“Bagi yang pernah tinggal di Jogja, setiap titik adalah romantis.”
Rio tersungging membaca sebait kalimat yang tertulis di urutan 123 Fakta Unik Mahasiswa Jogja itu. Sebuah bacaan yang menarik sebelum menaiki penerbangan pagi menuju sebuah kota yang setiap titiknya adalah romantis. Rio sepakat dengan kalimat itu, tentu saja karena dia menghabiskan 7 tahun penuh cerita di Jogja. Kisah yang akan segera disambutnya seiring panggilan boarding yang paralel disertai flight mode untuk ponselnya. Tentu saja Rio tidak dapat membaca ariesadhar.com dari dalam pesawat.
Tidak butuh waktu yang cukup lama untuk mencapai Jogja. Bahkan jika penerbangannya adalah malam hari, waktu menanti terbang karena antrian pesawat justru lebih lama daripada terbang itu sendiri. Untungnya Rio menaiki penerbangan pagi yang masih lancar. Lima puluh menit lamanya waktu sejak roda pesawat beranjak dari landasan Soekarno Hatta hingga kemudian mata Rio bisa menyaksikan Stadion Mandala Krida dari jarak yang tidak jauh.
Dan sesi gosip dimulai. Di kantor yang mayoritas isinya cewek, selalu ada ruang dan waktu untuk bergosip.
“Tahu dari mana lu?” selidik Dina.
Tia, yang mencetuskan kalimat pertama tadi, segera menyambung, “Kemarin gue kan ke mejanya Egi. Pas dia lagi whatsapp sama Alena.”
“Kalau whatsapp, sama gue juga tuh.”
“Yahhh, sama lu nggak pakai emo-emo love-love gitu kan? Pokoknya gue yakin bener deh, Egi sama Alena. Sayang bener ya, padahal si Alena itu kan nakal. Serigala berbulu domba!”
“Kok bisa?” tanya Dina. Mukanya mendekat, diikuti oleh teman-teman lain yang berada di Pantry itu.
Maka Tia mulai bercerita, panjang dan lebar hingga panjang kali lebar. Segala sesuatu yang ia ketahui tentang masa lalu Alena. Sesuatu yang mudah untuk diceritakan karena Alena adalah orang yang pernah merebut kekasih Tia, jauh di masa lalu. Bahwa semestalah yang mempertemukan keduanya kembali di satu kantor. Sebuah kehendak yang kadang menjadi sebuah retorika. Bukan karena sudah jelas jawabannya, tapi karena memang tidak perlu dijawab.
“Kasihan ya temen gue,”bisik Dina. Ya, sejak sama-sama masuk ke kantor ini dalam 1 batch penerimaan, Dina dan Egi menjadi teman yang sangat akrab. Terlebih ketika rekan-rekan di batch mereka satu per satu resign dan hinggap di perusahaan lain. Dan percaya atau tidak, memang tinggal Dina dan Egi yang tersisa dari 20 orang yang pernah masuk sebagai Trainee, 3 tahun silam.
* * *
“Ciee, yang punya pacar nggak bilang-bilang,” goda Dina sambil menepuk bahu Egi yang sedang asyik dengan kotak dan angka di layar laptop.
“Apaan?”
“Halah, pura-pura bodoh ah. Katanya lu udah punya pacar baru bro?”
“Siapa bilang?”
“Ya tahu aja.”
“Lu percaya?”
Dina diam saja sambil berjalan ke kubikelnya, tapi sejenak kemudian ia mengangguk perlahan.
“Hahahahaha.. Din.. Din.. Yang ngawur dipercaya,” ujar Egi sambil tetap asyik menatap laptopnya. Tak lama, handphone-nya bergetar dan sebuah whatsapp muncul. Alena Puspita.
Dina melirik Egi yang beralih asyik ke handphone, lalu berkata, “Tuh kan, pacaran.”
Egi tersenyum simpul saja. Tidak bertindak lain.
* * *
Kedai kopi di sudut foodcourt ini selalu jadi tempat curhat Dina dan Egi setidaknya seminggu sekali sepulang kantor. Suasana yang hectic di kantor nyatanya bisa diredakan dengan minum segelas kopi atau teh. Dan kini, di hari Jumat, keduanya asyik dengan gelas dan handphone-nya masing-masing.
“Susah ya punya bos kayak sekarang ini,” ujar Egi.
“Kurang ajar bener lu, Gi.”
“Iya dong. Ya gimana ceritanya gue minta review kerjaan gue bener apa kagak, yang dikoreksi cuma typo-typo-nya doang. Padahal yang lebih penting kan action plan yang gue kasih. Kagak dikomen sama sekali.”
“Udah, sabar aja,” kata Dina, “Trus ngomong-ngomong gimana Alena?”
Egi sedikit tersedak mendengar Dina menyebut nama Alena.
“Kenapa emang?”
“Udah bro, kita temenan juga udah lama. Jujur aja, lu pacaran sama Alena kan?”
“Hmm, kalau iya kenapa, kalau nggak kenapa? Lagian kenapa bisa nama itu lu sebut sih. Perasaan dia kerjanya dimana, gue dimana, ketemu di kantor juga kagak.”
“Ya gue ngerti kalau Alena kerjanya di lantai 8, kita lantai 3. Ngerti banget gue mah. Tapi, gimana ya, gosip-gosip yang beredar sudah bilang begitu.”
“Buset, uda ada gosipnya juga?”
“Makanya sekali-sekali main ke pantry! Haha.. Kerja melulu sih.”
“Iya dong, pegawai teladan.”
Dina menunduk sedikit, perkataan Tia masih terngiang di benaknya dan sebagai teman yang baik, ia hendak menyelamatkan sahabatnya ini.
“Ehm, mungkin lu belum mau ngomong, Gi. Tapi andaikan iya nih, lu sama Alena Puspita itu. Gue dengar banyak hal yang nggak baik soal dia.”
“Maksud lu?”
“Ya, dari riwayat ngerebut pacar orang, terus suka pulang malam, dan yang sejenis-sejenis itu lah.”
“Hahahaha…”
“Ketawa lu, Gi?” tanya Dina dengan muka bengong.
“Dina.. Dina.. Lu tahu kan kalau gue manusia?”
“Kalau lu setan, gue nggak bakalan ngopi sama lu, dodol!”
“Nah itu dia,” ujar Egi sambil mengaduk kopi di hadapannya, “Gue, lu, bahkan Alena itu juga manusia.”
“Lalu?”
“Dan setiap manusia punya masa lalu, Din. Plus, nggak semua masa lalu itu baik. Lu tahu kalau di masa lalu gue ini perokok berat?” tanya Egi. Konsep yang satu ini ia lontarkan karena Egi tahu kalau Dina amat sangat tidak suka dengan pria perokok.
“Tahu, kan lu pernah cerita.”
“Terus, kenapa lu nggak memperlakukan gue kayak lu sebel banget sama si Herman? Jarak dua meter dari dia aja lu udah kabur?”
“Ya, kalau itu, kan lu tahu gue nggak suka cowok yang merokok.”
“Thats! Gue, dulu, dulu nih ya, lebih ganas dari Herman ngerokoknya, kenapa lu ama gue sahabatan?”
“Kan lu nggak ngerokok bro!”
“Ya itu dia. Gue punya masa lalu yang sebenarnya lu nggak suka kan? Terus kita akrab begini, artinya lu menerima masa lalu gue yang nggak oke itu.”
“Hubungannya dengan Alena?”
Ya, kalau lah, gue bener deket sama Alena. Gue kenal dia juga udah lima tahunan kali, Din. Udah cukup lama. Gue tahu beberapa masa lalunya dia juga. Jadi, kalau emang gue mau dan bisa dekat sama dia, pasti karena gue udah mengesampingkan masa lalu itu.”
Dina terdiam mendengarkan perkataan Egi.
“Lagian gue juga dulu kan bajingan. Ngedeketin cewek orang, ngajak ngedate cewek orang, sampai jadi pemberi harapan palsu juga pernah. Gue sih mikir aja, kalau gue mikir masa lalu orang yang mau gue deketin, itu bisa saja dilakukan orang terhadap masa lalu gue kan?”
“Iya juga sih.”
“Gue pernah baca status temen gue di FB. Bilang gini nih.. ‘Setiap orang punya masa lalu.. Kalo ingin pasangan dengan masa lalu yg 100% bersih, silahkan cari anak baru lahir dan awasi sampai gede baru jadiin pasangan..’,” kata Egi sambil melihat handphone-nya.
sumber: armstrongismlibrary.blogspot.com
“Ehm, iya ya. Tumben lu pinter, Gi?”
“Dari dulu gue pinter kali.”
“Jadi, lu beneran sama Alena?”
“Hahahaha, benar atau tidak. Belum saatnya gue bilang sesuatu soal hubungan pribadi gue, Din. Lu tahu kan sakitnya gue yang putus kemarin ini.”
“Hmmm, baiklah. Gue tunggu kabar bahagia dari lu deh.”
“Sip.”
Handphone Egi bergetar, sebuah pesan whatsapp dari Alena.
Dan entah kenapa ada dorongan aneh dari dalam diriku. Kuikuti sosok manis itu dari belakang. Entah, ada semacam rindu yang aneh muncul tiba-tiba. Tapi aku memilih mengikuti naluri.
Kuikuti terus, tanpa upaya memanggil. Kubuntuti sosok itu berjalan. Dan aku merasakan rindu yang benar-benar gila. Sejak kapan rindu oleh sekelebat sosok manis ini tiba? Dan kenapa dia tiba?
Sudah hampir sampai lorong ujung kampus. Aku sudah capek juga mengikutinya. Maka kupercepat jalanku. Kukeluarkan kartu nama yang selalu jadi andalanku. Yah, gadis mana yang bisa abai dengan kartu namaku, seorang yang terkenal di kampus ini.
Aku berlari, kugapai sosok manis itu. Ia berbalik dan seketika aku sadar mengapa aku rindu.
“Kamu to?”
“Iya. Kok disini?”
Sedari tadi aku mengikuti mantan pacarku, pantas saja aku merasa rindu.
Sahabat sejatiku Hilangkah dari ingatanmu Di hari kita saling berbagi
Tiba-tiba lagu “Sahabat Sejati” terngiang di telingaku, semata-mata karena mataku menangkap rangkaian huruf “Diutus Untuk Berbagi” di mobil yang masuk parkir persis di depanku.
Semesta memang pintar mengatur situasi. Bahkan setiap kejadian di semesta itu penuh dengan sebab dan akibat, logika dan keniscayaan. Kini terjadi, lagu itu terlintas keluar dari arsip otak karena hal sepele tapi pada momen yang tepat.
Kulihat BB-ku, sudah berulang kali kulihat pesan yang sama di Whatsapp ini dalam satu jam terakhir.
UGD, dekat pintu tembus ke Elisabeth
Kuletakkan kembali BB-ku di dashboard mobil sambil menanti mobil di depan bergerak.
Dengan kotak sejuta mimpi
Aku datang menghampirimu
Kuperlihatkan semua hartaku
Rumah sakit ini mungkin paling laku, hingga mencari tempat parkir mobil saja susahnya setengah mati. Mobil di depan beringsut perlahan. Aku menguntit dengan sabar.
Rumah sakit ini juga menyajikan setting yang kurang asyik. Begitu masuk ke area dalam, ada rumah duka di sisi kanan. Emosi langsung diaduk-aduk. Beberapa puluh meter kemudian, tampak makam para suster pada sisi yang sama dengan rumah duka. Ah, jadi ingat berita kecelakaan mobil bertahun silam yang menewaskan beberapa orang suster. Mereka beristirahat abadi di tempat ini.
Sampai titik ini aku belum mendapat tempat parkir. Itu berarti sebentar lagi aku akan melewati UGD. Aku pernah ada di tempat itu, jadi tahu tempat dan rasanya.
Sudah dimana?
Lewat UGD, nyari parkir 😦
Kita slalu berpendapat kita ini yang terhebat
Kesombongan di masa muda yang indah Aku raja kaupun raja, aku hitam kaupun hitam
Arti teman teman lebih dari sekadar materi
Lagu yang sama masih terngiang di telingaku ketika aku menemukan celah di dekat poli anak. Langsung kuparkir mobilku disana dan bergegas turun berlari ke UGD.
Sayup-sayup terlintas berbagai peristiwa yang terpisah satu sama lain, namun terkoneksi oleh tokoh. Yah, aku dan Adit.
Terbayang ketika aku diantar ke tempat ini, terhuyung lemas di depan pintu UGD dan bertumpu pada punggung Adit. Teringat ketika belum lama ini aku dan Adit ngobrol panjang di kafe dekat Kambang Iwak. Terlintas pula segala obrolan panjang lebar soal masa depan, mimpi-mimpi masing-masing, dan banyak hal lainnya.
Pegang pundakku jangan pernah lepaskan
Bila ku mulai lelah, lelah dan tak bersinar
Remas sayapku jangan pernah lepaskan
Bila ku ingin terbang, terbang meninggalkanmu
Aku memasuki pintu UGD. Sebagai mantan pasien, dan pernah berkali-kali kesini, aku tahu benar celahnya. Pintu itu memang selalu tertutup, tapi bisa dibuka oleh siapapun tanpa kecuali. Siapa pula yang hendak menutup pintu yang menjadi tumpuan masa depan orang banyak itu? Siapa yang hendak menghilangkan harapan orang lain akan kesembuhan di tempat itu?
Aku slalu membanggakanmu, kaupun slalu menyangjungku
Aku dan kamu darah abadi
Demi bermain bersama, kita duakan sgalanya
Merdeka kita-kita merdeka
Lagu yang sama mengiringi langkahku mencari bed tempat Adit berada. Terlintas sedikit saat-saat bahagia aku dan sahabatku itu. Memori ini muncul di saat yang tidak pas!
May melambai, aku berlari menghampiri. Dan kulihat tubuh Adit di tempat itu. Sungguhpun aku tidak sanggup berkata-kata.
Tak pernah kita pikirkan ujung perjalanan ini Tak usah kita pikirkan akhir perjalanan ini
*terinspirasi oleh lagu Sahabat Sejati (Sheila on 7)
“Gue tuh kadang iri sama lu, Win,” ujar Vienna sembari membenahi posisi duduknya. Matanya masih menerawang ke gate 3 yang belum juga menampilkan tulisan Y6-584.
“Kenapa?” tanya Windy, sambil tetap asyik pada tablet yang dipegangnya.
“Lu sama Hotman itu udah beda agama, beda suku, bisa-bisanya nikah. Lha gue?”
“Hahaha, udah gue duga. Pasti iri hati lu nggak jauh-jauh dari itu.”
“Ya iyalah. Apa lagi yang bisa gue iriin ke lu.”
“Dasar. Udah ngiri, songong juga.”
“Hahaha, ya begitulah Win. Hidup ini kadang abstrak. Giliran ada yang seiman dan sesuku, eh tukang tipu, nikung gue gitu. Giliran ada yang baik, perhatian, sabar, dan lainnya yang baik-baik, plus seiman juga, eh beda suku. Gagal maning, gagal maning.”
“Gue nggak ngerti kondisi sebenarnya, Vi. Tapi gini, lu pernah bilang kalau keluarga lu bahagia, otomatis lu juga bahagia. Right?”
“Betul sekali.”
“Lu juga kerja kayak begini, proyek ke proyek, buat bahagiain keluarga lu kan?”
“Betul juga. Kenapa sih?”
“Kalau lu mengeluh kayak barusan tadi, lu pake standar ganda dong. Kalau keluarga lu udah bilang harus seiman dan sesuku, brarti cuma syarat itu yang bikin mereka bahagia. Otomatis, cuma syarat itu yang harusnya bikin lu bahagia. Iya kan?”
Pandangan Vienna menerawang jauh ke landasan, sebuah pesawat berwarna putih dengan nuansa biru tua tampak mendarat. Ah, berarti tak lama lagi ia akan meninggalkan ruang tunggu ini.
“Iya kali, Win. Ah, entah. Bingung saya.”
“Kalau bingung pegangan, Vi. Susah bener.”
sumber: 143loveu.blogspot.com
* * *
“Lu pulang ama sapa, Vi? Bareng gue?” tanya Windy sambil menarik dan mendorong troli, sebuah aktivitas biasa kala menanti conveyor bagasi bergerak.
“Dijemput.”
“Ada gitu cowok yang jemput lu?”
“Sial. Ada lah.”
“Hmm, bentar-bentar.. Gue tebak. Paling juga Juna. Iya kan?”
Vienna terdiam, matanya sibuk memandangi BB yang nongkrong manis di tangannya.
“Iya kan, Vi? Hayo. Kapan coba gue salah nebak? Haha..”
“Iya.. Iya.. Juna yang jemput.”
Windy memiringkan badannya ke arah Vienna sambil setengah berbisik, “Emang lu masih sama dia?”
“Nggak lah. Begitu Mama bilang nggak boleh, ya langsung gue putusin.”
“Anak baik.”
“Baik apa coba?”
“Ya itu patuh pada orang tua. Hmmm, cuma kok begini ya?”
“Begini kenapa sih, Win?”
“Ya, lu pulang dinas begini, yang jemput Juna juga. Ehm, jangan-jangan lu masih berharap sama hubungan lu dengan Juna ya?”
“Entahlah. Gue sendiri juga bingung.”
“Windy Kepowati terpaksa beraksi nih. Dalam terawangan kepo gue, lu pasti masih membayangkan bakal nikah sama Juna, punya anak, terus sampai kakek-nenek bersama. Iya kan?” berondong Windy dengan kencangnya.
“Iyaaaaaa…”
“Vi, gue bilang nih ya. Gimana caranya lu mau menjadikannya masa lalu, kalau lu aja masih membayangkan masa depan sama Juna?”
“Tapi gue nggak bisa, Win.”
“Terserah sih, gue bilang tadi. Standar kebahagiaan lu jangan ganda. Pilih salah satu. Kalau nggak, lu bakal terjebak. Mau bikin bahagia diri sendiri apa keluarga lu. Percaya ama gue. Gue sama Hotman juga nggak mudah kali, Vi. Mana ada cerita beda agama, beda suku, diizinkan dengan begitu mudah?”
“Ya. Eh, itu tas lu udah nongol.”
sumber: beaut.ie
Windy dan Vienna sibuk mengangkat tas-tas besar mereka yang dibawa dari Padang tadi. Keduanya bekerja di lembaga yang menjadi rekanan proyek pemerintah. Jadilah, mereka lari-lari dari satu kota ke kota lain untuk meninjau lokasi, memberi konsultansi, hingga membuatkan rekomendasi terkait proyek yang hendak dilakoni. Sebuah pekerjaan yang menguras energi pastinya.
“Tuh, suami lu udah nangkring. Udah dari dua abad yang lalu kayaknya,” kata Vienna sambil menunjuk sosok bertopi di pintu kedatangan.
“Arjuna lu mana, Vi?”
“Entah.”
Keduanya mendorong troli hingga ke area luar kedatangan. Hotman menyambut istri tercintanya dengan pelukan hangat. Vienna mendadak dingin, seandainya ada yang berlaku demikian padanya.
“Pulang sama siapa, Vi?” tanya Hotman dengan ramah.
“Dijemput Arjuna-nya, sayang,” kata Windy menjawab pertanyaan suaminya sendiri.
“Lho, Juna mana?”
Vienna masih terdiam. BB-nya masih sunyi dari tadi. Pesan “Aku udah sampe” yang dikirimnya via Whatsapp masih berupa 1 centang hijau, dan kini ia ada di area terbuka lebar. Termasuk terbuka lebar untuk didekati orang dan ditanya, “Taksi? Mau kemana? Sama saya saja.”
“Nggak tahu nih,” jawab Vienna lemas.
“Ya ditelpon lah, Vi. Kayak orang susah aja,” ujar Windy.
Windy tentu tahu kalau soal pulsa, Vienna pasti punya banyak. Vienna hanya tidak ingin menelepon Juna, tapi anehnya tetap mengiyakan tawaran jemputan dari Juna. Bahwa satu-satunya obstruksi manis terhadap logika di dunia ini memang cinta.
“Gue tungguin aja deh. Kalau mau pulang nggak apa-apa. Duluan aja. Gue mampir ke A&W dulu. Laper cuy.”
“Oke deh, beneran ya, Vi? Gue tinggal?”
“Iya. Udah sana, silahkan honeymoon. Minggu depan kita berangkat ke Gunungsitoli loh.”
“Iya neh. Kapan gue jadi istri yang bener yak?” kata Windy sambil garuk-garuk, disambut senyum simpul Hotman.
Windy dan Hotman kemudian berjalan ke arah parkiran, sementara Vienna melajukan trolinya ke arah A&W. Mungkin rootbeer bisa sedikit membantu perasaannya yang mendadak aneh semenjak Mama menolak hubungannya dengan Juna.
Vienna terjebak dalam logika kebahagiaan yang aneh. Sejak lama, setiap kali melihat orang tuanya bahagia, Vienna otomatis merasa bahagia. Kini, orang tuanya tidak setuju pada hubungannya dengan Arjuna, padahal Vienna merasa bahagia bersamanya. Lantas apa makna kebahagiaan kalau begini?
Handphone Vienna bergetar. Sebuah pesan Whatsapp.
Dimana?
A&W. Km dmna?
Oh. Oke. Aku ksana.
Vienna meletakkan handphone-nya dan kemudian asyik dengan fish fillet plus root beer yang ada di depan matanya.
“Hey, cantik. Udah lama?”
“Udah dua minggu. Telat kamu.”
“Eh, kamu telat dua minggu?”
“Heh?”
“Lha katanya, telat. Dua minggu. Jangan-jangan kamu…”
“Udah ah. Geje kamu.”
“Hahaha.. Sorry telat, Vi. Maklum, baru bisa nyetir. Jadi pelan-pelan.”
“Kamu bawa mobil, Jun? Emang punya mobil?”
“Makanya, kalau aku whatsapp itu diladeni. Ini dicuekin melulu. Tiga bulan habis kita putus, banyak hal terjadi, Vi. Hmm, dan entahlah, kata banyak orang ini kesuksesan. Tapi buat aku, ini baru dibilang sukses kalau bisa membawaku balik lagi sama kamu.”
“Apa coba? Geje nih.”
“Jiah, masih aja dibilang geje.”
“Kan kamu geje keturunan.”
“Halah, aku geje juga sejak dekat kamu.”
“Oh, saia induktor geje memang. Siapa yang dekat-dekat, maka bakat geje-nya akan keluar.”
“Heleh. Obrolan apa nih? Nggak jelas. Tapi, ehm, I really miss this conversation. Kamu, Vi?”
“Ya, kadang. Tapi udahlah. Nggak penting juga to?”
“Huuu, jadi nggak boleh berharap nih?”
“Berharap boleh, tapi yang realistis sajalah.”
“Ya, baiklah. Ngomong-ngomong, ini aku boleh duduk nggak nih?”
“Yang nyuruh berdiri dari tadi siapa?”
* * *
“Win, nih,” bisik Vienna sambil mendatangi kubikel Windy dan menyerahkan sebuah bungkusan.
“Apaan?”
“Kira-kira apa?”
Windy dengan bakat kepo-nya tidak bisa menahan diri untuk membuka bungkusan yang diberikan Vienna. Dan matanya mendadak mendelik melihat isinya.
Ibukota memang paralel dengan macet dan tentunya paralel dengan ongkos. Tapi Vienna nggak pernah resah meski argo di taksi burung biru itu sudah menunjuk bilangan enam digit. Ia pakai voucher taksi, dan itu urusan kantor. Bagi Vienna, yang penting dia bisa pulang ke rumah dengan tenang. Ongkos ini tentunya setimpal dengan yang dia berikan untuk tempat kerjanya.
“Depan kiri, Pak. Yang cat hijau.”
“Ya, Mbak.”
Vienna turun dari taksi dan berjalan menuju gerbang rumahnya, sebelum kemudian langkahnya terhenti pada sebuah mobil yang terparkir manis di depan rumahnya.
Mobil yang sama dengan yang mengantarnya pulang dua minggu yang lalu. Mobil milik Arjuna.
“Ngapain Juna kesini?” gumam Vienna, setengah geram, tapi separuh senang.
Vienna kemudian berjalan perlahan ke dalam rumah, dan berhenti di pintu yang terbuka, tercekat disana, urung untuk masuk.
sumber: photocase.com
“Jadi Tante, saya mungkin memang nggak satu suku dengan keluarga Tante. Dan mungkin Tante nggak bisa terima kalau anak Tante berhubungan dengan saya.” Suara dari dalam terdengar sangat familiar, ah, siapa lagi, pasti Juna.
“Dasar nekat,” gerutu Vienna.
“Tapi, saya mencintai Vienna.”
“Apa cinta itu cukup?”
“Mama? Waduh, Juna nekat bener, sumpah,” gumam Vienna lagi.
“Buat saya cukup, Tante. Tiga bulan yang lalu waktu Vienna memutuskan berpisah dengan saya karena katanya Tante nggak setuju dengan hubungan kami, saya berpikir tentang banyak hal. Saya pikir, Tante pasti akan bisa menerima saya kalau saya ‘sukses’, apapun suku saya,” beber Juna sambil kedua tangannya membentuk tanda kutip.
“Maksudnya?”
“Tiga bulan itu saya berusaha lebih, Tante. Saya nggak tahu arti sukses, tapi saya mengartikan sukses itu jika bisa bersatu kembali dengan Vienna. Harta memang bukan yang utama, tapi dengan harapan bisa kembali pada Vienna, saya bisa beli rumah dan mobil. Ya, walaupun kecil-kecilan.”
“Hidup kan bukan hanya soal harta. Memangnya kamu ngapain kok tiga bulan bisa begitu?”
“Entah kebetulan atau tidak, naskah-naskah saya yang masuk ke penerbit diterima. Umumnya sih naskah novel, Tante. Dan kebanyakan terinspirasi dari hubungan saya dengan Vienna. Entah kebetulan atau tidak juga, buku-buku itu laku. Saya juga sudah dapat tawaran untuk mem-film-kan buku itu.”
“Lalu?”
“Saya juga tetap bekerja, Tante. Entah kebetulan atau tidak juga, saya dapat promosi, persis sesudah putus dari Vienna,” terang Juna, “Ya satu hal yang nggak bisa saya penuhi, saya memang nggak satu suku dengan Tante dan keluarga.”
“Gila! Bocah nekat,” gumam Vienna yang mencermati pembicaraan ‘orang dewasa’ itu dari luar.
“Jadi bagaimana, Tante? Bisakah saya kembali mencintai Vienna?”
Vienna makin terperangah mendengar suara dari dalam. Dia sudah hendak melangkah ke dalam dan membungkam mulut pria itu, sebelum kemudian mendengar Mama-nya bicara.
“Buktikan sama Tante. Jangan sekali-kali kamu buat Vienna sedih.”
“Siap, Tante. Terima kasih banyak.”
Vienna bingung dengan maksud pernyataan yang barusan dia dengar. Langkahnya tak tertahankan lagi untuk masuk.
“Permisi…”
“Vi?” tanya Juna dengan wajah serba salah. Vienna selalu mewanti-wanti Juna untuk tidak datang ke rumah.
* * *
“Silahkan kalian saling berjabatan tangan kanan dan menyatakan kesepaktan kalian di hadapan Allah dan GerejaNya.”
sumber: photo.net
“Saya, Arjuna Abhiseka, memilih engkau Vienna Nilamsari menjadi istri saya. Saya berjanji untuk setia mengabdikan diri kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup saya.”
“Saya, Vienna Nilamsari, memilih engkau Arjuna Abhiseka, menjadi suami saya. Saya berjanji untuk setia mengabdikan diri kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup saya.”
“Semoga Tuhan memperteguh janji yang sudah kalian nyatakan dan berkenan melimpahkan berkatNya kepada kalian berdua. Yang telah dipersatukan Allah…”
“Janganlah diceraikan manusia.”
* * *
“Selamat ya, sayang,” seru Windy dengan sumringah ketika menyalami Vienna dan Juna di pelaminan.
“Makasih ya.”
“Jadi ternyata benar dia masa depan lu ya?” bisik Windy sambil memeluk Vienna.
“Yup. Selalu ada asa untuk setiap masa, Win. Dan yang di sebelah ini, asa gue untuk masa depan. Thanks a lot ya.”
“Nikmati indahnya, Vi.”
“Heh, udah, yang antri banyak nih. Ntar di kantor aja pelukan lagi,” goda Hotman yang disambut gelak tawa Juna.
Handphone android-ku yang bisa instagram itu mendadak bergetar. Kuraih si Ace itu dengan malas, lingkaran hijau tampak di sudut kirinya. Sebuah pesan whatsapp. Jempolku menari di 9 titik pembuka lock dan ‘menarik’ panel navigasi dari bagian atas layar. Ah, canggihnya teknologi berhasil membuat semuanya damai dalam satu sentuhan.
“Bang, itu mbak Ola jomblo loh :D”
Sebuah pesan penuh makna dari Adan, adik tingkatku waktu kuliah dulu. Ola itu teman seangkatanku yang sekarang jadi manager purchasing di perusahaan tempatnya bekerja. Cantik sih. Dan dia dulu adalah pacarnya teman akrabku, jadinya aku lumayan akrab sama dia.
Dan entah mengapa cecunguk bernama Adan ini mengabari info yang semacam ini. Bahkan aku sendiri tak yakin dia kenal dengan Ola.
“Emang kowe kenal?”
“Yo ora sih. Tapi hari gini kan di dunia maya semua orang berkenalan Bang. Hohoho.”
Aku bangun dari pose tidur indahku di sore hari penuh ketenangan ini. Perihal jodoh memang sudah jadi isu besar dalam hidupku. Usiaku sejatinya belum tua benar, lagipula cowok seumuranku masih banyak yang belum menikah. Dua puluh delapan bukanlah angka yang menakutkan bukan?
“Pungguk merindukan bulan bro..”
“Lha?”
“Ora level lah.”
“Ya siapa tahu Bang. Level kan nggak cuma soal tinggi badan. *ups… Maksudku, kalian kan yo wis saling kenal.”
“Trus?”
“Usia juga serupa dan pasti dikejar target menikah to? Nek wis kenal kan nggak usah pacaran suwi-suwi. Hehehe. Sekadar usul lho Bang.”
“Hahaha. Aku kan ora ngepek konco, Dan.”
“Ya, siapa tahu faktor usia membuat prinsip berubah Bang.”
“Pinter tenan persuasimu.”
“Yo iki kan demi kemaslahatan umat.”
Diksi apa pula itu? Bah, adik tingkatku ini memang punya pilihan kata yang super absurd sejak buku-bukunya mulai laris di pasaran.
“Pokokmen nek isu dipertimbangkan Bang. Menurutku ini ide menarik.”
“Yo. Maturnuwun idenya. Iki pungguk tak ngimpi sik.”
“Jiahhh bang. Kowe ki wis tinggal lompat udah jadi bos juga. Podo-podo bawa stang bunder ngko.”
“Hahahaha…”
“Yowis yo. Aku tak bedah buku sik. Nglarisi dapur.”
“Yo. Sukses bro.”
“Sip.”
Sebuah percakapan antah berantah dengan ide yang menurutku gila. Secara tinggi badan saja aku sudah tidak memadai, bagaimana mungkin aku bisa mendekati Ola. Lagipula biasanya orang Purchasing itu galak, meski di beberapa company tempat lompat-lompat ada juga yang kalah galak dari PPIC. Tapi sebagai teman lama, masak sih Ola galak padaku?
Iseng-iseng, aku tertarik dengan ide cecunguk Adan ini. Sebenarnya aku masih sering kontak-kontak ringan dengan Ola. Jadi sebuah kontak bukanlah isu yang besar.
“Olala, piye kabare?”
Sebuah pesan whatsapp melayang pada Carola Tyana.
“Sae bro. Kowe?”
Dan bahkan obrolan kami adalah ala Jawa sekali, pakai kata ganti ‘kowe’. Ini jelas pertanda teman sejati.
“Mestinya demikian. Sibuk ora? Tak telpon o.”
“Wahhhh.. Pucuk dicinta ulam tiba ki. Telpon waee.. Lagi butuh konco curcol.”
Buat asisten manager macamku, tentunya nggak boleh bermasalah soal pulsa. Sekali aku tidak berhasil menelepon supervisorku semata-mata tiada pulsa bisa menyebabkan produk 1 batch yang nilainya miliaran bubar jalan. Jadi aku punya spare sangat lebih untuk pulsa. Tentunya untuk sekadar menelepon Ola bukanlah perkara besar.
“Halo? Tumben niat nelpon kowe?”
“Feelingku kan apik. Ono konco lagi gundah.”
“Jiahhh.. Tapi pas tenan. Haha. Aku jomblo kie bro.”
“Lha kok pedhot?”
“Tentunya karena tidak cocok. Lha opo maneh. Padahal aku pengen tahun iki nikah sih.”
“Sama, Olala!”
“Huh, golek konco kowe yo.”
“Kan emang wis konco to La?”
“Iyo sih. Lha kowe isih jomblo-jomblo wae?”
“Yo ngene ki lah. Fokus golek harta sik wae.”
“Opo bro? Mobil nggak usah kan ya? Paling dapat dari kantor. Rumah mesti.”
“Lha kowe sik manager La, oleh mobil. Asman ki durung oleh. Yo coba-coba cari properti ki.”
“Lha kok sama lagi kita bro?”
“Eh? Sebelah mana?”
“Aku yo lagi cari-cari rumah.”
Ups, sama-sama jomblo, sama-sama pengen nikah tahun ini, plus sama-sama mau cari rumah. Bukankah kesamaan-kesamaan itu tampak sama untuk disamakan?
“Ehm, ayo nek ngono, golek bareng La.”
“Bolehhhh, kapan?”
“Kapan kowe iso lah. Nek orang pabrik kan cetho jam-nya. Purchasing kali ada meeting luar negeri.”
“Hahaha.. Ora lah bro. Weekend seloww saja. Next weekend?”
“Dicatat. Kowe jemput aku yo? Kan yang bermobil situ. Hahaha.”
“Huuuu.. Yowis, gapapa. Tak jemput mana? Lha kowe di Cibitung to? Adoh men aku le methuk.”
“Yo gampang. Ketemu di MM Bekasi saja. Kita searching daerah Bekasi dulu.”
“Pinter kowe bro. Sayang durung manager. Hehehe.”
“Ngece ki bu bos.”
“Ora.. ora.. bercanda pak Asmen. Okelah, sampai jumpa next weekend.”
“Siap bu bos. See you.”
Telepon ditutup, dan sepertinya aku bisa memulai sesuatu yang baru dari sini.