Panggung Trauma

Oktober 2009, ketika gedung itu baru saja diresmikan, aku yang jelas dan lugas masih unyu itu tampil bernyanyi bersama (kalo nggak salah) 9 orang lainnya. Bangga? Waktu itu mungkin iya, bayangkan saja seorang bocah yang baru 5 bulan kerja sudah disuruh pergi ke kantor pusat, bukan untuk dinas meeting atau training, tapi untuk nyanyi.

Tapi siapa sangka nyanyi itu berujung trauma?

Lagunya itu pakai minus one, dan ada interlude lumayan dengan isi instrumental ciduk-ciduk yang lumayan. Dan entah siapa yang salah, persis pada saat interlude itu, lagu DIMATIKAN!

Bayangkan saja kalau lagi nge-seks tapi belum klimaks. Mungkin kayak gitu, nggak tahu sih saya. Tapi itu lagu belum kelar, dan klimaks lagunya di belakang, dan itu tidak ada.

Cengak cengok di panggung bingung kenapa bisa begitu?

Lagu kedua kemudian berakhir bubar jalan. Cuk Mailang yang aslinya simpel itu menjadi lagu dengan nada yang lari kemana-mana. Tidak saya, tidak orang di sebelah saya, sama saja. Faktor psikis membuat mental bubar jalan. Parah. Saya sakit hati sama yang matiin itu musik. Dan lebih jauh, saya trauma tampil di panggung lagi.

Ehm, di PSM Cantus Firmus saya diajari benar bagaimana tampil di panggung. Mulai dari panggung Melody of Memory hingga ICC Mega Glodok Kemayoran lantai 10. Dan kemudian saya harus berakhir trauma di sebuah gedung di Bintaro itu?

Huffffttttttt…

Dan kemarin, dengan terpaksa, saya kembali ke panggung itu. Dengan nuansa yang lebih parah, cuma berempat, dan bernyanyi. Cukup? Tidak! Ada bagian khusus ketika saya harus bernyanyi sendiri. Saya itu orang paduan suara yang ada di bass dan tidak pernah dapat jatah solis. Dan saya harus menyanyi sendiri?

Meski itu hanya 2 kalimat, sudah cukup bikin merinding! Sumpah!

Dua lagu, Tanah Air dan Mengejar Matahari menjadi warna beda dalam upaya menghapus luka dan trauma. Kalau nggak begini, mau sampai kapan saya trauma sama panggung itu? Ya kan?

Syukurlah, tidak ada kejadian krusial macam 3 tahun silam. Banyak yang bilang bagus, meski saya tahu saya fals, dan itu diamini oleh teman saya sesama CF. Ehm, dalam hal ini anak CF memang selalu bisa objektif. It’s okay for me. Tapi apresiasi juga tentu saya terima dengan penuh rasa terima kasih.

Setidaknya saya tidak perlu trauma dengan panggung itu. Beberapa waktu terakhir saya banyak melawan ketakutan. Mulai dari naik Banana Boat, nonton di GBK, hingga tampil kembali di panggung itu.

Percayalah, tidak ada luka yang sejati, selama kita berniat menghilangkannya 🙂

Gembira

Rumah itu perlahan terbentuk. Pondasi jadi, dinding berdiri, daun pintu terpasang, bahkan marmer lantai juga sudah ada pada posisinya. Tukang-tukang bekerja dengan giat, kadang mandor datang melihat kinerja tukang. Ada pula arsitek yang merancang rumah itu, ikut pula ada disana.

“Wahai para pekerja, besok pemilik rumah ini akan datang, melihat rumah yang kita bangun ini. Persiapkan sebaik mungkin ya,” seru Mandor di sore hari menjelang tukang-tukang pulang.

Esoknya, para tukang bekerja banting tulang menyelesaikan bagian-bagian yang belum dipoles dari rumah indah itu. Beberapa kali spesialis tukang batu ikut ngecat demi menyelesaikan bangunan yang luas itu.

“Pasti oke ini rumah mah,” seru tukang spesialis listrik.

Tukang batu yang ikut ngecat tadi tersenyum simpul. Dia barusan ngecat di stop kontak yang belum terpasang. Dia juga baru ngecat langit-langit yang bolong karena paku kabel.

Akhirnya pemilik rumah datang, melihat-lihat. Mandor menemani pemilik rumah dengan ‘speak-speak’ yang mumpuni.

“Ini dari batu kali gunung Merapi Pak, langsung!” ujar Mandor berapi-api.

Tukang batu tadi menoleh sebentar, lalu geleng-geleng. Dia tentu masih sangat ingat kalau baru kemarin mengambil batu di toko batu langganan. Geleng-gelengnya berlanjut seiring ayunan tangannya pada kuas.

“Oke, bagus. Kinerja kalian luar biasa,” kata pemilik rumah dengan tersenyum bangga.

“Terima kasih Pak. Silahkan datang kali seketika, kami siap memuaskan Bapak,” seru Mandor.

“Baik. Karena kesuksesan kalian, saya kasih bonus!”

Tukang-tukang senang mendengar itu. Mandor dengan berapi-api mengucap terima kasih pada pemilik rumah. Tukang batu tadi mengoles cat terakhirnya dan melangkah keluar perlahan dari rumah tersebut.

Tukang-tukang yang lain berkerumun pada kabar bonus dari pemilik rumah. Tukang batu itu menjauh sambil menatap.

Selalu ada cara yang berbeda untuk gembira.

Mesin Waktu

Siapa yang percaya kebetulan? Perlahan, saya tidak percaya kebetulan, yang saya percayai adalah ketika garis-garis nasib setiap manusia dipertemukan pada peristiwa-peristiwa. Dan, percayalah, kadang itu berulang seperti masuk ke mesin waktu.

Percaya kan?

Siapa yang mengira makhluk-makhluk yang pada era 2004-an silam terkapar manis di kamar kos, galau bersama di Gua Maria, heboh di warung makan, bisa bertemu kembali dengan atmosfer yang kurang lebih sama? Itulah, garis-garis nasib itu dipertemukan kembali. Siapa yang mengatur? So pasti, Tuhan!

Bahwa pengaturan kalau ada teman yang PKL di Bekasi coret, lalu ada teman yang datang dari Jakarta, pun juga ada teman yang ditinggal istrinya kondangan dan baru sekali ke Bekasi coret, bisa bertemu kembali, tentu sepenuhnya misteri ilahi. Sungguhpun tempatnya tidak sungguh-sungguh jauh, tapi handicap-nya tentu jauh berbeda di 2012 dan di 2004-an.

Pertemuan serupa mesin waktu. Ketika melihat gambar dan bertanya, “iki kapan yo?”. Lalu ketika tertawa terbahak mengingat kelakuan masa muda. Sesuatu yang akan sulit dan semakin sulit diulang. Sebuah pertemuan garis nasib yang tampaknya memang dimaksudkan untuk me-refresh memori pada masa perjuangan.

Unik dari ini adalah ketika pertemuan dilangsungkan di rumah milik salah satunya. Unik juga adalah ketika yang dibicarakan bukan lagi gebetan, tugas kuliah, atau mau bolos atau tidak, tapi bagaimana rasanya menikah, bagaimana dan berapa KPR rumah.

Unik juga ketika dalam hal perihal membayar, semuanya siap dengan dompet masing-masing. Ehm, delapan tahun silam, saya nggak yakin setiap orang akan merogoh dompetnya sama-sama untuk sebuah transaksi yang sama. Hendak dulu-duluan.

Unik, lucu, dan misterius.

Misteri ketika harus ditanya, kapan ini akan terjadi lagi?

Ah, apapunlah. Mesin waktu ini sungguh membantu saya, setidaknya untuk mengenang, bahwa saya pernah demikian.

This is about FRIENDSHIP 🙂

Menghemat Pengeluaran Skripsi

Percayalah bahwa pengeluaran skripsi itu paling mendasar dalam pengeluaran kelulusan. Berikut sedikit tips yang saya terapkan dalam rangka cost reduction di skripsi.

1. Pembimbing pasti bolak balik minta naskah. Nah, diskusikan dulu. Ada pembimbing yang bisa softcopy, itu kan sangat membantu dalam proses mengirit. Atau kalau memang harus hardcopy, diskusikan juga, mau nggak pembimbing menerima print di kertas bekas. Nah, dalam hal kertas bekas, selalu coret halaman yang tidak terpakai, dan print dalam posisi terbalik agar tidak sulit dan membingungkan.

2. Setiap revisi, usahakan tidak mengubah susunan halaman. Pasti bisa, kecuali revisinya mendasar. Jadi kalaupun disuruh revisi, yang dicetak ulang hanya halaman yang direvisi saja, tidak semua.

3. Untuk perbanyakan, JANGAN PRINT SENDIRI SEMUA. Ini sungguh boros. Boros tinta printer pasti, boros kertas iya, boros tenaga nungguin juga. Kalau mau, pilih fotokopian berkualitas print. Harganya biasanya dua kali lipat fotokopi biasa, tapi hasilnya oke. Dan kita hanya perlu nunggu barang 30 menit, alih-alih nge-print, tinta habis, beli dulu, nge-print lagi, kertas habis, beli dulu, dan seterusnya. Kalaupun hanya dicetak, ya yang berwarna saja to.

4. Teliti itu pangkal hemat. Banyak kasus, salah print membuat harus print ulang, padahal hanya perkara typo. Sebisa mungkin telitilah sebelum mencetak.

5. Kerjakan sendiri skripsi itu! Bahwa skripsi adalah satu-satunya mahakarya seoang mahasiswa, kalau dikerjakan sendiri. Kalau kita paham skripsi kita sendiri, niscaya kesalahan akan lebih minim. Banyak kasus copy paste membuat kita bingung sendiri dan akhirnya revisi. Ini juga cost loh.

6. Korbankan diri sendiri! Hmmm.. gini, waktu berangkat ujian, saya membawa sebuah copy skripsi saya sendiri dalam wujud cetakan di kertas bekas, two page per sheet. Tipe cetak? Fast draft. Hehehe.. Ini juga bagian pengiritan, toh ini skripsi kita sendiri, jadi tenang saja, harusnya kita paham.

Konsep go green mungkin belum berlaku di jaman saya skripsi, tapi dengan semakin berkurangnya hutan tentu go green semakin digalakkan. Berhematlah kertas dalam skripsi 🙂

Satu, Dua, Tiga… Byurrrrr…

Ulang tahun memang layaknya dirayakan sebagai wujud syukur. Tidak melulu ulang tahun sendiri, tapi juga orang lain, apalagi teman. Kalau teman senang, tentunya kita ikut senang. Kalau teman menderita di hari ulang tahunnya, mungkin kita akan sama senangnya.

Sama persis dengan 16 Agustus ini, ulang tahunnya Soe Hok Gie wannabe, Yama. Meski tampilan muka jelas beda dengan Nicholas Saputra, tapi sisi aktivis-nya yang kita ambil sebagai Gie wannabe. Kalau muka mau disamakan sama Gie vesi film, mungkin perlu effort buat operasi plastik.

Aya, mami-nya anak-anak Dolaners sudah mempersiapkan agenda ini. Kebetulan, aku, Aya, Sinta, dan Rani yang sibuk di inisiasi tingkat universitas lagi libur karena besok acara dimulai. Pas kebetulan lagi bocah Dolaners lain yang ikut inisiasi tingkat fakultas juga lagi di kampus, menemani si gondrong Toni menjaga pendaftaran. Jadi cocok sekali.

Ini akan jadi perayaan ulang tahun yang oke buat Yama, mestinya.

“Lha ini Yama kesini nggak?” tanya Chiko sambil duduk-duduk ngangkang di lorong cinta. Lagi-lagi, tempat bernama lorong cinta menjadi tempat untuk berbuat, bertindak, dan lain sebagainya. Lorong ini memang saksi untuk berbagai kegiatan.

“Udah di-SMS?” tanya Rani.

“Udah. Katanya nanti mau kesini,” ujar Aya, yang ceritany jadi EO untuk perayaan ulang tahun ini. Kue yang lumayan besar sudah disiapkan, sungguh EO yang niat. Dalam hati aku curiga bakal ada iuran sesudah ini. Hmmm, tak apalah, orang tuaku barusan datang kok, kantong masih cukup tebal untuk sekadar kue gede ini.

Menunggu sosok semisterius Yama memang ngeri-ngeri sedap. Matahari kian meninggi, sosok gondrong mirip grandong ini nggak nongol-nongol juga.

“SMS lagi deh,” kataku.

“Kan nanti juga mau kesini. Mau ketemu Bu Yetty katanya, ngurus nilai ujian,” jawab Aya.

Ow! Aku agak paham dengan makhluk ini jadi pasti ia datang. Nilai Kimia Dasar itu begitu berharga untuk makhluk yang baru mengambil 13 SKS. Seperti halnya donor darah, setitik nilai begitu berharga.

“Kayaknya itu deh.” Si pintar Bayu menunjuk sosok kurus kering kerontang jalan dari kejauhan. Cara jalannya Yama itu spesial minta ampun, tidak ada yang nyamain, jadi hampir pasti itu Yama.

“Ho oh. Bener. Yo, dijamu dulu lah,” ujar Chiko.

Rambutnya melambai malas, mukanya juga sudah buat malas. Tapi dalam rangka hura-hura, rasanya tidak masalah menjamu makhluk ini terlebih dahulu.

“Kene sik. Duduk-duduk sik,” kata Chiko kepada Yama dengan muka playboy-nya. Yah, muka playboy kok diterapkan ke sesama cowok. Mungkin ini ada problem disorientasi.

“Aku arep ketemu Bu Yetty cah.”

“Yo kene sik lah. Ngobrol-ngobrol. Durung ono ibu e.”

Yama pun luluh lunglai, bokongnya mendarat manis di kursi lorong cinta. Formasi pesta sudah disiapkan. Chiko, Bayu, Toni, aku, dan segenap cewek-cewek penggembira.

“Ngopo kie?” Yama mulai curiga melihat makhluk-makhluk bertampang polos di sekitarnya berubah menjadi seringai ganas.

“Orapopo,” kataku.

Dan… Happpp..

Kedua tangan Yama dipegang erat, demikian pula kedua kakinya. Prosedur perayaan ulang tahun resmi diaktifkan!

Chiko merogoh seluruh saku Yama, maka dompet, handphone, dan kunci segera diamankan. Aya sebagai EO segera mengambil langkah pengamanan. Tidak ada rontaan berlebihan dari Yama. Ya, sebenarnya dengan berat badannya yang di bawah Body Mass Index, percuma juga mau berontak. Nanti salah-salah malah itu tulang belulang copot semua.

Setelah isi kantong dipastikan bersih, sandal juga dilepas. Seluruhnya diberikan kepada tim cewek satuan pengamanan barang. Sementara cowok-cowok bertugas menjadi eksekutor.

Jadi ini Yama mau dibawa kemana sih?

Ehm, beberapa puluh meter dari lorong cinta ada sebuah kolam dengan air yang hijau. Sungguh eksotis untuk dipandang tapi tidak nyaman untuk dicicipi. Jadi, setiap yang ulang tahun harus merasakan tempat ini sebagai wujud perayaan. Singkatnya, Yama hendak diceburin ke kolam berwarna hijau eksotis itu.

Karena Yama tidak meronta dan kebetulan lagi tubuhnya memang kurus kering, jadilah mengangkat makhluk aktivis ini tidak susah-susah amat. Dalam sekejap mata, ia sudah sampai di bibir kolam.

Prosedur disiapkan untuk eksekusi. Empat orang memegang tubuh Yama, masing-masing satu di tangan kanan, tangan kiri, kaki kanan, dan kaki kiri.

“Hitung?” tanyaku.

“Foto dulu,” ujar Aya. Maka kamera pocketku yang kebetulan masih ada film-nya segera digunakan. Jepret!

“Siap?”

“Yo!”

“Satu, Dua, Tiga!”

Tubuh kering Yama melayang manis di kolam berwarna hijau, nyebur sebentar hingga tak terlihat dan sejurus kemudian muncul lagi. Tepi kolam itu hanya sepinggang kok, jadi tampaknya memang diset untuk memuaskan hasrat mahasiswa galau dalam merayakan ulang tahun teman.

Pada saat bersamaan, seluruh Dolaners berlari berpencar menghindari pembalasan dari Yama. Terutama yang cowok-cowok nih, karena Yama siap berlari mendekat dan memeluk bak maho guna menularkan hijaunya kolam kepada yang lain.

Dan benar. Yama berlari mendekati setiap orang yang dekat. Dan ini macam kejar-kejaran di SD saja. Untung kampus memang lagi off kuliah, jadi area kampus yang luas itu serasa milik sendiri saja.

Setelah lelah, akhirnya perayaan benerannya dimulai. Aya mengeluarkan kue tart yang lumayan gede untuk teman yang berulang tahun ke-20 ini. Persis di bawah tangga lab, pesta dimulai.

“Ayo, ditiup sik. Make a wish. Make a wish.”

Yama merem sekilas, lalu meniup lilin 20 yang ada di kue tart itu. Pesta selesai! Kue tart itu lantas jadi konsumsi bersama. Sungguh kebersamaan yang indah di panas yang terik. Yah, apa yang kurang indah coba? Melihat teman masuk kolam dengan sukses dan diakhiri makan kue adalah wujud persahabatan yang mantap.

Ibarat kurva, dinamika menurun. Aktivitas lain-lain siap dimulai kembali, maka Dolaners bubaran satu per satu, didahului Yama yang terpaksa pulang lagi dalam rangka ganti baju berhubung ia belum sempat menemui Bu Yetty.

Sisanya?

“Bayar!” tagih Aya kepada Dolaners lain yang bersiap pergi. Seandainya bagian ini ditiadakan mungkin pesta barusan akan jadi lebih indah. Tapi sebagai sesama mahasiswa tentulah semuanya masih minta orang tua, jadi apapun harus dibebankan bersama. Indah juga bukan?

Pendadaran

Entah mengapa dan bagaimana saya jadi teringat soal pendadaran saya beberapa tahun silam, tepatnya sih 2 Januari 2008 (020108).

Jejak-jejaknya sudah dimulai dari bermalam tahun baru dengan slide presentasi, paling wagu sedunia kalau ini. Hehehe… Lalu saya mencoba tidur di tanggal 1 malam, sejak jam 8, dan… GAGAL!

Deg-degannya, entah mengapa dan bagaimana, membuat saya gagal tidur. Jam 4 pagi kemudian saya menjemput penguji di stasiun. Ehm, biar nggaya ini maksudnya. Saya antar ke hotel dan disana beliau menelepon teman dari grup yang sama dan masih/sudah bangun. Artinya? Yak, semua sama-sama sulit tidur. Hehehe..

Oke. Lanjut. Saya kemudian pulang dan akhirnya BERHASIL tidur 1 jam berkat bantuan Anti*o setengah tablet, sebuah miss-use oleh calon S. Farm.

Lalu dan lagi, saya bangun pagi-pagi sekali dan berangkat juga pagi sekali meski jadwal pertama bukan saya, kalau nggak salah Ana. Saya membantu dengan sepenuh hati mempersiapkan viewer dll, dan sungguh tidak mengantuk. Ketika itu langsung sadar kalau belum ada laptop. Ehm lagi, saya waktu itu masih kere, nggak punya laptop, masak ya bawa-bawa desktop kamar kos ke kampus?

Maka langsung capcus ke rumahnya Manda, lalu pinjam laptop, dan namanya terpatri indah di ucapan terima kasih skripsi saya di satu nomor. Hehehe..

Saya giliran ketiga, kalau nggak salah sesudah Rissa. Dan itulah, asli saya nggak ngantuk meski hanya tidur 1 jam. Apa sih yang saya takutkan? Entah!

Soal kostum. Well, celana yang saya pakai adalah satu-satunya celana kain yang saya punya, sejak semester 1. Celana yang sama dengan konser Melody of Memory, celana yang juga join di KPS Unpar, dan celana yang itu juga dalam Golden Voice Christmas Choir Competition. Sepatu? Ya sama juga. Hehehe..

Baju? Nah, yang ini punya bapak. Saya sungguh hanya modal beli DASI di Stock Well yang diskon. Udah.

Saya masuk, deg-degan, lalu didadar disana. Dan semuanya dijawab dengan lancar dan manis. Ternyata kalau skripsi itu digarap sendiri, nggak ada yang perlu ditakutkan. Itulah yang disebut keniscayaan. Kalau suatu metode kita tahu asal muasalnya, kelemahan adalah sesuatu yang bisa diakui, asal jelas. Yang pasti, kehancuran skripsi dan pendadaran adalah ketika kita tidak tahu apa yang kita tulis. Dan ini banyak, copy paste pasti penyakit utama. Syukurlah, saya nggak copy paste sama sekali. Skripsi saya justru dengan baik dan benar menjadi sarana untuk mencurahkan hasrat menulis yang lama lepas.

Oya, kalau mau cek, di skripsi saya, profil penulis ada di halaman 123. Hehehe.. Meskipun total jenderal sampai mau 200 karena ternyata tambahannya banyak sekali. Saya itu orangnya ya begitu, sampai profil penulis pun dipas-paskan dengan halaman 123.

Yahhh, itulah pendadaran. Saya tepar sepulangnya karena tidak tidur itu bikin ngantuk juga. Tanggal 3 saya datang lagi, membantu ujian teman lain, dan syukurlah sukses semua. Sorenya saya bablas ke Ambarawa, nyanyi koor manten dan mendapatkan SMS yang tidak dapat saya lupakan sampai saat ini.

Aku lagi ndelok foto-foto di jakarte. Entah mengapa aku merindukanmu.”

Hmmmmmmmmmm…

Sedingin Kisah Cinta

Bagaimanapun, Dolaners itu orangnya romantis-romantis. Hanya sayang nasibnya kadang nggak cocok sehingga kisahnya kagak romantis. Ketika Chiko, si playboy kena batunya waktu ngedeketin Irin, pada saat yang sama Bayu kena pencuekan dari mantannya, Putri. Dan kebeneran pada saat yang sama, aku juga lagi galau karena kedekatan tidak biasa dengan Alin. Bagaimanapun dan bagaimananya, namanya deket dengan pacar orang itu nggak biasa.

Maka, Yama, yang tampak ayem-ayem kampung berinisiatif meminimalkan kegalauan tiga temannya dengan cara standar: berdoa.

“Cah, ayo nang Sri Ningsih,” ajak Yama ketika kami berempat sedang nongkrong membahas masa depan bangsa dan negara. Paras Chiko masih macam vokalis kehilangan band, Bayu masih seperti orang pintar kehilangan otak pintarnya, dan parasku tetap tidak kelihatan. Lha hitam soalnya.

“Kapan?”

Ngko wae. Kalau besok-besok pasti nggak jadinya.”

“BERANGKAT!” ujarku. Percayalah, bagaimanapun orang galau, gamang, resah, gelisah, dan risau itu sejatinya hanya butuh satu hal: berdoa. Dan biasanya sih, orang akan ingat berdoa kalau lagi galau, gamang, resah, gelisah, dan risau. Yah ini sih sekadar silogisme belaka.

Sepeda motor merah-nya Chiko dan Grand hijau-nya Yama jadi alat angkut untuk berdoa dalam risau di sendang Sri Ningsih. Dan seperti biasa, ketika harusnya jam tidur, kami berangkat. Padahal, jangan salah, hari Jumat pagi besok masih ada kuliah jam 9.

Ini kalau nggak galau maksimal pasti berdoanya sudah ditunda sampai besok.

Perjalanan ke arah timur itu adalah perjalanan paling nikmat untuk anak muda. Jalannya lurus, banyakan mulus, jadilah tinggal was wus. Apalagi itu sudah jam 10 malam yang berarti sepi minta ampun. Paling saingan sama mobil yang mau ke Klaten-Solo. Nggak banyak juga. Maka kecepatan memang berkisar 80-100 km/jam. Kalau sama emakku tahu, pasti udah dihabisin aku, lha 40 km/jam aja udah dipesenin, “jangan kencang-kencang.” Nah!

Sesudah pabrik susu terkemuka, akan ada puteran dan kami masuk ke selatan. Dari situ, masih rada jauh juga sih, akan ketemu tempat yang bernama Sri Ningsih dengan patokan sekolahan. Kalau weekend, sekolahan itu jadi tempat parkir, dan berhubung ini weekdays, jadinya kami bisa naik sedikit dan parkir di rumah penduduk. Tentunya bayar.

“Ayo doa,” ajak Yama begitu kami sampai.

“Ntar lah,” sahutku ringan. Berdoa ketika baru sampai itu asli nggak biasa.

Jadi nih, kalau lagi mau doa ini, doa itu sendiri lebih banyak sebagai kedok. Doanya 10 menit, ngobrol plus curcolnya berjam-jam, tidurnya 1-2 jam, lalu pulang sambil terkantuk-kantuk ria. Ya, semacam itu saja.

Karena belum mau doa, kami akhirnya mampir di sebuah warung dan makan mie instan penuh kehangatan. Cerita lalu dimulai, dengan tiga lelaki galau dan satu konsultan. Dan aku cuma ragu kalau konsultan ini tidak galau. Apa iya?

Aku, sebagai pemain api kelas kacang, masih sempat-sempatnya bertukar pesan singkat dengan Alin. Malah, selagi makan mie instan itu, masih nelpon Alin beberapa menit.

“Hati-hati,” ujar Chiko, masih dengan tampang kehilangan band-nya.

“Iyo. Ini ya nggak ngapa-ngapain kok.”

“Ntar senasib lho,” goda Bayu.

“Beda kasus dikit.”

Dan Bayu beda lagi, ternyata si Putri itu sudah punya pacar baru. Jadi pantas saja kalau si Bayu dicuekin sepanjang acara inisasi anak muda beberapa minggu lalu. Seperti yang pernah aku bilang, miris memang terjadi ketika ngebet sama ngebet itu tidak terjadi pada waktu yang sama. Percayalah! Ada lelaki sedang makan mie di depanku yang jadi buktinya.

“Yo, nek nggak ngapa-ngapain ya nggak usah dihubungi,” timpal Yama. Sebagai makhluk paling tua diantara kami berempat memang wajar kalau di agak wise. Apalagi ia bercita-cita menjadi gubernur BEM dalam waktu dekat dan ketua lingkungan kelak kalau sudah uzur.

Aku mengiyakan saja, mencoba mengalihkan topik.

“Lha kowe piye,Ko?”

“Apanya?”

“Lha ya si itu,” kataku tanpa menyebut nama, rasanya agak membuat hati bertanya bagaimana, saking nggak enaknya menyebut nama itu. Membayangkan saja sulit, apalagi merasakannya. Memang hanya playboy sekelas Chiko yang bisa menjalaninya tanpa banyak sakit hati. Dan percayakah, mereka masih kontak-kontakan.

Mbohlah.”

Sebuah kata yang bermakna mirip ‘hehehehe…’ kalau lagi chatting. Itu bermakna suatu percakapan kudu ganti topik.

Dinginnya malah masih memeluk nikmat dan menimbulkan kantuk yang amat sangat. Kami berempat segera menuju sebuah tempat beratap yang memang banyak dipakai untuk menginap. Tikar yang ada kusambar dan rentangkan. Di sudut pondokan itu ada sepasang, entah pacaran atau pasutri, tapi pokoknya cowok dan cewek. Sementara di pondokan lain ada beberapa pria tidur terpisah. Tidak sampai 10 orang di tempat sunyi ini.

Turu sik po?” tanya Chiko.

“Iyolah. Sambil curhat, sambil bobo,” ujarku.

Maka empat lelaki dengan empat kisah sendiri-sendiri itu terlelap dalam dingin. Ehm, Yama sendiri punya kisah juga, dengan adik kelas yang kami juga kenal. Aku juga sempat ditegur karena terlalu kepo. Yah, mohon dimaklumi, naluri jurnalisme warga untuk seorang calon gubernur. Walaupun baru sebatas gubernur BEM.

Aku, Bayu, dan Chiko tidur seadanya. Yama? Komplit dengan bantal dan selimut yang dibawa dari rumahnya. Bagiku ini tampak biasa, toh biasanya juga hanya modal sarung dan kaos kaki cukup. Ngapain juga bawa selimut?

Apakah aku benar?

Dua jam kemudian, semuanya menjadi salah.

Angin di jam 2 pagi sangat sangat sangat sangat sangat dingin. Sampai lima kali sangat saking dinginnya. Aku terbangun, menekuk badan, mengangkat sarung, dan gagal menambah suhu. Aku mulai gemetar dan semakin meringkuk.

Tiupan angin memang bebas karena pondokan itu hanya ada dinding, tiang, dan atap. Ini semacam tidur di alam bebas saja. Jadi ya semua bebas. Termasuk suhunya bebas.

Kondisi dingin membuatku tidak bisa terlelap. Aku menoleh ke kanan dan tampak Yama tidur dengan pulasnya bersama bantal dan selimut. Kalau ingat episode Spongebob waktu Chandy hibernasi, ingin rasanya memotong selimut itu. Sayangnya, Yama tidak sedang hibernasi. Itu saja bedanya.

Aku mendekati meja pendek yang ada di tengah pondokan. Biasanya meja ini untuk berdoa atau menaruh bekal. Tapi tampaknya akan menarik kalau dijadikan tameng angin saja. Anginnya datang dari arah depan, sementara di belakangku sudah tebing. Jadilah aku membuat tameng dari meja itu dan memilih untuk tidur di belakangnya.

Tapi yah namanya meja, yang ditutup hanya satu sisi. Dua sisi samping tidak tertutup sama sekali, tetap saja DINGIN!

Chiko dan Bayu tampak begitu gelisah dalam tidurnya. Dan aku sungguh yakin mereka sedang bermimpi main ski di kutub utara. Nggak mungkin mereka tahan dengan dinginnya pagi ini.

Kali ini aku benar. Tidak lama kemudian Bayu bangun dan mendekatiku yang sedang berlindung dibalik meja pendek. Yak, aku dan Bayu kemudian membentuk formasi seperti perang-perangan dengan angin. Dua orang cowok tidur berdua di balik meja sambil kedinginan. Tampak ironis dan menggelikan.

Jadilah malam yang seharusnya nikmat itu, menjadi penuh perjuangan. Aku dan Bayu tidak berkata-kata karena lebih baik diam daripada membiarkan udara malam masuk rongga mulut. Lha, nggak masuk aja, gigi sudah gemetar. Apalagi aku dan Bayu juga dapa kesadaran 50% yang bangun hanya karena kedinginan.

Chiko? Mungkin masalahnya terlalu pelik hingga dingin tidak berasa. Sepertinya kisah cintanya jauh lebih dingin.

Dua jam penuh penderitaan akhirnya diakhiri dengan kegagalan tidur sempurna. Aku beranjak ke tempat doa dan mulai curhat disana. Menyusul Chiko, Yama, dan Bayu. Tampaknya Bayu baru menikmati angin yang mulai reda di jam 4 pagi.

Tujuan akhirnya tercapai, curhat sambil doa. Eh, atau doa sambil curhat? Sama saja kali ya?

Maka berikutnya adalah… PULANG dan KULIAH!

Jalan Solo kembali menjadi tempat berpacu yang asyik. Jam 5 pagi masih nikmat untuk keluar Klaten menuju Jogja.  Dinginnya memang lumayan, tapi tidak seganas jam 2 pagi tadi. Kantuk masih menggantung sebenarnya, tapi jadi nggak ketika sampai di jalan besar karena kemarin setengah janjian mau bareng Alin. Yup, Alin lagi mudik dan balik Jogja pada pagi yang sama.

Ndi?” tanya Yama.

“Mboh,” ujarku.

Kedua motor berjalan perlahan sambil tengok belakang dan depan. Berhubung janjiannya keputus handphone yang low bat, jadinya cuma setengah doang. Nggak bisa janjian beneran.

Setelah berjalan dua kilometer, Alin tidak ditemukan dan memang tidak bisa dihubungi.

Bablas?” tanya Chiko.

“Iyolah. Emang main api itu tidak diberkati.”

Pelajaran utama, sesungguhnya main api itu memang tidak dianjurkan.

Was wus was wus sepanjang Jalan Solo membuat kami sampai Jogja dengan cepat. Ketika hendak menyeberang masuk ke rumah Yama, motor Chiko tiba-tiba melambat.

“Bocor!”

Wah! Apa ini dampak dari tuah bermain api? Bahkan ban motor Chiko yang notabene ada di bawah tubuhku, karena aku membonceng, bocor!

“Walah.. Isuk-isuk meneh,” gerutuku.

Chiko akhirnya meninggalkan sepeda motornya di rumah Yama. Sebagai pemuda harapan bangsa, bagi kami lebih penting kuliah. Apa iya? Entah juga sih.

Dan kuliah Jumat pagi menjadi penutup hari yang super dahsyat ketika karung mata menggantung nikmat minta ditutup sementara ilmu yang berguna bagi masa depan berkeliaran di telinga. Inilah profil pemuda masa kini. Tepatnya sih, pemuda masa kini dengan kisah-kisah cinta yang dingin.

Jawabannya Adalah….

Percayalah bahwa anak muda labil hanya akan ingat pada Tuhan ketika sedang gamang plus lagi gembira ria. Kalau flat-flat aja, yah so-so lah. Ini aku bukan bermaksud melakukan generalisasi, tapi setidaknya berlaku padaku. Dan jadwal hari ini adalah bertualang ke tempat yang baru dalam list Dolaners. Sebuah tempat doa berbasis sendang di barat Jogja. Maksudnya dari Jogja barat, terus ke barat lagi sampai jauh, kemudian mengalir ke laut. Eh salah, itu lagu Bengawan Solo ding!

Tempat itu bernama Sendang Jatiningsih, sebuah sendang yang berada di tepian Kali Progo yang arusnya sungguh wah itu. Tapi sebentar, emang pada tahu artinya sendang? Yak, sendang adalah kata serapan dari bahasa Jawa. Tentunya tidak diserap dengan kanebo. Arti sendang menurut kamus adalah kolam di pegunungan dsb yang airnya berasal dari mata air yang ada di dalamnya, biasa dipakai untuk mandi dan mencuci, airnya jernih karena mengalir terus; sumber air.

Jadi sendang yang dimaksud ini yang mana? Anggap saja sumber air yang jernih dan mengalir terus serta digunakan untuk mencuci dosa. Yak, ini adalah perspektif pendosa macam aku!

Sendang ini adalah koleksi kunjungan rohani berikutnya setelah Sendang Sono, yang mana aku tidak ikut semata-mata tidak ada angkutan dan aku tidak layak menggunakan odong-odong merah bernama Alfa ke tempat penuh tantangan macam Sendang ternama di seantero Indonesia itu. Koleksi kunjungan lain adalah Sendang Sriningsih. Ini sih sebenarnya ulah si Yama, pria asli Klaten yang kalau galau suka nangkring sendirian di Sriningsih. Mungkin dalam rangka kebersamaan, maka ngajak galau juga sama-sama. Begitulah persahabatan masa kini. Jangan ditiru ya!

Lokasi sendang ini dekat dengan rumahnya Randu, yang juga Dolaners. Jadi kalau dari arah Jogja, sendang ini lurus terus, nah di suatu pertigaan yang jumlahnya tiga, Randu belok kanan kalau mau pulang. Maka EO dalam hal ini adalah Randu. Pastinya!

Tim dari dusun Paingan dan kota Jogja berangkat. Tentunya sesudah menunggu Roman selesai mbojo sama Adel. Bagaimanapun single alias jomblo macam aku harus kukuh tegar berlapis emas dalam rangka menggelar toleransi terhadap teman yang bermalam mingguan. Toh, itu kan salah satu esensi berpacaran. Harap maklum kalau aku kurang paham karena emang belum pernah pacaran. Eh malah curhat.

Setelah jamnya usai, Roman yang kenaikan berat badannya tidak pernah berkurang ini bergabung dengan Toni yang gondrong sejati mirip rocker tapi doyan lagunya Padi yang romance asyik. Aku yakin role modelnya adalah Piyu, sayangnya Toni kriwul di ujung, jadi tingkat kemiripannya dengan Piyu menurun hingga tidak terdeteksi kualitatif.  Roman dan Toni lantas join dengan aku, Bayu, dan Chiko untuk sama-sama berangkat. Gelapnya malam membawa sepeda motor yang rata-rata berwarna gelap plus mengangkut aku yang gelap menuju ke sendang. Benar-benar gelap sekali dunia kalau begitu ya? Randu sendiri menunggu istruksi. Jadi kalau kami sudah sampai pasar akan SMS supaya ia berangkat dari rumah, jadi sama-sama sampai dengan selamat tanpa kekurangan satu apapun kecuali bensin subsidi hasil perjalanan. Yang penting jangan kehilangan keperjakaan.

“Lha kok rame?” gumamku. Ini retorika, ya jelas aja ramai. Tempat ini kan tempat doa dan ini juga malam minggu, pastilah banyak orang yang berdoa.

“Jalan-jalan sik wae,” seret Chiko. Jadilah lima lelaki dengan kantuk yang melanda jalan-jalan mengitari sendang bak kehilangan mainan dan dengan guyub mencarinya bersama-sama. Sungguh indah persatuan dan kesatuan kalau begini ya.

Tak lama, Randu muncul dengan bermodal gitar. Yak, sebagai EO yang baik hati dan tidak gemar menabung, maka Randu wajib melayani tamu-tamu yang butuh alas tidur ini.

“Tapi masih rame, Ran,” tunjuk Bayu ke pondokan beratap satu-satunya di tempat itu yang layak dijadikan tempat beristirahat.

“Bentar lagi sepi,” ujar Randu. Sebagai orang dekat sini kami harus percaya pada Randu. Harap maklum, kalau lagi diajak kemana-mana gitu di malam minggu, hampir pasti Randu menolak karena lagi ada acara di tempat ini. Randu memang pendoa sejati, patut ditiru.

Dan benar saja, sejurus kemudian tempat itu sepi. Randu segera menggelar gitarnya, eh tikarnya yang disambut meriah dengan tepuk tangan oleh Roman dan Toni yang dari tadi sudah merindukan alas untuk berbaring. Jadi ini topiknya mau doa atau mau pindah bobo? Ehm, dalam hal ini curhat manis dalam wujud doa lebih enak dilakukan di dini hari dalam balutan angin malam dan kesepian yang maknyus. Jadi tidur adalah opsi awal. Ya semoga saja nggak kebablasan.

Dan topik hari ini, yaitu… ialah… yailah…. GEBETAN!

Ampun dah, jauh-jauh ke sendang, pakai bensin subsidi pula, masih aja ngomongin gebetan. Nongkrong di Pok-Whe ngomongin gebetan, terkapar di kosnya Roman juga ngomongin gebetan. Ehm, topik ini menarik karena Roman lagi tidur, sepertinya. Roman ini harus diwaspadai karena mulutnya ibarat ember bocor yang dapat mewartakan informasi kemana-mana dengan ceplas ceplos yang dahsyat dan kadang dilakukan dengan lantang di depan umum. Padahal sebagai rata-rata pemuja rahasia, kelakuan Roman bisa menjadi blunder yang mengerikan.

Gebetanku dan Bayu sudah bukan rahasia di Dolaners, soalnya berteman baik dan satu sekolah dulunya. Gebetannya Chiko? Yah, sebagai pria dengan ‘reputasi’ playboy tentunya kabar berita dan warta warga tentangnya begitu mudah diketahui publik dan mencari obrolan di angkringan. Macam artis kali bah!

NAH! Yang menjadi pertanyaan adalah gebetannya Randu yang tiada pernah kedengaran suaranya. Masak sih di Farmasi dengan perbandingan cowok-cewek 1:3, tidak ada satupun yang digebet. Kalaulah sampai tak ada maka aku akan mempertanyakan orientasi seksualnya. Ih, jauh kali yak!

“Lha kowe sopo, Ran?” tanya Bayu

Randu diam.

“Ada to tapi?” goda Chiko.

“Ya ada lah.”

Nah, ini disebut clue. Yeah!

“Anak mana?” tanyaku menyelidik penuh makna.

“Iyo bocah mana?” timpal Chiko.

“Farmasi?” sambung Bayu.

Dan ini sudah semacam interogasi pada tersangka pencurian hati anak calon mertua.

“Farmasi,” jawab Randu, tetap dengan suaranya yang tenang-tenang mendayung dihempas ombak. Bisa dibayangkan? Agak sulit ya?

Siapaaaa?” Aku, Chiko, dan Bayu sontak mempertanyakan kata yang sama. Sebagai cowok dengan reputasi gebetan berupa misteri, jawaban ini sangat dinantikan.

“Hoaehhmmmmm.. Ono opo iki?” Buntelan lemak di atas tikar bergerak manja.

“Wahhhhh.. bangun!” sebut Chiko dengan nada kecewa.

“Iya nih. Padahal tinggal dikit lagi,” sambungku.

Roman bangun dengan muka polos seolah tidak bersalah. Ya sebenarnya tidak bersalah sih, cuma ia bangun di waktu yang salah. Jadinya? Ya baiklah, Roman tetap salah dalam hal ini, karena ia bangun, sebuah rahasia besar tidak jadi terungkap!

Chiko, Bayu, dan aku terdiam dan memilih untuk terkapar. Satu kata lagi sebuah jawaban akan terungkap dan yang terjadi adalah gagal. Untuk mengobati kekecewaan, marilah kita menjawabnya dalam hidup kita masing-masing. Aku tak bobo risau dulu. Hiks.

Review Film: The Avengers

Hari ini cuti, jadi bisa menyaksikan penampilan perdana Film ‘The Avengers’ di bioskop, dan karena nonton jam 12.15, maka jelas saja sepi. Apalagi saya kan di tempat karyawan-karyawan berada yang notabene jam segini masih kerja.

Itu pengantar saja. Hehe.. Baiklah, kita mulai.

13361299621451335273

The Avengers benar-benar film yang mengaduk-aduk rasa. Dimulai dari sebuah pernyataan bagus di awal film “The humans, what can they do but burn?” dari makhluk luar dimensi yang mengincar The Tesseract sebuah kubus biru dengan tenaga tak terbatas yang ditemukan dalam evakuasi Captain America puluhan tahun silam. Loki, yang terbuang dari Ansgard karena katanya dikhianati melihat benda itu sebagai sarana bagus untuk mengorbankan bumi. Kaitannya sih sama saudaranya Thor yang memang bersikap ‘melindungi’ bumi.

Dengan banyak tokoh, maka perlu plot yang bagus untuk menata kemunculan tokoh demi tokoh dan Joss Whedon dengan baik melaksanakannya. Awalnya tentu Fury (Samuel L. Jackson) sebagai pemimpin projek dimunculkan lalu ada Hawkeye alias Agen Barton (Jeremy Renner) dan kemudian lagi ada Loki (Tom Hiddleston). Semuanya bermuara pada hilangnya si kubus biru, diambil sama Loki. Dan tidak cuma itu, Loki juga mengambil dua orang terbaik di S.H.I.E.L.D dengan tongkatnya.

Nah, dalam upaya merebut kembali sumber energi tidak terbatas itu mulai dimunculkan satu-satu. Panggilan terhadap Natasha Romanoff alias Black Widow yang diperankan si cantik Scarlett Johansson, dilanjutkan dengan memanggil kembali jago lama Captain America (Chris Evans). Lalu Natasha juga berhasil membajak Dr. Bruce Banner (Mark Ruffalo) untuk membantu. Orang yang baru nonton serial Marvel, pada awalnya nggak akan tahu kalau tokoh ini adalah Hulk karena di awal memang tidak dimunculkan. Mereka lalu dikumpulkan di tempat yang canggih. Oh, lupa, ada juga si Iron Man alias Tony Stark (Robert Downey Jr).

Nah, kisah sebenarnya dimulai ketika Loki tampil beraksi jahat di Jerman dan dengan kata-kata bijak ala pemimpin yang bilang kebebasan hanya bayangan semu manusia saja. Disitulah kemudian muncul Captain America dan dari situ juga Loki ditangkap.

Ini mulai aneh ketika Loki mau-mau saja ditangkap. Bahkan Captain America alias Steve Rogers berdialog dengan Tony Stark, kenapa rocker ini mau-mau saja ditangkap. Ini bagian dari dialog-dialog di film ini yang bisa mengundang senyum.

Dalam posisi ini muncullah Thor (Chris Hemsworth). Konflik dipermainkan dengan pintar oleh sutradara ketika Iron Man menyerang Thor yang datang dari dimensi lain itu. Pertentangan karena Iron Man menganggap Thor mencuri tahanannya. Nah, berbagai efek pertarungan juga dibalut apik disini, termasuk keterlibatan Captain America.

Loki kemudian di bawa ke S.H.I.E.L.D dan ditaruh di kamar Hulk. Natasha lalu interview ke Loki dan akhirnya menemukan bahwa maksud Loki mau ditahan adalah hendak membangkitkan Hulk. Kebeneran pada saat yang sama, ada motif yang terungkap oleh masing-masing jagoan. Baik Steve, Stark, Bruce, Thor, dan lainnya menangkap motif lain dari kubus biru itu. Pertentangan antar tokoh yang sejatinya satu kubu ini juga dibalut apik. Jadi jelas, bahwa film ini tidak semata-mata mengutamakan efek layaknya Battleship, tapi plot juga dijalin menarik. Termasuk ketika pertentangan itu akhirnya gagal membuat Bruce tidak marah. Hulk yang tidak dapat dikendalikan akhirnya muncul.

Fury tidak digambarkan sebagai sejati hitam-putih, tapi abu-abu. Disinilah Samuel L. Jackson bisa menampilkan karakter yang menarik. Mulai dari tipu menipu misi, hingga berkeras dengan direktur misi.

Hawkeye sempat menelusup masuk dan menghancurkan beberapa bagian di markas S.H.I.E.L.D namun kemudian pertemuan dengan Natasha bisa membuatnya sadar kembali, tentu lewat pertarungan keras.

Dalam analisisnya masing-masing akhirnya perjuangan dilanjutkan. Dialog menarik dari Steve dan Stark adalah kala Steve bilang, bahwa Fury memang tidak sepenuhnya benar, tapi abaikan dulu. Keduanya langsung bersiap dan lantas didukung oleh Hawkeye dan Black Widow. Dua jago lain? Yak, Thor dan Hulk terhempas jauh ke bumi dengan cara masing-masing.

Kelimanya kemudian bersatu guna mengalahkan Loki yang kebetulan masang aksi di gedungnya Stark. Dan tentunya pertarungan dimenangkan oleh protagonis, layaknya film-film jagoan lainnya. Itu sih biasa ya?

Banyak sisi-sisi lucu yang membuat senyum terkembang. Dialog yang menyebut Loki seorang rocker adalah salah satunya. Ada juga ketika tongkat ajaib Loki tidak bisa mengubah jiwa Stark karena ada logam di dada Stark. Dan yang buat saya ketawa banget adalah ketika Hulk dan Thor sama-sama habis mendarat sesudah menghancurkan Chitauri, keduanya berdampingan. Seketika tangan kiri Hulk menghajar Thor. Yak, sangat bisa dimaklumi karena Hulk tidak bisa dikendalikan. Hehehe.. Juga adegan miris ketika ada seorang polisi diarahkan oleh Captain America dan malah bilang, “siapa anda sehingga saya harus menuruti anda?” Maklum juga, si Captain kan tidur lama banget. Ada juga adegan ketika Bruce bugil dan berdialog dengan polisi plus datang ke lokasi Stark dengan motor super butut.

Film ini juga kembali menekankan poin bahwa niat buruk itu tidaklah baik. Si kubus biru hendak dijadikan senjata pemusnah massal dan pada akhirnya gagal. Direktur yang menyuruh melepaskan nuklir malah nyaris menghancurkan kota, untung ada Iron Man yang mengarahkan nuklir ke dimensi lain. Avengers sendiri adalah proyek yang dicancel, dan membangkitkannya dianggap ide buruk, padahal mereka jadinya penyelamat dunia.

Secara efek memang tidak sedahsyat perang kapal di Battleship karena pertarungan antar badan banyak disini. Satu hal yang pasti, film ini benar-benar mampu menyatukan berbagai karakter. Membuat novel dengan lima karakter saja sulit, bagaimana bisa di film dibalut sedemikian apik? Tepuk tangan!

CNN bilang begini “but if it’s a Friday Night SmackDown you’re after, ‘Avengers’ gets the job done“. Tulsaworld menyebut “When was the last time you cheered at the movies? ‘The Avengers’ could be that opportunity.”

Orang-orang yang tidak mengikuti cerita Marvel juga pasti akan bingung dengan Bifrost atau HYDRA, tapi sekelebat pertanyaan itu akan hilang oleh keping yang menyatukan setiap informasi.

Kesimpulan saya, film ini oke banget. Perpaduan efek dengan kemampuan ‘meracik’ berbagai karakter dengan apik. Kelemahannya menurut beberapa reviewer adalah membangun plotnya kelamaan, tapi kalau saya bilang itu wajar dengan tokoh yang sedemikian banyak.

Oya, satu quote menarik hati adalah, “And you, Hulk, SMASH!

Selamat menonton!

Salam 🙂

Referensi: cnn.com, tulsaworld.com

Disalin dari halaman Kompasiana saya http://hiburan.kompasiana.com/film/2012/05/04/review-film-the-avengers/