Tepuk tangan membahana di setiap sudut gedung konser ini. Tidak ada satu sudutpun yang lepas dari resonansi yang dihasilkan oleh ratusan pasang tangan yang beradu satu sama lain. Ini indah. Sebuah bayaran paling sederhana atas sebuah kerja keras.

“We want more.. We want more..”
Suara tepuk tangan tadi, mulai disertai oleh kata-kata dari pemilik tepuk tangan. Mereka mau lagi? Aih, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada ini.
Mbak Risa masih berada di posisinya, di bagian tedepan panggung, menghadap kami para penyanyi, dan tentu saja membelakangi penonton. Bibirnya bergerak membentuk satu kata, dan kebetulan aku tidak dapat memahami kata yang hendak diucapkan oleh Mbak Risa.
“Opo ki?” tanyaku pada Bang Roman, yang berdiri persis di sebelah kananku.
“Yogyakarta.”
“Oh.”
Konser yang sebenarnya telah berakhir ini akhirnya memberikan lagu tambahan. Okelah. Menurut pengalamanku, energi para penyanyi itu paling besar justru di akhir, sesudah konser yang sebenarnya selesai. Kenapa? Karena disitulah energi eksitasi paling tinggi tercipta.
Intro dibunyikan oleh pemusik, penonton yang masih bertahan segera bertepuk tangan mengiringi intro lagu paling ternama bagi setiap orang yang pernah hidup di Jogja.
“Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu…”
Maka bait-bait mulai terlontar, tentunya diiringi oleh nada yang merdu. Semuanya berpadu dan menyusup ke segala sisi yang ada di gedung ini. Meski sejatinya, Yogyakarta itu adalah lagu galau, tapi menyertakan konteks sebuah kota penuh kenangan ini sejatinya sudah berhasil membuat orang yang mendengar justru merasa terkenang, bukannya galau.
“Senyummu… Abadi…”
Enaknya jadi anak choir laki-laki itu adalah selalu diletakkan di belakang. Dan menjadi lebih enak, ketika kemudian aku bisa selalu memantau seorang gadis yang ada di bagian Sopran. Seorang gadis yang tersenyum manis kepada penonton ketika lirik terakhir barusan didendangkan. Aku mengamati itu dengan jelas, dan tidak ada keraguan sama sekali bahwa itu adalah senyum paling indah di dunia.
Lepas konser adalah hal yang lain lagi. Semua penyanyi akan berserak ke keluarga masing-masing, atau ke teman masing-masing. Ucapan selamat selalu terlontar setiap kali seorang penyanyi bertemu keluarga atau temannya.
Lelah sontak lenyap kalau begini. Percayalah.
Tidak serta merta setiap penyanyi akan bubar jalan sih. Ada kalanya mereka justru saling bersalaman dan berpelukan sendiri terlebih dahulu. Bahwasanya latihan choir apalagi untuk konser itu adalah hal yang berat, itu adalah fakta tidak terbantahkan. Bahwa ada banyak friksi yang mungkin terjadi, itu juga ada realitas interaksi antar manusia. Bayangkan saja ketika dua minggu terakhir, kami para penyanyi latihan setiap hari selama lebih dari 6 jam. Mengulang dan mengulang terus lagu yang sama. Semuanya demi penampilan yang istimewa hari ini.
Sejatinya konser ini akan menjadi sangat emosional bagiku. Tentunya karena ini adalah konser terakhirku bersama choir ini. Jalan kehidupan sudah menuntunku ke tempat yang lain, yang meminta untuk ditaklukkan. Maka, malam ini mungkin adalah untai nada terakhir yang lepas dari bibirku di kota ini.
Mungkin. Kita kan tidak tahu tentang masa depan.
“Wei, selamat ya bro! Keren tadi bass-nya,” ujar Tini, teman kuliahku yang jadi penonton di konser ini.
“Hahaha. Iya dong. Thanks ya.”
“Eh, Leona. Selamat lho. Apik banget tadi.”
Tini kemudian menyapa Leona, yang entah bagaimana ceritanya sudah ada 1 meter dari posisiku berdiri.
“Makasih ya, Mbak.”
Ah, Leona ini. Kok bisa-bisanya disini? Baiklah, ini dia gadis sopran yang senyumnya paling manis itu. Inilah gadis sopran yang selalu membuat sudut mataku sekecil apapun akan berpaling dan memperhatikannya. Inilah gadis sopran yang sudah 7 tahun lamanya menjadi ratu di dalam hatiku. Dan inilah gadis sopran yang selama 7 tahun pula hanya menjadi impianku.
Tenang saja, 7 tahun itu adalah rahasia rapat milikku sendiri. Aku bahkan masih bisa berpacaran dengan dua gadis lain berturut-turut, meski di hatiku jelas-jelas hanya ada Leona. Yah, terkadang kita harus membedakan impian dan realita.

Cuma, entah kenapa, malam ini ada rasa membuncah dalam hati. Memohon untuk segera dilepaskan. Otakku mencoba melawannya, lagi-lagi demi membedakan impian dan kenyataan. Tapi kali ini hati mengalahkan otak, dia menuntunku untuk mendekati Leona. Dasar hati, ada banyak hal yang mudah kenapa dia memilih yang sulit?
“Na, pulang sama siapa?”
“Sendiri dong, Bang. Kenapa?”
“Langsung pulang?”
“Iyalah. Udah malam gini.”
“Hmmm, kalau tak ajak ke McD Jombor mau? Nanti pulangnya tak barengin deh.”
“Ngapain?”
“Pengen ngobrol aja. Kan besok aku udah mau cabut dari Jogja.”
Leona tampak berpikir sejenak. Segaris keraguan tampak dari raut mukanya. Toh aku pun pasrah kalaulah itu akan menjadi sebuah penolakan.
“Tapi nggak lama-lama lho ya, Bang.”
* * *
“Tadi sopran ada yang salah kan, pas lagu pembukaan?” tanyaku sambil meletakkan nampan berisi dua paket nasi ayam plus kentang, disertai dua gelas minuman coke.
“Iya kayaknya. Tapi di lagu yang sama bass-nya nggak kedengeran.”
“Ya iyalah. Rendah banget. Ditinggiin kasihan soprannya.”
Bagian terbaik dari menjadi anggota choir adalah ketika kita mempertahankan martabat jenis suara kita sendiri.
“Yang penting dapat tepuk tangan to Bang?”
“Hooh. Kira-kira kapan meneh ya, dapat tepuk lagi?”
“Nyanyi wae di jalanan. Paling juga ditepukin.”
“Enak wae. Gini-gini aku kan bass yang berkelas.”
“Nggaya banget kowe, Bang.”
Ayam goreng yang berminyak itu segera masuk ke mulut kami masing-masing. Disela saos sambal warna merah dan sesekali bersama kentang. Seruputan coke kemudian menjadi penyerta yang manis. Tidak disarankan untuk sering-sering, semata-mata karena harganya belum cocok untuk ukuran dompetku.
Pada dasarnya, makan cepat adalah takdirku. Tidak ada teori mengunyah 32 kali. Bahkan ketika kecil, aku adalah orang yang sering cegukan ketika makan. Semakin dewasa, aku semakin pandai menggunakan gerakan peristaltik untuk menghabiskan makanan. Tidak baik sih memang.
Dan karena aku sudah selesai, maka marilah kita menuntaskan malam ini.
Tanganku segera masih ke dalam tas ransel yang kubawa, merogohnya ternyata tidak mudah. Ada seragam properti konser di dalam tas ini, belum lagi sepatu dan barang-barang lainnya. Sampai akhirnya tanganku mendapati yang dituju.
Sebuah buku berjudul “Odong-Odong Merah”.
“Na…”
Yang diajak ngomong masih asyik menghabiskan kentang gorengnya.
“Nih tak kasih.”
“Apaan, Bang?”
“Buku.”
“Punya siapa?”
“Punyakulah. Masak punyamu.”
Kosodorkan buku yang kuambil dari dalam tasku itu. Cover putihnya menjadi latar tertulisnya judul “Odong-Odong Merah”, disertai nama alfarevo.
“Kamu yang nulis, Bang?”
“Iya dong. Jadi nanti kamu tak bonusin tanda tangan. Hahaha.”
“Wuih keren. Aku kapan ya?”
“Pada saatnya.”
“Sebentar, Bang.”
Leona segera berlalu dari hadapanku dan menuju wastafel. Tidak lama kemudian, dia kembali dengan tangan yang mulus eh bersih. Bergegas pula dia membuka buku yang aku tulis itu.
“Ini bener penerbitnya? Sama kayak Marmut Merah Jambu dong?”
“Syukurlah. Kamu nggak tahu aja aku nunggu ini naskah terbit udah setahun. Hehe.”
Leona mencoba membalik-balik halaman yang ada di dalam buku. Sebuah buku yang aslinya adalah kumpulan kisah ngenes hidupku.
“Ehm, gini Na. Itu buku emang baru banget terbitnya. Jadi, sebelum orang lain di luar sana pada tahu. Aku mau pengakuan dosa duluan.”
Hell yeah! Aku mendefinisikan sendiri bahwa jatuh cinta adalah sebuah dosa.
“Coba dibuka bab 22, judulnya Cinta Diam-Diam,” kataku sambil menunjuk ke arah buku putih yang dipegang oleh Leona. Yang disuruh langsung mengikuti instruksiku.
Bab 22 itu kebetulan memang singkat, dan isinya mayoritas dialog. Jadi kalaulah panjang halamannya, itu lebih kepada habis karena teks yang di-enter saja.
“Kalau ingat, yang bagian akhir itu cerita waktu kita lewat selokan mataram, pas insiden helm hilang, Na.”
Leona diam saja. Kadung nanggung, maka baiklah kalau kita tuntaskan semuanya ini segera.

“Jadi begitulah, Na. Aku cinta dan akan selalu cinta sama kamu. Hanya memang aku sadar bahwa cinta yang ini benar-benar impian belaka. Makanya, aku cuma mau bilang itu kok. Toh, aku juga sudah tahu kalau kamu tidak merasakan hal yang sama.”
Leona masih diam, sejurus lantas menyeruput coke di hadapannya, yang mungkin isinya tinggal es batu, lalu beralih menatapku.
“Kok begini, Bang?”
“Nggak ngerti aku, Na. Semuanya berjalan dengan aneh ketika itu semua menyangkut kamu. Sekadar mencari tahu kamu single atau nggak dulu pas semester 1, itu saja sudah sulit. Dan semuanya lah.”
“Terus, kamu sama mantan-mantanmu?”
“Ya, hidup kan harus realistis juga, Na. Masak aku mau jomblo terus. Aku sih berharapnya cinta itu akan timbul sambil jalan. Nyatanya ya nggak.”
“Lha kalau sekarang?”
“Tujuh tahun itu lama lho, Na. Mungkin cinta itu bisa demikian karena dia nggak aku ungkapkan. Aku yakin dia hanya minta diungkapkan, langsung ke orangnya. Itu doang. Setidaknya sehabis ini aku bisa lebih realistis lagi dalam bermimpi.”
“Hahaha. Mimpi kok realistis Bang?”
“Habis ngimpiin kamu ketinggian, Na.”
“Emang kenapa sih?” tanya Leona dengan pandangan penuh selidik.
“Nggak lihat kalau kamu itu orangnya sangat adorable? Mungkin nggak banyak yang bilang kamu cantik, tapi semua setuju kamu menarik. Apalagi, mantannya kamu kan tampannya tiga kali lipat mukaku, Na. Kebanting dong nanti. Hehe.”
“Gitu doang?”
“Dan hal-hal lainnya yang mendukung sih.”
“Darimana kamu tahu aku nggak merasakan hal yang sama?”
“Lha, bukannya habis aku kasih kamu hadiah ulang tahun waktu itu, kamu jadi dingin kayak es batu gitu ke aku? Wong kita ketemu di kampus aja berasa nggak kenal gitu. Makanya, sejak itu sih aku mulai bisa realistis. Jadi ya aku nggak akan memaksakan apapun, atau meminta jawaban sekalipun. Aku cuma ingin bilang perasaanku saja kok. Mana kan sudah ditulis di buku, masak nanti kamu tahu dari orang, ya tambah bubar dunia.”
“Emangnya kenapa kamu ngerasa begitu, ehm maksudku, cinta gitu, ke aku Bang?”
“Nggak tahu. Perlu alasan ya?”
“Mestinya.”
“Sayangnya nggak ada.”
Leona menunduk lagi, matanya menerawang ke arah Ring Road Utara yang mulai sepi.
“Kalau kamu tahu keadaanku, kamu juga nggak akan mau sama aku, Bang.”
“Loh kenapa?”
Napas panjang dihela oleh Leona, tampaknya ada sesuatu yang amat penting yang hendak disampaikan.
“Aku ini ada glaukoma lho, Bang.”
“Terus?”
“Masih cinta?”
“Hahahaha. Na, Na. Sudah baca bab 22 kok masih nanya gitu. Kan udah jelas disitu, aku jatuh cinta sama Leona Mayasari itu sejak pertama kali mendengar nama itu. Mana tahu aku bentuknya kayak gimana? Begitu dua minggu kemudian, baru aku nemu foto kamu. Dua minggu berikutnya baru aku lihat kamu. Sampai tujuh tahun kemudian, kok ya perasaannya masih sama itu.”
“Jatuh cintamu aneh, Bang.”
“Makanya, perjalanannya juga aneh. Sebenarnya lebih aneh lagi kalau terus kita jadian sih. Hehehe.”
“Masalahnya kamu cuma bilang gitu, Bang. Kamu nggak nanya sama sekali kan tadi?”
“Enggg.. Iya sih. Nggak apa-apa deh. Kan ceritanya cuma mau bilang cinta, bukan mau cari pacar.”
“Oh ya udah kalo gitu.”
Semacam jawaban yang bikin aku tertantang.
Tarik nafas dalam-dalam. Mari kita tuntaskan!
“Aku cinta kamu, Na. Dan akan selalu cinta. Jadi, bolehkah aku terus mencintai kamu, sebagai pasanganku?”
Akhirnya lepas juga. Kalau tadi lega, sekarang lega banget!
“Cieee.”
“Yah, ini anak, ditembak malah bilang cieee.”
“Hahaha. Habis kamu lucu sih, Bang. Punya perasaan kok dibohongi.”
“Ya maka dari itu aku bilang ke kamu. Masak tiap pengakuan dosa, sama melulu. Pembohongan terhadap hati.”
“Iya. Iya. Hmmm, oiya lupa satu lagi. Kalau nih, kalau aku terima, emang kamu mau LDR-an?”
“Owh. Jadinya cita-cita S2 di negeri orang itu mau diwujudkan ya?”
“Gila. Kok tahu Bang?”
“SMS-mu dari tahun 2007 aja masih tak simpen rapi, Na. SMS-mu yang cerita lagi naik Pramex juga aku ingat. SMS kamu bilang merindukanku juga aku simpan rapi. Apalagi cerita soal cita-cita, ya aku ingat bangetlah. Nasib jadi melankolis sentimentil yang jatuh cinta.”
Hening melanda, seiring dengan semakin sepinya tempat ini. Ternyata sudah jam 12 malam aja.
“Baiklah, Bang. I’m yours now.”
Kalaulah ada yang lebih menyenangkan dari tepuk tangan penonton konser, maka itu adalah jawaban yang baru saja terlontar dari bibir manis Leona.
🙂
Like this:
Like Loading...