Tag Archives: nama saya

Menjadi Author Di Goodreads

Sesudah menjadi auditor (internal) sejak 2009, saya mulai mlipir ke cita-cita saya sebenarnya. Iya, sebenarnya saya itu pengen menjadi author alias penulis. Auditor sih semacam kesenangan belaka. Dan kita tahu bahwa kesenangan itu fana, saudara-saudara!

*apa coba?*

Nah, sesudah turut serta di buku “Kebelet Kawin, Mak!” (Gradien, 2012) dan “Radio Galau FM Fans Stories” (Wahyumedia, 2012), saya join juga di buku “Curhat LDR” (Gradien, 2013). Dan karena buku KKM merupakan atas nama Blogfam, serta yang kedua atas nama Radio Galau, jadi nggak bisa diklaim.

Uraian lengkapnya

Advertisement

“Aku dan Cantus Firmus”

Pagi tadi, bangun tidur saya terus tidur lagi. Namanya juga buruh di hari Sabtu. Mumpung bisa bangun siang kenapa tidak? Nah, sesudah bangun yang kedua kalinya, saya lalu iseng buka Youtube dan tiba-tiba jari-jari mengarahkan ke video penampilan saya bersama Paduan Suara Mahasiswa Cantus Firmus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini. Itu adalah penampilan resmi terakhir saya bersama PSM CF (singkatannya), dengan status sebagai mahasiswa. Terjadi pada suatu hari di bulan Desember 2007.

Long time ago.

Mendadak saya mengingat-ingat, kok bisa saya bergabung dengan PSM CF ini. Sebenarnya kisahnya sih agak unik juga. Jadi–buat ngisi postingan aja–saya mau flashback perihal masuknya saya sebagai anggota PSM CF ini.

Sesudah menggalau karena nggak keterima UM UGM, akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar (lagi) ke USD. Sebagai manusia dengan nama yang sama persis dengan nama universitas, saya setengah terpaksa mendaftar kesini. Tapi saya nggak kebayang saja kalau saya masuk universitas lain di Jogja dengan nama saya ini. Mau jadi apa saya ketika Ospek nanti?

Ya sudah, USD saja.

Saya lalu membuka-buka buku promosi USD yang saya dapat waktu di sekolah. Saya lalu memilih Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang hendak saya masuki. Ada 3 yang saya tunjuk ketika itu, radio, penerbitan, dan paduan suara. Kalau radio, mungkin itu efek karena beberapa bulan sebelumnya saya sempat siaran di acara “High School Jam” Radio Swaragama. Untuk penerbitan, tentunya semacam retorika. Sebagai mantan anggota Cas Cis Cus di JB, saya memang identik dengan jurnalisme. Waktu itu belum kenal jurnalisme galau sih. Dan paduan suara? Entahlah. Saya pengen aja. Padahal di sekolah, saya juga nggak ikut paduan suara.

Sampai kemudian Expo di Insadha 2004 itu, saya “melewatkan” PSM CF yang adalah UKM paduan suara yang sempat hendak saya masuki. Saya justru fokus di UKM penerbitan, termasuk mendaftar dengan legal dan resmi. Adapun hal yang membuat saya keder masuk PSM CF adalah begitu mengetahui kalau tesnya pakai acara baca not segala.

Ya udah. Lewat.

Saya lantas join ke UKM majalah kampus. Tapi nggak lama. Sesudah satu pekan penuh pembekalan dan satu kali kunjungan ke sebuah kampus yang tidak jauh dari SMA saya, akhirnya saya memilih lari dari kenyataan. Ada kalanya keyakinan itu muncul belakangan, dan kala itu saya yakin kalau penerbitan kampus ini bukan jalannya saya.

*kemudian lari tunggang langgang*

Sampai kemudian saya tidak tergabung di UKM mana-mana. Saya resmi menjadi mahasiswa biasa yang tidak berniat aktif, sampai suatu saat sesudah praktikum, saya lewat di Lorong Cinta dan menemui latihan PSF. Ini adalah Paduan Suara di tingkat Fakultas. Fakultas Farmasi tentu saja. Saya ditarik untuk bergabung ketika itu, dan kok ya mau saja.

Lagu waktu itu adalah “For The Beauty of This Earth”. Dan saya kemudian terjebak dalam kengawuran hidup saya dalam 1 tahun penuh. Iya, asli ngawur, karena saya masuk ke suara TENOR. Enggg, waktu itu saya masih kurang paham soal bernyanyi sih. Jadi, mohon dimaklumi. Plis, sekali ini saja. Plis.

Nah gitu kan oke.

PSF ini kemudian yang membuka mata saya soal menyanyi. Di PSF inilah saya belajar soal bunyi Do Re Mi Fa Sol La Si Do, termasuk Do Di Re Ri Mi Fa Fi Sol Sel La Sa Si Do. Juga tentang modulasi dan nada dasar. Di bawah asuhan Mbak Ina yang teriakannya legendaris dari ujung lorong satu ke ujung lainnya, saya bertumbuh kembang sampai akhirnya ikut semua tugas PSF dalam periode 2004/2005, kecuali pada misa perpisahan Romo Andalas, yang waktu itu hendak studi ke luar negeri.

Di sela-sela itu, sekitar bulan Desember 2004, ada event bernama Golden Night. Sepertinya sih rangkaian dari 50 tahun USD. Saya sempat melihat beberapa teman saya berdandan rapi karena hendak tampil menyanyi disana. Iya, mereka adalah anggota PSM CF.

Dan entah kenapa, saya jadi pengen seperti mereka.

Anak muda emang kebanyakan keinginan.

Saya lalu join Insadha 2005 sebagai pendamping kelompok, kejatahan kelompok 24. Banyak dinamika yang saya alami di posisi ini, termasuk juga meninggalnya Mbah Kakung. Dan dinamika yang jelas justru ketika saya mengantarkan anak-anak kelompok 24 ke stand PSM CF waktu Expo UKM di Insadha 2005. Sambutan teman-teman saya sesama Farmasi, yang juga anggota PSF (oya, namanya PSF Veronica), membuat saya mengingat kembali keinginan menjadi seperti mereka.

Saya lalu mikir dan mikir, juga menimbang faktor perkuliahan yang tambah padat, dan IP saya semester 2 yang lumayan cakep dibandingkan semester 1. Hasil mikir dan mikir, saya kemudian memutuskan untuk mendaftar PSM.

Terlambat 1 tahun, itu pasti. Teman sekelas saya sudah 1 tahun bergabung disana. Saya juga akan bergabung dengan anak-anak yang menjadi dampingan saya selama Insadha. Dan terlambat 1 tahun sebenarnya bermakna semakin pendek waktu saya kalau nanti join PSM CF.

Ya udah, daftar aja dulu. Belum tentu juga diterima kan?

Saya mendaftar di hari terakhir. Juga tes di hari terakhir. Semua serba terakhir, karena pada saat yang sama lagi ada event Pekan Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (PIMFI) yang mana saya menjabat sebagai bendahara. Pertama kali dan terakhir kali saya jadi bendahara. Hehehe.

Tesnya ternyata dimulai dengan wawancara. Sebagai orang yang dalam 1 tahun sudah berkali-kali diwawancarai ketika mau gabung kepanitiaan, tentunya semua bisa saya lewati. Cuma wawancara ini, asal mbacot juga bisa.

Yang nggak bisa mbacot itu, tes berikutnya.

Namanya: Tes Intelegensi. Tes yang bikin saya keder untuk gabung PSM CF setahun silam.

Kalau tadi saya ketemu Mbak Lia dan Budi. Sekarang saya ketemu Mbak Citra dan Mas Dede. Di depan saya ada sekumpulan angka untuk dibaca. Iya kalau angkanya benar. Lha ini angkanya salah-salah. Maksudnya, notnya pakai acara coret sana sini, jadinya kan Di Ri Fi Sel Sa itu muncul semua.

Sontak saja saya keringat dingin.

Apalagi lanjutannya adalah tes ketukan. Mbohlah apa saja yang saya ketuk dengan bunyi Pam Pam Pam sebagai pengganti X yang tertulis di soal. Soal ketukan ini, saya sebagai Tenor penganut Gandulisme di PSF, tentu gandul tetangga sebelah. Lah kalau sendirian begini, saya gandul siapa?

Hingga tes terakhir, pemetaan suara. Saya disuruh baca not sampai ke bawah. Sampai kemudian Mbak Citra bilang, “Kamu itu bass asli.”

TERUS KENAPA SELAMA INI SAYA JADI TENOR? SALAH KOK SUWI BANGET?

Hampir jam 10 malam saya menyelesaikan tes masuk PSM CF itu. Sebagai manusia yang selalu ingin pulang malam–karena suatu hal yang bisa dicari tahu disini–maka jam 10 itu menjadi sangat biasa. Saya pulang dengan anggapan nggak akan lolos. Apalagi soal tes intelegensi tadi.

Saya pun menjalani hari-hari seperti biasa. Sampai akhirnya Finza bertanya pada saya waktu praktikum.

“Kamu tuh niat nggak daftar PSM?”

“Kalau nggak niat ya saya nggak daftar.”

Tidak lama sesudah saya menjawab begitu ke Finza, saya mendapati pengumuman yang menyertakan nama saya di deretan anggota baru PSM CF yang diterima. Tentu saja dalam kategori suara Bass.

Ya. Saya jadi anggota PSM CF juga pada tahun 2005 itu.

Buat saya, ini kadang menjadi aneh. Tapi justru menjadi kebanggaan besar. Kalau waktu itu saya nggak mendaftar CF, maka nggak akan ada penampilan yang bisa dilihat di bar yang ada di atas, pada tab “My Performance”. Sebagian besar itu bersama CF lho. Kalau nggak ikut CF, mana ada kisahnya saya mewakili kampus untuk sebuah lomba.

Bahkan semuanya berlanjut hingga saya lulus, termasuk juga bisa tampil di Taman Budaya Yogyakarta dalam Konser Reuni PSM CF. Coba, kasih tahu saya PSM mana yang sudah membuat konser yang mengumpulkan alumninya?

Dan kalau nggak gabung CF juga, nggak mungkin saya “menelurkan” buku dengan judul yang sama dengan tulisan ini, bersama beberapa teman lain.

Serta berderet “kalau nggak” lainnya.

Ya, tentunya ada yang dikorbankan. Tapi menjadi mahasiswa S1 tanpa harus terbebani tanggungan hanya bisa dilakoni sekali seumur hidup. Maka, tidak pernah ada penyesalan dengan IP jongkok saya di S1, karena dibalik itu saya punya banyak pengalaman, yang sebagian diantara terjadi karena saya bisa bergabung dengan PSM CF.

Golden Voice Member
Golden Voice Member

Ini cerita saya. Hendak berbagi cerita yang lain? Silakan 🙂

030813 @ariesadhar

Intuisi: Apaan Sih?

Beberapa minggu yang lalu, saya ke McD Jababeka. Sekilas terlintas dalam pikiran, “pasti nanti bakal ketemu si X”. Dua puluh menit sesudah saya menikmati dada-nya ayam yang tidak empuk tapi panas itu, saya melihat si X duduk di salah satu kursi disana.

Juga soal nama anaknya Pangeran William. Ketika orang ramai mempertaruhkan soal nama George atau Charles, saya kok tiba-tiba kepikiran nama saya: Alexander. Dan tidak lama kemudian, namanya muncul George Alexander Louis.

Tidak sedikit aspek soal intuisi yang kemudian bikin saya bingung. Kok bisa? Hal paling simpel dan sering terjadi adalah kalau di adu penalti PES. Tanpa mengintip, ada kalanya saya bisa menebak tendangan dengan benar. Yang nggak benar sih lebih sering.

Nah, pernah nggak sih kalian mengalami bisikan semacam saya tadi? Pasti pernah. Informasi langsung yang muncul dari dalam hati untuk sesuatu yang kadang sepele. Sekarang, apa coba pasalnya saya bisa mengira si X itu ada di McD, sementara tidak ada alasan khusus saya “memegang” nama X itu.

Saya lalu mencoba mencari kesini, dan menemukan sedikit hal.

Satu hal yang utama, intuisi dan wawasan adalah napas kehidupan. Pada dasarnya tidak banyak orang yang percaya, tapi diam-diam mempraktekkannya.

Katanya Sun Tzu begini, “setiap pertempuran dimenangkan sebelum berjuang”.

Nah loh. Jadi sebenarnya semua sudah dibisikkan sama intuisi. Apapun itu, termasu kemungkinan kita kalah. itu makanya yang lebih benar adalah berlaku yang terbaik 🙂

Manusia hidup di aktivitas yang sebenarnya konstan. Dan keberhasilan dalam melakukan itu tidak hanya datang dari yang kita lakukan, namun kesiapan dan kemampuan kita mengumpulkan informasi yang diperlukan. Informasi itu yang menopang intuisi, dan sebagai kemampuan bawaan, intuisi layak digunakan semua orang.

Kadang kita bercakap-cakap sendiri dalam diri kita. Argumen sana sini bikin rempong. Makanya kita perlu pendekatan baru yakni dengan benar-benar mendengarkan hal yang benar-benar menjadi respon dari diri kita.

Detailnya sila dibaca sendiri di link tadi. Saya juga pernah baca buku soal ini. Sebenarnya intuisi itu adalah kekayaan pribadi semua orang. Masalahnya, kadang nggak banyak orang menggunakan itu.

Salah satu contoh yang buat saya tertarik adalah adu penalti Italia-Spanyol di Euro 2008. Saya merekam semua tendangan penalti dan Iker Cassilas melakukan hal yang cukup mengagumkan. Dia bergerak sepersekian detik lebih dulu daripada kaki eksekutor sampai ke bola, dan semuanya tepat. Faktor intuisi ketika bisikan dari dalam hati, bercampur dengan informasi yang ada, menjadi poin disini.

Kita semua punya, saya juga. Tinggal gimana melatihnya. Nanti coba cari bukunya deh. 😀

Welcome My February

Selamat datang kepada bulan Februari. Sebuah bulan yang padat 🙂

Beberapa agenda yang sudah pasti adalah:
2 – 3 Februari 2013 ke Palembang (DONE with ehmmm…)
8 Februari 2013 malam latihan terakhir koor lingkungan (direschedule ternyata.. ^_^)
9 Februari 2013 ngikut persiapan Kelas Inspirasi (\^o^/)
9 Februari 2013 malam (kalo terkejar) latihan terakhir koor lingkungan
10 Februari 2013 tugas koor lingkungan (grrrrr…..)
17 Februari 2013 diminta tolong ikut bakti sosial (sekalian refresh ilmu apoteker ^.^, tapi kok ya adoh bangettttttt, pasiennya banyak bangetttttt juga…)
20 Februari 2013 ngikut Kelas Inspirasi (AWESOME DAY!!!!)
23 Februari 2013 ngikut refleksi Kelas Inspirasi

Dan pekerjaan yang lagi berkejar-kejaran.

Semoga Tuhan memberkati jadwal saya. Sungguhpun kejutan besar kemarin adalah ketika nama saya masuk ke peserta Kelas Inspirasi. Nama saya ada di daftar yang sama dengan beberapa orang terkenal macam Chef Vindex dan Ikrar Nusa Bakti. Bahkan saya satu kelompok dengan Jubing Kristianto 🙂

Doakan saya ya! 😀

Menikmati Cuti

Beberapa hari yang lalu saya cuti. Sebenarnya saya itu terpaksa cuti, lha dalam waktu sangat dekat, jatah penghabisan cuti itu akan ED. Daripada hangus, jadilah saya cuti. Padahal, asli, saya sama sekali nggak pengen cuti, pengennya kerja. *opo iyo?*

Oke, hari cuti itu saya nikmati dengan menyaksikan drama di Bernabeu, Muenchen lantas menang adu penalti. Tambahan setengah jam plus plus yang biasanya membuat galau karena itu tandanya istirahat berkurang, kali ini saya nikmati, lha wong saya mau cuti kok. Walhasil, jam setengah 6, ketika teman kos lain berbangunan, saya malah mulai micek. Mantap sekali.

Setengah 10, saya bersiap dan berangkat mencari moda transportasi guna mendekatkan orang Cikarang dengan ibukota, 121A. Baiklah, saya pengen jalan-jalan ke Jakarta. Dan mestinya di hari kerja dan jam kerja, Jakarta tidaklah terlalu ramai. Ramainya kan kalau pulang kerja. Iya nggak sih? Nggak tahu, makanya dicoba.

Berbekal sendal dan tas gembel yang menandakan saya ke Jakarta bukan buat interview, saya berangkat. Tujuannya, bagian di Jakarta yang asrinya minta ampun kayak hutan, menurut saya sih. Tempat itu bernama CIGANJUR. Dari Cikarang, saya turun di Polda, lanjut Dukuh Atas sampai Deptan, terus capcus pakai M20 yang ngetem jaya. Baiklah, tiga setengah jam dari Cikarang ke Ciganjur, dua tempat yang sama-sama Ci tapi jaraknya astaganaga. Saya makan burjo sejenak. Suerr, ini nggak kayak ibukota yang sinis, pedih, dan tragis layaknya saya temui sebelum-sebelumnya.

Dari situ saya lantas capcus pulang dan kebetulan dapat Kopaja AC. Aslinya saya bisa turun di Deptan dan lanjut busway. Tapi entah kenapa pengen nyicip Kopaja AC walaupun itu berarti putar-putar Jakarta via Pondok Indah, Gandaria, dll. Lumayan sih. Saking ngebetnya, saya malah bablas karena itu Kopaja nggak lewat Semanggi, jadilah saya turun dan naik busway koridor 9 untuk ke Semanggi.

Di Semanggi saya lari-lari ke dalam guna mencari sebuah buku. Yak! Untuk pertama kalinya nama saya nongkrong di toko buku meski tingginya hanya 0.5 cm dan lebarnya hanya 5 cm. Tapi itu masuk di jajaran BUKU BARU. Alangkah senangnya! Antologi cerpen itu setidaknya membuat nama saya ada di Gramedia. Hehehehe. Langsung saya borong 3.

Keluar dari Semanggi itu perkara tersendiri, berkali-kali kesana PASTI kesasar. Pun kemarin. Ah, baiklah, saya lalu keluar dan menunggu kendaraan balik Cikarang. Seperti biasa, butuh ketakwaan tinggi supaya nggak murtad ambil jurusan lain kalau nunggu bis Cikarang di Semanggi. Asem bener kok. Akhirnya dapat bis Lippo.

Sampai ke kos, jam lima lebih dikit. Mirip jam pulang kerja. Kos masih sepi. Hmmm…

Jadi? Ya gitu sih, entah apa inti cerita ini. Hahahahaha…