Tag Archives: menulis

Ke Bali di Masa Pandemi

Selepas kelar kuliah, salah satu hal yang cukup bikin saya deg-degan setiap waktu adalah kalau disuruh perjalanan dinas luar kota. Bukan apa-apa, sejak Maret 2020 sampai September 2021 saya itu benar-benar hanya di Tangerang Selatan. Nggak kemana-mana sama sekali. Ke Jakarta sekalipun bisa dihitung dengan jari. Bahkan dalam kurun waktu 12 bulan dari Maret 2020 sampai Maret 2021, saya ke Jakarta (yang notabene normalnya saya lakoni tiap hari) hanya 3 kali dan semuanya untuk keperluan COVID-19. Pertama, swab massal di kantor. Kedua dan ketiga adalah vaksinasi dosis 1 dan 2. Sudah gitu doang saking tertibnya.

Nah, begitu sudah aktif lagi bekerja, maka saya tidak punya privilese untuk selalu #DiRumahAja, apalagi kerja beginian walaupun masih sangat memungkinkan untuk WFH tapi ada saja elemen kerja lintas kotanya. Hal itulah yang terjadi kemudian. Sesudah kemarin ke Surabaya, kali ini saya ke Bali. Dinas ke Bali itu bagi saya cukup menyebalkan karena ingat tahun 2017 pernah ke Bali, nginep di Hotel The Stones yang notabene cuma seberangan pantai Kuta tapi baru bisa melihat sunset itu di hari kelima. Kerjo po ngopo to sakjane~

Nah, saya ke Bali itu 20 Oktober ketika pariwisata baru dibuka untuk turis mancanegara dengan catatan karantina. Sekali lagi, terakhir kali saya ke Bali itu 2018, jadi yang saya lihat benar-benar sesuatu yang berbeda.

Karena acara yang hendak saya ikuti ada di sekitar Kuta, maka saya menginapnya di sekitar situ juga. Pada malam hari, saya yang kehabisan Rosuvastatin kemudian mengorder ojol untuk pergi ke apotek terdekat. Itu sekitar jam 8 malam. Dulu, jam 8 malam di Kuta itu justru awal mula aktivitas tiada henti sampai pagi.

Apa yang saya lihat?

Jalanan sepi. Tempat-tempat hiburan yang tutup. Demikian pula toko-toko. Termasuk sebagian diantaranya sudah diberi tulisan ‘DIKONTRAKKAN’. Belum lagi jika ditambahkan dengan curhat driver taksi dari bandara soal mobilnya yang sudah ditarik leasing dan mobil yang dipakainya adalah punya teman.

Itu tanggal 20.

Ketika saya pulang tanggal 22, ada nuansa yang berbeda. Di hari Jumat, sudah mulai banyak yang check in. Pada umumnya adalah rombongan dengan naik mobil sendiri. Hotel di sekitar Legian mulai menggeliat. Jika di hari Kamis saya sarapan dalam suasana sepi, maka makan siang di hari Jumat sudah mulai banyak orang. Kehidupan Bali mulai menggeliat.

Pada satu sisi, saya tetap takut soal potensi varian baru dan potensi penularan COVID-19. Apalagi, yang dikontrol kan perjalanan udara yang notabene sudah pakai HEPA Filter. Bagaimana dengan bis atau bahkan mobil pribadi? Wabah ini jelas belum selesai, tetapi bagaimanapun saya sangat paham bahwa banyak orang tergantung pada mobilisasi orang-orang. Termasuk saya pun demikian. Dari bujangan pengen banget ngajak anak istri ke Bali. Mana anak saya sudah suka ngomong pengen ke beach tapi naik airplane. Artinya, sekadar ke Ancol sudah nggak cocok buat dia dan Bali mestinya pas.

Ah, semoga wabah ini cepat hilang ya~

Advertisement

Di Balik Tulisan “Yang Harus Dipahami Dalam Kasus Penarikan Albothyl”

Di Balik Tulisan _Yang Harus Dipahami Dalam Kasus Penarikan Albothyl_

Hari Jumat, pas Imlek, Prima Sulistya, cicik-cicik KW embuh yang tidak merayakan Imlek merupakan pemimpin redaksi salah satu media kafir, Mojok, mengirim pesan WhatsApp kepada saya berkaitan dengan penulisan sebuah topik, yang mungkin dikirimkannya mengingat kayaknya hanya saya apoteker di antara deretan penulis Mojok.

Ini merupakan pesan istimewa karena inilah kali pertama Cik Prima request artikel ke saya sejak bliyo naik pangkat jadi pimred. Sebelumnya, Cik Prim hanya redaktur biasa nan jelata. Beberapa tulisan yang saya kirimkan kepadanya pun memang dimuat tapi view-nya mengenaskan.

Bagi saya, apapun tawaran dari Cik Prim yang berkaitan dengan nulis di Mojok adalah keharusan untuk diiyakan, terlebih dalam kondisi finansial saya yang gundah gulana begini. WA-nya kepada saya mungkin kombinasi dari masukan koreksi untuk sebuah topik yang lalu ditambah dengan unggahan saya berupa Istoyama yang sedang makan kerupuk saja, saking kerenya bapaknya. Continue reading Di Balik Tulisan “Yang Harus Dipahami Dalam Kasus Penarikan Albothyl”

[Interv123] Tax Officer – Travel Blogger

BAYAR UTANG!!! Pada akhirnya saya nulis soal Interv123 lagi. Artinya sudah utang 3 kali nggak nongol, meleset dari jadwal. Beginilah nasib blogger merangkap karyawan, plus ada sedikit urusan yang mengharuskan saya fokus kesana–karena ngaruh ke masa depan, jadi nggak bisa wawancara, deh. Jangankan interv123, anak saya bernama OOM ALFA aja sedikit lepas dari pengawasan. Urusan apa? Nah, sedikit banyak urusan itulah yang memberi influence pada pemilihan tokoh Interv123 kali ini 🙂

Kali ini Interv123 menghadirkan seorang abdi negara alias pegawai negeri sipil. Tapi tentu saja, kalau di blog sini nggak sembarang tamu yang datang dong. Kalau sembarang PNS mah saya bisa asal comot aja di kecamatan.

Jadi, siapa dia?

Sumber: efenerr.com
Sumber: efenerr.com

Di dunia maya, tamu saya ini menggunakan nama tenar Efenerr, bisa ditemui di twitter @efenerr, juga blog efenerr.com, ya beda-beda tipis sama ariesadhar.com gitu deh. Nama aslinya nanti baca sendiri di bawah, tapi dia juga punya nama panggilan “Sinchan”. Mungkin karena sama nakalnya.

Hah? Nakal?

+1

Iya. Hari ini umur saya berkurang lagi dari jatah entah berapa yang sudah ditentukan. Sudah dua puluh sekian, dan sekiannya banyak. Sebagai Capricorn, mereview pencapaian pada usia yang sudah dilalui sebenarnya susah-susah gampang, karena hampir mirip dengan review tahunan yang kebetulan sudah saya buat.

Jadi sudah ngapain aja di usia yang baru saja lewat ini?

Tentu saja bernapas.

Dalam 1 periode revolusi bumi itu pula saya menahan-nahan ketidaksukaan saya pada bidang logistik, ya, sampai hampir muntah rasanya. Sampai pada level tertentu, saya bisa melakoninya dengan baik, tapi ketika pemberontakan hati terjadi, mulai deh pekerjaan jadi bubar satu demi satu. Yah, untunglah untuk hal ini sudah ada jalan keluar.

Di usia yang baru lewat ini juga banyak tempat baru, dan tentu saja menggandeng pengalaman baru. Muara Gembong, berikut paket perjalanan-awalnya-ketakutan-tapi-ujungnya-ketagihan ketika naik eretan. Ada pula Semarang yang saya jelajah sendirian dengan referensi dari Google. Plus aneka mall di Jakarta yang saya sambangi hanya untuk melihat OOM ALFA nampang disana.

Soal cinta? Nah, ini dia. Nggak punya pacar dari ulang tahun sampai ulang tahun lagi itu semacam nggak biasa. Sudah lama nggak, soalnya. Tapi bukan berarti nggak ada yang naksir loh. Ada, tapi ya, kok ndadak bertingkah aneh-aneh. Mulai dari pakai acara titip salam ke banyak orang, padahal kan punya nomor HP saya, sampai ada pula yang menginthili kehidupan per-social media-an saya.

Men, ada gitu cewek yang buka-buka koleksi foto FB saya 2-3 tahun yang lalu, dan dengan gamblangnya ketika saya tanya, “tahu dari mana?”, eh dijawab “dari FB”. Stalking kok ngaku, ini tentu saja disebut gaking, gagal stalking. Ya, gaking sampai nongol di setiap kehidupan per-social media-an saya, berikut hobi bikin status #nomention yang mengarah ke saya… itu kok malah bikin ngeri. Jadi, ya sudahlah, mari di-setting supaya mereka mendapatkan jodoh yang lebih baik daripada saya. Amin.

Soal benda mati, ada tambahan Tristan dan Eos, sama ada juga smartphone baru, merk lokal. Beginian mah pencapaian biasa banget. Orang-orang lain pada usia saya malah sudah beli rumah dan mobil. Agak telat gaul memang saya ini.

Nah, pencapaian yang mungkin terbesar tentu saja benda ini:

Oom Alfa

Iya. Akhirnya, sesudah penantian yang cukup panjang. Mulai dari penantian tanpa usaha, usaha itu sendiri, sampai penantian sesudah berusaha, akhirnya nama ArieSadhar bisa nongkrong sendirian di cover sebuah buku. Cover yang menurut kawan-kawan tergolong kece. Good job, Ika! 🙂

Nah, OOM ALFA inilah yang kemudian membawa saya kepada sebuah konteks pergaulan baru, yang benar-benar baru: sebagai penulis. Saya hidup di 2 dunia jadinya: manufaktur dengan segala hal yang seketat cawet, serta industri kreatif yang benar-benar membutuhkan imajinasi liar untuk mencari hal yang sungguh-sungguh baru. Awalnya bingung, tapi lama-lama nikmat juga. Dan agaknya akan terus begitu sampai jangka waktu yang cukup panjang.

Di usia yang baru lewat itu juga saya mencoba meraih lagi sesuatu yang diinginkan oleh orang tua saya. Nanti, kalau sudah tiba saatnya pasti akan saya kisahkan disini. Tenang saja.

Entah kenapa juga, di umur yang sudah lewat itu, saya lumayan banyak terjun “melayani”. Ya, namanya begitu, tapi saya sendiri kadang nggak merasa itu pelayanan kok, soalnya saya suka. Nongkrong di Balkesmas sebulan sekali, serta terlibat lebih aktif di hari Minggu, di rumah Tuhan, sejatinya cukup menyenangkan.

Kekayaan paling utama yang saya terima di umur kemaren adalah relasi. Berkenalan dengan orang-orang bersemangat positif lewat Kelas Inspirasi, bertemu orang-orang kreatif di penerbit, bertemu anak-anak muda keren di komunitas blogger, pun ketemu anak-anak SD unyu pas ngajar KI, sampai bapak-bapak-yang-nyolong-susu-bekas-saya di sebuah kampung di mepet Karawang sana. Semuanya memberi nilai pada hidup yang tambah lama sebenarnya tambah susah ini.

Terima kasih kepada Tuhan atas usia yang masih dijatahkan kepada saya, atas dua orangtua yang luar biasa, yang tetap sehat sampai sekarang. Terima kasih atas berkat melimpah yang saya terima sepanjang dua puluh tahun lebih banyak mengarungi hidup ini.

Hari ini rasanya adalah hari ulang tahun dengan ucapan terbanyak. Mulai dari aneka grup WhatsApp, Twitter, Facebook, hingga langsung. Ya, meskipun kurang 1 orang, yang sejak 7 tahun lalu, baru sekali ini nggak ngucapin. Mungkin lupa, beberapa tahun yang lalu dia juga telat, kok. Yah, pokoknya, meski hanya tidur-tiduran melihat Cikarang banjir, saya cukup merasa keren hari ini.

Terima kasih, Tuhan. Lancarkanlah umur baru ini, agar saya bisa bertindak, demi kemuliaanMu yang Lebih Besar.

Petualangan #10daysforASEAN

Terima kasih kepada nasib yang sudah membantu saya bertemu dengan acara sosialisasi komunitas ASEAN untuk para @aseanblogger. Untung juga saya mendaftar lewat Kompasiana, padahal ya saya itu sudah follow @aseanblogger beberapa waktu. Dan untung juga saya menahan diri untuk tidak pulang sebelum acara berakhir, seperti banyak pemirsa lainnya. Karena di saat terakhir inilah saya dapat info ketika Mbak Indah bilang bahwa akan ada lomba blog #10daysforASEAN.

YEAH!

Oke. Niat awal saya menunggu sampai malam adalah kali-kali menang lomba livetweet. Tapi saya juga sadar sih, dengan si Young yang ngedrop 4 kali selama acara, nggak mungkin juga saya menang lomba itu.

Menulis cepat itu adalah keahlian saya, tapi soal isi ya nanti dulu. Saya bisa saja disuruh menulis 1 postingan atau 1 cerpen dalam waktu cepat, tapi dengan kualitas yang diragukan. Itu kenapa banyak posting di blog ini yang pendek-pendek, termasuk mungkin posting yang ini. Nah, karena menulis cepat itu saya bisa, akhirnya saya email ke Mbak Ani Berta untuk menjadi peserta #10daysforASEAN.

Begitu hari pertama nongol temanya, saya langsung bingung. Seperti yang bisa dibaca di posting saya berjudul Salon Thailand? Siapa Takut? ini. Saya tulis disitu bahwa seumur-umur ke salon itu ya cuma dua kali. Sisanya saya ke barber shop alias tempat potong rambut khusus lelaki. Bagaimana ceritanya saya mau menulis soal salon kalau latar belakang saya seperti itu? Apalagi pakai embel-embel Thailand pula. Maka, setelah garuk-garuk aspal, saya kemudian memberanikan diri menulis posting itu, dan hari pertama selesai.

Topik kedua nongol dengan indahnya, dan bikin ingat mantan.

#sigh

Ya, persis seperti yang ditulis di posting #10daysforASEAN saya yang kedua ini. Saya sendiri juga kurang paham soal percandi-candian. Saya lebih paham pergalauan soalnya. Jadi, topik hari kedua ini benar-benar memaksa saya untuk browsing. Eh, kok ya kebetulan kalau browsing pakai bahasa Indonesia yang nongol adalah kabar bahwa Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman alias Salomo. Daripada saya ngakak ngehek, jadi saya cari pakai bahasa Inggris saja. Pas benar dengan hasil diskusi di ruang Caraka Loka bahwa bahasa Inggris itu penting. Nah gara-gara Angkor Wat ini, saya jadi belajar bahasa Inggris lagi.

Hari ketiga dimulai dengan tantangan yang sungguh oye. Menciptakan usulan nation brand dalam waktu singkat. Apalagi saya kemudian pulang malam karena besoknya akan cuti. Jadi harus pandai-pandai memilah dan memilih istilah yang bagus. Hingga kemudian saya menemukan istilah Indonesia, A Tropical Paradise. Orang marketing saja susah payah berhari-hari mikir merk yang oke, lha ini saya mikir dalam waktu 1 hari, disambi-sambi meeting sana sini. Untung nggak berubah jadi Indonesia, Meeting Sana Sini. Kan berabe.

Masuk hari keempat mulai susah. Di hari Kamis saya ada perjalanan ke Montong dalam urusan penerbitan buku. Malamnya dilanjutkan perjalanan kereta api ke Jogja. Sudah begitu, saya dikasih tahu teman yang ikutan #10daysforASEAN juga soal topiknya via Whatsapp. Topiknya soal Visa Myanmar pula. Pusing saya. Sambil menikmati perjalanan via Kopaja AC Ragunan Monas, lalu kemudian menatap galau busway yang nggak lewat-lewat di Sarinah, akhirnya saya menulis juga dengan gamang di ruang tunggu Stasiun Senen, dan nge-tweet laporannya ketika saya sudah di dalam kereta api Senja Utama Solo. Dan di ruang tunggu itu, cuma saya yang lagi ngetik pakai laptop. Ini stasiun pula, bukan bandara.

Saya lantas sampai Jogja dan nangkring di kos-kosan adek saya yang bungsu. Begitu ngulet habis bangun sesudah terkapar saya melihat kopi dan merknya sama dengan kontes blog kopi yang sedang saya ikuti. Jadi urutannya, lihat kopi, ingat kontes blog kopi, lalu ingat blog, kemudian ingat kewajiban posting untuk #10daysASEAN di blog. Urutannya panjang sekali, sedikit lebih panjang daripada jalan kenangan. Nah, begitu saya buka topiknya, eh, soal kopi.

Saya sedikit mengutuk diri karena saya punya banyak bahan menulis tentang kopi tapi itu di laptop saya yang lama, yang sudah rusak. Itu dulu saya pengen nulis soal kopi, dan sudah seperenambelas jalan. Bahannya lumayan banyak. Yah, tapi ya sudah, saya menulis saja soal Kopi ASEAN.

Hari Sabtu, saya sudah mikir bahwa bakal sulit. Hari itu adek saya sumpahan apoteker. Dan pastinya akan rempong sedunia. Kapan saya mau ngeblognya, dan kapan saya mau nyari bahan juga kalau topiknya susah. Pas topik keluar, tentang Laos pula. Nggak ada bayangan di kepala selain fakta bahwa Laos itu termasuk herbal, teman-temannya kayu manis, dan daun bungur yang saya kelola sehari-hari.

Untungnya saya punya adek anak IPS. Begitu saya bilang Laos, eh dia menyebut soal negara tanpa pantai, sungai Mekong, dan bla…bla…bla.. lainnya. Akhirnya saya tulislah posting itu. Dan sesungguhnya, posting soal Laos ini adalah satu-satunya posting yang digarap di banyak tempat. Mulai dari Ruang Multimedia Kampus III USD Paingan, ruang tunggu Kencana Photography, meja makan restoran Jejamuran, sampai kamar kos adek saya. Cukup heroik untuk sebuah lomba blog yang pernah saya ikuti.

Minggunya dapat topik yang susah juga, soal perbatasan Singapura-Malaysia. Dan hari Minggu itu bahkan saya tidak sempat ke gereja. Karena sepagian saya sudah berangkat ke Sendangsono untuk ziarah rohani, dan kemudian diteruskan dengan perjalanan pulang ke Cikarang. Saya nggak mungkin buka laptop di terminal Jombor, pun di atas bis Rosalia Indah. Untungnya bisnya sampai lumayan subuh, jadi saya segera bisa menulis soal Peta ASEAN. Begitu kelar nulis, eh sudah jam 6 dan saya sudah harus berangkat kerja karena ada pengiriman bahan baku jam 7.

KAPAN SAYA TIDURNYA???

Senin ke Senin, sudah seminggu saya mengikuti #10daysforASEAN dan hitung-hitung tentu saja topiknya nggak akan jauh-jauh dari Filipina. Eh, bener juga. Hari Senin 2 September topiknya tentang kebebasan berekspresi dan mengambil latar Filipina, sebuah negara yang sudah kenal People Power bahkan sebelum saya lahir. Dan karena riwayatnya nggak jauh-jauh dari yang saya ingat semasa SD, jadi menulis soal People Power ini jadi lumayan tidak menyiksa.

Nah, hari kesembilan. Tinggal kurang Brunei sama Indonesia. Sudah pasti Brunei. Saya sudah kepikiran saya soal minyak. Eh, nongolnya kok malah KTT ASEAN dan tiga pilar. Lalu saya mau nulis apa? Ya, pada akhirnya dengan segala sesat pikir, saya tulislah tulisan yang menggelegar ini.

Sampai di hari ke-10, hari terakhir, saya kira sudah tinggal evaluasi, kesimpulan, dan saran. Dan ternyata saya salah lagi, saudara-saudara. Pantas saya jomblo, menebak topik saja saya salah, apalagi menebak isi hati perempuan.

#EAACURHAT

Di hari terakhir ini pembahasannya soal Jakarta. Kebetulan saya pengikut berita Jokowi Ahok, jadi cukup paham kemajuan Jakarta sejak duet maut itu menjabat dan tentunya kaitan dengan keberadaan Jakarta sebagai ibukota ASEAN.

Dan selesailah sudah.

ZZZZZZZZ…

Mengingat track record saya yang baru sekali dapat hadiah dari lomba blog, itu juga voucher 100 ribu yang merupakan hadiah hiburan dan jumlah hadiah hiburannya ada 45, plus nyaris menang di lomba blog Batik karena masuk nominasi saja, jadi saya cukup pasrah untuk tidak menang di #10daysforASEAN ini.

Setidaknya, karena #10daysforASEAN ini blogpost saya nambah 10 (HAHAHAHAHA), dan saya bisa menulis topik berat dengan bahasa gelo. Saya paling suka posting sepele saya yang “Aku Nggak Punya Visa”. Entah kalau yang lain ya. Kebetulan pula, ketika saya ikut lomba ini, kok pageview saya nggak nambah banyak ya? Hiks. Setiap hari saya memantau pageview saya dan angka segitu-segitu saja, maksudnya rata-rata sama dengan hari-hari lainnya. Bukan apa-apa sih, kalau pageview masih segitu-segitu aja, gimana saya bisa mempromosikan Komunitas ASEAN 2015? Sebagai seorang yang pas di Caraka Loka disapa blogger, saya merasa gagal.

Sedikit masukan saya ke panitia adalah lebih kepada hal teknis. Soal pendaftaran lebih dahulu ini saya suka banget. Ini sekaligus menguji komitmen seseorang. Masukan saya sepele saja kok. Semisal updatenya dibentuk dalam model spreadsheet di Google Docs, itu bakal lebih enak. Jadi kolom 1 adalah list peserta plus nama blognya, lalu kolom ke-2 sampai 11 adalah link blogpost mereka. Jadi kita bisa tahu nih, sudah masuk atau belum dan nggak repot scroll atas bawah.

Saya tahu mengelola kontes macam ini susah, jadi usul saya nggak repot-repot kok.

Salam #10daysforASEAN!

Revisi ariesadhar.com

Saya sadar sepenuhnya bahwa secara konten blog ini kacau sekali. Tapi dulu itu kan maunya blog ini untuk menampung keinginan saya menulis. Jadi apapun saya tuliskan.

Nah, kalau mau jadi blogger yang benar, dan mengingat sudah saatnya saya memonetisasi blog ini, dengan tidak menghilangkan kandungan ‘just a script’ yang menjadi roh blog ini, maka saya harus merevisi.

Jadi, gimana enaknya?

Akhirnya sih saya putuskan untuk mengaktifkan eks blog bermerk ariesadhar.blogspot.com yang saya buat sewaktu blog ini kena blokir. Agar tidak rancu, nama itu saya off, dan saya pakai nama alfarevo.blogspot.com.

Nah, beberapa tulisan yang sepi pembaca dan NOL komentar akan saya pindahkan kesana. Iya, benar-benar hanya copy dan paste. Nah, tulisan aslinya dengan berat hati akan masuk ke Trash.

Mau nggak mau ya begitu.

Jadi ke depannya, isi blog ini nggak akan terlalu sering tapi pendek-pendek (seperti posting ini). Sesudah menulis Loser Trip, saya jadi paham gunanya menulis draft dan mengecek berulang kali sebelum ditampilkan.

Hehehe.

Penulis yang baik harus selalu memperbaharui diri kan?

Begitu saja. Selamat menikmati perubahan minor di blog ini 🙂

[Blog Review] (Mencoba) Melihat dari Sisi yang Berbeda

Ini blog asli adek saya. Ya walaupun hanya 1 dari sejuta manusia di dunia yang mengakui kalau ada kemiripan antara saya dengan dia. Terang sajalah! Saya gelap buruk rupa begini, dia putih dan (cukup) mempesona. Itu dia, makanya (m)buat anak jangan coba-coba #halah

Sesuai namanya, (Mencoba) Melihat dari Sisi yang Berbeda, Cici lebih banyak menuliskan pendapatnya tentang segala sesuatu atau tentang pengalaman sehari-harinya. Dari judulnya sudah main aman. Dia pakai kata mencoba, alih-alih menahbiskan diri kalau dia sedang melihat dari sisi yang berbeda (tentang sesuatu yang dikomentari).

Dan coba bandingkan tulisan saya di blog ini dengan tulisan Cici, bagi yang mengerti dunia tulis-menulis pasti menemukan beberapa kemiripan gaya. Ya, hal itu dimungkinkan karena orang tuanya sama. Yang ngajari nulis sama, yang ngajari berpikir juga sama. Perbedaan hanya pada bentuk-rupa-wujud saja kok. Haha..

Cici sama nggak produktifnya dengan Tere. Saya yakin itu semata-mata perkara dia nggak punya uang beli pulsa modem, karena beberapa kali minta saya #diceplosin

Dan kalau saya cenderung melihat hal-hal gede (sok mau jadi orang besar), adek saya ini mengomentari bahkan hingga kuliah kosong. Jadi, silahkan dikunjungi untuk melihat sisi yang berbeda 🙂

Kala Nyaris 2

“Hmmm…”

Kalau kamu sudah mengetik bagian ini, aku berasosiasi kamu pasti hendak menulis sesuatu yang penting.

“Kenapa?”

“Gpp.”

“Yakin?”

“Hmmm, ya nggak penting juga.”

“Nggak penting bukan berarti nggak boleh disampaikan loh.”

“Hmmm, yah kadang berasa kangen aja.”

Aku terbelalak, tapi kamu kan tidak tahu ekspresiku saat itu.

“Sama kalau begitu.”

Yah, setelah keputusan kita untuk tidak lagi berusaha menyatukan hati, sejatinya aku kehilangan. Tapi bagaimanapun aku harus sadar kalau kita berada di sisi yang berbeda.

Sebuah jurang besar, yang ironisnya bukanlah agama, terbentang diantara kita. Sebuah jurang besar yang pasti akan sulit kita seberangi satu sama lain. Aku menikmati kala kita berjalan di sisi jurang untuk bersama-sama mengikat rasa. Tapi, ah, jurang itu.

Aku kehilangan kamu, sungguh. Kebersamaan kita memang hanya singkat, tapi aku mendapatkan banyak hal. Aku paham rasanya berbagi resah, aku mengerti indahnya berbagi cerita, dan aku tahu pahitnya perpisahan.

Sebenarnya aku salah jawab tadi. Ini tidak sama . Kamu mungkin kangen. Aku? Sebentar, biarlah aku mencari diksi yang tepat untuk menggambarkan rindu yang membuncah, meluber, dan meruah padamu. Ya, kamu.

“Sudah tidur?”

“Belum.”

“Hmmm..”

“Kenapa?”

“Gpp.”

Dan percakapan kita kembali dingin. Ini nyaris dua bulan kita berpisah, sebuah waktu yang kita pilih ketika kita nyaris 2 bulan bersama.

Arrggghh!!!

#300

Buat saya ini gila.

Yah, ketika blog ini dimulai dengan memakai domain jadul kreasi 2008, siapa yang mengira jalannya akan semacam ini. Dan yang bikin agak unik, blog ini dimulai beberapa waktu sesudah ada tawaran menarik untuk karier, dan angka 300 juga tercapai tidak jauh dari hal yang sama.

Apa saya begini-begini saja?

Entahlah.

Ya, buat saya 300 itu angka yang besar untuk dicapai dalam waktu 1,5 tahun saja. Ehm, ada bulan-bulan ketika saya bisa menulis hingga 40 post, tapi untunglah sejak Januari 2011 itu, saya belum pernah putus menulis sebulan. Setidaknya kontinuitasnya bisa dilihat di sisi kanan blog ini.

Jadi apa makna 300 ini?

Nggak lebih dari karya. Saya punya 300 post yang total jenderal dilihat 35 ribuan kali. Masak yang begitu nggak disyukuri?

Jadi, terima kasih kepada SELURUH pembaca ‘Sebuah Perspektif Sederhana’. Meski perlahan isinya tidak lagi sederhana, setidaknya masih ada yang meluangkan waktu membaca tulisan-tulisan saya.

Semoga saya bisa lanjut ke 400, 500, 1000, dan angka-angka milestones lainnya. SEMOGA!