Cerita MOS di Kandang Manuk

Blog ini sudah sesepi hati CPNS yang gagal mendapatkan kekasih pada saat prajab. Saya lalu bingung, mau menulis apa pula. Scroll punya scroll, lagi marak membahas tentang yang namanya MOS alias Masa Orientasi Sekolah (atau Siswa? Mbohlah). Sebagai anak muda peralihan Orde Baru ke Orde Antah Berantah, bisa dibilang saya berada di era MOS dimulai. Persis sebelum angkatan saya, setiap anak muda yang baru masuk SMP kudu ikut kegiatan bertajuk Penataran P4. Beuh!

Sekolah+De+Britto,+Yogyakarta,+2009Apa yang saya dapat ketika MOS di SMP? Yeah, kakak kelas yang kebablasan! Sangat kebablasan karena tidak ada satupun nilai edukatif yang muncul. Saya ingat benar, beraneka ragam rupa kakak kelas mendekati saya dan mengoleskan kapur tulis basah ke pipi, hidung, dan segala tempat yang tersedia di muka saya nan hina. Saya adalah anak dengan noda kapur terbanyak. Kenapa? Karena saya anak guru PPKn. Mungkin mereka dendam. Bisa jadi.

Tiga tahun berlalu, saya lantas kabur ke sebuah kota yang sekarang sudah penuh hotel sampai ke jalan-jalan tikus. Sudah penuh mal juga, sampai-sampai harus pakai nama orang jadi nama mal. Dahulu, empat belas tahun silam, hal itu tidak ada. Dalam perjalanan dari rumah Simbah ke sekolahpun, saya masih bisa melihat ular berganti kulit hingga jomblo yang menangis.

Pekan-pekan awal tentu tidak mudah, apalagi di sebuah sekolah menengah yang punya status kandang manuk alias semua siswanya punya burung. Ya, benar-benar tidak mudah, apalagi bagi anak kampung macam saya.

Acara wajib bernama MOS tetap ada, namun MOS yang sebenarnya justru ada beberapa hari kemudian, sepulang sekolah sampai malam hari. Sebuah acara yang bernama INISIASI. Acara Inisiasi ini tentu saja berbeda dengan MOS yang pernah saya alami, pun dengan Kamus MOS yang jamak beredar saat ini. Makanya saya mau cerita sedikit-sedikit. Sesedikit pembaca dan pembeli buku saya OOM ALFA. (Uhuk! Beli dong! Di Playstore akan kok!)

Inisiasi di Kandang Manuk dimulai dengan acara baris-berbaris di PBB. Cukup wagu, apalagi dibandingkan dengan stigma bahwa sekolah ini cuma upacara sekali dalam setahun. Tapi namanya anak baru, apa-apa ya diikutin saja, termasuk ketika Tutor yang mengajari PBB bahkan skill PBB-nya masih kalah dari anak Sempe Tupa (SMP Tujuh Payakumbuh) yang jadi lawan SMP saya di LASP3 2000.

Namun kiranya PBB itu hanya secuil, sebenar-benarnya cuil dari rangkaian total kegiatan. Kok gitu? Masih ada tugas membuat call-card. Masalahnya mungkin bukan di terminologi “membuat call-card”, namun lebih kepada seperti apa benda itu akan dibuat. Patokan bentuk, sih, ada. Namun ukurannya bikin dahi berlipat layaknya perut PNS kekinian. Untuk mendapatkan satu angka–sebutlah–2 cm, itu harus menyelesaikan persamaan yang kira-kira begini:

Jumlah lampu di kelas 7A + (Jumlah jengkal panjang aula/Panjang teralis loket pembayaran yang sekolah) – Keliling pohon talok dekat WC dalam Inchi

Ya, semacam itulah kira-kira.

Itu baru call-card. Pada akhir hari, anak-anak muda yang sebagian diantaranya tidak tahu apa-apa tentang kota yang baru 1-2 pekan ditinggalinya harus mencari benda-benda yang tidak aneh. Namun benda-benda biasa itu menjadi tidak biasa ketika ada keharusan merk tertentu yang bahkan belum pernah saya dengar sama sekali. Dua yang saya ingat adalah Kopi Susu merk Ya! dan Mie Instan Gurimi. Butuh keliling kota untuk menemukan benda-benda itu semua.

Semuanya itu masih ditunjang oleh kewajiban membawa kantong kresek sebagai wadah barang yang diwajibkan untuk dibawa itu. Dan tentu saya bukan sembarang kantong kresek karena dari sekian kelompok yang ada harus membawa kresek dari toko yang berbeda-beda. Mulai dari Gramedia, Gelael, Ramayana, hingga–toko legendaris yang kiranya lebih luas dari Mal Lippo Cikarang–Gardena. Susah, sungguh susah. Apalagi senior yang mendiktekan list itu adalah sekelas Thoni Chandra yang sekarang kerja saja di luar negeri.

Lucunya, benda-benda aneh itu selalu berhasil saya dapatkan pada jam pelajaran oleh kawan-kawan nan baik hatinya. Sepanjang inisiasi, hanya 1 barang yang luput saya bawa dan itu sesungguh-sungguhnya sepele: gula 1/4 kilogram. Fak!

Sepanjang inisiasi, tekanan hidup sungguh luar biasa. Teriakan dari Seksi Tatib membahana kesana kemari dengan lantangnya. Bayangkan, pintu baru dibuka, sudah dibengoki “Ayo, Cepat!”. Sudahlah disuruh cepat, begitu lewat anak tangga, dibengoki meneh, “Tangga jangan dilompati!”. Melirik sedikit ketika baris juga kena damprat, minimal kena plirikan. Dipikir-pikir mau melirik apa, isi aula itu kan lelaki semua. Beuh. Pas giliran snack juga bukannya enak. Bagaimana bisa enak kalau kita makan lemper sambil diteriaki supaya cepat, belum lagi dengan faktor minuman berupa teh yang panas. Belum lagi ketika menyanyikan jingle yang gerakannya asli lucu, tapi kita nggak boleh ketawa. Senyum dikit, maka “Apa kamu senyum-senyum?”

Ketika lantas tiba saat menginap dan masuk sesi mandi sore, fenomenanya makin keren karena memaksa para peserta untuk bisa mandi secara mangkus dan sangkil. Baru masuk WC sedetik, sudah diketok, “Ayo, Cepat!”. Lha edan. Guna memperingkas keadaan, maka di dalam WC yang kurang dari 2 kali 2 meter itu berjejal 4 manusia yang sama-sama berbelalai tidak panjang dengan aktivitasnya masing-masing. Entahlah. Kok yo iso. Aku yo heran. Bagian paling epik dari aktivitas ini adalah ketika ada sempak yang ketinggalan, dan kemudian diangkat-angkat di dalam aula dengan pertanyaan, “Punya siapa ini?”. Sungguh pertanyaan yang menusuk harga diri pemilik sempak.

Seluruh kegiatan dan kegilaan akan ditutup ketika pagi-pagi buta, para lelaki itu disuruh bangun dari tidurnya yang kademen karena harus bobok di ruangan yang tembok kelasnya cuma separo. Di kegelapan pagi itu, mereka harus bertelanjang dada dan pergi ke lapangan bola. Di lapangan bola, mereka lantas guling-guling dan entah apalagi yang dilakukan hingga kemudian tiba saat berbaris. Satu demi satu lelaki itu maju, memasukkan call-card yang digarap dengan sepenuh jiwa dan setengah misuh ke dalam api, kemudian mereka diguyur air berikut bendera merah putih. Ada janji dan ada komitmen. Sejak saat itu, batas senioritas bisa dikatakan pupus sudah. Perkara ada hal-hal yang dibawa ke daerah sekitar LPP, itu ranah yang berbeda.

Pernah saya dihantam oleh kakak kelas dalam rangkaian itu? Tidak sama sekali. Dipliriki sih sering. Tapi mengingat MOS sampah yang saya alami di SMP semata-mata karena saya anak guru, Inisasi yang saya dapat justru tampak maknanya. Kresek dan benda-benda biasa bermerk aneh itu memang dikaji agar anak yang baru masuk kota itu berkeliling benar-benar. Dipaksa untuk mengitari tempat yang akan dihuninya selama setidaknya 3 tahun ke depan.

Ketika lantas berada di pihak yang berbeda, saya melihat profilnya dengan jelas. Yah, meladeni arem-arem kepada lelaki muda yang mau makan saja tertekan itu tidak mudah. Menuang teh panas ke gelas saat yang akan meminumnya kudu buru-buru menghabiskannya juga mengiris hati. Atau ketika lantas jadi Tutor, tahu bahwa ada diantara anak di kelompok yang dulunya Pramuka tangguh. Pun dengan mendapati anggota kelompok yang kebingungan dan menyembunyikan diri ketika tidak membawa suatu benda yang disuruh. Ya, seru saja, tahu dua sisi semacam itu.

Dalam periode itu, pernahkah saya dipermalukan dengan bikin kalung dari gayung? No! Ya, aneh-aneh tapi menurut saya tidak aneh yang dipaksa kayak di kampus anu yang memaksa mahasiswa baru untuk pakai topi dari bola plastik yang ditambahi rumbai-rumbai tali teyen. Fak sekali.

Soal kegiatan juga nggak main-main. Ada sesi diskusi dan semacam debat dari kelompok presentasi dan disanggah oleh teman lain di satu kelas. Di sesi diskusi inilah, saya pertama kali mengenal kata kunci abad ini: Asu.

Disitu menurut saya bedanya antara MOS yang disoroti sama Pak Anies Baswedan dan jajarannya dengan Inisiasi yang saya alami. Tidak pernah ada kekerasan fisik setidaknya selama tiga tahun saya terlibat. Kalau ada Tatib yang kebablasan misuh, dia akan berurusan dengan guru yang turut serta di sepanjang proses. Bahkan batas yang saya bilang pupus itu beberapa kali bablas jadi wagu ketika ada Tatib yang dua hari lalu bilang “Tangga jangan dilompati” malah berkata “Silakan dilompati”. Namanya juga anak SMA, pasti kebablasan, sih. Yang jelas, guru-guru selalu ada dan berbeda dengan saat saya SMP ketika para gurunya malah memasrahkan MOS kepada anak kelas 3. Guru-guru itu ada di setiap seksi, dan ada bintang utamanya. Ada Pak Guru yang sekarang kolumnis rajin sekaligus pengajar tentang kepenulisan kemana-mana. Ada juga Pak Guru Matematika yang kalau marah-marah malah kayak baca puisi, dulu kerempeng sekarang buncit. Ada juga Pak Guru agak bantet dan bangga bisa mempersunting etnis Tionghoa. Kontrol mereka membantu meredam niat balas dendam menjadi terarah. Menurut saya demikian.

Dengar-dengar, semakin Inisasi ini berada di Orde Baru, semakin keji dan lucu pengalaman yang dijalani peserta. Tentu saja saya tidak hendak bertestimoni karena tidak mengalaminya. Cukuplah saya menulis yang saya alami saja, tepat 14 tahun yang lalu. Melalui tulisan ini, saya hanya hendak menekankan bahwa keberadaan guru itu penting sangat, plus segala hal yang aneh-aneh itu pada prinsipnya tidaklah aneh ketika dasarnya jelas, bukan dasar turun-menurun dan lucu-lucuan belaka. Dengan begitu, MOS jadi sebenar-benarnya ajang untuk mengenal sekolah, teman-teman, sekaligus mengeksplorasi diri di tempat barunya. Mungkin Mas-Mas dan Adek-Adek yang mengalami hal berbeda, bisa share di komen ya.

Bagi Tuhan dan Bangsaku!

Advertisement

Pengalaman Membuat Paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Pusat

PENGALAMAN MEMBUAT PASPOR DI KANTOR IMIGRASI JAKARTA PUSAT

Jadi gini. Dalam beberapa hal saya memang masih kalah sama orangtua saya, termasuk juga dalam aspek dulu-duluan ke luar negeri. Bapak-Mamak saya sudah sampai Petronas, saya lebih milih sampai Danau Sentani. Itu juga dibayari negara. Kurang baik apa negara ini? Lho?

Nah, dalam rangka nggak mau kalah sama Bapak dan Mamak akhirnya saya membulatkan perut dan tekad untuk membuat paspor. Dasar kere, umur 28 baru buat paspor. Lha piye meneh? Jadi saya itu buat paspor juga tanpa tendensi hendak ke luar negeri dengan segera. Cuma memang saya sudah melewatkan beberapa lomba blog yang mensyaratkan punya paspor untuk mengikutinya. Kan sedih.

wpid-photogrid_1436282262424.jpgSetelah mengecek ke imigrasi.go.id, problema utama ternyata adalah pada verifikasi keaslian. So, saya harus bawa Kartu Keluarga asli. Padahal tahun lalu itu KK sudah saya bawa buat mengurus pencairan JHT buat beli tivi dan bayar cicilan rumah karena waktu itu saya sudah tiga bulan nggak gajian. Kan pedih. Heu.

Selengkapnya, klik disini!

Kajian Manajemen Risiko Terhadap LDR

Minggu lalu saya habis ikutan training tentang Manajemen Risiko. Ini ilmu yang lagi ngehits banget di dunia manapun, kecuali di negara yang rakyatnya hobi ngeshare berita cuma dari baca judul doang, lalu maki-maki orang di Pesbuk–padahal kenal juga kagak. ISO paling umum, 9001:2008, sedang mengarah ke 9001:2015 dengan penekanan Manajemen Risiko. Jadi ke depan, nggak akan ada auditor internal kacrut sok galak yang kemudian menemukan sebuah form yang tidak ditandatangani, kemudian mengenakan klausul 4.2.2 dan 4.2.3 sebagai temuan. Yang ada, pendekatannya, ketika form tidak ditandatangani, risikonya apa? Nah, itu baru bener.

word-cloud-risk-management-related-items-32680353

LDR? Selengkapnya, nih!

5 Hal Menarik dari PRJ 2015

Jakarta Fair alias Pekan Raya Jakarta 2015 telah usai. Untunglah tahun ini saya sempat ke PRJ setelah puluhan tahun tidak ke PRJ. Yes, jelas puluhan karena terakhir kali saya ke PRJ itu tahun 1989. Chelsea Islan–yang kalau gereja ke Gereja Santa–saja belum dibuat pada saat itu. Tenang saja, saya tidak berburu chiki 10 ribuan, saya malah tertarik sama AMDK yang iklannya menurut saya terlalu berlebihan bilang-bilang manis. Padahal, jelas saja lebih manis Chelsea Islan dan Maudy Ayunda. Ya, toh?

Sumber: Tribun
Sumber: Tribun

Nah, begitu saya mencecap (tsah) PRJ 2015, akhirnya saya menemukan beberapa fenomena menarik yang terjadi. Boleh jadi ini fenomena 2010, 2013, dan tahun-tahun lainnya. Namun saya tidak berani menyimpulkan, mending membuat kesimpulan pada kejadian yang memang saya lihat sendiri buktinya.

So, apa saja hal menarik itu?

1. Bayi-Bayi Merah Yang Tangguh

Namanya orangtua membawa anaknya ke tempat ramai itu biasa. Toh saya juga ke PRJ 1989 itu dalam usia saya yang baru 2 tahun lebih sedikit, adek saya jelas lebih muda lagi. Tapi saya juga nggak ingat sudah ngapain saja di PRJ 1989 itu, membaca saja saya belum bisa, apalagi menghitung sisa KPR.

Suelengkapnyuah!

Perjalanan ke Paskalis

Kata orang, perjalanan itu dilakukan untuk pulang. Demikian pula #KelilingKAJ. Mungkin saya bisa jalan-jalan sampai Kedoya atau sampai Abepura (ini mah sudah beda provinsi gerejawi), namun kadang-kadang kita perlu menjelajah TKP yang dekat-dekat saja dari kos-kosan, walau bukan paroki tempat saya bernaung. Dimana itu? Masih satu Dekenat dengan Jalan Malang, #KelilingKAJ kali ini membahas tentang Gereja Paskalis.

Dimana lokasinya?

Paroki Cempaka Putih yang menaungi Gereja Paskalis ini sebenarnya mudah sekali dicapai, yakni di Jalan Letjen Soeprapto Cempaka Putih. Tidak jauh dari gedungnya Bea Cukai atau juga Rumah Sakit Islam maupun kantor pusat Kalbe Farma hingga Kantor Pusat Taspen. Halte TransJakarta terdekat adalah Halte Pasar Cempaka Putih yang berada di dekat Ace Hardware Cempaka Putih.

Selengkapnya!

Cermat Finansial Bersama cermati.com

Hidup memang makin susah. Loh, kok malah ngeluh. Mengeluh memang aktivitas beberapa manusia yang belakangan baru ngerti Yunani dan kemudian buru-buru menyimpulkan bahwa negeri ini bisa bangkrut kayak Yunani, tanpa tahu apapun. Hihi. Nah, biar ngerti, salah satu yang perlu kita baca–selain berita yang benar–adalah cermati.com!

Kok gitu?

Dengan membaca cermati.com kita bisa mengetahui aneka produk keuangan mulai dari Kartu Kredit, Kredit Tanpa Agunan (KTA), Kredit Multi Guna (KMG), tabungan, deposito, hingga kredit motor sekalipun. Dengan mengetahui itu semua kita tahu bahwa dunia perbankan negeri ini masih sangat kompetitif satu sama lain. Kok bisa? Bisa dong, karena di cermati.com kita bahkan bisa membandingkan antar produk satu sama lain, misal tabungan dari bank yang satu dengan bank lainnya. Keren kan?

Nah, tak kenal maka tak pacaran. Jadi mari kita kenalan dulu sama Cermati. Cermati adalah perusahaan startup yang bergerak di bidang teknologi finansial Indonesia, didirikan oleh para teknologis dari Silicon Valley dengan tim yang sudah berpengalaman di perusahaan-perusahaan terknologi global terkemuka kayak Google, LinkedIn, Microsoft, sampai enabler PPIC saya tercinta, Oracle. Cermati punya visi untuk menjadikan informasi finansial lebih mudah diakses dan lebih berguna bagi setiap orang dengan menggunakan platform teknologi. Dan produk-produk yang ada memungkinkan kita-kita untuk membuat keputusan finansial yang paling tepat dan cermat untuk situasi finansial sendiri karena kesuksesan finansial selalu bermula dari keputusan yang cermat, selain warisan yang banyak.

Untuk manusia dengan gaji 1,9 juta (dan nggak naik-naik) kayak saya, keberadaan cermati.com lantas menjadi penting karena saya bisa membandingkan dan mengajukan Kredit Tanpa Agunan dengan pilihan yang terbaik. Kenapa, gitu? Yes, karena di cermati.com ada pilihan pencarian yang bermacam-macam. Mau yang dana cepat? Ada. Fee rendah, tenor panjang, bisa bayar awal, hingga yang plafon tinggi tinggal klik dan kita akan ditunjukkan pilihan-pilihan produk keuangan dari berbagai bank. Ini penting karena untuk aspek keuangan ini banyak orang yang kadang nekat tapi nggak tahu, banyak juga yang lantas melewatkan banyak hal karena takut ambil risiko, ya, karena nggak tahu itu tadi.

Dengan pencarian di Cermati, kita bisa mengetahui suku bunganya, total pembayaran, bahkan termasuk cicilan per bulannya. Jadi kita sebagai calon pengaju KTA bisa benar-benar memilih dan tidak karena terpaksa diteror mantan–yang kebetulan jadi telemarketer.

cermatiJika ingin mengetahui lebih jauh, bisa banget. Startup cermati.com ini juga membuat kita bisa melakukan simulasi kredit. Mau simulasi tenor kreditnya atau jumlah kreditnya, bisa-bisa saja. Tidak hanya itu, ketakutan bahwa KTA ini banyak biaya silumannya bakal sirna dengan mudah karena di cermati.com ditampilkan juga biaya-biaya yang menyertai,termasuk biaya pembayaran awal, asuransi, dan lainnya.

Dan guna melengkapi informasi itu, cermati.com juga memuat sampai kepada persyaratan dan ulasan. Misal, usia pemohon berapa tahun? Ada. Mininum gaji? Ada juga. Jadi, dengan gaji saya yang 1,9 juta saya bisa memilih KTA yang relevan untuk modal kawin. Lha iya toh? Kurang apa lagi? Cermati berhasil menjadi solusi untuk lebih cermat mengelola gaji 1,9 juta, eh, mengelola keuangan utamanya yang terkait dengan penggunaan produk-produk keuangan yang kalau nge-Google satu-satu bisa menyebabkan harga cabe naik duluan, saking lamanya.

Yup, segitu dulu. Ini saya lantas jadi sibuk mau cari-cari KTA, soalnya. Buat apa? Yang jelas, bukan buat beli batu akik. Salam cermat!

Menyambangi Cagar Budaya Santa Maria de Fatima

Sesudah beberapa pekan sepi karena banyak hal, maka perjalanan #KelilingKAJ kembali dimulai persis pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus alias harinya komuni pertama. Tenang saja, saya tidak dalam posisi ngeh melakukan #KelilingKAJ pada saat komuni pertama. Cuma kok pas sampai Gereja, banyak anak dengan baju putih-putih, baru sadar. Sadar kalau misanya bakal lama, maksudnya.

TKP #KelilingKAJ kali ini sebenarnya sudah saya incar dari dulu karena keunikannya, baru sempat setelah saya melihat Google Street terlebih dahulu dan jalannya diketahui dengan pasti. Kenapa begitu? Nanti pasti tahu, deh, soalnya #KelilingKAJ kali ini melangkah ke Gereja Santa Maria de Fatima di Toasebio.

Dimana itu?

Untuk mencapai Gereja Toasebio ini, halte TransJakarta terdekat adalah Halte Glodok. Dari halte, keluar ke arah gedung yang baru dibangun, lantas berjalan sampai kelihatan JNE dan sebuah jalan berpagar hitam. Dari situ jalan saja dan ikuti petunjuk yang sangat membantu, yakni adanya papan petunjuk sekolah Ricci. Nanti akan sampai di Vihara, dari situ belok kiri lalu ikuti saja jalan yang ada dan nanti di sebelah kanan akan tampak sekolah Ricci nan megah. Gereja Toasebio ini berada persis di sebelah sekolah Ricci. Sekilas pandang, tidak jauh berbeda dengan Vihara karena sebenarnya letak keduanya boleh dibilang belakang-belakangan.

Selengkapnya!