama ini saya salah orang, saya pikir yang Haji Sulam itu si Haji RW. Maklum, walaupun jumlah episodenya sudah melebihi jumlah bulu dada Rhoma Irama, saya hampir nggak pernah nonton sinetron itu sampai ada anak kos baru yang lantas menguasai TV dan remote-nya, serta dengan setia menyaksikan kiprah Haji Sulam di layar kaca.

Haji Sulam adalah profil tayangan televisi masa kini, yang tentu saja beda dengan zaman kuda gigit besi. Kalau dulu, sinetron semacam Panji Manusia Milenium atau Janjiku atau Bulan Bukan Perawan itu ditayangkan seminggu sekali. Jadi kalau tulisannya sudah “bersambung…” itu berarti minggu depan baru dapat sambungannya. Kalau sekarang? Besok juga sudah ketahuan kelanjutannya.

images

Lanjut!

Jadi Anak Sulung, Enak Nggak?

Anak itu tercipta lewat pertemuan sel telur dan sperma yang lagi iseng pengen main-main ke ovarium. Nah, anak pertama adalah sperma pertama yang kebetulan ketemu dan jodoh dengan sel telur yang ditemuinya. Anak kedua? Tentu saja adalah sperma kedua yang sukses bertemu jodohnya di dalam sana.

Nah, jadi bisa dipastikan bahwa nggak ada satupun anak di dunia yang bisa memilih pengen jadi anak nomor sekian. Jadi semisal si sperma X ini punya angka favorit 7 karena menggemari Cristiano Ronaldo, dia nggak bisa milih bakal jadi anak ke-7, soalnya orangtuanya sudah KB. Bakal susah juga kalau dia penggemar JKT48, karena di era modern ini nggak ada orangtua yang anaknya sampai 48.

Yup, menjadi anak sulung adalah sebuah fakta, kenyataan yang kudu dihadapi. Siap atau tidak siap. Saya sendiri mungkin bisa dibilang nggak siap jadi anak sulung. Salah satu yang pernah dikisahkan oleh ahli-ahli sejarah kepada saya adalah bahwa saya pernah dengan tangisan maksimal meminta orangtua membuang adik saya.

“BUANGGG!!!”

Apakah yang terjadi?

[Review] Tulang Rusuk Susu – Indra Widjaya

Setelah dibawa kemana-mana, akhirnya buku “Tulang Rusuk Susu” ini kebaca juga. Fiuh. Ada untungnya juga buku ini saya bawa ke Jogja, karena akhirnya terbaca juga sembari menunggu jodoh bis Pahala Kencana di Terminal Jombor. Saking lamanya menunggu, saya hampir mengganti nama bisnya jadi PHP Kencana.

picture008Memang si Tristan nggak pernah jago kalau disuruh motret, jadinya ya kayak gambar di atas ini deh.

YUK!

[Review] NGENEST Ernest Prakasa

Bermula dari upaya menjadi abang yang baik, akhirnya saya mengantarkan si Dani ke Toga Mas. Oh, iya, soal menyoal bagaimana cerita saya di Jogja, itu ada juga ceritanya. Tentang naik apa saya ke Jogja, juga ada kisahnya.

Nah, namanya pecinta buku, kalau masuk ke Toga Mas, sudah pasti tergoda. Godaan pertama tentu saja godaan ngamuk karena buku saya nggak ada di situ. Godaan kedua adalah godaan beli. Godaan beli itu juga jadi penting karena sebenarnya di kos juga masih ada setumpuk buku yang belum kelar dibaca. Ah, jangankan di kos. Di dalam si PG yang saya bawa ke Jogja saja ada dua buku, Past and Curious sama Tulang Rusuk Susu.

Berbekal niat teguh, akhirnya saya sampai ke kasir dengan satu buku persiapan SNMPTN IPS, satu buku persiapan UN 2014 IPS, dan…

…sebuah buku warna kuning. Judulnya NGENEST.

coverdepan

 

Baca lanjut!

Choir Instan

Tidak hanya mie yang instan di jaman sekarang ini. Sesuatu yang berlabel instan sudah menggejala di segala sisi kehidupan. Sebut saja artis-artis yang hamilnya instan. Dengan prengas-prenges sana sini nikah bulan Januari, eh bulan Mei sudah punya anak pertama. Begitulah contoh hamil instan. Tapi anak pertama itu nggak prematur juga sih. Jadi, ya saya bingung.

Salah satu jenis instan yang lantas saya cicipi adalah dengan menjadi anggota choir instan!

Jadi ceritanya saya diajakin sama seorang teman untuk ikut koor paroki, dalam rangka mau ikut sebuah lomba yang bahkan saya nggak tahu lomba apaan. Berhubung kebetulan jadinya tanggal 7 kemaren saya kosong jadwalnya, ya sudah saya ikut. Apalagi sebagai seorang jomblo berkualitas, malam minggu saya juga kosong. Nah, konfirmasi saya ikut itu adalah tanggal 6 jam 4 sore. Lalu saya baru ikut latihan pertama dan terakhir tanggal 6 jam 8 malam. Dan naik panggungnya? Tanggal 7 jam 12 siang.

Kalau mau dirunut kembali, saya mulai gabung tanggal 6 jam 8 malam, sampai kemudian turun panggung di tanggal 7 siang, itu bahkan belum 24 jam saya bergabung dengan koor ini. Benar-benar instan. Orang PDKT aja nggak banyak yang secepat itu langsung jadian.

Jadian? Hah?

[Interv123] Blessed Survivor

Interv123 baru nongol bersama Bu Bidan, tanggal 20 kemaren. Seharusnya akan nongol lagi tanggal 10. Tapi hari ini saya terpaksa melanggar ketentuan saya sendiri karena tamu Interv123 hari ini buat saya sungguh luar biasa. Dan adalah kerugian besar bagi saya kalau harus egois menahan isi wawancara ini sampai tanggal 10. Lagipula, wawancara dilakukan tanggal 1. Mengetiknya antara tanggal 1 sampai tanggal 2, bulan 12, di tahun 2013. Baca lagi, 1-12-13 ke 2-12-13. Semuanya masih beraroma 123. Jadi pelanggaran masih diperkenankan. Seperti yang saya tulis di salah satu halaman skripsi: setiap hal ada pengecualiannya.

Semuanya bermula dari sesorean tadi–sepulang jadi apoteker beneran, sekali dalam sebulan–saya iseng mengecek TL Twitter. Sebagai penulis yang followernya nambah 3 tapi kurang 5, saya harus eksis bercicitcuit. Saya lalu mendarat di posting Derita Mahasiswa berjudul Tuhan Punya Rencana Lain. Awalnya sih biasa saja, sampai kemudian saya membaca hingga akhir posting itu. Begitu selesai? Saya terhenyak, karena ternyata saya pernah membaca nama di dalam posting itu sebelumnya.

Penulis favorit saya, beberapa bulan yang lalu menulis cerpen berjudul Anak Lelaki di Samping Jendela. Di akhir cerita, ada tulisan begini:

Caramel Macchiato

Ya, tokoh di dalam posting Derma dan tokoh di dalam salah satu cerpen dari penulis favorit saya itu merujuk pada 1 orang yang sama: @shiromdhona.

:)
🙂

Mbohae!