Bayangkan! Mari dibayangkan! Membayangkan apa?
Sebentar, biar aku cerita dulu. Rani dan Aya, dua gadis di kumpulan Dolaners, pada saat yang sama juga ikut di sebuah pertunjukan tari. Sebenarnya ini nggak susah-susah amat untuk diketahui karena mereka latihan dengan terang benderang dihall kampus. Jadi, pulang praktikum sore, udah bisa melihat mereka latihan. Apalagi kalau ke perpus malam-malam.
Nggaya bener ke perpus malam-malam? Ehm, ini khusus aku, maklum, nggak punya komputer. Tong dipahami ya. Tolong banget. Terima kasih. Eh, serasa artis deh.
Dan karena satu kumpulan, orang-orang pertama yang diajak tentunya kumpulan sendiri. Mereka berdua langsung menodong Dolaners yang lain untuk nonton. Pertunjukannya sendiri dihelat di Socitet Jogja, deket Toko Progo. Juga dekat dengan Shopping, pusat buku murah yang disayangi mahasiswa macam aku.
Nah, dengan cerita ini, mari membayangkan. Lelaki-lelaki yang bisanya cuma menghina satu sama lain disuruh nonton kesenian? Orang-orang yang tahu tari aja nggak pernah, disuruh nonton? Entahlah, karena faktor pertemanan, aku dan yang lain setuju untuk nonton. Dan rata-rata dalam umur yang masih belasan, ya baru kali ini nonton pertunjukan tari.
“Mangkat jam piro?” Sebuah SMS mampir ke handphone-ku. Yah, inilah khas Dolaners, janji jam berapa, datang jam berapa. Untuk memastikan kalau sudah ada orang, ya SMS dulu.
Aku yang datang dengan odong-odong merah bernama Alfa memang selalu duluan. Bukan karena akuon time, tapi lebih karena aku menyisihkan waktu untuk perjalanan menggunakan odong-odong berasap. Lebih ke situ sih arahnya.
Sampai Socitet, tempat itu masih sepi nyenyet. Aku diam-diam tongkol disana berharap teman-teman berdatangan. Tempat ini lumayan tua juga dan tampaknya memang berbau seni sekali. Agak-agak merinding kalau sendirian.
Nah, panitia mulai membuka lokasi. Teman-teman juga mulai berdatangan.
“Arep ngopo kowe?” tanya Roman.
“Lha kowe? Emang mudeng tari po?” ujar Chiko.
“Paling yo micek” timpal Bona.
Yah, beginilah kalau lelaki-lelaki tanpa pengetahuan dikumpulkan jadi satu, disuruh melihat karya seni.
Aku dan Dolaners yang lain masuk ke dalam ruang pertunjukan yang mirip bioskop itu. Tempat duduk dibuat berjenjang dan berfokus ke panggung di tengah. Hmmm.. seru juga. Naluri pengen tampilku kumat. Padahal jelas-jelas nggak ada yang bisa ditampilkan selain rambut kribo yang sudah kupangkas sejak lulus SMA.
Layar perlahan terbuka dengan lampu padam. Ah, ini pertunjukan mulai juga. Kira-kira aku ngerti nggak ya?
Penari demi penari muncul, datang dan pergi. Ada satu sih yang menjadi fokus penampilan. Dan sesungguhnya tanpa dialog dan penuh gerakan tari ini, otak minimalis macam aku sulit mengerti. Aku sih lebih sibuk menanti kapan Rani dan Aya nongol. Mereka kudu tanggung jawab sudah mengajak kami nonton kesini.
Rani dan Aya kemudian memang muncul, berganti-ganti kostum dengan peran yang mungkin berbeda-beda.
“Kae Rani dudu?” tanya Bayu sambil menunjuk seorang gadis di panggung.
“Mboh,” sahut Bona. Sangat jelas dan wajar tidak mengerti karena semuanya bercadar. Hanya kelihatan matanya. Ini pas adegan bercadar, mungkin sedang adegan spesial pakai cadar.
“Iku ngopo?” tanya Roman dari kursi belakang.
“Mboh,” jawab Chiko. Dan jelaslah, bahwa lelaki-lekaki disini benar-benar nggak paham tari. Tak pikir tadi cuma aku saja, eh makhluk-makhluk ghaib di sekitarku mengalaminya juga ternyata. Baiklah.
Dua jam menyaksikan pertunjukan tari membuat aku mulai sedikit paham tentang seni yang satu ini. Aku sendiri memang kurang suka nonton film, kecuali bokep. Itupun karena Roman memutar koleksi barunya yang diperoleh dari Prima. Ampun! Anak muda masa kini!
Tapi tenang, ini yang nonton pria sama pria dengan mode malas dan sangat suka menggeser kursor secepat-cepatnya. Lha ini nonton bokep apa nggak sih? Giliran adegan yang gituan malah dicepetin. Inilah metode nonton bokep yang penuh sopan santun.
Gerakan demi gerakan plus sedikit narasi membawa penonton pada tensi pertunjukan yang meningkat. Lumayan kerasa.
Pada akhirnya, pertunjukan pun berakhir dengan layar yang tertutup perlahan. Nah, ada Aya di tengah-tengah dengan pose mengangkat kedua tangan ke atas.
“Kuwi, tangan’e Aya koyo kentongan maling,” bisik Roman yang ditimpali tawa Bona.
Aku yang di bangku depan mulai tersenyum dan lanjut dengan ketawa. Yah, Aya memang punya badan yang agak besar meski sejatinya proporsional. Cuma pas bagian tadi memang terlihat agak ‘besar’.
Tepuk tangan membahana ke seputaran arena. Kami menunggu ketika penonton lain meninggalkan tempat itu satu per satu. Tak lama, Rani dan Aya keluar dari balik panggung dan menuju ke teman-temannya yang sama sekali nggak ngerti tari.
“Bagus nggak?” tanya mereka.
“Bagus kok. Apik. Apik,” ujar Bayu.
“Iyo keren,” timpalku.
Roman dan Bona masih sibuk cekikan di belakang.
“Opo to?” Aya bertanya penasaran.
“Nggak. Roman ini lho, Ya. Kurang ajar,” kata Bona.
“Kok aku sih? Bona kok.”
Dan dua lelaki saling lempar tanggung jawab setelah cekikikan. Wajar untuk Dolaners.
“Anu, itu tanganmu katanya kayak kentongan maling,” sebut Bayu yang disambut ledakan tawa yang lain. Termasuk Aya.
Yah, ejek mengejek fisik kadang memang membuat sakit hati, kalau dicerna dengan cara yang salah. Semua bisa demikian. Kami dengan senang hati mencerca Bona yang punya dengkul suka selingkuh alias gemar mlingse. Kami juga rutin menghina dina Roman yang badannya setengah besar. Mereka juga ganas mengajar Yama yang hobi salah urat leher alias tengeng. Pun dengan aku, karena kelebihan pigmen.
Ini sesuai dengan prinsip utama “Hanya Menjatuhkan Dan Menginjak-Injak, Itulah Persahabatan Kami.”
Guyonan kentongan maling adalah penutup yang pas di malam hari yang dingin, menghangatkan suasana dan mengeratkan persahabatan.
Like this:
Like Loading...