Tag Archives: bahwa

Mencari Nilai Hingga Regina Caeli

Sejauh ini misi #KelilingKAJ saya berjalan mulus. Tentu saja mulus karena semua TKP #KelilingKAJ yang saya pilih adalah yang dekat dengan sarana transportasi umum. Ada yang tinggal ngesot dari Halte TransJakarta semacam Matraman, atau yang rada dekat dengan stasiun semacam Pasar Minggu.

Supaya agak beriak, saya lalu mencari sasaran yang agak kejam. Kejam yang pertama adalah karena saya belum pernah menyusuri Jakarta sampai ke bagian sana. Kejam kedua adalah karena sarana transportasi umumnya tidak sesederhana dua moda favorit saya, TransJakarta dan KRL Commuter Line. Maka, diputuskanlah melalui Dewan Syuro bahwa TKP #KelilingKAJ berikutnya adalah Gereja Regina Caeli, Pantai Indah Kapuk.

Satu-satunya yang membantu saya dalam pencarian lokasi Gereja Regina Caeli adalah blog berjudul Mengaku Backpacker. Sisanya? Nggak ada. Tentu saja, karena saya nggak yakin ada umat Regina Caeli yang ngangkot. Maklum, lokasinya berada di kawasan elit yang harga propertinya akan naik besok Senin.

Selengkapnya!

Advertisement

Menuju Puncak

Sejak dua bulan yang lalu saya dikasih tahu sama Dokter Riani bahwa akan ada rekoleksi tim pelayanan PITC. Dari aneka grup yang tersedia, saya membaca sekilas tempatnya, namun yang teringat di kepala hanya Sindanglaya. Ya, sudah, booking jadwal pribadi dan meniadakan agenda #KelilingKAJ serta latihan bareng CFX di Kolese Kanisius.

IMG_6474 copy

Mengingat hidup saya sangat tergantung jadwal dinas, mulailah saya deg-degan ketika minggu lalu ada wacana dinas ke Kupang. Tapi seperti pernah saya tulis di blog ini juga bahwa entah kenapa kalau urusannya untuk pelayanan, hawa-hawa lancar itu selalu terasa. Pada akhirnya saya ke Kupang tanggal 17 sampai 19 Maret. Tanggal terakhir ini ulang tahun pacar, dan ketika pacar ulang tahun saya malah sibuk berusaha mencapai kos dari El Tari.

Dua malam di hotel, lalu semalam nggak kerasa di kosan, saya kemudian akan mendapatkan dua malam lainnya di Sindanglaya. Sungguh, hidup sebagai petualang itu indah. Asal bukan petualang cinta.

Selengkapnya!

Berkelana Hingga Bidara Cina

Sesiangan tidur siang dalam kondisi hujan deras, saya lantas terbangun dan melihat via jendela bahwa matahari bersinar begitu teriknya macam knalpot OOM ALFA. Tetiba saya bingung, tadi itu hujan-hujanan mimpi apa bukan ya?

Karena matahari masih baik hati untuk bersinar, saya kemudian membulatkan perut, eh, tekat untuk menuju ke pengelanaan berikutnya. Mengingat sudah Minggu sore, maka berkelananya nggak usah jauh-jauh banget, yang penting terjangkau. Maka, tujuan yang ditetapkan adalah Gereja Santo Antonius Padua Bidara Cina, dengan jadwal yang saya incar adalah 17.45.

Berhubung saya itu anaknya rajin menggalau, akhirnya saya sampai TKP malah pukul 16.30, terlalu cepat. Gereja ini boleh dibilang sangat strategis karena bisa dicapai dengan mudah via TransJakarta jalur gemuk, Harmoni-PGC. Meski namanya Bidara Cina, namun jangan turun di Halte Bidara Cina. Gereja ini bisa dicapai secara lebih mudah dengan turun di Halte Gelanggang Dewasa, eh, Gelanggang Remaja. Hayo, nggak pada bayangin aktivitas dewasa yang dilakukan di gelanggang kan? Dari Halte Gelanggang Remaja, tempat tujuan bahkan sudah bisa dilihat–setidaknya dari parkiran mobil di jalan.

Continue Reading!

Bersama Hujan Deras di Kolese Kanisius

Sesudah lelah lahir batin karena sinyal provider Telu menjadi antah berantah sehingga posting tentang Gereja Santa baru kelar jam 2 pagi, saya akhirnya bangun jam 7 pagi dan berniat tidur lagi. Namun apa daya, Spongebob berhasil membuat saya gagal tidur lagi dan lantas memilih untuk bersiap-siap. Kebetulan, hari Jumat saya menerima email dari Mas Alex Arab (asli, dia bukan Arab kok) bahwa ada misa awal tahun Asosiasi Alumni Jesuit Indonesia (AAJI). Mengingat bahwa saya SMA dan kuliahnya di bawah Jesuit, pengen juga hadir. Kebetulan lagi selow karena tidak sedang dinas, pun tidak bisa pacaran karena LDR. Hiks.

Untitled

Sambil mengintip awan, saya lantas berangkat karena belum ada air yang menetes dari langit. Lokasi misa tidak jauh dari kos, yakni di Kapel St. Petrus Kanisius, Kolese Kanisius, Menteng. Hitung-hitung bisa mencicipi masuk ke CC. Tempat yang mestinya mirip De Britto. CC ini terbilang sekolah elit, alumninya mulai dari Ananda Sukarlan sampai Fauzi Bowo, dari Akbar Tanjung sampai Soe Hok Gie. Kalau JB setidaknya yang lagi tenar dan mengemuka sekarang adalah Hasto Kristiyanto.

Begitu sampai di CC, tampak lapangan bola yang tidak seluas JB, tapi pasti sudah langka di Jakarta, di Menteng apalagi. Saya kemudian bergegas menuju kapel. Begitu masuk, eh, kosong melompong. Ada sih beberapa orang yang beredar, tapi kok uzur semua. Saya lantas mampir bertemu Bunda Maria. Letak Gua Maria-nya di belakang altar persis, bahkan pipa buangan AC juga ada di lokasi itu. Kursinya cuma ada 4, jadi kapasitasnya nggak banyak. Saya hakulyakin, ketika masa-masa ujian, tempat ini adalah peraduan lelaki-lelaki-mendadak-religius untuk berdoa mohon kelancaran. Anak muda memang begitu, rata-rata baru ingat Tuhan kalau mau ujian.

Continue Reading!

Tertangkap Pastor Paroki

Pacaran, pada prinsipnya, adalah sesuatu yang menyenangkan, walaupun kawan-kawan saya bilang bahwa menikah lebih menyenangkan. Apapun, yang jelas keduanya jauh lebih menyenangkan daripada jomlo menahun, berkerak penuh luka dalam kesendirian nan hina, berteman dengan sepi dan kenangan-kenangan yang melintas dalam fragmen-fragmen panjang tiada henti. Ah!

Sesudah mencari pacar di berbagai arena, akhirnya saya menemukan gadis yang bersedia ditipu dengan sebongkah ongol-ongol dan berkenan menjadi pacar saya. Siapa duga dan siapa sangka, ternyata gadis itu adalah umat dari Mas-nya Bapak saya. Ya, kebetulan beliau memilih jalan menjadi pemuka umat Katolik. Ada beberapa sisi positif dan negatif dari posisi ini. Sisi positifnya, ketika PDKT, rekomendasi dari Pakde sendiri yang adalah pemuka umat tentu adalah nilai plus. Sisi negatifnya? Mengingat proses pengesahan pernikahan dalam agama Katolik adalah via Pastor Paroki, maka bisa jadi saya akan terjebak dalam penyelidikan kanonik nan menyeramkan mengingat Pastor yang menyelidiki itu telah mengenal saya sejak belum dibuat.

Selain itu, mengingat Pakde saya adalah pemuka umat setempat, jadi tempat saya pacaran otomatis juga adalah teritorial beliau. Dan pemuka umat tentunya juga bertugas melindungi umatnya, termasuk dari ancaman keponakannya sendiri. Itulah konteks ketika cerita ini terjadi.

Suatu kali dalam kunjungan ke Cimahi, saya dan pacar misa ke Pratista, sebuah tempat retret milik Ordo Salib Suci (kayaknya), yang terletak di Jalan Kolonel Masturi. Kalau ke Bandung dan sekitarnya, jangan heran sama Jalan Kolonel Masturi karena panjangnya melebihi jalan kenangan. Mungkin hanya kasih ibu yang bisa menyaingi panjangnya, seperti kata pepatah, kasih ibu sepanjang jalan Masturi, kasih ayah sepanjang jalan Riau.

rekoleksi-wil-theresia-2

Continue Reading!

[Review] Koala Kumal

Bagi yang sering baca blog saya pasti ingat bahwa di salah satu posting, saya pernah bercerita bahwa seterkenal apapun Raditya Dika dengan buku dan film-filmnya, tetap ada ibu-ibu di Pejaten Village yang nggak ngeh dia itu siapa. Ceritanya ketika saya dan kawan-kawan penulis GagasMedia Group lainnya diundang nonton Manusia Setengah Salmon. Pas Raditya Dika sedang di panggung dengan muka kucelnya, tetiba ada ibu-ibu lewat dan bertanya. “itu siapa?”

B2sD5VjCUAAxhnd

“Itu Raditya Dika, bu,” jawab saya.

“Siapa dia?”

“Artis.”

“Kok saya nggak kenal?”

*hening*

Continue Reading, Mbohae!