Tentang Kebelet Bilang Cinta

Salah satu hal yang saya sesali di tahun 2014 ini adalah minimnya karya monumental. Kalau tidak karena project bukunya Jamban Blogger yang judulnya Galau: Unrequited Love sudah bisa dipastikan tahun 2014 ini saya nihil buku. Padahal sejak 2012 saya sudah mewarnai dunia persilatan dengan buku-buku antologi yang berujung di OOM ALFA tahun 2013. Selain itu, kiranya semua penyesalan tertutupi oleh fakta bahwa saya punya pacar tahun ini.

Entahlah, saya itu kalau nggak sreg sama cewek, eh, plot, dijamin nggak semangat nulisnya. Ada 2-3 outline yang saya serahkan ke Elly untuk harapan buku kedua, tapi nyatanya juga saya sendiri nggak sreg sama outline itu. Berakhirlah dia pada tumpukan file yang mungkin akan kena defrag, saking jijiknya si Tristan sama isi outline itu.

Sampai kemudian Bukune bikin KAMFRET. Awalnya saya sih ngerasa nggak enakan buat ikutan, soalnya itu toh penerbit saya sendiri. Tapi ketika kemudian saya melihat di Twitter banyak penulis lain yang juga ikutan, maka saya bersemangat untuk ikutan. Bahkan, karena terlalu semangat saya sampai bersyukur bahwa KAMFRET itu diperpanjang sama Bukune. Padahal, dulu saya males banget sama lomba yang diperpanjang, sementara kita sudah buru-buru mengejar deadline. Dunia memang mudah berubah, Bung!

Continue reading!

Secuil Cerita Dari Citraland

Sejak jaman OOM ALFA eksis, saya sudah join Cantus Firmus. Nah, sampai sekarang saya menggelandang di ibukota nan lebih kejam daripada ibu bos ini, tersebutlah kisah Cantus Firmus lainnya yang sering dikisahkan di blog ini. Rupanya cerita tentang Cantus Firmus Extraordinary masih berlanjut. Sesudah manggung ceria di Karawaci, sekarang topiknya adalah ikut lomba. Manusia-manusia ini adalah banci panggung mendasar. Maklum, dulu pada jaman belia dan unyu-unyu labil di Jogja, panggung adalah jajahan reguler. Tugas wisuda? Jelas duduk manis di panggung. Dies Natalis? Malah dikasih panggung. Konser? Apalagi itu. Belum lagi lomba-lomba lainnya. Beresin kursi? Iya juga, sih. Bahkan konsep banci panggung ini sampai menelurkan konser yang kalau dipikir-pikir banyak uniknya, atas nama Poelang Kampoeng, medio 2013 silam.

Nah, ketika kebetulan sebagian orang sama-sama mencari segenggam reksadana di Jakarta Raya (include Bekasi, yang katanya dekar Mars), maka diada-adakanlah agenda berkumpul ria bersama dalam lomba yang semata-mata hanya mencari panggung belaka. Ditemukanlah panggung itu di sebuah mal milik enterpreneur terkemuka di negeri ini yang letaknya di Grogol Town sana. Sebut saja Citraland.

Saya sih saking siapnya mengikuti lomba ini jadinya cuma latihan sekali saja, itu juga dua minggu yang lalu. Cerita tentu saja hampir mirip dengan kemenangan di lombanya Mall @ Alam Sutera. Bagaimana mungkin mengumpulkan manusia yang berceceran di berbagai sudut Jabodetabek setiap pekannya? Ya, sulit. Lebih sulit daripada mencari jodoh di tumpukan jerami.

Janganlah berfokus kepada pupu
Janganlah berfokus kepada pupu

Sesiangan saya sudah tiba di halte Jelambar yang tidak jembar. Rencananya kami berkumpul di sebuah sekolah yang ada dekat sana. Satu-satu-satu datang, kumpul, dolanan asu, baru kemudian kita latihan. Masih belum komplet dan nyaris kagak ikutan karena jumlahnya belum 20. Hanya doa mama yang menemani langkah masing-masing agar sanggup jadi 20 orang. Halah, jangankan bahas jumlah orang. Sampai 3 jam sebelum manggung saja masih ada sesi belajar not kembali. Sungguh super pokoknya.

Baca selengkapnya, Mbohae!

Pak Anton

Di sela-sela gatalnya tangan ini untuk membuat posting tentang Menteri PAN-RB yang baru, saya terus mencoba untuk menahan diri sampai batas waktu tertentu Bapak itu tidak sekadar bikin Surat Edaran. Untunglah masih tahan. Entah berhubungan atau tidak, keengganan logika saya untuk ngepost tentang bapak itu, justru mengarahkan saya kepada bapak yang lain. Seseorang yang sejatinya juga tidak dekat-dekat amat, tapi punya peran besar dalam hidup rohani saya.

Faktanya, saya adalah umat pada umumnya. Bahkan saking umumnya, saya tidak punya niat sedikitpun untuk sekadar ikut di lingkungan. Enam bulan pertama karena saya dicuekin pacar. Tiga bulan berikutnya karena pacar yang mencuekin saya berbulan-bulan itu kemudian bekerja di kota yang sama dengan saya, dan tinggalnya hanya beda gang. Tiga bulan berikutnya karena saya habis putus. Pas pokoknya. Makanya, keheningan saya di lingkungan terjadi setahun lamanya sampai kemudian muncul niat dari saya untuk berkenalan dengan orang-orang seagama yang ada di sekitar kos-kosan di Kedasih. Pada suatu malam yang gelap, saya dan Agung kemudian bertemu ke rumah Pak Dodi, ketua lingkungan. Ya, sudah, sebatas itu saja.

Beberapa pekan kemudian saya dan Agung diperkenalkan oleh Pak Dodi dengan seorang bapak yang tampaknya sudah tua. Kami salaman dan kemudian tahu bahwa nama beliau adalah Pak Anton, pemilik kos-kosan besar yang tidak jauh dari kosan saya. Namanya orang tua, pasti cerita banyak, termasuk cerita tentang dirinya yang sudah hampir 70 tahun tapi masih saja dapat tugas kalau ada ibadah. Dalam 10 menit, diulang 2 kali. Khas orang tua.

Masih sampai disitu saja.

Klik untuk baca selanjutnya, Mbohae!

5 Kebijakan Pemerintah yang Dibutuhkan Oleh Pelaku LDR

Selamat jumpa kembali para pelaku LDR! Salam Nggerus! Kali ini sesudah bertapa sambil hidup sederhana di planet bernama Bekasi, saya kembali lagi untuk mewartakan beberapa usulan kepada Pemerintah. Tentu saja sekarang kan sedang marak surat edaran dan aneka kebijakan pemerintah dalam rangka reboisasi, eh, revolusi mental. Kiranya akan lebih baik jika para pelaku LDR juga dilibatkan dalam revolusi ini. Bagaimanapun para pelaku LDR alias para jomlo de facto itu adalah manusia-manusia ngenes tapi super (ingat, bukan super ngenes ya!) yang lebih sering membelai guling daripada pasangannya sendiri.

Nah, setidaknya ada lima kebijakan pemerintah yang perlu diterapkan dalam rangka mendukung kelestarian para pelaku LDR. Oh, plis dicatat sebelunya bahwa hubungan DEPOK MENTENG itu tidak termasuk LDR. Saya jadi ingat salah satu buku tempat tulisan saya pernah bernaung tentang LDR. Ceritanya oke, menarik, menguras air mata dan air keran, hingga kemudian saya mendapati bahwa LDR itu terjadi antara dua tempat yang sama-sama masih JABOTABEK. Luar biasa. Luar biasa ngawur.

Oke, ini dia kebijakan yang diperlukan! Mari disimak! Siapa tahu nanti ketika proses reshuffle dan Pak Presiden punya ide untuk membuat Kementerian Pemberdayaan Jomlo Menahun dan LDR. Saya siap melamar menjadi Inspektur Jenderal kalau ada kementerian ini, siap juga dengan fit and proper test-nya. Tenang saja.

1. Area Khusus LDR

Sekarang naik TransJakarta dan naik KRL Commuter Line itu ada pembedaan karena keduanya punya area khusus wanita. Sesungguhnya pemisahan ini terbilang bagus bagi para pelaku LDR sirik karena kebijakannya yang jelas. Misal ada pasangan yang sedang dimabuk asmara naik TJ, lalu sang cewek mau duduk di area khusus wanita, sudah jelas si cowok harus berada setidaknya di dekat pintu. Aturan yang jelas sudah memisahkan dua orang yang sedang berkasih-kasihan. Masalahnya hal itu tidak berlaku kebalikan. Ketika ada pasangan yang berkasih-kasihan di TJ tapi di area bukan khusus wanita, ya mereka boleh peluk-pelukan dan ngobrol hore sambil curi-curi-cium, sementara pelaku LDR puas dengan wassapan sama pasangannya.

Ini sungguh tidak adil! Dan soal mesra-mesraan itu juga terjadi di KRL Commuter Line, kadang pasangan nan dimabuk asrama itu saling menyandarkan kepala, hati, dan masa depan satu sama lain di dalam gerbong kereta. Mereka sama sekali tidak peduli kaum LDR yang sirik, apalagi kaum jomlo menahun yang siap-siap nyemplung Waduk Pluit segera sesudah turun.

kereta-commuter-line

Continue Reading, Mbohae!