Tag Archives: jogja

Minggat Dong Corona, Saya Mau ke Jogja

Minggat Dong Corona, Saya Mau ke Jogja – Dulu sekali ketika saya masih jadi penjaga gudang di pabrik, ada rasa bosan dengan aktivitas yang hanya tentang kantor dan kosan. Plus, di kantornya itu ya antara ruang office dan gudang saja. Begitu kemudian pindah, pergerakannya langsung meningkat ekstrem. Suatu hari pada tahun 2018, saya pagi-pagi berangkat dari Serpong, rapat di Jakarta, kemudian siangnya rapat lagi di Bogor, dan kemudian malamnya balik lagi ke Serpong.

Pernah pula pada suatu pekan saya balik dari Denpasar dan mendarat kurang lebih jam 10 pagi, balik ke kantor di Jakarta, terus jam 3 pulang dulu ke Serpong untuk kemudian jam 11 malam naik kereta ke Bandung untuk acara di ITB keesokan harinya. Acara di ITB selesai jam 2, saya lalu bergegas balik ke Serpong untuk bersiap-siap karena hari Jumat pagi buta saya ada penerbangan ke Jogja.

Ya, sebelum pandemi, saya pernah segesit itu bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan begitu ada pandemi saya betul-betul jadi bapak rumahan seutuhnya. Sebagai gambaran paling jelas mari kita lihat pergerakan saya pada akhir 2018 dan pada bulan Agustus 2021.

Sayangnya memang, tahun 2018 itu adalah terakhir kali saya ke Jogja. Sebuah kota yang punya banyak cerita dalam masa lalu saya. Sebagai bapack muda, sesungguhnya mengajak anak semata wayang saya jalan-jalan ke Jogja adalah salah satu mimpi yang sebenarnya biasa, tapi sejak Maret 2020 berasa jadi mimpi yang terlalu liar. Itu 1 tempat baru di Agustus 2021 bahkan sebenarnya hanyalah Indomaret dekat rumah yang memang baru buka. Artinya, ya saya memang tidak kemana-mana…

Sebenarnya, sih, anak saya yang sekarang berusia 4 tahun ini bukan kali pertama ke Jogja. Pertama kali dia naik pesawat malah ke Jogja di tahun 2017. Masih bayi 5 bulan, lho. Kami ke Jogja karena ada acara pernikahan sepupu. Ya namanya juga acara nikahan, yang dibawa juga masih bayi 5 bulan, dibawa jalan-jalan pasti nggak berasa.

Ketika kemudian anak saya sudah paham mengenai ‘apa itu main?’ tentu ingin rasanya mengajak dia jalan-jalan ke pantai-pantai di Gunungkidul yang dahulu kala menjadi tempat saya dan teman-teman dolan jauh-jauh dari Sleman. Ingin pula mengajaknya ke Taman Pintar, Alun-Alun, Kaliurang, Penting Sari, atau bahkan sekadar main di kampus.

Padahal, ketika tahun 2019 saya kuliah lagi dan betul-betul off dari pekerjaan, berbagai perjalanan itu juga sudah ada dalam perencanaan. Selalu ada keinginan untuk jalan-jalan singkat sama anak, ya sekadar naik bis lintas Jawa yang cakep-cakep atau kereta api untuk datang ke tempat-tempat saya pernah bertumbuh di Jogja dan sekitarnya.

Lagipula dalam pengalaman saya, semakin besar anak, urgensi untuk harus menginap di hotel dengan fasilitas ekstra seperti kolam renang atau tempat bermain yang luas menjadi minim karena toh kita memang ingin jalan-jalan. Satu-satunya yang menjadi penting adalah kamar yang nyaman dan tentu saja terjangkau harganya. Kayak waktu di Bogor beberapa waktu sebelum pandemi, kami menginap di RedDoorz dekat Kebun Raya. Durasi di kamarnya tentu saja minim karena kami lebih asyik main ke Taman Topi atau Istana Bogor buat kasih makan rusa.

Yang paling penting, begitu balik ke hotel, kasurnya bersih, tivinya oke, AC-nya adem, dan bisa tidur dengan nyenyak. Walhasil saya sebagai bapack nan qiqir bisa mengalihkan anggaran untuk makan yang lebih enak atau sekalian dikonversi jadi tiket di tempat bermain. Dan pada dasarnya kebutuhan tersebut sudah tersedia di RedDoorz. Saya malah jadi ingat dulu pas masih pengantin baru ada kalanya staycation di hari kerja, ya di RedDoorz. Cari-cari di sekitar Setiabudi atau Bendungan Hilir agar dekat kantor istri dan bisa terjangkau ke kantor saya. Seru saja sih buat variasi hidup. Dan yah, lagi-lagi yang model begitu semakin tidak bisa terlaksana karena selain faktor anak, ya faktor Corona juga.

Sudah terbayang sebenarnya ketika suatu masa sesudah pandemi ini berakhir, maka saya akan ke Jogja bersama anak dan istri, lalu menginap di hotel di Yogyakarta yang tidak jauh-jauh dari Stasiun Tugu dan Malioboro. Dari situ, kami akan naik andong menuju Taman Pintar dan kemudian menghabiskan cukup banyak waktu di berbagai wahana pendidikan yang ada. Sore menuju malam, kami akan menghabiskan waktu di daerah Nol Kilometer sembari memperlihatkan kepada anak saya rupa-rupa kelakuan bapaknya kala masih muda belia. Habis itu ya balik ke RedDoorz dan terlelap untuk keesokan harinya.

Tempat berikutnya mungkin adalah kampus tempat saya kuliah 4,5 tahun lamanya di utara Jogja yakni Kampus III Universitas Sanata Dharma di Mrican. Tempatnya asri dan asyik buat bocah main-main apalagi lari-lari. Dan sebenarnya selain tadi pantai sampai Kaliurang, ada begitu banyak destinasi baik yang hits maupun yang penuh kenangan yang ingin saya bagikan sensasinya ke anak saya pada suatu hari nanti. Terutama ketika herd immunity sudah tercapai dan yang paling utama adalah saya masih diberi kehidupan.

Berkaca pada Spanish Flu tahun 1918, akan ada masanya virus Corona-nya hilang. Apalagi di masa kini sudah ditunjang dengan ikhtiar vaksinasi. Walau mungkin akan lebih susah karena saya sudah harus kembali bekerja, tapi ya bisalah diluangkan waktu cuti jika memang hendak jalan-jalan. Setidaknya untuk memberikan reward kepada Kristofer yang selama 1,5 tahun benar-benar setia di rumah saja sesuai anjuran pemerintah.

Semoga Corona benar-benar cepat minggat, yha, karena saya sudah ngebet mau jalan-jalan ke Jogja~

Gotong Royong Mendukung Vaksinasi Guna Mengakhiri Pandemi COVID-19

“…Saya dengan sengaja memakai perkataan gotong royong oleh karena perkataan gotong royong ini adalah perkataan asli Indonesia yang menggambarkan jiwa Indonesia yang semurni-murninya…”

Kalimat tersebut adalah kutipan pidato Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno pada tahun 1957. Konteks peristiwanya memang era Demokrasi Terpimpin. Walau demikian, pernyataan itu tentu tidak serta merta kehilangan muatannya. Gotong royong bahkan merupakan bagian dari pemikiran monumental Bung Karno untuk Indonesia, terutama pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945, yang di kelak kemudian hari diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila.

Salah satu momentum perihal fenomenalnya gotong royong adalah ketika Bung Karno menawarkan Ekasila sebagai alternatif untuk Pancasila—bersama-sama dengan Trisila. Untuk memeras begitu banyak nilai yang terkandung pada Pancasila, Bung Karno memilih kata gotong royong. Perlu diingat bahwa Pancasila, Trisila, hingga Ekasila bukanlah konsep yang benar-benar berbeda. Doktor PJ Suwarno—beliau ini fenomenal sekali untuk urusan Pancasila dan secara keren pernah mengajar bapak saya dan di kemudian hari juga mengajar saya—menggarisbawahi pada pidato 1 Juni 1945 tersebut, Bung Karno tetap menekankan agar Pancasila diterima dan demikianlah realitanya kemudian.

Sebagai buah pikir yang mendarah daging di Indonesia, gotong royong jelas menjadi salah satu hal yang menarik untuk diteliti oleh akademisi baik dalam maupun luar negeri. Salah satunya adalah John R. Bowen, yang menulis artikel berjudul On the Political Construction of Tradition: Gotong Royong in Indonesia pada The Journal of Asian Studies tahun 1986. Oleh Bowen, gotong royong dipahami sebagai saling bantu yang saling menguntungkan. Gotong royong disebut olehnya berasal dari bahasa Jawa ngotong—atau dalam bahasa Sunda disebut sebagai ngagotong—yang bermakna sejumlah orang mengerjakan sesuatu bersama-sama. Bowen sendiri pada artikel tersebut meyebut bahwa dirinya tidak mendapati makna dari kata ‘royong’ sehingga cenderung menyebut bahwa kata tersebut adalah tambahan yang menyesuaikan rima.

Di sisi lain, sejumlah publikasi juga menyebut bahwa sejatinya gotong royong juga merupakan terminologi yang hadir pada negara tetangga serumpun seperti Malaysia dan Singapura. Kata gotong royong bahkan hadir di judul buku yang ditulis oleh Josephine Chia ‘Kampong Spirit Gotong Royong: Life in Potong Pasir, 1955 to 1965’ yang mengisahkan tentang kehidupan Singapura pada periode tersebut. Oleh Chia, ditekankan bahwa dalam gotong royong terjadi hubungan saling bantu tanpa adanya motif personal, tetapi sepenuhnya untuk kebaikan komunitas.

Pengertian Gotong Royong Menurut John R. Bowen dan Josephine Chia

Satu hal yang menarik adalah perkembangan dari gotong royong itu sendiri. Pada tahun 1979, melalui buku Sistem Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Khusus Ibukota Jakarta terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah diidentifikasi bahwa sejumlah bentuk gotong royong sudah punah atau lenyap dari kebudayaan suatu masyarakat. Artinya, jika di era sekarang kita seolah mendapati bahwa gotong royong tampak hilang di masyarakat, sejatinya fenomena itu sudah ditangkap sejak 30 tahun yang lalu.

Selayang Pandang COVID-19

Secara umum, dunia sepakat bahwa pandemi COVID-19 adalah kondisi bencana. Pada akhir Januari 2020, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan Keputusan Kepala BNPB Nomor 9A Tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia. Lebih lanjut lagi, pada tanggal 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan COVID-19 sebagai pandemi. Hal ini sebelumnya telah didahului dengan penetapan Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) pada 30 Januari 2020.

Tanggal Penting Perkembangan COVID-19

Faktanya pula, sampai sekarang status pandemi belum diturunkan sama sekali oleh WHO dan seluruh negara di dunia. Bahwa kemudian ada yang bilang bahwa pandemi ini bukan pandemi COVID-19 tapi pandemi tes PCR, atau juga yang bilang bahwa pandemi ini sebagai PLAN-demi dan narasi lainnya, ya itu preferensi masing-masing yang sayangnya agak tidak terlalu tepat dengan konsep gotong royong itu sendiri.

Satu hal yang pasti, asal muasal COVID-19 masih berada dalam penelusuran. Ketika kemudian disebut sebagai senjata biologis yang bocor atau apapun, seharusnya hal itu tidak mengurangi kewaspadaan kita mengingat situasi yang terjadi di sekitar. Memahami dan meyakini bahwa COVID-19 mungkin adalah bagian dari konspirasi pada kenyataannya tidak membuat kita kebal jika virusnya mampir ke tubuh. Mau dari apapun asalnya si virus, kondisinya sekarang adalah secara genomik sudah dibuktikan bahwa virusnya ada dan bahkan sudah bermutasi jadi banyak tipe.

Sohrabi, Alsafi, O’Neill dan kawan-kawan pada publikasi yang berjudul World Health Organization declare global emergency: A review of the 2019 novel coronavirus (COVID-19) menyebut bahwa permasalahan utama pada penanganan wabah ini adalah TRANSPARANSI. Sebagaimana ditulis oleh kenalan saya yang lama tinggal di China bernama Novi Basuki, Li Wenliang pada 3 Januari 2020 justru diminta oleh kepolisian setempat untuk menyebarkan rumor perihal penyakit yang mirip SARS. Padahal, itulah titik kuncinya. Komite Kesehatan Kota Wuhan baru membuka kondisi riil terkait segala yang terjadi pada pertengahan Januari 2020. Itu sejak dr. Zhong Nanshan ditunjuk oleh Komisi Kesehatan Nasional China untuk menginspeksi Wuhan.

Intinya, sih, kondisinya sekarang sudah kadung. Virusnya kadung menyebar dan kadung bermutasi. Sejumlah negara yang awalnya cukup sukses menghalau pandemi, pada akhirnya juga harus berhadapan dengan gelombang demi gelombang kasus baru dengan varian baru. Negara-negara seperti New Zealand, Taiwan, maupun Vietnam terbilang cukup sukses menahan laju penyebaran karena KEPATUHAN warga negara pada kebijakan pemerintah, terutama mengenai protokol kesehatan, setidaknya demikian menurut Lokuge, Banks, Davis, dan teman-teman pada publikasi ini.

Lantas apa hubungan antara gotong royong dengan COVID-19?

Asti Mardiasmo bersama Paul Barnes pada tahun 2015 menulis tentang konteks terminologi gotong royong dalam respon terhadap bencana sebagai pedang bermata dua. Budaya gotong royong disebut mendorong elemen positif berupa dukungan komunitas. Di sisi lain, pada konteks bencana ada potensi ketika gotong royong itu menjadi kontras terhadap respon yang dibuat oleh pemerintah termasuk sampai pada aktivitas pemulihannya yang melibatkan tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas.

Photo by cottonbro on Pexels.com

Apakah gotong royong bermakna jelek? Jelas tidak, sebab keduanya tetap sepakat bahwa nilai komunitas dan mekanisme tata kelola sangat mungkin dikawinkan.

Satu hal yang penting untuk dipahami, bahwa sebagaimana dikutip oleh saya sendiri pada jurnal ini dari Kashte dan teman-teman (2021) bahwa dengan kondisi yang ada, vaksin adalah satu-satunya pilihan untuk pulih dari pandemi.

Memang, tes-lacak-isolasi itu tetap penting. Masalahnya adalah di Indonesia ini levelnya sudah komunitas sehingga pada satu lingkungan, klasternya boleh jadi 0 tapi bisa jadi pula lebih dari 1. Pelacakannya butuh upaya luar biasa dan harus sangat persisten karena dampaknya adalah pada fasilitas pelayanan kesehatan.

Pada bulan Desember 2020, fasilitas kesehatan di Indonesia sempat berada di kondisi gawat. Saya sendiri sempat mengalami keribetan kala mencarikan ruang ICU untuk teman sekantor. Indonesia pernah berada dalam kondisi bahwa pengaruh pejabat, orang dalam, dan apapun itu yang sejenis sudah tidak mempan dalam soal ruang ICU ini karena memang ruangnya tidak ada. Semoga sih kondisi tersebut tidak terjadi lagi.

Tingkat Keterisian ICU 2 Januari 2021
Kondisi ICU sejumlah provinsi pada 2 Januari 2021 (Sumber; CNN)

Berkaca dari kondisi tersebut, kita tidak bisa melakukan penanganan di ujung alias di fasilitas kesehatan. Pada umumnya pasien ke RS karena sudah parah dengan sejumlah kerusakan pada tubuh. Menangani hal semacam ini tidak akan kelar-kelar, kecuali obatnya sudah ada. Persoalannya kemudian, yang disebut obat untuk COVID-19 belum ada. Yang ada adalah dua jenis obat yang sejatinya bukan untuk COVID-19 tapi berdasarkan kajian ilmiah diperbolehkan untuk digunakan melalui Emergency Use Authorization oleh otoritas pengawas obat setempat, namanya Remdesivir dan Favipiravir.

Harapan sebenarnya adalah menghindari tambahan pasien, atau kalaulah memang ada yang bertambah itu datang ke RS dalam kondisi yang tidak terlalu parah sehingga masih bisa ditangani. Cara utama untuk menghindari tambahan pasien tersebut, terutama di negeri dengan level transmisi komunitas adalah dengan VAKSINASI.

Gotong Royong Mendukung Vaksinasi COVID-19

Soepomo memahami bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dari seseorang yang lain maupun dunia luar. Ketika COVID-19 masih di Wuhan, sesungguhnya lockdown maupun karantina masih dapat menjadi solusi. Sayangnya, nyaris seluruh negara tidak dapat menghalaunya pada masa-masa awal pandemi. Bagaimanapun, COVID-19 menyebar dengan lebih cepat daripada flu Spanyol juga karena kemudian akses dari satu negara ke negara lain pada masa kini sehingga dunia luar dan diri kita sejatinya memang sudah sangat terhubung dengan mudah.

Pada titik inilah seperti yang disebut Soepomo: segala sesuatunya bersangkut-paut. Dan dalam ihwal vaksinasi COVID-19, sangkut-paut dan pengaruh-mempengaruhi menjadi semakin jelas. Ingat, target dari vaksinasi adalah kekebalan komunitas atau herd immunity. Namanya komunitas, pembentukan herd immunity itu tentu membutuhkan upaya bersama dari masing-masing anggota komunitas.

Pengaruh Vaksinasi Untuk Komunitas

Pada upaya mencapai herd immunity, sikap satu orang dapat mempengaruhi konstelasi di komunitas. Sederhananya, melalui vaksinasi, diharapkan anggota masyarakat dan komunitas tertentu sudah memiliki kekebalan pada suatu penyakit, dalam hal ini COVID-19. Vaksinasi memang tidak mencegah orang untuk jadi positif COVID-19, tetapi jika seseorang sudah divaksinasi, sistem imunnya sudah kenal sehingga dapat membentuk kekebalan yang diharapkan. Dengan demikian, kalaupun positif, tingkat keparahannya lebih minimal. Semakin tidak parah, kemungkinan untuk sampai meninggal semakin kecil pula.

Memang agak sulit memahami bahwa ada satu virus yang bisa menginfeksi orang tapi tidak menimbulkan gejala pada satu orang, tetapi bisa menyebabkan kematian pada orang yang lain. Hal itu sejatinya sejalan dengan kondisi individu masing-masing. Terlebih, sejak awal sudah dikenali bahwa COVID-19 cenderung lebih parah pada orang-orang dengan komorbid. Dan jangan salah, untuk Indonesia, komorbid itu masalah besar sebab Indonesia tengah bergelut dengan tingginya angka Penyakit Tidak Menular seperti diabetes maupun hipertensi. Lebih gawat lagi, Kementerian Kesehatan menyebut bahwa dari 10 orang Indonesia, hanya 3 yang tahu bahwa mereka memiliki PTM. Tujuh lainnya? Baru tahu ketika sudah komplikasi alias sudah parah. Lebih gawatnya lagi, dari 3 yang sudah tahu itu, cuma (((SATU))) yang berobat rutin.

Sekarang mari tempatkan kondisi PTM tersebut dengan laporan awal perihal case fatality rate (CFR) pada periode awal COVID-19 dari Wu dan McGoogan (2020). CFR awal adalah 2,3% tapi angkanya melonjak jadi 8% pada pasien dengan usia 70-79 tahun dan bahkan 14,8% pada pasien di atas 80 tahun. CFR pada pasien dengan hipertensi adalah 6%, lebih dari 7% pada penderita diabetes, dan mencapai 10,5% pada penderita penyakit kardiovaskuler.

Sebagai contoh, data di Provinsi DI Yogyakarta menurut dashboard covid19.go.id memang menyebut bahwa 92,2% pasien COVID-19 itu sembuh. Tetapi, mari kita lihat pula fakta kematian untuk pasien di atas 60 tahun: 60,1% meninggal. Sederhananya, kalau ada 10 pasien di atas 60 tahun, maka 6 diantaranya pasti meninggal. Jangankan itu, data yang sama juga menyebut bahwa untuk usia 46-59 tahun, persentase kematiannya mencapai 30,4%! Padahal di usia tersebut, justru banyak yang anaknya masih SMA atau kuliah sehingga tetap butuh biaya hidup. Masak ya kita membiarkan dari 10 orang berusia 46-59 tahun yang kena COVID-19, 3 diantaranya meninggal?

Vaksinasi bertujuan untuk mereduksi kematian-kematian itu. Kajian cepat dari Kementerian Kesehatan telah memperlihatkan data yang sesuai bahwa vaksinasi mampu mencegah kematian akibat COVID-19 sampai dengan 98%! Untungnya pula, pada dasarnya orang Indonesia cukup percaya pada manfaat vaksin. Survei CSIS di Jogja cukup membuktikan hal tersebut dengan angka yang lumayan tinggi, mencapai 68%. Hal itu adalah modal baik untuk masa depan vaksinasi.

68% Percaya Pada Kemanjuran Vaksin

Ada banyak pendapat yang cukup menyesatkan soal COVID-19. Saya sering mendapatinya di kolom komentar Instagram. Yang paling sering adalah, “Teman saya yang kena COVID-19 semua tanpa gejala, tuh! Ini penyakit biasa saja sama kayak flu.”

Jika diterjemahkan dalam konsep gotong royong, pernyataan itu jadi tidak relevan. Ingat bahwa kehidupan manusia itu pengaruh-mempengaruhi. Benar bahwa teman kita oke-oke saja, tapi temannya yang lain bahkan sampai meninggal. Dalam circle saya, ada satu orang yang sudah sempat masuk ICU dan kemudian sembuh tapi ada pula rekan yang bahkan umurnya baru 34 tahun, anaknya dua masih kecil-kecil, dan pada akhirnya harus meninggalkan dunia akibat COVID-19. Sekali lagi, dalam ruang lingkup gotong royong, pernyataan semacam itu menjadi tidak cocok sama sekali.

Hidup memang harus terus berjalan. Kita memang tidak akan dapat diam di rumah selamanya. Untuk itulah, kombinasi dari VAKSINASI dan penerapan pendekatan kesehatan masyarakat atau di Indonesia disebut sebagai PROTOKOL KESEHATAN menjadi kunci untuk bisa hidup senormal mungkin di tengah pandemi yang masih terjadi. Dan untuk membuatnya efektif, tentu saja dibutuhkan kerja bersama dari setiap individu di dalam masyarakat, yang saling menunjang satu sama lain, dengan menihilkan kepentingan pribadi sampai titik yang paling optimal, demi tercapainya tujuan bersama.

Ya, dengan gotong royong kita dapat mengakhiri pandemi COVID-19 ini. Dengan nilai-nilai dasar yang sudah kita kenal sejak lama, kita bisa mengalahkan SARS-CoV-2 dan mutasi-mutasinya. Kemungkinan itu ada, sisanya kembali ke kita sendiri: mau atau tidak?

Semoga mau, ya~



Tulisan ini diikutsertakan kompetisi dalam rangka memperingati Bulan Pancasila dengan tema Keistimewaan Pancasila: Toleransi, Berbagi, Gotong Royong yang diselenggarakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIY.

Memutar Kenangan Antara Solo dan Jogja

Memutar Kenangan Antara Solo dan Jogja

Solo dan Jogja, setidaknya menurut saya, adalah dua kota dengan sejarah unik. Paling gampang tentu saja jika kita menyebut Kraton sebagai salah satu tempat yang wajib dikunjungi di dua kota ini. Kebetulan pula, meskipun saya nyaris 8 tahun tinggal di Jogja, saya malah pernahnya mampir ke Kraton Solo dalam sebuah perjalanan epik yang akan selalu dikenang sebagai kelakuan masa muda. Itu terjadi tahun 2005.

Kini, akses antara kedua kota tersebut boleh dibilang lebih mudah. Memang, jalanan yang terbilang lebar dan mulus untuk was-wis-wus itu agak lebih macet dibandingkan 14-15 tahun silam. Namun pada saat yang sama, ada alternatif Kereta Api yang lebih beragam opsinya dibandingkan dahulu kala. Ada bahkan teman saya yang walaupun sudah menikah dan tinggal di Jogja, tetap saja kerjanya di Solo. Perkara akses memang cukup menarik, ternyata. Kalau begitu, yuk cobain perjalanan dari Kota Solo ke Jogja dengan kereta! Continue reading Memutar Kenangan Antara Solo dan Jogja

Taktik Baru Liburan Murah di Jogja

Alkisah, bulan depan saya dan keluarga mendapat undangan untuk menghadiri royal wedding di keluarga istri. Perhelatannya di Jogja. Disebut royal wedding karena yang nikah adalah anak pertama dalam generasi ketiga trahnya istri saya. Kepala Suku lah ceritanya. Plus pacarannya mereka sedikit lagi KPR lunas. Royal tenan.

Nah, walaupun hidup saya dihabiskan selama 7,5 tahun lebih di Jogja, tapi saya nggak bisa sembarang menginap di Jogja. Pertama, karena kita tidak bisa menginap di dalam kenangan. Itu maya, jadi harus di hotel. Kedua, nggak mungkin juga nginap di kos-kosan mahasiswa. Itu so yesterday sekali. Ketiga, karena untuk pertama kalinya saya akan bawa bayi dalam perjalanan jadi harus dipersiapkan benar-benar. Ketiga, namanya baru punya bayi, banyak pengeluaran. Jadi kudu hemat, beb.

Sebagai makhluk hidup yang makan uang rakyat, saya sebenarnya sudah biasa cari sampingan tiket perjalanan. Carinya ya standar, tiket pesawat sendiri, hotelnya juga sendiri. Untunglah saya sudah tidak sendiri.

Bagian ini sebenarnya sangat memakan waktu dan kuota. Tiket pesawat buka berbagai website–termasuk website resmi maskapai. Hotel juga begitu, cek list hotel di Google, kemudian cari telepon hotel, lantas telepon sendiri berharap dapat government rate. Belum lagi kalau catatan tiket keselip waktu mengurus hotel. Bubrah kabeh.

Hingga akhirnya pencarian saya berujung pada Traveloka yang menyediakan sarana memesan tiket pesawat merangkap hotel sekaligus. Sungguh hemat waktu, dibandingkan klak-klik dan telpan-telpon yang lama itu tadi. Mudah dan saving time. Andalan. Tidak ada beda juga dengan pemesanan yang standar, masih ada menu infant yang memang saya perlukan untuk mendaftarkan Istoyama sebagai pemilik tiket. Kalau luput, masak emak bapaknya berangkat, anaknya ditinggal?

Dan ternyata Acha Septriasa benar kala menyebut berdua lebih baik. Terbukti pasangan tiket pesawat dan hotel ini jatuhnya jadi lebih hemat. Hemat waktu, hemat biaya. Lebih murah daripada pesan terpisah, sungguh hemat beb nan paripurna! Kalau kata Traveloka dalam menu Flight + Hotel itu adalah Better Together. Jadi kapan kamu to get her, mblo?

Pilihan hotel dari Traveloka juga sudah tidak diragukan lagi. Maka, saya juga bisa leluasa cari-cari pilihan di sekitar Malioboro. Tempat yang lebih dekat dengan arena royal wedding kelak. Apalagi, Traveloka sudah dikenal dengan pembayaran yang mudah dan pas banget untuk e-commerce. Kan ada tuh, e-commerce yang pembayarannya ribet sehingga kadang-kadang bikin saya dipliriki orang di ATM karena kelamaan. Dikira mau money laundrying. ATM isi cuma sejuta kok di ATM lama bener.

Nah, sekarang kami tinggal bersiap-siap menggotong barang bawaan Istoyama yang variasi bin pritilannya begitu banyak itu dari Jakarta ke Jogja untuk menghadiri royal wedding itu. Kalau pada mau ikutan dapat hemat beb ya hayuk cari tahu informasi lengkap mengenai Hotel Malioboro di Blog Traveloka yang menggabungkan order tiket dan hotel dalam satu kesempatan. Zaman makin susah, lho, jadi kita butuh piknik yang hemat tapi tetap yahud. Biar nggak edan.

Ergobaby Blog

Sekarang, saya mau packing popok Istoyama dulu ya. Persiapan buat royal wedding. Ciao!

Berhenti Mengagumi Anies Baswedan

picmonkey-collage6

Duh, ngomongin politik lagi, deh. Maaf ya sohib-sohib blog ini nan budiman. Sebenarnya ini nggak politik-politik banget, kok. Hanya sebuah catatan pribadi yang nyerempet politik. Gitu.

Ini tentang Yang Terhormat Bapak Anies Baswedan. Salah satu sosok yang dalam posting ini saya akui sebagai orang baik. Salah satu sosok yang–tadinya–langka di Indonesia. Bagaimana nggak langka? Di saat banyak politisi sibuk beretorika, janji sana-sini, blio bersama rekan-rekan sevisi menggagas Indonesia Mengajar, berikut Kelas Inspirasi. Paket kegiatan yang saya akui sangat positif. Saya pernah ada di keramaian Kelas Inspirasi dan merasakan benar energi positif yang ada dalam kegiatan kerelawanan itu.

Kala mengikuti Kelas Inspirasi inilah saya seolah kesirep sama sosok Anies Baswedan. Waktu itu di gedung Indosat, saya ada di bagian terdepan untuk mengikuti speech indah tentang janji kemerdekaan, tentang menghadirkan mimpi di ruang-ruang kelas, tentang iuran kehadiran. Luar biasa dan sangat realistis bagi saya kala itu. Ngomong-ngomong, cerita Kelas Inspirasi yang saya ikuti dapat dibaca dalam posting dengan judul “30 Menit Yang Luar Biasa”.

Continue reading Berhenti Mengagumi Anies Baswedan

Hotel di Jogja Area Malioboro? Tentu Feel Neo di Hotel Neo Saja!

Hotel di Jogja area Malioboro sangat dicari, salah satunya ya karena ini adalah Jogja. Jogja yang katanya berhati mantan itu memang sedang dibanjiri oleh hotel-hotel aneka rupa. Sebagian hotel tampak mahal, sebagian murah, sebagian berada di tempat yang beneran pas untuk hotel, sebagian lagi bahkan memakai trotoar sebagai bagian dari hotel. Nah, ketika saya berada di Jogja, keputusan untuk menginap kemudian jatuh di Hotel Neo Malioboro.

11352018_917160671637347_924970697_nAlasan pertama, hotelnya baru. Kedua, kiri-kanan hotel juga, jadi setidaknya ini memang daerah wisata. Ketiga, sebagai hotel di Jogja area Malioboro letaknya otomatis di tengah kota. Yah, walaupun judulnya Neo Malioboro tapi sebenarnya berada di Jalan Pasar Kembang, sih. Keempat, dekat dengan Malioboro. Kelima, dekat dengan tempat dinas. Dan yang bikin menarik sebenarnya adalah warna hitamnya.

Dinas ke Jogja mungkin sepanjang karier cuma sekali ini, maka saya tiba di Jogja pagi-pagi, first flight dari Jakarta. Sesampainya di hotel tentu saja belum jam check in, namun untungnya kebijakan di Hotel Neo ini baik sehingga saya bisa menitipkan gembolan sebesar kenangan tanpa khawatir kehilangan di hotel di Jogja area Malioboro ini. Sebagai gambaran, saya menitipkan laptop segala. Jadi keamanannya bolehlah. Oh, ada yang unik begitu pertama kali menjejak Hotel Neo. Resepsionisnya! Yang Mbak-Mbak memakai wig putih, yang Mas-Mas memakai topi-saya-bundar-bundar-topi-saya. Lumayan kerenlah.

Selengkapnya!

Bersua Kembali Dengan Merapi

Gunung itu namanya Merapi, disebut-sebut sebagai gunung berapi yang selalu aktif. Dan gunung itulah yang selalu menjadi patokan saya sejak tahun 2001 di Jogja–tentu sebelum hotel-hotel perebut trotoar berdiri di Jogja. Dulu, kalau kesasar, tinggal cari ke sekeliling, adakah Merapi? Jika ada, maka jelas, itu utara. Langkah selanjutnya adalah mudah. Gunung itu pula yang saya lihat pertama kali begitu diguncang bumi pada Mei 2006. Dia ‘hanya’ berasap, karena memang bukan Merapi yang bergejolak.

Merapi pula yang jadi saksi ketika pertama kali saya dipeluk cewek, itu ketika pulang dari Pentingsari. Merapi pun adalah tempat ketika Bang Revo dipakai jadi modus boncengin cewek. Dan yang paling jelas bin terang dari semuanya itu, Merapi adalah saksi ketika gadis idaman tsurhat sama saya tentang cowok idamannya yang bukan saya. Pedihlah mah kalau mau dikenang.

wpid-photogrid_1442937817711.jpgBagaimanapun, Merapi dan Jogja pernah dan akan selalu menjadi bagian dari hidup saya. Maka, ketika sedang tidur-tidur manja di Ciawi dan tetiba saya ingat Jogja, langsunglah saya berencana liburan ke Jogja. Namun boleh jadi saya tetiba ingat Jogja itu adalah bukti sebuah feeling, karena pada akhirnya dalam waktu penantian yang sangat tidak lama saya benar-benar bisa terbang ke Jogja, tempat lahirnya OOM ALFA!

Selengkapnya!

Cerita MOS di Kandang Manuk

Blog ini sudah sesepi hati CPNS yang gagal mendapatkan kekasih pada saat prajab. Saya lalu bingung, mau menulis apa pula. Scroll punya scroll, lagi marak membahas tentang yang namanya MOS alias Masa Orientasi Sekolah (atau Siswa? Mbohlah). Sebagai anak muda peralihan Orde Baru ke Orde Antah Berantah, bisa dibilang saya berada di era MOS dimulai. Persis sebelum angkatan saya, setiap anak muda yang baru masuk SMP kudu ikut kegiatan bertajuk Penataran P4. Beuh!

Sekolah+De+Britto,+Yogyakarta,+2009Apa yang saya dapat ketika MOS di SMP? Yeah, kakak kelas yang kebablasan! Sangat kebablasan karena tidak ada satupun nilai edukatif yang muncul. Saya ingat benar, beraneka ragam rupa kakak kelas mendekati saya dan mengoleskan kapur tulis basah ke pipi, hidung, dan segala tempat yang tersedia di muka saya nan hina. Saya adalah anak dengan noda kapur terbanyak. Kenapa? Karena saya anak guru PPKn. Mungkin mereka dendam. Bisa jadi.

Tiga tahun berlalu, saya lantas kabur ke sebuah kota yang sekarang sudah penuh hotel sampai ke jalan-jalan tikus. Sudah penuh mal juga, sampai-sampai harus pakai nama orang jadi nama mal. Dahulu, empat belas tahun silam, hal itu tidak ada. Dalam perjalanan dari rumah Simbah ke sekolahpun, saya masih bisa melihat ular berganti kulit hingga jomblo yang menangis.

Pekan-pekan awal tentu tidak mudah, apalagi di sebuah sekolah menengah yang punya status kandang manuk alias semua siswanya punya burung. Ya, benar-benar tidak mudah, apalagi bagi anak kampung macam saya.

Acara wajib bernama MOS tetap ada, namun MOS yang sebenarnya justru ada beberapa hari kemudian, sepulang sekolah sampai malam hari. Sebuah acara yang bernama INISIASI. Acara Inisiasi ini tentu saja berbeda dengan MOS yang pernah saya alami, pun dengan Kamus MOS yang jamak beredar saat ini. Makanya saya mau cerita sedikit-sedikit. Sesedikit pembaca dan pembeli buku saya OOM ALFA. (Uhuk! Beli dong! Di Playstore akan kok!)

Inisiasi di Kandang Manuk dimulai dengan acara baris-berbaris di PBB. Cukup wagu, apalagi dibandingkan dengan stigma bahwa sekolah ini cuma upacara sekali dalam setahun. Tapi namanya anak baru, apa-apa ya diikutin saja, termasuk ketika Tutor yang mengajari PBB bahkan skill PBB-nya masih kalah dari anak Sempe Tupa (SMP Tujuh Payakumbuh) yang jadi lawan SMP saya di LASP3 2000.

Namun kiranya PBB itu hanya secuil, sebenar-benarnya cuil dari rangkaian total kegiatan. Kok gitu? Masih ada tugas membuat call-card. Masalahnya mungkin bukan di terminologi “membuat call-card”, namun lebih kepada seperti apa benda itu akan dibuat. Patokan bentuk, sih, ada. Namun ukurannya bikin dahi berlipat layaknya perut PNS kekinian. Untuk mendapatkan satu angka–sebutlah–2 cm, itu harus menyelesaikan persamaan yang kira-kira begini:

Jumlah lampu di kelas 7A + (Jumlah jengkal panjang aula/Panjang teralis loket pembayaran yang sekolah) – Keliling pohon talok dekat WC dalam Inchi

Ya, semacam itulah kira-kira.

Itu baru call-card. Pada akhir hari, anak-anak muda yang sebagian diantaranya tidak tahu apa-apa tentang kota yang baru 1-2 pekan ditinggalinya harus mencari benda-benda yang tidak aneh. Namun benda-benda biasa itu menjadi tidak biasa ketika ada keharusan merk tertentu yang bahkan belum pernah saya dengar sama sekali. Dua yang saya ingat adalah Kopi Susu merk Ya! dan Mie Instan Gurimi. Butuh keliling kota untuk menemukan benda-benda itu semua.

Semuanya itu masih ditunjang oleh kewajiban membawa kantong kresek sebagai wadah barang yang diwajibkan untuk dibawa itu. Dan tentu saya bukan sembarang kantong kresek karena dari sekian kelompok yang ada harus membawa kresek dari toko yang berbeda-beda. Mulai dari Gramedia, Gelael, Ramayana, hingga–toko legendaris yang kiranya lebih luas dari Mal Lippo Cikarang–Gardena. Susah, sungguh susah. Apalagi senior yang mendiktekan list itu adalah sekelas Thoni Chandra yang sekarang kerja saja di luar negeri.

Lucunya, benda-benda aneh itu selalu berhasil saya dapatkan pada jam pelajaran oleh kawan-kawan nan baik hatinya. Sepanjang inisiasi, hanya 1 barang yang luput saya bawa dan itu sesungguh-sungguhnya sepele: gula 1/4 kilogram. Fak!

Sepanjang inisiasi, tekanan hidup sungguh luar biasa. Teriakan dari Seksi Tatib membahana kesana kemari dengan lantangnya. Bayangkan, pintu baru dibuka, sudah dibengoki “Ayo, Cepat!”. Sudahlah disuruh cepat, begitu lewat anak tangga, dibengoki meneh, “Tangga jangan dilompati!”. Melirik sedikit ketika baris juga kena damprat, minimal kena plirikan. Dipikir-pikir mau melirik apa, isi aula itu kan lelaki semua. Beuh. Pas giliran snack juga bukannya enak. Bagaimana bisa enak kalau kita makan lemper sambil diteriaki supaya cepat, belum lagi dengan faktor minuman berupa teh yang panas. Belum lagi ketika menyanyikan jingle yang gerakannya asli lucu, tapi kita nggak boleh ketawa. Senyum dikit, maka “Apa kamu senyum-senyum?”

Ketika lantas tiba saat menginap dan masuk sesi mandi sore, fenomenanya makin keren karena memaksa para peserta untuk bisa mandi secara mangkus dan sangkil. Baru masuk WC sedetik, sudah diketok, “Ayo, Cepat!”. Lha edan. Guna memperingkas keadaan, maka di dalam WC yang kurang dari 2 kali 2 meter itu berjejal 4 manusia yang sama-sama berbelalai tidak panjang dengan aktivitasnya masing-masing. Entahlah. Kok yo iso. Aku yo heran. Bagian paling epik dari aktivitas ini adalah ketika ada sempak yang ketinggalan, dan kemudian diangkat-angkat di dalam aula dengan pertanyaan, “Punya siapa ini?”. Sungguh pertanyaan yang menusuk harga diri pemilik sempak.

Seluruh kegiatan dan kegilaan akan ditutup ketika pagi-pagi buta, para lelaki itu disuruh bangun dari tidurnya yang kademen karena harus bobok di ruangan yang tembok kelasnya cuma separo. Di kegelapan pagi itu, mereka harus bertelanjang dada dan pergi ke lapangan bola. Di lapangan bola, mereka lantas guling-guling dan entah apalagi yang dilakukan hingga kemudian tiba saat berbaris. Satu demi satu lelaki itu maju, memasukkan call-card yang digarap dengan sepenuh jiwa dan setengah misuh ke dalam api, kemudian mereka diguyur air berikut bendera merah putih. Ada janji dan ada komitmen. Sejak saat itu, batas senioritas bisa dikatakan pupus sudah. Perkara ada hal-hal yang dibawa ke daerah sekitar LPP, itu ranah yang berbeda.

Pernah saya dihantam oleh kakak kelas dalam rangkaian itu? Tidak sama sekali. Dipliriki sih sering. Tapi mengingat MOS sampah yang saya alami di SMP semata-mata karena saya anak guru, Inisasi yang saya dapat justru tampak maknanya. Kresek dan benda-benda biasa bermerk aneh itu memang dikaji agar anak yang baru masuk kota itu berkeliling benar-benar. Dipaksa untuk mengitari tempat yang akan dihuninya selama setidaknya 3 tahun ke depan.

Ketika lantas berada di pihak yang berbeda, saya melihat profilnya dengan jelas. Yah, meladeni arem-arem kepada lelaki muda yang mau makan saja tertekan itu tidak mudah. Menuang teh panas ke gelas saat yang akan meminumnya kudu buru-buru menghabiskannya juga mengiris hati. Atau ketika lantas jadi Tutor, tahu bahwa ada diantara anak di kelompok yang dulunya Pramuka tangguh. Pun dengan mendapati anggota kelompok yang kebingungan dan menyembunyikan diri ketika tidak membawa suatu benda yang disuruh. Ya, seru saja, tahu dua sisi semacam itu.

Dalam periode itu, pernahkah saya dipermalukan dengan bikin kalung dari gayung? No! Ya, aneh-aneh tapi menurut saya tidak aneh yang dipaksa kayak di kampus anu yang memaksa mahasiswa baru untuk pakai topi dari bola plastik yang ditambahi rumbai-rumbai tali teyen. Fak sekali.

Soal kegiatan juga nggak main-main. Ada sesi diskusi dan semacam debat dari kelompok presentasi dan disanggah oleh teman lain di satu kelas. Di sesi diskusi inilah, saya pertama kali mengenal kata kunci abad ini: Asu.

Disitu menurut saya bedanya antara MOS yang disoroti sama Pak Anies Baswedan dan jajarannya dengan Inisiasi yang saya alami. Tidak pernah ada kekerasan fisik setidaknya selama tiga tahun saya terlibat. Kalau ada Tatib yang kebablasan misuh, dia akan berurusan dengan guru yang turut serta di sepanjang proses. Bahkan batas yang saya bilang pupus itu beberapa kali bablas jadi wagu ketika ada Tatib yang dua hari lalu bilang “Tangga jangan dilompati” malah berkata “Silakan dilompati”. Namanya juga anak SMA, pasti kebablasan, sih. Yang jelas, guru-guru selalu ada dan berbeda dengan saat saya SMP ketika para gurunya malah memasrahkan MOS kepada anak kelas 3. Guru-guru itu ada di setiap seksi, dan ada bintang utamanya. Ada Pak Guru yang sekarang kolumnis rajin sekaligus pengajar tentang kepenulisan kemana-mana. Ada juga Pak Guru Matematika yang kalau marah-marah malah kayak baca puisi, dulu kerempeng sekarang buncit. Ada juga Pak Guru agak bantet dan bangga bisa mempersunting etnis Tionghoa. Kontrol mereka membantu meredam niat balas dendam menjadi terarah. Menurut saya demikian.

Dengar-dengar, semakin Inisasi ini berada di Orde Baru, semakin keji dan lucu pengalaman yang dijalani peserta. Tentu saja saya tidak hendak bertestimoni karena tidak mengalaminya. Cukuplah saya menulis yang saya alami saja, tepat 14 tahun yang lalu. Melalui tulisan ini, saya hanya hendak menekankan bahwa keberadaan guru itu penting sangat, plus segala hal yang aneh-aneh itu pada prinsipnya tidaklah aneh ketika dasarnya jelas, bukan dasar turun-menurun dan lucu-lucuan belaka. Dengan begitu, MOS jadi sebenar-benarnya ajang untuk mengenal sekolah, teman-teman, sekaligus mengeksplorasi diri di tempat barunya. Mungkin Mas-Mas dan Adek-Adek yang mengalami hal berbeda, bisa share di komen ya.

Bagi Tuhan dan Bangsaku!

4 Sisi Melankolis Lorong Cinta

Bagi anak Universitas Sanata Dharma alias Sadhar, tepatnya penguasa teritori Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman tentu sangat paham tempat yang bernama Lorong Cinta. Saya sendiri tidak tahu sejak kapan Lorong Cinta dibangun, pun Bapak Penunggu Pentingsari yang mengaku dulu ikut menggarap Kampus III Sadhar tidak cerita kapan Lorong Cinta dibangun, dia malah cerita tentang ular-ular yang dulu menghuni lahan calon kampus. Heu.

Lorong Cinta sejatinya adalah sebuah bangunan biasa. Namun sama halnya dengan kampus-kampus lain dimanapun berada, pun mungkin di negerinya PK, salah dua atau salah tiga tempat akan menjadi sebuah monumen yang tercipta dengan sendirinya. Di Paingan, monumen itu adalah Lorong Cinta, bukan OOM ALFA.

Bagi anak Sadhar Paingan, Lorong Cinta bukanlah semata-mata bangunan yang dibuat untuk menghubungkan gedung yang kebanyakan isinya laboratorium dengan gedung yang isinya kantor dan ruang kuliah. Lorong Cinta menjelma menjadi sebuah tempat yang penuh nyawa karena dihidupkan oleh sisi-sisi melankolis manusia yang tumpah pada dirinya. Dalam skema kesentimentilan yang penuh bumbu melankolisme, saya mencoba menelaah Lorong Cinta dalam perspektif khusus, maka muncullah 4 sisi itu.

Menunggu

Lorong Cinta terletak persis di depan sekretariat Fakultas Farmasi di ujung satu, dan sekretariat lainnya di ujung sananya lagi. Di masing-masing ujung Lorong Cinta ada tangga, dan ada lift. Ketika mahasiswa Farmasi kelar kuliah, mereka akan turun ke lantai dasar dan pasti akan memandang Lorong Cinta. Pun dengan yang akan kuliah, atau akan praktikum, pasti akan sangat intim bersama Lorong Cinta.

IMG_0037

Letaknya yang demikian ini lantas bersisian dengan sisi melankolis bernama ‘menunggu’.

Lorong Cinta adalah saksi sebuah aktivitas biasa. Kuliah jam 9, datang jam 8.30, kemudian duduk-duduk manis di Lorong Cinta sambil menunggu kuliah. Itu aktivitas dasarnya. Kalau mau dibongkat, aktivitas sederhana itu kemudian bisa dijelmakan dalam aneka rupa fantasi.

Lorong Cinta bisa menjadi saksi ketika malam sebelumnya sepasang kekasih memutuskan untuk berpisah, namun setelah merenung semalam sang lelaki lantas menanti sang mantan kekasih yang baru udahan kuliah untuk kemudian membicarakan hal tertentu. Bisa jadi, kan?

Lorong Cinta juga adalah tempat bagi mahasiswa tingkat lanjut dan secara semester juga berusia lanjut untuk sekadar menanti. Kuliah sudah nggak, ngasdos juga jarang-jarang. Ke kampus mencari dosen, mencari literatur, dan sejenisnya. Karena pas di dekat sekretariat, ya menanti dosen paling pas adalah di Lorong Cinta.

Pertemuan

Ada suatu kala ketika sepasang calon kekasih menghabiskan pertemuan pertama mereka yang berdua saja di Lorong Cinta, hari Sabtu, ketika kampus sepi. Angin yang bertiup agak kencang tidak dipedulikan, pun si cicak yang nggak kelar-kelar membaca.

Lorong Cinta juga menjadi tempat yang tepat untuk janjian, untuk rapat, untuk bertemu asisten dosen, hingga untuk janjian COD. Apalagi Lorong Cinta memberikan nuansa yang tepat untuk sebuah pertemuan. Bayangkan ketika sedang duduk menanti, lantas dari kejauhan muncul seseorang yang kita nanti-nanti, ketika dia menjelang tiba dan lantas merapat. Entah itu teman, entah itu mantan, entah itu kekasih, semua punya sisi yang menarik untuk dicerna.

Bagi para alumni yang sudah tidak kenal siapapun, nongkrong di Lorong Cinta adalah kegiatan yang tepat untuk sekadar bertemu dosen yang sedang berkeliaran. Tampak simpel, namun melihat dosen kemudian salaman dan lantas dosennya masih ingat nama si alumni, itu pasti keren. Masalahnya, diingat itu kontekstual, bisa diingat karena nakal, bisa pula diingat karena ketemu di perkuliahan 4 kali untuk materi dan nama kuliah yang sama. Pertemuan yang pedih.

Berharap

Lorong Cinta memang tidak menyimpan suatu monumen yang tampak untuk mencerminkan harapan. Namun, berada di Lorong Cinta, sejatinya adalah bentuk harapan yang akan terwujud. Ya, sesederhana berharap jadi sarjana kemudian dalam proses yang melelahkan itu, duduk merenung, beria-ria, dan kemudian berpikir bahwa masih ada harapan untuk menuntaskan perjalanan yang panjang itu.

Lorong Cinta juga menjadi tempat ketika nilai-nilai ujian dikeluarkan dan dipampang serta dibagikan. Semuanya akan mengumpulkan, menghitung, kemudian berharap bahwa nilai baik yang dimimpi-mimpikan itu kemudian muncul. Lorong Cinta juga menjadi saksi harapan baru ketika orang yang ulang tahun mengeringkan badan pasca menjadi korban hijaunya kolam Paingan.

Harapan nyatanya kebanyakan ada di dalam hati. Ada saja mahasiswa yang duduk di Lorong Cinta tanpa arah dan tujuan, hanya berharap bisa melihat Sang Pujaan Hati dari kejauhan, berlari imut menuju laboratorium dengan tas hitam dan sepatu ketsnya, kemudian sudah. Ah, ini pasti cinta. Derita yang tiada akhir. Apalagi itu cinta diam-diam, sebuah akhir yang tidak memiliki awal.

Bahagia

Ketika saya selesai ujian skripsi terbuka tanggal 22 Januari, persatuan tim Swamedikasi dan tim Teh lantas menghelat peringatan kebahagiaan dengan tumpengan persis di tengah-tengah Lorong Cinta. Lulus ujian skripsi adalah bentuk kebahagiaan dan itu sungguh kami rayakan di tempat kami menunggu, di tempat kami berharap, dan di tempat kami saling bertemu untuk saling menguatkan.

Lorong Cinta adalah saksi bahagia ketika praktikum selesai dan data diperoleh dengan baik. Lorong Cinta juga merupakan tempat yang didatangi oleh sepasang kekasih dengan manisnya, lantas duduk bersama di kursi kayu sepanjang lorong, dan keduanya memamerkan senyum bahagia.

Image(128)

Namun, sebenarnya bahagia paling utama terjadi ketika seseorang yang memiliki harapan untuk sekadar bisa melihat sang pujaan hati yang tidak bisa dimiliki menunggu dengan sabar di Lorong Cinta kemudian justru bertemu dan bertukar sapa sebelum sang pujaan hati kembali berlalu dari depan mata. Sebenarnya, bahagia memang hanya sesepele itu.

Dua Malam di Manado

Heyhoh! Kembali lagi dalam edisi perjalanan di blog sepele ariesadhar.com ini! Kembali lagi atas nama pekerjaan, saya kembali naik pesawat. Sesungguhnya, naik pesawat di kala berita tentang proses evakuasi Air Asia QZ8501 sedang kencang-kencangnya, bukan hal yang mudah. Apalagi kali ini perjalanannya kembali menuju timur. Timur Prado…, eh, ya ke timur aja, gitu. Untungnya lagi, kali ini pekerjaannya tidak selama dan seberat yang dua perjalanan awal yang tentunya bisa dibaca juga liputannya di blog ini.

Jadi, kemana saya kali ini?

manado1

Yup, saya kembali lagi ke Bumi Celebes. Sesudah kemaren ke salah satu kakinya, sekarang saya ke kepalanya. Demi efektivitas perjalanan dan pekerjaan, akhirnya diputuskan bahwa berangkatnya jam 05.30 pagi WIB. Yang mana daripada saya harus sudah ada di bandara Soekarno-Hatta setidak-tidaknya jam 04.30, dan tentu saja saya nggak mungkin nunggu Damri jam segitu. Jadilah saya sok kaya dengan Taksi Blue Bird. Mau bagaimana lagi? Pukul 03.30 saya sudah cabut dari kosan, ditemani rintik hujan dan maling-maling yang sedang dinas.

Lanjutkan bacanya, yuk!