Tag Archives: galau

Mantan Gebetan: Refleksi Tentang Kematian Cinta

Cinta adalah hal yang indah, menyenangkan, dan membawa harapan. Namun, pada suatu saat, cinta tersebut bisa berakhir dan kadang-kadang berakhir dengan sakit hati. Sama seperti halnya dengan mantan gebetan. Mantan gebetan adalah seseorang yang pernah kita cintai, namun kita harus merelakan mereka pergi.

Banyak orang yang merasa sedih atau kesal ketika harus merelakan mantan gebetan pergi. Mereka bisa merasa ditinggalkan atau tidak memahami mengapa cinta yang pernah ada harus berakhir. Namun, pada kenyataannya, relasi cinta yang kandas memiliki beberapa manfaat bagi kita.

Pertama, mengalami putus cinta membuat kita memahami arti sebuah cinta yang sejati. Kita belajar bagaimana untuk mencintai orang yang tepat, bukan hanya orang yang ada di depan mata. Kita juga belajar bagaimana untuk menghargai orang yang kita cintai dan tidak membiarkan mereka pergi.

Photo by Isabella Mariana on Pexels.com

Kedua, putus cinta juga membuat kita menjadi pribadi yang lebih kuat. Kita harus mengatasi sakit hati dan menemukan cara untuk bangkit dan melanjutkan hidup. Kita menjadi lebih dewasa dan memahami bahwa hidup tidak selalu indah, namun kita harus terus bergerak maju.

Ketiga, relasi cinta yang berakhir membantu kita memfokuskan pada hal-hal yang lebih penting dalam hidup. Kita belajar bahwa cinta adalah bagian dari hidup, bukan segalanya. Kita menjadi lebih fokus pada keluarga, karir, dan hobi.

Dalam kesimpulan, mantan gebetan adalah bagian dari proses belajar dan tumbuh dalam hidup. Kita harus menerima kenyataan bahwa cinta bisa berakhir dan memahami bahwa hal ini memiliki manfaat bagi kita. Kita harus terus bergerak maju dan mencari cinta yang sejati. Cinta yang sejati akan datang pada waktunya dan kita harus siap untuk menerimanya.”

Catatan: postingan ini sepenuhnya dibuat sama ChatGPT~

98 Hal Yang Pernah Dilakukan Anak Farmasi di Laboratorium

98HalAnakFarmasi

Dua hari ngubek-ngubek laboratorium yang kurang lebih setara canggihnya sama kantor lama bikin rindu masa-masa di laboratorium. Mengingat saya nggak pernah jadi QC, maka yang saya maksud rindu itu adalah masa-masa kuliah. Ya, masa-masa yang sama persis ketika saya mengenangnya via 97 Fakta Unik Anak Farmasi. Jadi nggak usah berlama-lama, berikut ini hasil mengenangnya: 98 Hal Yang Pernah Dilakukan Anak Farmasi di Laborasitorustorium:

Selengkapnya!

Menikmati Martabak 65A Nan Legendaris

Jpeg

Sejujurnya, saya bukan sengaja hendak menjadi manusia tukang review martabak. Kalaulah postingan ini tidak begitu jauh jaraknya dengan postingan martabak yang lain, itu lebih karena saya doyan martabak kebetulan belaka. Kalau kata orang keren, cosmological coincidence. Tsah. Ini semua terjadi karena dua hal. Satu, saya ingin makan martabak. Dua, pacar ingin makan di Pecenongan. Supaya mengakomodasi keduanya, maka kami berdua akhirnya makan Martabak Pecenongan.

Bagi saya, martabak adalah suatu pertanda keberlangsungan perekonomian masyarakat. Pertama, martabak bukan makanan primer. Martabak tidak bisa disubstitusikan dengan nasi. Ya, menurut ngana sajalah. Kedua, harga martabak boleh dibilang tidak murah. Mungkin martabak mini di Pasar Genjing murah, 4000 perak saja. Tapi martabak dengan ukuran normal itu diatas 20-30 ribu untuk rasa yang paling plain, kacang coklat. Artinya, ketika masih ada manusia yang beli martabak, berarti ada uang berlebih yang menandakan perekonomian baik. Nah, bagaimana jika harga martabaknya tembus seratus ribu lebih, yang beli ngantre pula? Cukup bisa menyebut bahwa perekonomian masyarakat Jakarta–khususunya–berada dalam posisi tangguh, kan?

Jadi begini, pada suatu malam minggu nan cerah, pergilah saya dan pacar naik si BG dari Benhil ke Pecenongan. Melewati rute umum, Sudirman ke Dukuh Atas lanjut Pasar Rumput lantas Manggarai hingga Matraman dan Kramat Raya, si BG melaju terus via Gunung Sahari hingga melewati Mal Golden Truly. Nah, tinggal belok kiri, kami sudah disambut dengan gapura khas Pecenongan. Sejujurnya, saya tidak terlalu tahu Pecenongan. Bagi saya yang lama tinggal di Cikarang, Pecenongan adalah Jalan Kedasih dan Kasuari di sekitar Jababeka. Padahal, jelas-jelas pada tahun Pecenongan yang asli mulai tumbuh, Pecenongan di Cikarang mungkin masih jadi tempat jin buang anak.

Persis begitu belok kanan, di kanan jalan sudah tampak tulisan ini:
wp-1453124199068.jpegPatokan yang jelas untuk belok kanan dan lantas parkir. Tulisan itu menjadi pembeda karena persis sesudah warung itu ada banyak warung martabak yang lain, sama-sama pakai nomor pula. Namun karena Pacar bilang bahwa Martabak 65A ini adalah pelopor martabak premium, maka saya akhirnya memarkir si BG dengan tertib dan damai. Agak kaget, sih, awalnya karena pukul 20.00 lebih sedikit pelanggannya sudah sembilan puluh sekian. Saya tahunya ya karena petugas Martabak 65A memanggil nomor antrean yang sudah kelar. Kalau dibandingkan dengan martabak yang saya review sebelumnya ini malah dua kali lipat. Buka dua jam, pelanggan seratus. Saya jadi heran, kenapa bisa begini? Ini edan. Orang-orang dipaksa mengantre SATU JAM hanya untuk sebuah kenangan martabak.

Selengkapnya tentang Martabak 65A

Custom Tshirt dan Hadiah LDR Lainnya

Sesungguhnya, saya masih heran dengan manusia-manusia yang menjalani Lelah Dikibulin Relationship alias LDR. Bagaimana mungkin menjalin kisah kasih di selokan dengan seseorang yang nggak mesti ada di sisi? Tapi, ya gitu. Ada saja yang memilih jalan itu, dan ada banyak sekali yang sukses. Tentu saja karena visi hubungan LDR itu rapi dan mantap seperti para pengusaha kaos custom. Contoh suksesnya, ya setidaknya saya setahun LDR London-Jakarta, dan baek-baek saja, seperti kata Kak Pinkan Mambo.

Nah, namanya LDR itu harus ada esensi kejutannya. Tentu saja kejutan yang dimaksud bukan saja tiba-tiba kirim design kaos undangan pernikahan yang isinya antara dia dan orang lain. Namun kejutan berupa hadiah-hadiah sederhana nan kece merona yang dapat membuat pasangan seolah-olah ada di sisi dan bisa dikecup.

Muach!

Terus apa dong yang bisa dijadikan hadiah LDR? Ini ada beberapa yang bisa saya sarankan. Oh, iya, mungkin saya bisa minta tolong dipahami bahwa LDR dalam tulisan ini tidak termasuk LDR Beda Rumah Ibadah, yha! Seriusan.

Bunga Bank
Ini khusus untuk diberikan kepada cewek. Tentu saja, kalau cowok mah lebih doyan diberikan kado berupa gadis bernama Bunga. *kemudian ditabok mbak pacar*.

bunga

Memberikan bunga itu sepintas sulit, apalagi bagi yang LDR-nya luar ngeri negeri. Namun enaknya dunia masa kini adalah banyak hal yang bisa di-online-kan, selain titip teman. Maka, dengan lancar dan bahagia saya pernah berhasil mengirimkan bunga kepada pacar di London, dan alhamdulilah dianya klepek-klepek. Uhuk!

Postcard
Yah, lagi-lagi ini khusus LDR luar negeri, soalnya kalau di Indonesia agak kurang biasa. Wong saya nyari kartu pos itu setengah mati, malah lebih mudah nyari Print Tshirt, lho. Padahal jelas-jelas saya nyari di kantor pos. Pos satpam.

images

Kado ini menarik apalagi ketika yang LDR-nya lagi di Eropa. Lagi di Hungaria tinggal mampir ke kantor pos, tinggal kirim deh ke Indonesia. Lagi di Roma, juga tinggal melakukan hal yang sama. Postcard itu boleh dibilang hadiah yang menarik untuk menandakan sedang LDR. Soalnya kalau nggak LDR, ngapain juga kirim-kiriman kartu pos?

Video
Merekam kegiatan sehari-hari dengan model tertentu lantas diunggah ke YouTube atau dikirimkan personal ke kekasih yang lagi jauh di mato juga adalah ide menarik. Lagipula di era kekinian, ngedit video itu semudah kita mencari Online Tshirt Creator.

images (1)

Semisal potongan-potongan 1 detik tapi di tempat-tempat yang berbeda, kirimkan testimoni atau ungkapan rindu kepada kekasih via video itu dan niscaya bakal bikin mbrebes mili yang air matanya dapat dihapus dengan kaos custom si kekasih.

Custom Tshirt
Nah, selain beli kembang online, kita juga bisa melakukan design Tshirt online. Dan lebih dari sekadar design your own Tshirt, kita juga bisa melakukan print kaos sekalian. So, desain dan print, lalu bayar dan kemudian pakai, deh. Semuanya itu bisa kita lakukan via utees.me

Di utees.me ini kita dapat memilih desain-desain kece seperti yang bisa kita simak disini. Namun kalau pengen desain Tshirt sendiri, itu juga bisa. Bahkan kalau desain kita laku dibeli orang, kita malah dapat reward sebesar 1,11 Dollar. Nah loh, lumayan bisa ngaku ke calon mertua kalau kita dibayar pakai Dollar, kayak ekspatriat.

Jadi, ketika melakukan desain Tshirt online via utees.me untuk kaos custom yang hendak kita hadiahkan kepada kekasih hati nun jauh disana, kita bisa pilih model. Kalau mau yang model biasa, reguler. Kalau pacarnya cewek, pilih Female. Nah jika pacarnya punya anak bocah, ambil Kids.

utees1

Dan jika kita agak keder kalau bikin kaos custom sendiri, bisa lho bikin desain kaos dengan template-template menarik yang sudah ada. Bisa juga mengunggah gambar sendiri, atau jika sekadar hendak berkata-kata bisa insert Text.

utees2

Oh, jangan lupa, kalau habis pasang template, nongol mbak-mbak kece ini:

utees3

Begitu desain selesai, kita bisa Save and Publish, atau kalau masih malu-malu unyu atau desainnya adalah foto kekasih ya tinggal Save As Private.

utees4

Soal privacy ini, begitu kita sumbit, muncul lagi si mbak-mbak kece untuk memberi peringatan tentang desain Tshirt online yang kita miliki:

utees5

Begitu selesai dan pengen diorder, harganya cukup 144 ribu rupiah saja. Itu kurang lebih setara uang harian PNS-PNS yang pada diklat di Cimory Ciawi. Jadi yah masih terjangkau, pokoknya.

utees6

Kita sudah berhasil difasilitasi untuk mengirimkannya kepada kekasih hati tanpa perlu repot-repot ke mamang-mamang sablon dengan kemungkinan kena minimum order dan kita pulang dalam tangis sambil membawa desain kaos yang sudah dibuat dengan sepenuh hati. Kan syedih. Hiks.

Buat yang LDR, nih contoh karya saya. Heuheu.

utees7

Nah, tunggu apalagi, berikan kejutan berupa Custom Tshirt yang kamu desain sendiri melalui online Tshirt creator kepada kekasih hati, niscaya LDR kamu bakal awet, alias bakal LDR terus. Eh, salah doa, yha?

First Anniversary

Selama bertahun-tahun, isi blog ini adalah bentuk penggalauan. Baik itu penggalauan individual, semisal tentang LDR sama pacar yang punya teman dekat satu kota, hingga penggalauan umum semacam cinta diam-diam. Sebenarnya, konten tersebut berasal dari penggalauan pribadi yang digeneralisasikan. Begitulah kira-kira. Kenapa galau? Sebenarnya karena saya itu jomlo menahun, sebuah terminologi yang didefinisikan sebagai berada dalam keadaan sendiri selama bertahun-tahun.

Sayap Citilink

Saya kemudian sempat berada dalam fase-pengen-jadi-romo-gara-gara-jomlo-menahun. Keinginan itu saya batalkan karena tidak baik untuk kemaslahatan umat. Jadi jomlo itu kadang menyenangkan, memang, tapi menjadi tidak menyenangkan ketika mudik, lalu ditanya, “calonnya orang mana?”, sebuah pertanyaan yang bikin tangan ingin membekap mulut si penanya untuk kemudian disumpeli jeruk mandarin. Belum lagi ditunjang kalau kumpul sama teman-teman Dolaners, yang lain sudah bawa anak, saya masih gini-gini aja. Robert sampai bilang, “Ojo nganti anakku wis kuliah, kowe jik PDKT wae…

Continue Reading!

Tentang Kebelet Bilang Cinta

Salah satu hal yang saya sesali di tahun 2014 ini adalah minimnya karya monumental. Kalau tidak karena project bukunya Jamban Blogger yang judulnya Galau: Unrequited Love sudah bisa dipastikan tahun 2014 ini saya nihil buku. Padahal sejak 2012 saya sudah mewarnai dunia persilatan dengan buku-buku antologi yang berujung di OOM ALFA tahun 2013. Selain itu, kiranya semua penyesalan tertutupi oleh fakta bahwa saya punya pacar tahun ini.

Entahlah, saya itu kalau nggak sreg sama cewek, eh, plot, dijamin nggak semangat nulisnya. Ada 2-3 outline yang saya serahkan ke Elly untuk harapan buku kedua, tapi nyatanya juga saya sendiri nggak sreg sama outline itu. Berakhirlah dia pada tumpukan file yang mungkin akan kena defrag, saking jijiknya si Tristan sama isi outline itu.

Sampai kemudian Bukune bikin KAMFRET. Awalnya saya sih ngerasa nggak enakan buat ikutan, soalnya itu toh penerbit saya sendiri. Tapi ketika kemudian saya melihat di Twitter banyak penulis lain yang juga ikutan, maka saya bersemangat untuk ikutan. Bahkan, karena terlalu semangat saya sampai bersyukur bahwa KAMFRET itu diperpanjang sama Bukune. Padahal, dulu saya males banget sama lomba yang diperpanjang, sementara kita sudah buru-buru mengejar deadline. Dunia memang mudah berubah, Bung!

Continue reading!

Kembali Bersama Pelangi

“Bagi yang pernah tinggal di Jogja, setiap titik adalah romantis.”

Rio tersungging membaca sebait kalimat yang tertulis di urutan 123 Fakta Unik Mahasiswa Jogja itu. Sebuah bacaan yang menarik sebelum menaiki penerbangan pagi menuju sebuah kota yang setiap titiknya adalah romantis. Rio sepakat dengan kalimat itu, tentu saja karena dia menghabiskan 7 tahun penuh cerita di Jogja. Kisah yang akan segera disambutnya seiring panggilan boarding yang paralel disertai flight mode untuk ponselnya. Tentu saja Rio tidak dapat membaca ariesadhar.com dari dalam pesawat.

Tidak butuh waktu yang cukup lama untuk mencapai Jogja. Bahkan jika penerbangannya adalah malam hari, waktu menanti terbang karena antrian pesawat justru lebih lama daripada terbang itu sendiri. Untungnya Rio menaiki penerbangan pagi yang masih lancar. Lima puluh menit lamanya waktu sejak roda pesawat beranjak dari landasan Soekarno Hatta hingga kemudian mata Rio bisa menyaksikan Stadion Mandala Krida dari jarak yang tidak jauh.

Mandala Krida
Mandala Krida

Selamat datang, kenangan!

Mbohae!

Jadi Anak Sulung, Enak Nggak?

Anak itu tercipta lewat pertemuan sel telur dan sperma yang lagi iseng pengen main-main ke ovarium. Nah, anak pertama adalah sperma pertama yang kebetulan ketemu dan jodoh dengan sel telur yang ditemuinya. Anak kedua? Tentu saja adalah sperma kedua yang sukses bertemu jodohnya di dalam sana.

Nah, jadi bisa dipastikan bahwa nggak ada satupun anak di dunia yang bisa memilih pengen jadi anak nomor sekian. Jadi semisal si sperma X ini punya angka favorit 7 karena menggemari Cristiano Ronaldo, dia nggak bisa milih bakal jadi anak ke-7, soalnya orangtuanya sudah KB. Bakal susah juga kalau dia penggemar JKT48, karena di era modern ini nggak ada orangtua yang anaknya sampai 48.

Yup, menjadi anak sulung adalah sebuah fakta, kenyataan yang kudu dihadapi. Siap atau tidak siap. Saya sendiri mungkin bisa dibilang nggak siap jadi anak sulung. Salah satu yang pernah dikisahkan oleh ahli-ahli sejarah kepada saya adalah bahwa saya pernah dengan tangisan maksimal meminta orangtua membuang adik saya.

“BUANGGG!!!”

Apakah yang terjadi?

Review: Cinta Dengan Titik (Bernard Batubara)

#virtualbooktour #day8. Gila. Mau ngetik review aja butuh perjuangan minta ampun menyembah-nyembah ke modem supaya sinyalnya bagus. Fiuh. Iya, saya tidak terlalu suka mengetik di aplikasi pengolah kata lalu kemudian memindahkannya ke blog. Kenapa? Kurang suka aja, titik.

Review saya kali ini adalah novel Cinta. milik Bernard Batubara, seseorang yang sosoknya justru saya tahu karena pernah menjadi tokoh di sebuah novel. Kebetulan juga, saya pernah ikut di project-nya Bara yang bernama Radio Galau FM Fans Stories. Sejujurnya nih, Cinta. adalah novel pertama Bara yang saya baca. Biasanya kalau yang pertama ini kesannya lain, tidak ada ekspektasi berlebihan, atau juga tidak ada perasaan meragukan. Biasanya sih.

Kebetulan lagi, Cinta. ini bersanding dengan buku saya di website Bukune. Nemplok dulu ah, biar ikutan tenar. Uhuk.

Bukune

Ini kok malah iklan?

Baiklah, mari kita serius.

Ada satu kalimat di Cinta. ini yang langsung saya tulis di Twitter ketika saya sedang membacanya, dan kalimat itu adalah:

Mengapa cinta membuatku mencintaimu ketika pada saat yang sama kau mencintai orang lain yang bukan aku?

Tanpa saya sadar, kalimat di atas ini ternyata juga menjadi kalimat pertama di blurb. Apa artinya? Ya, kalimat ini penting bagi jalan cerita di novel ini. Plus, kalimat di atas tadi juga mengandung tiga kata cinta dalam 1 kalimat. Hal ini rada penting buat saya karena sejatinya saya sudah bertanya-tanya dari awal, kenapa judul novel ini harus Cinta. alias Cinta Dengan Titik, yang di covernya juga harus ditambahkan cara membacanya? Dan sebenarnya, saya baru benar-benar menemukan filosofi judul ini begitu membaca cerita Mbak Iwied sebagai Editor.

Jadi pada intinya, saya sendiri harus berjuang menemukan makna Cinta Dengan Titik dan korelasinya dengan isi. Bagi yang belum baca, daripada berat-beratin pikiran, mending lupakan keinginan untuk mencari tahu hubungan judul dengan isi. Nanti juga ketemu kok. Tenang saja.

Cinta. berkisah tentang Nessa. Bara sendiri bilang bahwa Nessa adalah tokoh utama perempuan pertama yang dia garap. Sejatinya kalau Bara nggak bilang di blognya, saya juga nggak akan ngerti. Gaya bertutur dalam cerita Bara memang akan lebih mudah masuk ke dalam karakter perempuan, itu sudah saya temukan sejak membaca ceritanya di RGFM Fans Stories.

Nessa adalah “korban” perselingkuhan, yang lantas kemudian terjerat dalam pusaran dengan kata kunci yang sama. Disitu kemudian muncul nama Demas, lalu Endru, dan kemudian Ivon serta Bian. Nessa menjadi pelaku hubungan-resmi-yang-ada-di-atas-hubungan-resmi-lainnya. Buat saya, itu ngenes.

Sebagai laki-laki yang pernah mengganggu kehidupan berpacaran orang, saya sendiri kurang suka dengan Demas. Okelah, dia memperjuangkan cinta yang dipilih oleh hatinya, tapi pada saat yang sama dia juga mempertaruhkan kelelakiannya dalam sebuah komitmen ganda. Dalam beberapa konteks, saya justru mempertanyakan kelelakian Demas. Di posisi ini, justru saya tertarik dengan posisi Endru, yang selalu ada bagi Nessa. Kebetulan pula, saya pernah ada di posisi Endru, juga dengan pernyataan yang sama, dan dengan penolakan yang sama.

*toss dulu sama Endru*

Ending di novel ini cukup menarik bagi saya. Sebuah perpisahan nyatanya dibutuhkan untuk mengetahui sebenar-benarnya perasaan yang ada dalam diri kita. Dan itu yang kemudian terjadi.

Saya menghabiskan novel ini hanya dalam beberapa jam saja, lalu kemudian telat bangun dan telat berangkat kerja besok harinya. Maksud saya adalah bahwa novel ini tidak cukup berat untuk dituntaskan dalam waktu cepat. Kan ada tuh novel-novel yang butuh jeda permenungan terlebih dahulu sebelum kemudian lanjut membaca.

Di Cinta. ini akan ada pergulatan dari pembaca mengenai siapa yang ada di posisi benar: orang pertama, orang kedua, atau orang ketiga. Dan bahwa kita tidak selalu bisa menjustifikasi bahwa orang ketiga yang selalu salah. Sebenarnya, orang ketiga juga nggak akan ada kalau orang pertama tidak mulai. Makanya saya nggak suka sama Demas.

Soal review jalan cerita, beberapa review yang lain dan yang akan datang mungkin akan lebih menarik. Saya sendiri lebih asyik menelisik soal pemilihan nama tokoh yang bagi saya aneh-aneh. Ya, Nessa yang punya inisial NEM, saya bahkan jarang menemukan setiap kata yang ada di nama itu sebagai bagian dari nama orang. Demikian juga dengan Demas, apalagi Endru. Memang, kalau nama terlalu biasa, kita juga malas baca novel, tapi dengan tiga nama yang bagi saya aneh semua ini, saya juga agak terganggu.

Saya juga menyoroti sudut pandang yang diambil Bara perihal pekerjaan Nessa dan Demas. Plus, pekerjaan Endru yang saya tidak tahu aslinya apa. Maklum, saya orang pabrik, meski cinta menulis. Jadi soal copywriter freelance plus editor, itu asli hanya ada di awang-awang saya.

Kemudian, Bara dengan sukses membuat saya merasa gagal dalam hal eksplorasi Jogja. Hampir delapan tahun saya di Jogja, tapi nggak pernah sekalipun saya tahu tempat-tempat yang disebut di dalam Cinta., kecuali Amplaz.

JADI DI JOGJA SAYA NGAPAIN AJA?

Oke. Santai.

Dan satu lagi adalah soal kebetulan. Yah, pertemuan Demas dan Nessa di pesawat, lalu dilanjutkan pertemuan berikutnya bagi saya adalah soal kebetulan. Mbak Windy pernah menjawab twit saya bahwa kebetulan tidak masalah asal ditunjang oleh hubungan sebab-akibat yang jelas. Nah, jadi apakah pertemuan itu bermasalah dari sisi plot?

Nggak. Sama sekali tidak. Saya itu hanya iri hati karena dari puluhan kali naik pesawat, nggak pernah mengalami duduk bersebelahan sama cewek yang sedang baca buku puisi. Padahal kalau ada, kan lumayan buat pengisi hati yang hampa ini.

*eh curhat*

Novel ini juga bikin saya makjleb di beberapa konteks, seperti: pertanyaan orang tua soal pasangan, teman akrab yang sudah menikah, sampai durasi waktu menjomblo. Buat saya, Bara menggunakan banyak sisi kontekstual yang tepat untuk membuat pembaca merasa “ini gue banget”, sehingga kemudian pembaca bisa memilih sisi itu, dan muaranya adalah keinginan mengikuti jalan cerita hingga usai.

Kalaulah ada diksi dan konteks yang agak bikin bertanya-tanya, ada di halaman 83 dan 87. Semacam kontras, walau sebenarnya tidak ngaruh benar dengan jalan cerita. Dan kalaulah ada adegan yang bikin ehem-uhuk-uhuy-ahay, itu ada di halaman 94.

Apa itu?

Makanya beli dan baca ya. Jangan lupa beli Oom Alfa juga. #tetepngiklan

Begitu saja hasil olah batin dan olah pikir saya terhadap novel Cinta. milik Bara, semoga berkhasiat bermanfaat.

bagaimana jika kita bicarakan satu hal saja. Cinta. Tanpa ada yang lain setelahnya. Kita lihat ke mana arahnya bermuara…

🙂

PS: Bara juga sukses mengingatkan saya pada seseorang, melalui sebuah menu minuman kopi, persis di halaman 100. *sambil nyanyi terjebak nostalgia*

Selepas Nada

Tepuk tangan membahana di setiap sudut gedung konser ini. Tidak ada satu sudutpun yang lepas dari resonansi yang dihasilkan oleh ratusan pasang tangan yang beradu satu sama lain. Ini indah. Sebuah bayaran paling sederhana atas sebuah kerja keras.

choir

We want more.. We want more..

Suara tepuk tangan tadi, mulai disertai oleh kata-kata dari pemilik tepuk tangan. Mereka mau lagi? Aih, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada ini.

Mbak Risa masih berada di posisinya, di bagian tedepan panggung, menghadap kami para penyanyi, dan tentu saja membelakangi penonton. Bibirnya bergerak membentuk satu kata, dan kebetulan aku tidak dapat memahami kata yang hendak diucapkan oleh Mbak Risa.

Opo ki?” tanyaku pada Bang Roman, yang berdiri persis di sebelah kananku.

“Yogyakarta.”

“Oh.”

Konser yang sebenarnya telah berakhir ini akhirnya memberikan lagu tambahan. Okelah. Menurut pengalamanku, energi para penyanyi itu paling besar justru di akhir, sesudah konser yang sebenarnya selesai. Kenapa? Karena disitulah energi eksitasi paling tinggi tercipta.

Intro dibunyikan oleh pemusik, penonton yang masih bertahan segera bertepuk tangan mengiringi intro lagu paling ternama bagi setiap orang yang pernah hidup di Jogja.

“Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu…”

Maka bait-bait mulai terlontar, tentunya diiringi oleh nada yang merdu. Semuanya berpadu dan menyusup ke segala sisi yang ada di gedung ini. Meski sejatinya, Yogyakarta itu adalah lagu galau, tapi menyertakan konteks sebuah kota penuh kenangan ini sejatinya sudah berhasil membuat orang yang mendengar justru merasa terkenang, bukannya galau.

“Senyummu… Abadi…”

Enaknya jadi anak choir laki-laki itu adalah selalu diletakkan di belakang. Dan menjadi lebih enak, ketika kemudian aku bisa selalu memantau seorang gadis yang ada di bagian Sopran. Seorang gadis yang tersenyum manis kepada penonton ketika lirik terakhir barusan didendangkan. Aku mengamati itu dengan jelas, dan tidak ada keraguan sama sekali bahwa itu adalah senyum paling indah di dunia.

Lepas konser adalah hal yang lain lagi. Semua penyanyi akan berserak ke keluarga masing-masing, atau ke teman masing-masing. Ucapan selamat selalu terlontar setiap kali seorang penyanyi bertemu keluarga atau temannya.

Lelah sontak lenyap kalau begini. Percayalah.

Tidak serta merta setiap penyanyi akan bubar jalan sih. Ada kalanya mereka justru saling bersalaman dan berpelukan sendiri terlebih dahulu. Bahwasanya latihan choir apalagi untuk konser itu adalah hal yang berat, itu adalah fakta tidak terbantahkan. Bahwa ada banyak friksi yang mungkin terjadi, itu juga ada realitas interaksi antar manusia. Bayangkan saja ketika dua minggu terakhir, kami para penyanyi latihan setiap hari selama lebih dari 6 jam. Mengulang dan mengulang terus lagu yang sama. Semuanya demi penampilan yang istimewa hari ini.

Sejatinya konser ini akan menjadi sangat emosional bagiku. Tentunya karena ini adalah konser terakhirku bersama choir ini. Jalan kehidupan sudah menuntunku ke tempat yang lain, yang meminta untuk ditaklukkan. Maka, malam ini mungkin adalah untai nada terakhir yang lepas dari bibirku di kota ini.

Mungkin. Kita kan tidak tahu tentang masa depan.

“Wei, selamat ya bro! Keren tadi bass-nya,” ujar Tini, teman kuliahku yang jadi penonton di konser ini.

“Hahaha. Iya dong. Thanks ya.”

“Eh, Leona. Selamat lho. Apik banget tadi.”

Tini kemudian menyapa Leona, yang entah bagaimana ceritanya sudah ada 1 meter dari posisiku berdiri.

“Makasih ya, Mbak.”

Ah, Leona ini. Kok bisa-bisanya disini? Baiklah, ini dia gadis sopran yang senyumnya paling manis itu. Inilah gadis sopran yang selalu membuat sudut mataku sekecil apapun akan berpaling dan memperhatikannya. Inilah gadis sopran yang sudah 7 tahun lamanya menjadi ratu di dalam hatiku. Dan inilah gadis sopran yang selama 7 tahun pula hanya menjadi impianku.

Tenang saja, 7 tahun itu adalah rahasia rapat milikku sendiri. Aku bahkan masih bisa berpacaran dengan dua gadis lain berturut-turut, meski di hatiku jelas-jelas hanya ada Leona. Yah, terkadang kita harus membedakan impian dan realita.

7

Cuma, entah kenapa, malam ini ada rasa membuncah dalam hati. Memohon untuk segera dilepaskan. Otakku mencoba melawannya, lagi-lagi demi membedakan impian dan kenyataan. Tapi kali ini hati mengalahkan otak, dia menuntunku untuk mendekati Leona. Dasar hati, ada banyak hal yang mudah kenapa dia memilih yang sulit?

“Na, pulang sama siapa?”

“Sendiri dong, Bang. Kenapa?”

“Langsung pulang?”

“Iyalah. Udah malam gini.”

“Hmmm, kalau tak ajak ke McD Jombor mau? Nanti pulangnya tak barengin deh.”

“Ngapain?”

“Pengen ngobrol aja. Kan besok aku udah mau cabut dari Jogja.”

Leona tampak berpikir sejenak. Segaris keraguan tampak dari raut mukanya. Toh aku pun pasrah kalaulah itu akan menjadi sebuah penolakan.

“Tapi nggak lama-lama lho ya, Bang.”

* * *

“Tadi sopran ada yang salah kan, pas lagu pembukaan?” tanyaku sambil meletakkan nampan berisi dua paket nasi ayam plus kentang, disertai dua gelas minuman coke.

“Iya kayaknya. Tapi di lagu yang sama bass-nya nggak kedengeran.”

“Ya iyalah. Rendah banget. Ditinggiin kasihan soprannya.”

Bagian terbaik dari menjadi anggota choir adalah ketika kita mempertahankan martabat jenis suara kita sendiri.

“Yang penting dapat tepuk tangan to Bang?”

“Hooh. Kira-kira kapan meneh ya, dapat tepuk lagi?”

“Nyanyi wae di jalanan. Paling juga ditepukin.”

“Enak wae. Gini-gini aku kan bass yang berkelas.”

Nggaya banget kowe, Bang.”

Ayam goreng yang berminyak itu segera masuk ke mulut kami masing-masing. Disela saos sambal warna merah dan sesekali bersama kentang. Seruputan coke kemudian menjadi penyerta yang manis. Tidak disarankan untuk sering-sering, semata-mata karena harganya belum cocok untuk ukuran dompetku.

Pada dasarnya, makan cepat adalah takdirku. Tidak ada teori mengunyah 32 kali. Bahkan ketika kecil, aku adalah orang yang sering cegukan ketika makan. Semakin dewasa, aku semakin pandai menggunakan gerakan peristaltik untuk menghabiskan makanan. Tidak baik sih memang.

Dan karena aku sudah selesai, maka marilah kita menuntaskan malam ini.

Tanganku segera masih ke dalam tas ransel yang kubawa, merogohnya ternyata tidak mudah. Ada seragam properti konser di dalam tas ini, belum lagi sepatu dan barang-barang lainnya. Sampai akhirnya tanganku mendapati yang dituju.

Sebuah buku berjudul “Odong-Odong Merah”.

“Na…”

Yang diajak ngomong masih asyik menghabiskan kentang gorengnya.

“Nih tak kasih.”

“Apaan, Bang?”

“Buku.”

“Punya siapa?”

“Punyakulah. Masak punyamu.”

Kosodorkan buku yang kuambil dari dalam tasku itu. Cover putihnya menjadi latar tertulisnya judul “Odong-Odong Merah”, disertai nama alfarevo.

“Kamu yang nulis, Bang?”

“Iya dong. Jadi nanti kamu tak bonusin tanda tangan. Hahaha.”

“Wuih keren. Aku kapan ya?”

“Pada saatnya.”

“Sebentar, Bang.”

Leona segera berlalu dari hadapanku dan menuju wastafel. Tidak lama kemudian, dia kembali dengan tangan yang mulus eh bersih. Bergegas pula dia membuka buku yang aku tulis itu.

“Ini bener penerbitnya? Sama kayak Marmut Merah Jambu dong?”

“Syukurlah. Kamu nggak tahu aja aku nunggu ini naskah terbit udah setahun. Hehe.”

Leona mencoba membalik-balik halaman yang ada di dalam buku. Sebuah buku yang aslinya adalah kumpulan kisah ngenes hidupku.

“Ehm, gini Na. Itu buku emang baru banget terbitnya. Jadi, sebelum orang lain di luar sana pada tahu. Aku mau pengakuan dosa duluan.”

Hell yeah! Aku mendefinisikan sendiri bahwa jatuh cinta adalah sebuah dosa.

“Coba dibuka bab 22, judulnya Cinta Diam-Diam,” kataku sambil menunjuk ke arah buku putih yang dipegang oleh Leona. Yang disuruh langsung mengikuti instruksiku.

Bab 22 itu kebetulan memang singkat, dan isinya mayoritas dialog. Jadi kalaulah panjang halamannya, itu lebih kepada habis karena teks yang di-enter saja.

“Kalau ingat, yang bagian akhir itu cerita waktu kita lewat selokan mataram, pas insiden helm hilang, Na.”

Leona diam saja. Kadung nanggung, maka baiklah kalau kita tuntaskan semuanya ini segera.

lilin

“Jadi begitulah, Na. Aku cinta dan akan selalu cinta sama kamu. Hanya memang aku sadar bahwa cinta yang ini benar-benar impian belaka. Makanya, aku cuma mau bilang itu kok. Toh, aku juga sudah tahu kalau kamu tidak merasakan hal yang sama.”

Leona masih diam, sejurus lantas menyeruput coke di hadapannya, yang mungkin isinya tinggal es batu, lalu beralih menatapku.

“Kok begini, Bang?”

“Nggak ngerti aku, Na. Semuanya berjalan dengan aneh ketika itu semua menyangkut kamu. Sekadar mencari tahu kamu single atau nggak dulu pas semester 1, itu saja sudah sulit. Dan semuanya lah.”

“Terus, kamu sama mantan-mantanmu?”

“Ya, hidup kan harus realistis juga, Na. Masak aku mau jomblo terus. Aku sih berharapnya cinta itu akan timbul sambil jalan. Nyatanya ya nggak.”

“Lha kalau sekarang?”

“Tujuh tahun itu lama lho, Na. Mungkin cinta itu bisa demikian karena dia nggak aku ungkapkan. Aku yakin dia hanya minta diungkapkan, langsung ke orangnya. Itu doang. Setidaknya sehabis ini aku bisa lebih realistis lagi dalam bermimpi.”

“Hahaha. Mimpi kok realistis Bang?”

“Habis ngimpiin kamu ketinggian, Na.”

“Emang kenapa sih?” tanya Leona dengan pandangan penuh selidik.

“Nggak lihat kalau kamu itu orangnya sangat adorable? Mungkin nggak banyak yang bilang kamu cantik, tapi semua setuju kamu menarik. Apalagi, mantannya kamu kan tampannya tiga kali lipat mukaku, Na. Kebanting dong nanti. Hehe.”

“Gitu doang?”

“Dan hal-hal lainnya yang mendukung sih.”

“Darimana kamu tahu aku nggak merasakan hal yang sama?”

“Lha, bukannya habis aku kasih kamu hadiah ulang tahun waktu itu, kamu jadi dingin kayak es batu gitu ke aku? Wong kita ketemu di kampus aja berasa nggak kenal gitu. Makanya, sejak itu sih aku mulai bisa realistis. Jadi ya aku nggak akan memaksakan apapun, atau meminta jawaban sekalipun. Aku cuma ingin bilang perasaanku saja kok. Mana kan sudah ditulis di buku, masak nanti kamu tahu dari orang, ya tambah bubar dunia.”

“Emangnya kenapa kamu ngerasa begitu, ehm maksudku, cinta gitu, ke aku Bang?”

“Nggak tahu. Perlu alasan ya?”

“Mestinya.”

“Sayangnya nggak ada.”

Leona menunduk lagi, matanya menerawang ke arah Ring Road Utara yang mulai sepi.

“Kalau kamu tahu keadaanku, kamu juga nggak akan mau sama aku, Bang.”

“Loh kenapa?”

Napas panjang dihela oleh Leona, tampaknya ada sesuatu yang amat penting yang hendak disampaikan.

“Aku ini ada glaukoma lho, Bang.”

“Terus?”

“Masih cinta?”

“Hahahaha. Na, Na. Sudah baca bab 22 kok masih nanya gitu. Kan udah jelas disitu, aku jatuh cinta sama Leona Mayasari itu sejak pertama kali mendengar nama itu. Mana tahu aku bentuknya kayak gimana? Begitu dua minggu kemudian, baru aku nemu foto kamu. Dua minggu berikutnya baru aku lihat kamu. Sampai tujuh tahun kemudian, kok ya perasaannya masih sama itu.”

“Jatuh cintamu aneh, Bang.”

“Makanya, perjalanannya juga aneh. Sebenarnya lebih aneh lagi kalau terus kita jadian sih. Hehehe.”

“Masalahnya kamu cuma bilang gitu, Bang. Kamu nggak nanya sama sekali kan tadi?”

“Enggg.. Iya sih. Nggak apa-apa deh. Kan ceritanya cuma mau bilang cinta, bukan mau cari pacar.”

“Oh ya udah kalo gitu.”

Semacam jawaban yang bikin aku tertantang.

Tarik nafas dalam-dalam. Mari kita tuntaskan!

“Aku cinta kamu, Na. Dan akan selalu cinta. Jadi, bolehkah aku terus mencintai kamu, sebagai pasanganku?”

Akhirnya lepas juga. Kalau tadi lega, sekarang lega banget!

“Cieee.”

“Yah, ini anak, ditembak malah bilang cieee.”

“Hahaha. Habis kamu lucu sih, Bang. Punya perasaan kok dibohongi.”

“Ya maka dari itu aku bilang ke kamu. Masak tiap pengakuan dosa, sama melulu. Pembohongan terhadap hati.”

“Iya. Iya. Hmmm, oiya lupa satu lagi. Kalau nih, kalau aku terima, emang kamu mau LDR-an?”

“Owh. Jadinya cita-cita S2 di negeri orang itu mau diwujudkan ya?”

“Gila. Kok tahu Bang?”

“SMS-mu dari tahun 2007 aja masih tak simpen rapi, Na. SMS-mu yang cerita lagi naik Pramex juga aku ingat. SMS kamu bilang merindukanku juga aku simpan rapi. Apalagi cerita soal cita-cita, ya aku ingat bangetlah. Nasib jadi melankolis sentimentil yang jatuh cinta.”

Hening melanda, seiring dengan semakin sepinya tempat ini. Ternyata sudah jam 12 malam aja.

“Baiklah, Bang. I’m yours now.”

Kalaulah ada yang lebih menyenangkan dari tepuk tangan penonton konser, maka itu adalah jawaban yang baru saja terlontar dari bibir manis Leona.

🙂