Tag Archives: parenting

Isto ke Barbershop

Pandemi ini memang sialan. Dia terjadi ketika anak saya berumur 2 tahunan dan belum belum berakhir ketika anak saya mau berumur 5 tahun. Bayangkanlah ada betapa banyak kesempatan eksplorasi yang hilang sebagai bagian dari mitigasi risiko yang diterapkan oleh saya dan Mama Isto sebagai orangtua.

Ya kalau disuruh memilih kesempatan eksplorasi sama keselamatan anak tentu kami akan auto menunjuk yang kedua, dong~

Di sisi lain, pandemi juga membuat kita belajar makna adaptasi. Anak saya karena dicekokin tentang makna masker dari usia 2 tahun lebih banyak, sampai sekarang urusan masker itu tertib minta ampun. Kalau kami lagi nongkrong di Starbucks, misalnya, ya dia pakai masker. Untuk minum, baru buka masker, dan kemudian dipakai lagi. Setertib itu, sih. Dan itu bukti bahwa anak-anak itu sebenarnya mau kok untuk pakai masker.

Pandemi juga membuat saya memperoleh kemampuan baru karena keterbatasan: cukur rambut. Ambyar sudah pasti. Ada kali 7-8 percobaan saya memangkas rambutnya Isto dan 2 diantaranya berakhir pitak. Waktu mencoba mesin bayi bahkan pitaknya paripurna. Untung dia belum paham bahwa penampilannya diusik oleh bapaknya. Jadi masih nggak apa-apa.

Akibatnya adalah rambut bagian belakang bawahnya itu jelek sekali. Awut-awutan. Sama sekali tidak cocok untuk dibawa ke sekolah. Penampilannya tampak memalukan dan untuk itu kami harus berbenah! Kebetulan, sejak September alias pasca gelombang Delta, saya sudah ke barbershop lagi. Dan saya lihat sendiri bahwa barbershop beradaptasi dengan baik. Bisa kok mencukur rambut sambil pakai masker, baik yang dicukur maupun yang mencukur. Di sisi lain, kalau saya yang nyukur, dia banyak alasan. Geli lah, gatel lah, dll. Saya pikir kalau dikasih ke orang yang dia nggak kenal, plus pakai alat bantu berupa apron dll mestinya dia lebih tenang.

Oya, kalau mau ngapa-ngapain, kami selalu berdiskusi. Hasil diskusi 3-4 hari, dia akhirnya mau cukur rambut di outside dengan orang. Kemarin, sepulang saya dari vaksinasi booster, begitu masuk rumah dia langsung nodong, “Pa, Eto mau cutting rambut di outside sama orang…”

Nah, mumpung mau, saya langsung bergegas membawanya berangkat ke salah satu barbershop yang direkomendasikan teman cocok untuk anak-anak. Tidak jauh benar dari rumah. Namun karena panasnya ngentang, kami naik taksi daring.

Mengapa barbershop dan bukan kiddy-kiddy-an seperti dahulu?

Pertama, saya agak tidak masuk akal sama tarif di kiddy-kiddy-an itu. Ha mosok rambut yang dipotong lebih sedikit, tapi tarifnya bisa dua kali lipat? Segitunya kalau cuma tempat duduk berupa mobil-mobilan juga ada di barbershop kan. Kedua, saya ingin Isto paham bahwa kelak di masa depan, tempat seperti barbershop adalah sarananya untuk berbenah diri. Yah, setidaknya berbenah rambut. Terakhir, saya sering melihat keintiman bapak-anak di barbershop dan tentu saya ingin mempraktikkan sendiri.

Seperti saya bilang tadi, kami berangkat dengan deal. Yha, bahwa Isto harus tenang, kalau tickle nggak apa-apa, harus nurut sama yang nyukur, dll-dll. Bagi saya inilah seninya parenting. Kita mungkin bisa mengancam dan dengan segera anak akan menuruti perintah. Hanya saja, apa gunanya sih mereka menuruti perintah kalau nggak paham esensinya? Mengancam itu hendaknya dipakai kalau lagi kepepet aja. Cuma, jangan dibuat juga keadaan kepepet terus biar bisa ngancem terus. Heuheu.

Dia masuk ke barbershop dengan girang dan tertawa-tawa. Seketika lantas masuklah barber berbaju Juventus dengan penampilan mirip Andrien Rabiot. Untunglah Isto tidak sedang pakai baju Inter. Kalau tidak, nanti judulnya kan ngeri:

INTER DICUKUR GUNDUL OLEH JUVE!

Ketika hendak meninggalkan rumah untuk cukur, Isto bilang bahwa dia adalah brave boy yang nggak akan nangis ketika cutting rambut di outside sama orang. Dan hal itu kemudian diulang-ulangnya ketika dia kemudian geli namun tetap tenang saat dicukur. Saya melihat bahwa dia sebenarnya pengen nggak nurut, tapi nggak kenal sama barber jadi perlawanannya nanggung.

Cukur rambut diakhiri dengan sesi keramas yang sayapun baru kenal itu beberapa tahun belakangan. Dulu ketika saya masih langganan Asgar kan nggak ada tempat keramas. Nah ini anak 4 tahun dikeramas pakai alat khusus yang ada di salon-salon itu. Dari matanya terlihat kan senyumnya. Hehe.

Mengantar anak ke barbershop adalah milestone baru dalam kehidupan saya. Berdua saja dengan keintiman bapak-anak yang kerap saya lihat sebelumnya. Ah, semoga saya bisa selalu ada di sampingnya, sekurang-kurangnya sampai dia cukup tangguh untuk mengarungi beratnya dunia ini.

Daycare Murah Pemerintah Daerah Demi Peningkatan Produktivitas dan Generasi yang Berkualitas

Sudah lebih dari 400 hari saya menjadi bapak rumah tangga dengan mengasuh anak di rumah sembari menyelesaikan tugas-tugas sebagai mahasiswa penerima beasiswa. Istri saya adalah pekerja rumah sakit sehinga WFH-nya bermakna Work From Hospital.

Sebelum pandemi, anak saya adalah penghuni daycare alias tempat penitipan anak. Ada beberapa alasan saya dan istri menggunakan opsi ini. Pertama, tentu saja lelah dengan drama Pekerja Rumah Tangga (PRT). Alasan kedua adalah alasan tumbuh kembang. PRT kedua saya memang termasuk keren dalam hal mengajari anak saya sedikit-sedikit tentang motorik, hanya saja tentu tidak terkonsep. Sementara di daycare, ada semacam kurikulumnya. Selain itu, anak saya jadi punya teman.

Sederhananya daycare adalah solusi bagi orangtua yang tidak bisa resign demi membersamai buah hati. Masalahnya klasik: tentang bagaimana bisa hidup. Gaji pokok saya ketika aktif bekerja di bawah UMR Jakarta. Hanya tiga juta koma sekian. Bagaimana mungkin saya meminta istri—seorang S2 lulusan Inggris bergaji lebih dari 2 kali lipat dari suamnya—untuk resign?

Kala menjadi bapak daycare, saya mendapati sejumlah orangtua tunggal. Sudah jelas, dia tidak bisa disuruh resign demi menjaga anak karena dia satu-satunya pencari nafkah. Jadi, persoalan membersamai pengasuhan anak sejatinya tidaklah sesederhana salah satu harus tidak bekerja untuk mengurus anak. Ada begitu banyak pertimbangan yang sifatnya sangat individual.

Oya, saya tinggal di Tangerang Selatan dan menggunakan jasa daycare dengan tarif mendekati gaji pokok saya per bulan. Untung yang bayar istri saya. Bayangkan kalau bekerja di Jakarta dengan UMR dan harus membayar 3 juta hanya untuk daycare. Jelas tidak masuk akal karena ada begitu banyak biaya lain dalam rumah tangga yang harus dialokasikan. Hal itu kemudian membuat sejumlah anak dititipkan ke tetangga, ke orangtua, dan opsi-opsi lain yang memungkinkan.

Bagaimana soal gizi? Soal stunting? Bagaimana soal motorik halus? Entahlah.

Kita berbicara angka begitu banyak anak-anak. Di kota-kota penyangga Jakarta, jumlah anak usia 0-4 tahun tidak jauh berbeda dengan jumlah orang seusia orangtua mereka, kurang lebih begini gambarannya:

Di kota-kota penyangga Jakarta banyak rumah tangga muda yang pola hidupnya cukup kejam karena harus menghabiskan waktu 2-4 jam hanya untuk berangkat dan pulang kantor karena jarak rumah ke kantor itu bisa puluhan kilometer. Saya saja yang ‘cuma’ naik KRL dari Stasiun Jurangmangu harus berangkat pukul 06.30 untuk bisa sampai ke Jakarta Pusat pada pukul 08.00 dan tidak potong gaji karena terlambat. Bagaimana dengan pekerja yang tinggal di tempat yang lebih jauh? Titik angkut bus jemputan PNS di Cibinong misalnya sudah ramai pada pukul 05.30 lho.

Lebih lanjut lagi tampak fenomena yang menarik di Kota Bekasi dan Tangerang Selatan karena persentase perempuan bekerja lebih tinggi daripada perempuan yang mengurus rumah tangga. Artinya? Ada begitu banyak istri yang juga harus bekerja demi kelangsungan rumah tangga. Kita berbicara angka 300.627 perempuan bekerja di Kota Bekasi dan 161.687 di Tangerang Selatan. Tentu tidak semuanya ibu muda, tetap saja angkanya yang besar.

Terkait pengasuhan anak ini, cukup banyak kantor di Jakarta yang menawarkan solusi dengan membuat daycare di kantor. Salah satunya adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Rata-rata di kantor pemerintah memang mulai menyediakan daycare, sebagian swasta juga demikian.

Sebagai solusi yang ditawarkan, boleh-boleh saja. Tapi dalam pengalaman saya, itu tidak cukup solutif.

Pada suatu hari, daycare anak saya tutup dan saya tidak bisa cuti demikian pula istri. Maka saya harus membawa anak saya ke kantor di Jakarta dengan transportasi umum. Membawa bayi melompat dari peron ke kereta, kereta ke peron, lanjut naik bajaj, dan seterusnya itu melelahkan lho. Dan kayaknya kalau dilakukan tiap hari pegal juga. Jadi, menurut saya, akses daycare di kantor hanya bisa dimanfaatkan oleh kalangan tertentu.

Maka saat mempelajari tentang pemerintahan daerah, seketika terbayang suatu ide yang tampak lebih masuk akal guna mengatasi persoalan pengasuhan anak ini. Ide itu adalah daycare kelolaan pemerintah daerah yang berkolasi di dekat stasiun kereta atau drop point bus dekat pintu tol.

Seperti saya jelaskan tadi, di Tangsel ini daycare sebenarnya sudah banyak, tapi yang terjangkau tidaklah banyak. Daycare kelolaan pemerintah daerah diarahkan untuk menyasar para pekerja UMR yang punya anak balita dan butuh pengasuhan prima. Biayanya tentu tidak harus jutaan, kalau perlu hanya beberapa ratus ribu saja sebagai biaya komitmen. Sisanya, negara berperan melalui pemerintah daerah.

Dengan pemilihan lokasi tersebut, orangtua bisa menitipkan anaknya di daycare sebelum meluncur naik transportasi umum ke Jakarta guna mencari nafkah. Artinya, tidak perlu pula ongkos mlipir karena kebetulan satu jalan. Begitu pulang kantor juga sang anak bisa segera dijemput dan dibawa pulang.

Mengapa pemerintah daerah? Tentu saja karena anak-anak itu adalah masa depan suatu daerah. Kita berbicara tentang anak-anak yang mulutnya kotor sekali karena bergaul begitu mudah dengan teman-teman yang lebih tua. Kita bicara pula anak-anak yang pemenuhan gizinya di periode emas tidak maksimal sehingga mempengaruhi kecerdasan dan hal-hal lainnya. Bayangkan jika pada usia 0-4 tahun, anak-anak yang harus ditinggal orangtuanya bekerja mendapat pengasuhan dan gizi yang tepat dalam kelolaan pemerintah daerah tentu hasilnya akan lebih optimal.

Adapun pada saat yang sama, daycare ini dapat menunjang kebutuhan tenaga kerja setempat. Mengingat daycare mungkin akan buka dari pukul 5 pagi sampai 9 malam maka akan butuh 2 shift sehingga kebutuhan pekerja juga dikali 2. Pemerintah daerah bisa memberdayakan tenaga kesehatan muda dengan menjadikan daycare tersebut sarana menimba pengalaman sebelum kemudian ditempatkan ke fasilitas kesehatan, misalnya. Mahasiswa bidang pendidikan juga dapat diarahkan untuk mengisi muatan pembelajaran dan permainan. Cocok sekali dengan konsep Kampus Merdeka, bukan?

Pada titik ini, melibatkan para calon orangtua dalam pengasuhan akan dapat pula membentuk mindset yang lebih baik ketika mereka kelak menjadi orangtua. Kita tahu ada begitu banyak orangtua yang sebenarnya tidak siap menjadi orangtua sehingga kemudian ada KDRT, ada pengasuhan yang tidak tepat, dll.

Tentu butuh komitmen anggaran dari pemda, tapi bukankah anggaran pendidikan dan kesehatan itu diatur dengan proporsi cukup besar? Bisa dong dikombinasikan untuk kepentingan balita masa depan negeri? Melalui daycare ini, para orangtua akhirnya bisa fokus bekerja dan muaranya kemudian adalah pada peningkatan produktivitas. Di sisi lain, produktivitas juga didorong oleh pemberdayaan tenaga-tenaga muda di masa pendidikan agar dalam 1-2 tahun lebih siap menghadapi dunia kerja. Dan pada akhirnya, generasi yang lebih cerdas tentu akan membentuk bangsa yang bekerja cerdas dan negeri ini dapat menjadi jauh lebih produktif dari sebelumnya. Semoga.

Ketika Anak Keminggris

Sejak kuliah lagi, yang terbayang oleh saya sebenarnya adalah kehidupan yang sangat akademis. Ya, sebenarnya sudah lumayan terbentuk di semester 1. Ketika itu, saya berangkat ke kampus untuk menyediakan waktu 3-4 jam di perpustakaan guna mengerjakan paper. Kadang-kadang, saya juga ke kampus Depok untuk pergi ke perpustakaan yang lebih besar. Terbayang juga untuk saya bisa mengikuti acara-acara akademis yang tersebar di penjuru Jakarta karena saya punya waktu untuk itu.

Pada saat yang sama, anak tetap di daycare. Sore hari dijemput sama istri. Pendidikan dia akan terjamin karena sejauh ini dia cukup oke kinerjanya di daycare. Nyaris nggak ada masalah berarti selain menggigit anak orang. Itupun sebenarnya karena dia diganggu terlebih dahulu.

Saya dan istri bahkan sudah punya perencanaan indah. Istri ikut conference di Singapura. Saya yang kebetulan liburan semester akan punya fleksibilitas untuk turut serta dan kami bisa liburan ke Singapura. Gambarannya, Singapura adalah negara pertama yang akan didatangi oleh Isto. Kami bahkan sudah menyiapkannya paspor. Ya, teman-temannya se-daycare sudah main ke Jepang sampai Perancis, sementara Isto paling jauh Jam Gadang. Sebagai orangtua, kami tentu ingin bikin anak senang dan tampak keren.

Apa daya, manusia hanya bisa berencana. COVID-19 kemudian menjadi penentu.

Semester 2 saya lewati lebih dari separo periodenya dengan kuliah sembari menjaga anak. Bikin paper tentu tidak bisa di perpus, jadilah di rumah saja. Sambil kadang-kadang diganduli untuk dibilang, “Papa jangan kuliah…”

Isto mana tahu kalau sampai saya telat lulus, pos anggaran terbesar yang terancam untuk digunakan (karena beasiswa saya tidak terima telat lulus) adalah biaya pendidikannya. Amit-amit. Jangan sampai, deh.

Ya begitulah. Mau tidak mau, anak saya betul-betul harus terikat dengan YouTube. Tidak di HP, sih. Saya dan istri membeli Smart TV Box sehingga YouTube-nya di TV. Mahal sedikit nggak apa-apa, yang penting gede. Pada periode tertentu kadang-kadang saya pakai streaming badminton juga, seperti pas Suhandinata Cup 2019. Enak nontonnya. Gede.

Pada saat dia terjebak bersama saya di rumah karena daycare-nya tutup dan kemudian ya akhirnya tutup permanen, usianya belum 3 tahun. Sekarang sudah lewat 3 tahun. Usia yang sangat krusial untuk masuknya hal-hal baru. Dan dampaknya terasa betul sekarang. Ya, gara-gara sebagian hidupnya terpaksa harus bersama YouTube, maka anak saya benar-benar keminggris ngomongnya. Tanpa perlu saya diajari.

Tayangan yang dia tonton adalah Peppa Pig, Blippi, dan sekarang Octonauts. Yang Octonauts sih baru ya, belum terasa dampaknya. Tapi kombinasi Peppa Pig dan Blippi betul-betul sangat meng-influence dia. Isto sering sekali storytelling dengan kata-kata Blippi, seperti “I show you…” atau “Here we go!” atau yang agak mirip “Hmmm, let’s do….” Demikian pula dengan kata-kata dan konteks yang ada di Peppa Pig, seperti kalau menerima makanan baru, dia sering bilang, “Hmm, delicious…”

Berhitung pun sudah lancar, tapi ya dari one sampai twenty, bukan satu sampai dua puluh. Kemarin kami beli paket sekolah daring yang elemen pengantarnya pakai bahasa Indonesia, ya anak saya berasa nggak nyambung. Padahal ya bisa, cuma pakai English.

Pada satu sisi ya saya senang-senang saja. Toh selama ini dia juga saya ajak ngobrol Bahasa Indonesia, kok. TOEFL saya kan 700 dari 3 kali tes, jadi memang penguasaan Bahasa Inggris saya nggak bagus-bagus banget. Emaknya sebagai lulusan Inggris yang sudah pasti keren. Ketika kemudian anak saya belum bisa berhitung satu, dua, tiga, dst tapi bisa one, two, three ya saya biasa aja juga. Kadang-kadang saja agak berpikir keras bagaimana kelak dia ketika masuk sekolah.

Ya mau bagaimana lagi? Ini konsekuensi. Toh menurut saya, pengaturan sekarang boleh dibilang berkat. Pas pandemi, pas saya kuliah, pas bisa daring pula. Jadi saya bisa menjaga anak saya dari dunia luar yang sedang kejam-kejamnya. Kalau kejadiannya pas saya sudah aktif lagi, boleh jadi daycare adalah pilihan tunggal yang tidak bisa dielakkan.

Jadi, kalau anak keminggris gimana? Kata saya ya udah, mau diapain lagi~

Jangan Underestimate Sama Anak

Sejak 10 Maret 2020, si Isto memang tidak masuk daycare lagi (walaupun tiap bulan masih bayar). Ketika itu masih ada Opung sama Mbah di rumah. Per 20 Maret, Opung sama Mbah ke Solo dan bapaknya sudah Pembelajaran Jarak Jauh alias kuliah di rumah. Walhasil, sudah nyaris 3 bulan si Isto jadi anak asuh bapaknya.

Bersama mantan tetangga yang pindah buru-buru karena atapnya keburu mau roboh.

Berhubung bapaknya juga cuma sendirian, maka kalau pas bapaknya sambil garap paper atau cuci piring, mau tidak mau si Isto jadi anak YouTube. Beberapa waktu belakangan, dia menjadi anak asuh Daddy Pig. Ha nontonnya Peppa Pig terus.

Nah, sejak beberapa waktu belakangan pula, dia kalau lihat kucing mampir ke teras dan nggak berkenan maka dia akan mengusir kucing itu. Diksi yang digunakan awalnya bikin ngekek.

“Su….su…..”

Normalnya, orang Indonesia kalau ngusir hewan kan “Hush… Hush…” yha. Jadi, saya anggap si Isto ini kebalik aja HUS jadi SU (H luluh). Cuma demi kesopanan, ya saya coba benarkan. Mosok nanti di ranah publik dia bilang “SU… SU….” kan dikira bapaknya nggak ngajarin adab yak.

Sampai kemudian, beberapa hari yang lalu saya mendapati sebuah adegan Daddy Pig mengusir ayam. Pada detik itu juga, saya sadar, bahwa saya selama ini salah memahami maksud anak saya.

Soalnya, Daddy Pig–yang aksennya sangat British itu–ternyata mengusir ayam dengan kata-kata, “Su… su…..”

Saya laporan sama Mamaknya yang pernah setahun di England sono. Eh, mungkin karena belajar terus dan nggak pernah ngusir kucing, Mamaknya juga nggak tahu. Jadilah kemudian dia ngecek ke kamus dan…. ow…ow…..

SHOO itu betul-betul ada di kamus Cambridge! Anak aing pakai diksi dari kamus Cambridge dan selama ini saya mengira dia kebalik mengucapkan sesuatu. Inilah akibat kalau bapaknya lebih ndeso daripada anaknya. Dan ini pula akibat dari pengasuhan Daddy Pig. Heu.

3 Langkah Mendisiplinkan Anak

3 Langkah Mendisiplinkan Anak – Ini blog judulnya Bapak Millennial, tapi jarang ngepost tentang parenting. Ya, namanya juga pernah beberapa tahun di birokrasi dan lagi off, mentalitas birokratnya kentara. Jadi, kebanyakan janji, minim aksi. Heuheu. Nah, mumpung lagi off, saya mencoba menulis sedikit tentang parenting. Kali ini tentang langkah-langkah mendisiplinkan anak.

Ehm, tapi apakah Isto sudah cukup disiplin sampai saya berani-beraninya nulis begini? Heuheu, tentu saja belum. Ide utama posting ini saya ambil dari situsweb All Pro Dad, salah satu pijakan saya untuk jadi bapak-bapak pro. Tentunya ditambahkan kisah Isto supaya relate.

Kita sering melihat anak yang tampak ‘nakal’. Khusus bapak-bapak bermuka seram, dapat bonus lagi karena sering jadi antagonis nggak jelas dalam pernyataan, “eh, kamu nakal ya, nanti dimarahin Om itu, lho.”

Padahal Om-nya baik-baik saja. Kan afu, yak.

Isto sendiri tentu masih banyak bolongnya, lha bapaknya juga demikian. Akan tetapi, ada beberapa poin yang menurut saya positif dalam proses tumbuh kembangnya sampai saat itu terkait dengan kedisiplinan.

Berikan batasan dan konsekuensi yang jelas

Sejak dini, Isto selalu ditekankan soal batas-batas. Paling mudah memang bilang, “jangan…” akan tetapi bagi anak seusia dia berkata ‘jangan’ itu cenderung jadi berasa menyuruh, karena setiap benda yang disertai kata ‘jangan’ malah didekati sama dia.

Seorang anak tentu tidak tahu soal benar dan salah, kalau tidak diajari. Jadi, pertama-tama tentu urusan orangtua untuk mengajarinya. Dalam kasus Isto mungkin yang paling enak adalah soal listrik dan kamper di kamar mandi.

Ketika banyak orangtua ketakutan dengan colokan di bawah dan mudah diakses batita, maka saya sudah mulai tenang. Ketika Isto melihat colokan, dia hanya akan stop 1-2 langkah dari colokan, menunjuk colokan itu sembari berkata, “listrik…”

Lha ya gimana, awak tinggal di kontrakan, nggak punya daya upaya untuk mindahin colokan ke atas. Jadi pilihannya ya mengajari anak deh.

Kenapa bisa seperti itu? Ya tentu saja karena sejak dini sudah dikasih tahu bahwa listrik ini berbahaya jika dipegang olehnya. Sejak belum bisa jalan, bahkan. Memang terasa pekok ya ngajari bocah yang belum tahu hal sekompleks colokan listrik, tapi begitu sampai ke usia 1,5 tahun kok ya terasa faedahnya.

Sederhananya adalah ketika kita memang tidak bisa menahan kata ‘jangan’, maka tambahkanlah bahwa ketika ‘jangan’ itu dilanggar, akan ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang buruk pula. Tanamkan itu berulang-ulang.

Isto mungkin sudah berhasil di listrik dan kamper–kalau yang ini, kami menyebutnya ‘racun’, jadi Isto juga hanya akan berhenti dan bilang ‘racun… racun…’ kadang bahkan sambil nyanyi ala Changcutters. Tapi, ya, masih banyak aspek lain yang terus berusaha saya dan emaknya tanamkan.

Laksanakan konsekuensi, seperih apapun ini

Agak berbeda konteks dengan listrik dan kamper, sih, tapi ini lebih ke sikap. Misal, kemarin saya membelikan Isto batu taman sekarung. Begitu dapat, itu batu dia lempar-lempar. Saya langsung kebayang bahwa dengan kemiskinan yang melanda, kalau kena tivi bisa berabe. Maka, saya langsung menanamkan batasan dan konsekuensi bahwa jika dia melempar satu batu, Papa akan marah dan batunya akan dibuang.

Yha, batu sekarung, kalau dibuang 2 biji juga bisa ambil lagi di karung. Heuheu. Nanti kalau Isto sudah bisa baca postingan ini, semoga dia bisa paham trik pekok ini~

Benar saja, baru diingatkan, dia tetap lempar-lempar batu lagi. Maka, kemudian batu itu saya buang betulan ke tempat sampah. Oya, karena dia juga paham tentang tempat sampah jadi walaupun dia bisa buka tapi nggak menggapai jeroannya.

Ini mungkin perih, tapi dalam upaya pendisiplinan ketegasan itu penting. Ya kadang kasihan juga sih lihat anaknya nangis. Tapi akan lebih kasihan lagi jika di masa depan dia menjadi orang yang tidak paham konsekuensi.

Momen diskusi dan rekonsiliasi

Satu hal yang penting dari sesi bapak galak adalah diskusi sesudah momen itu. Saya kadang juga galak sama Isto, tapi kemudian pasti ada rekonsiliasi. Untuk usia 2,5 tahun wujudnya adalah pelukan. Senang lho dipeluk anak yang habis dimarahi karena bagaimanapun perasaan sebagai bapak juga nggak enak.

Nah, sembari momen itu saya berusaha melakukan diskusi dan muaranya adalah mengulang esensi dari peristiwa sampai pada titik ketika Isto bisa mengulang sendiri konsekuensi jika dia melanggar batas. Kalau perlu momen pengulangan itu diungkit sedikit ketika anak sedang sesi main bebas biasa. Sekadar untuk tahu apakah peristiwa itu masuk ke dalam ingatannya.

Tentu saja dibutuhkan orangtua yang nggak malas dan ini saya akui sulit. Sebagai kaum rebahan, memang lebih mending rebahan daripada mendidik anak. Tapi bagaimanapun anak adalah titipan yang harus dijaga sebaik-baiknya, plus diupayakan bermanfaat setidaknya untuk sesama. Agama dan negara urusan nanti, lah. Dan untuk itu, diperlukan komitmen orangtua untuk memberikan dasar-dasar yang baik, ketika orangtuanya sendiri mungkin dasarnya belum baik.

Namanya juga jadi orangtua, tidak semudah orang bertanya, “kapan isi?” Ya, kan?

Pentingnya Memiliki Asuransi Dari Sudut Pandang Orang Tua

Pentingnya Memiliki Asuransi Dari Sudut Pandang Orang Tua

Percaya atau tidak, ketika seseorang berubah status dari lajang menjadi menikah, sebenarnya nggak banyak hal yang berubah. Paling ya nggak bisa lagi menggebet anak orang sesukanya, karena kan sudah punya pasangan yang terikat secara resmi secara agama dan negara.

Akan tetapi, begitu statusnya berubah menjadi orang tua, nah, barulah perubahan besar terjadi. Bagaimanapun, orang tua baru itu diberi tanggung jawab untuk menangani sebuah kehidupan baru–yha, kecuali anaknya kembar, sih. Continue reading Pentingnya Memiliki Asuransi Dari Sudut Pandang Orang Tua

7 Cara Mengatasi Anak Susah Makan Versi Bapak Millennial, Nomor 5 Bikin Wisuda!

Waktu remaja, masalah terbesar hidup adalah SMS tidak dibalas. Begitu menua dan punya anak, masalah baru muncul. Yha, sepele tapi krusial: anak nggak mau makan. Atau versi moderatnya, mau tapi susah untuk makan. Atau versi halusnya lagi, mau tapi sedikit.

Perkara begini, biasanya mamak-mamak yang baperan. Ya iyalah, bangun sudah pagi, makan sudah buka-buka Instagram, anaknya tutup mulut. Bapaknya? Kalau lagi sial, bisa kena amarah juga. Amarah istrinya Frans Lingua.

Screenshot_1649

Menghadapi anak yang ogah makan memang susah-susah tampan, eh, gampang. Susahnya dua kali. Gampangnya sekali. Dan anak susah makan juga kayak mantan yang adalah tetangga nikah duluan. Bikin emosi.

Mamaknya emosi itu wajar, karena gizi anak adalah yang utama. Cuma, emosi terus anaknya dimarahi, nah itu jadi perkara. Kalau sudah begitu, salah-salah anak merasa bahwa momen makan itu adalah momen mengerikan, bukan mengenyangkan. Lebih berabe lagi.

Nah, sependek pengalaman saya sebagai bapak 1 anak, sebenarnya ada beberapa metode untuk mengatasi anak susah makan. Nggak selalu berhasil, tapi lumayan untuk alternatif jika anak sulit makan. Karena bagaimanapun, kan memberi makan anak itu kewajiban orangtua.

Screenshot_1650

Nyoh!

1. Waktu Makan Bukan Waktu Berantem

Karena sudah dimasakin susah-susah dan anak nggak mau, waktu makan jadi horor. Mamak yang lelah jadi marah, dan, yha, anak jadi tambah ogah makan. Bahkan malah jadi takut makan di kemudian hari.

Tentunya jadi sabar itu tidak mudah. Padahal Jokowi saja bilang:

Image result for mbok sabar
Sumber: yogyadise.com

Jadi ya lakukan pelan-pelan. Memang makan banyak waktu, tapi ya harus demikian. Saya pernah harus menggotong bayi saya yang sudah 8 kilogram menuju tempat soang tetangga, karena dia di rumah ogah makan tapi makan dekat soang mau. Jadi, pertama-tama ya turuti dulu kalau sederhana. Kalau anak mintanya makan sama Jokowi ya susah, kalau sudah yang begini ini barulah kita bisa pakai teknik kedua. Continue reading 7 Cara Mengatasi Anak Susah Makan Versi Bapak Millennial, Nomor 5 Bikin Wisuda!

Mencoba Memahami Tantrum Si Bayi

Ada hal baru yang dilakoni Isto–anak saya–beberapa pekan terakhir. Biasanya jika menunjuk sesuatu yang tidak dituruti (yakali dia nunjuk Camry lalu saya turutin beli!), dia hanya menangis biasa. Sekarang, Isto akan menurunkan tubuhnya ke lantai, lalu ngesotlah, guling-gulinglah, dll. Tidak lama, sih. Tapi kemarin kejadiannya di Senayan City. Jadi bikin agak seru.

Yup, itulah tantrum.

Tantrum seperti yang dilakukan Isto, dilakukan oleh oleh Rafathar, El Barack, maupun oleh Gempita serta sebentar lagi akan dilakukan oleh Raphael Moeis. Al, El, dan Dul pada zamannya juga pernah tantrum. Jadi, selow saja, setiap anak-anak usia prasekolah punya masalah umum bernama tantrum. Pada kisaran usia 1-4 tahun ini, anak belum cukup bisa mengekspresikan keinginannya. Walhasil, manifestasinya adalah dengan meronta, makan teman, berteriak, menangis, tidur di sidang DPR, menjerit, ngeshare hoax, atau menghentakkan kedua kaki dan tangan ke lantai. Continue reading Mencoba Memahami Tantrum Si Bayi

Pertarungan Cebok di AEON

Pertarungan Cebok di AEON

Hari libur, Mama Isto lagi pengen makan sushi, katanya. Kebetulan, kontrakan kami nggak jauh-jauh benar dari mal yang begitu hits dengan hal-hal berbau Jepang, AEON. Jadilah kami memutuskan untuk dolan ke mal yang pada jam sibuknya itu bahkan lebih tidak manusiawi daripada sekadar ITC tersebut. Dolan membawa anak bayi. Yiha.

Benar saja, begitu sampai dan mengarah ke tempat makan AEON, kami gagal mendapatkan bangku. Banyak bangku kosong, sih, tapi diakui oleh bapak atau ibu di sebelahnya sebagai ‘ada orangnya’, meskipun saya pantau 10 menit ya nggak ada orang sama sekali yang menduduki kursi tersebut. Yha, mungkin tuyul mereka yang ikutan makan sushi.

Jadilah kami minggir ke sisi lain AEON yang boleh disebut sebagai food court-nya. Tempat diperoleh, makanan dipesan, hidup bahagia. Lebih bahagia lagi karena Istoyama makannya lahap sekali. Sampai ramen yang notabene buat bapaknya diembat juga. Padahal ramennya spicy sekali, tapi dia tampak tidak gentar sama sekali.

salted pasta
Photo by Dana Tentis on Pexels.com

Kalau lagi bertiga saja, saya dan Mama Isto memang makan bergantian. Salah satunya akan fokus pada Isto. Entah menyuapi, entah sekadar mengajak main. Ketika jatah ramen saya tandas, tentu gantian dengan mamanya. Saya lalu membawa Isto ke sebuah kereta dorong milik seorang bayi lainnya yang sedang terlelap di meja sebelah. Dalam hal ini, AEON memang termasuk salah satu mal paling ramah. Masalahnya, pengunjungnya warbiyasak banyaknya. Jadilah, baik stroller maupun kereta dorong yang banyak itu habis juga.

Baru dua langkah Isto napak di AEON, saya mencium bau yang cukup familiar. Sigap, saya mengangkat pantatnya dan mencium aroma yang memang familiar.

Yeah, bayi ini pup, saudara-saudari.

Bagi saya, tempat-tempat yang dipilih Istoyama untuk pup memang mengagumkan. Sebelumnya, kami pernah lari-lari di Living World karena dia juga pup dan bocor. Tentu juga termasuk di langit sebagaimana kisah sebelumnya. Masih ada juga di Gereja ketika momen paling sakral. makanya, ini mah biasa saja.

Karena mama Isto masih makan dan cari bangku di AEON itu susahnya kayak cari politisi jujur, jadilah saya putuskan untuk mengeksekusi pup ini seorang diri. Dalam bayangan saya, toilet difabel pasti sepi dan sebagaimana di bandara, saya bisa menguasai keadaan dengan cepat dan menuntaskan pup ini dengan bahagia.

Kuwi kan karepmu, Cuk.

Begitu ditemukan, ternyata toilet difabel–apa toilet family kali, yha–antre! Ada 2 bayi yang tampaknya juga pup sedang diantrekan oleh orangtuanya. Pada saat yang sama, polah Isto yang sudah tyda nyaman semakin menjadi. Saya tidak akan bisa menanti 3 bayi kelar cebok dengan bayi di tangan kelakuannya mirip Demian. Melepaskan diri wae kerjanya.

Nah, saya kemudian memilih membawa Isto ke toilet cowok. Sepengalaman saya, jarang ada bapak-bapak bawa bayi ke toilet cowok, jadi mestinya tidak akan ngantre.

Untunglah ini AEON, toiletnya ternyata ciamik. Di sudut, toiletnya dua kali lipat luas sebelahnya, dengan sebuah bangku anak. Toilet semacam ini sungguh saya apresiasi karena mendukung bapak millennial kayak saya.

Screenshot_1496

Begitu mendapat ladang perang yang terang, segera Isto saya eksekusi. Bocornya sudah lumayan menyebar dan baunya juga asyik. Bau asyik? Hmmm.

Masalahnya adalah karena dia benar-benar bertingkah dengan gerakan yang tiada kunjung berhenti. Apalagi ternyata di toilet bagus ini, semprotannya bukan yang pakai selang, melainkan pipa kecil bawah s*lit. BAGAIMANA COBA SAYA MAU NYEMPROT EEK YANG BERTEBARAN DI SEANTERO PANTAT?

white toilet paper
Photo by hermaion on Pexels.com

Ini gunanya jadi orangtua, banyak-banyak belajar! Dengan sedikit pemahaman dan pemaksaan, saya bisa membuat Isto diam di kloset untuk kemudian saya semprot pelan-pelan pakai semprotan bawah sil*t itu. Ngucur hanya sedikit, pula. Heu.

Jadi, akhirnya tangan juga yang bermain. Ya nggak apa-apa, memang eek anak sendiri bukan dosa, cuma jorok aja. Akan tetapi daripada ampas-ampas feces itu berceceran ke lantai, jadi ya sudah. Kerjakan!

Selesai membersihkan pantatnya, PR lanjutan adalah mengenakan pampers dan pakaian pada bayi yang menemukan WC luas ini sebagai arena merangkak yang tepat. Dua pria, satu tua satu muda, saling berkejaran di dalam toilet. Itu kalau bapak/ibu yang saya audit sehari-hari tahu, citra saya sebagai auditor kejam bisa luntur seketika.

Begitulah, bayi belum setahun itu tangguhnya minta ampun. Jadi malah bapaknya yang lelah. Sesudah bertarung setengah mati, diapers dan celana akhirnya terpasang sempurna. Pada saat yang sama, WC AEON ini jadi berantakan tiada terkira. Untuk itu, biarkan saja dia mainan terlebih dahulu. Bapaknya yang uzur ini tarik nafas dulu:

Screenshot_1497

BAPAK MACAM APA MEMBIARKAN ANAKNYA DUDUK DI TOILET? LAPOR KAK SETO! Yowes, karepmu. Yang jelas, daripada dia malah merambah diapers penuh pup? Daripada dia masuk ke kloset? Daripada dia tidak mengakui saya bapaknya?

Asli, pengalaman ini seru sekali. Keliling Indonesia, ketemu Sekretaris Daerah beberapa Provinsi, menemukan kekurangan volume pekerjaan, dll tiba-tiba nggak ada apa-apanya dibandingkan sebuah aktivitas sederhana: menangani bocah yang pup di mal. Punya anak dan kemudian menjadi orangtua memang hal yang luar biasa.

Untuk menutup momen indah itu, akhirnya kami mengambil pose wefie dengan bahagia seraya berkata, “Sampai jumpa, wahai Netizen, pada kisah-kisah bapak millennial selanjutnya.”

Screenshot_1498

5 Cara Agar Bapak Mau Ganti Popok Bayi

Screenshot_1457.png

Tulisan ini mungkin akan sepi view, karena data dari BabyCenter yang dikutip oleh Kompas menyebut bahwa 78 persen Ayah alias Bapak alias Abi alias Papa memiliki kemampuan yang sama bagusnya dengan ibu dalam soal mengurus bayi. Jadi, kemungkinan tulisan ini hanya akan dibaca oleh 22 persen masyarakat. NGAK PAPA DAH.

Benar bahwa Bapak Millennial memang mulai setara dengan Ibu Millennial dalam urusan mengelola anak. Ini tentu berbeda dengan kisah zaman dahulu, ketika bapak itu fokus bekerja dan ibu di rumah. Jadi, ketika bapak di rumah, kerjanya adalah minta kopi dan duduk-duduk baca koran.

Sekarang? Bapak-bapak mah duduknya bacanya Mojok, Voxpop, atau Geotimes. Tsah. Sambil menebar kebencian melalui Facebook. Gitu.

Jadi, walaupun datanya sudah nyaris equal, tapi tetap saja ada lelaki yang ogah ganti popok bayinya sendiri. Nah, kalangan seperti ini tentu harus diberi solusi yang tentu saja bukan #2019GantiBapak. Yang harus kita ikhtiarkan adalah #2019BisaGantiPopok.

black haired man wearing black sunglasses and black leather jacket
Photo by Pixabay on Pexels.com

Saya sendiri telah mengganti popok sejak malam pertama Istoyama lahir, apalagi dia room-in. Pencapaian saya? Tentu saja, pasang perekat kebalik. Yeah, ganti popok-sekali-pakai itu nggak ada diklatnya, nggak ada angka kreditnya, apalagi nggak ada honornya. Sungguh bikin males, sebenarnya. Ya, males, sih, tapi kudu dikerjakan. Ini mirip dengan berangkat ke kantor.

Jijik? Jelas. Lah, jangankan itu. Dibandingkan 2 adik saya yang lain, saya adalah yang paling buncit dalam urusan nyebokin adik bungsu–yang sekarang tingginya 10 cm di atas saya itu (Asulah-red). Kenapa saya selalu menolak? Pertama-tama, tentu jijik. Kedua, selagi ada 2 adik, kenapa abang harus turun tangan?   Continue reading 5 Cara Agar Bapak Mau Ganti Popok Bayi