Mudahnya Melakukan Permohonan Informasi di PPID Kementerian PAN dan RB

Jadi ceritanya kan saya kemarin itu bikin suatu paper. Arahnya adalah ke kinerja Kabupaten/Kota di Indonesia. Salah satu data yang tentu dibutuhkan adalah data hasil evaluasi SAKIP tahun 2018, yang dievaluasi pada 2019, dan diserahkan hasilnya awal 2020. Data SAKIP itu sungguh powerful. Dalam riset yang saya lakukan, ketika dibandingkan dengan data lain seperti Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat dari Kementerian Kesehatan misalnya ada pola yang jelas bahwa yang nilainya kecil, maka nilai SAKIP-nya ya C atau CC dan seterusnya sampai ke A.

Datanya sih bertebaran di media, tapi ya ngecer. Nggak ada suatu tabel khusus atau situsweb khusus yang berisi informasi tersebut. Ngecer maksud saya ya kabupaten A dapat nilai apa itu ada di berita, tapi paling mentok di suatu berita itu hanya ada 20 data kabupaten/kota lain. Sementara yang dibutuhkan lebih dari 500 kabupaten/kota se-Indonesia. Terakhir berita yang saya cari bikin saya trenyuh:

Kenapa saya trenyuh? Karena nilai yang diraih adalah CC. CC itu levelnya hanya ada di atas 83 kabupaten/kota yang dapat C, setara dengan 127 kabupaten/kota lainnya, di bawah 291 kabupaten/kota lain yang punya ponten A, BB, dan B. Kok bisa dibilang “HEBAT”? Bikin berita kok gitu amat. Padahal di provinsi yang sama masih ada 2 daerah yang dapat nilai B alias lebih tinggi, seharusnya kabupaten/kota ini yang hebat.

Baiklah. Skip. Dalam pikiran saya, ketika datanya sudah publik, mestinya bisa dong minta langsung ke KemenPAN-RB sebagai empunya data?

Jadi, ya saya coba saja. Apalagi kan di reformasi birokrasi itu ada aspek yang namanya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Masak sih KemenPAn-RB selaku pengawal RB tidak mengelola PPID dengan baik?

Berbekal keyakinan bahwa PPID-nya pasti baik jadi saya mengajukan permintaan informasi melalui situsweb KemenPAN-RB. Pertama-tama tentu masuk ke laman ppid.menpan.go.id. Sesudah itu, kita mengisi formulir dengan salah satu komponen utamanya adalah scan KTP. Hanya ada satu file yang boleh diunggah, ya.

Soalnya kejadian saya begini…

Pertama kali saya minta, jawabannya adalah “evaluasi sedang kami lakukan”. Ya bukan gimana ya… Saya minta ke PPID kan bukannya nggak paham sampai meminta data yang masih dievaluasi. Walhasil, saya request lagi, kali ini saya menyertakan lampiran berupa hasil kompilasi saya dari sekitar 100-an berita yang memuat nilai SAKIP sebelum kemudian saya menyerah untuk googling 400-an lagi. Pegel broh.

Biar keliatan aja sih kalau saya memang benar-benar butuh data itu untuk bikin paper.

Dan ternyata beneran lho. Dikasih! Dalam waktu 2 hari, saya langsung dikirimi file-nya dalam bentuk spreadsheet oleh salah seorang pegawai KemenPAN-RB.

Well, tentu saya mengapresiasi sistematika kerja PPID KemenPAN-Rb untuk memenuhi kebutuhan data publik ini. Dan semoga ditiru oleh kantor-kantor lainnya. Bukan apa-apa, dalam pencarian yang sama saya mendapati masih ada K/L maupun Pemda yang bahkan form permintaan datanya tidak bisa dilengkapi, atau kalau bisa dilengkapi kemudian dipencet “Kirim” jatuhnya malah error katanya golongan darah saya nggak lengkap. Mungkin mengacu ke scan KTP sih, tapi…

OPO HUBUNGANE GOLONGAN DARAH SAMA MINTA DATA?!

#IniUntukKita – SBN Ritel: Cara Mudah Agar Negara Ngutang Tapi Rakyatnya Senang

#IniUntukKita – Sejak lama, kita disajikan ketakutan akan utang negara yang kadang-kadang dibawa jauh pada urusan kedaulatan, menjual negara, beban anak cucu, dan hal-hal ngeri lainnya. Saya tadinya keder juga mendengar narasi-narasi yang dibangun. Apalagi kalau sudah muncul pernyataan bahwa setiap kepala di negara ini menanggung utang negara sekian juta rupiah.

Karena keder itu tadi, saya jadi mencoba membaca-baca banyak hal. Kebetulan pula salah satu mata kuliah di kuliah S2 saya adalah Ekonomi Sektor Publik. Jadi, membaca utang negara adalah salah satu menu wajib supaya dapat nilai gilang gemilang.

Apa daya, dapatnya hanya A minus. Sedih~

Persoalan utang negara itu banyak anggapan bahwa negara berhutang layaknya perorangan ngutang ke bank atau ke leasing. Dalam artian, kalau nggak sanggup bayar, terus jaminannya entah tanah atau apapun bakal disita sebagai gantinya. Dari sisi sejarah nggak sepenuhnya salah, sih, tapi dengan perkembangan yang ada jadi nggak benar-benar amat juga.

Anggapan kedua, yang suka bawa-bawa ke urusan kedaulatan dan lain-lain adalah membandingkan cara berhutang dengan zaman dulu, mulai dari zaman awal kemerdekaan pada masa IGGI dan CGI, ketika Indonesia berhutang pada sekelompok negara. Atau mungkin melakukan perbandingan dengan salah satu momen legendaris bangsa ini ketika Indonesia berhutang ke IMF pada periode krisis di akhir 1990-an.

Soal utang ini sejarahnya memang panjang sekali. Utang bahkan jadi hal yang dibahas cukup serius dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dikenal sebagai momen penting kedaulatan Indonesia. Ada hal yang agak bikin pening ketika dalam pengakuan kedaulatan oleh Belanda, ada tanggung jawab Indonesia untuk menanggung utang pemerintahan Hindia Belanda. Delegasi Indonesia sendiri bersikap bahwa tanggungan utang adalah sampai Maret 1942. Pada bulan itu, Jepang datang dan menggeser Belanda.

Soalnya, kalau Indonesia harus menanggung utang dari 1942 sampai saat KMB terjadi tahun 1949 ya agak-agak ironi karena jatuhnya adalah Indonesia menanggung utang terhadap uang yang dipakai untuk menyerang Indonesia sendiri dalam berbagai pertempuran sejak 1945-1949–tentu termasuk Agresi Militer I dan II. Kan nganu ya….

Pada akhirnya utang yang harus ditanggung adalah 1,12 miliar dolar AS. Ini kalau dibawa mentah-mentah ke kurs sekarang ya tampak nggak banyak, tapi pada periode itu tentu sangat banyak. Apalagi untuk negara baru merdeka.

Pada akhirnya, sampai dengan 1956 Indonesia sudah melunasi utang tersebut sampai 82 persen. Pada saat yang sama, Indonesia juga berutang ke negara-negara Blok Timur. Begitu 1965, kondisi utang Indonesia adalah 2,36 miliar dolar AS dengan 59,5 persen adalah pinjaman ke negara-negara Blok Timur.

Satu hal yang pasti tentang utang negara dan terutama utang luar negeri ini tentu saja posisinya sudah terjadi jadi harus diterima apapun keadaannya. Hanya saja harus dilihat bahwa seiring perubahan tatanan keuangan global ada perubahan cara berutang. Utang yang semacam itu memang masih ada ya betul. Akan tetapi proporsinya sudah sangat jomplang dengan sumber utang alias pembiayaan lainnya.

Jadi, menyoal utang negara ingatlah pesan paling penting dari film Tilik (2018) berikut ini:

Secara umum, menurut LKPP untuk pembiayaan luar negeri di TA 2019 itu minus Rp17,49 triliun alias membayar pinjamannya lebih besar daripada minjem lagi. Pada tahun 2019, realisasi pinjaman tunai itu hanya ada 2 yaitu:

Sumber: Laporan Keuangan Pemerintah Pusat TA 2019 (Audited)

Sumber pembiayaan paling besar itu sekarang justru di penjualan Surat Berharga Negara, bukan utang model IGGI atau CGI lagi. Besarnya nggak tanggung-tanggung, menurut Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2019 yang sudah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), proporsinya adalah sebagai berikut:

Sumber: Laporan Keuangan Pemerintah Pusat TA 2019 (Audited)

Pada titik ini ada pola pikir yang perlu disesuaikan. Kini negara itu lebih banyak berhutang pada pembeli SBN, yang bisa saja institusi tapi—nah ini yang menarik—bisa juga perorangan.

Iya. Perorangan. Kamu-kamu-kamu itu bisa lho ngutangin negara. Dan ngutangin yang satu ini beda dengan ngutangin teman atau tetangga yang potensi uang kembalinya 50:50 dan mengandung konsekuensi bakal galakan yang ngutang daripada yang ngutangin. Memberi hutang pada negara ini dijamin kembali plus dapat untung juga.

Jadi kalau tadi di awal narasi ketakutan bahwa ketika negara berhutang ke negara lain maka negara ini dijual sebenarnya bisa diubah ketika negara justru berutang kepada rakyatnya sendiri. Model ini sudah mulai jamak beberapa tahun terakhir dan dikenal sebagai SBN Ritel.

Gambaran umumnya, negara akan membuka periode waktu penjualan dan menetapkan bunga tertentu. Nanti masyarakat bisa membeli SBN tersebut yang berarti uang kita akan berpindah sementara ke negara atau sederhananya negara ngutang sama kita begitu kita melakukan transfer ke rekening negara. Nah, namanya minjemin, kita pasti butuh benefit kan? Nanti setiap bulan, kita akan mendapat sejumlah uang sebagai imbal balik sudah minjemin uang.

Satu hal yang harus dipahami adalah kalau minjemin uang ke negara itu temponya sudah ditetapkan. Kalau yang ritel umumnya 2 tahun. Dalam periode itu, kita nggak bisa menarik uang yang sudah kita setor tersebut. Uang itu baru akan kembali sesudah 2 tahun dalam jumlah yang utuh setelah sebelumnya selama 24 bulan kita menerima sejumlah uang sebagai imbalan sudah mau minjemin.

Sekarang jumlah minimal pembelian SBN ritel adalah Rp1 juta dan maksimal Rp 3 miliar. Rentang ini sudah cukup menarik minat masyarakat, tapi sesungguhnya ada potensi untuk jauh lebih besar lagi. Memang, sih, kalau naruh 1 juta, tiap bulan hanya dapat kurang lebih 5000 rupiah. Akan tetapi bayangkan kalau naruh 100 juta di SBN? Dengan diem-diem bae bisa dapat 500 ribu setiap bulan.

Para milenial tua yang sudah menyiapkan biaya kuliah anak dan dipakainya masih lebih dari 5 tahun lagi bisa menaruh uang yang sudah mulai tersimpan itu ke SBN dengan imbal balik yang menarik. Demikian pula dengan pemuda yang sudah punya 20 juta dan bersiap untuk nabung DP rumah sampai 150 juta. Bisa juga pakai SBN Ritel ini.

Pada titik ini, negara memang ngutang, tapi ngutangnya ke rakyatnya sendiri. Dan rakyatnya juga senang karena dapat benefit karena sudah mau meminjamkan uang. Narasi-narasi soal kedaulatan justru bisa berbalik.

Ketika negara ngutang ke rakyatnya, maka uangnya ya beredar di dalam negeri kan? Dipakai untuk membiayai program pemerintah, maka uangnya akan bergulir kepada rakyat lagi. Sementara itu, rakyat yang meminjamkan juga dapat imbalan berupa kupon tadi, ya uangnya jadi di sini-sini juga. Nggak perlu ke luar negeri dan nggak perlu lagi keder dengan narasi-narasi menakutkan soal utang negara. Kalaupun ada, kan tinggal bilang:

Mudah dan Asyiknya Mencari Kost Zaman Sekarang

Sebagai anak rantau, urusan mencari kost adalah hal yang wajib. Apalagi rantaunya Sumatera ke Jawa seperti saya plus ada pengalaman buruk ketika menumpang keluarga. Lha, saya itu ngekost pertama kali itu awal 2006. Sudah lama banget. Sudah jadi pakar ngekost karena sudah melakoninya di Jogja, Palembang, Cikarang, hingga Jakarta.

Prinsip utama ngekost itu adalah domisili yang dekat dengan tempat beraktivitas. Kalau anak kuliahan ya cari kos-kosan yang dekat kampus. Kalau pekerja newbie, ya cari kos yang dekat dengan kantor. Jadi ingat dulu waktu di Palembang, saking dekatnya tempat tinggal, saya selalu berangkat 07.55 dan 07.57 sudah sampai ke depan mesin absen. Wkwk. Kalau di Cikarang nggak bisa jalan kaki, jadi ya 07.40 sudah naik motor dan 07.55 sampai kantor.

Tapi ada kalanya juga ngekost itu mendekati teman. Saya pernah punya teman, Si Boim, yang kerja di Jakarta Barat tapi ngekost di Jakarta Timur. Agak bikin dahi berkerut, sih, tapi ternyata dia punya alasan sendiri sebelum kemudian jadinya ya lelah sendiri juga untuk kemudian resign dan pindah kota.

Nah, zaman dahulu nyari kost itu setengah mati. Apalagi kalau betul-betul buta dengan lapangan. Harus keliling, keluar masuk gang, dan tentu saja mencari tempat-tempat bertuliskan “TERIMA KOST”. Versi yang agak mendingannya adalah pakai jalur info teman. Saya sih sudah pernah menjalani semua tipe itu.

Zaman sekarang? Wah, nyari kost itu cenderung lebih mudah dan asyik. Bahkan nggak perlu panas-panasan segala. Sambil ngadem dan rebahan pun bisa.

Photo by Andrea Piacquadio on Pexels.com

Beberapa platform pada masa kini dapat kita gunakan untuk mencari kost. Misalnya, infokost.id yang dikembangkan oleh PT. Mediapura Digital Indonesia. Ada beberapa tipe properti yang bisa dicek melalui platform ini, yaitu kost, apartement, villa, dan hunian lainnya. Ada juga fitur pencarian untuk durasi tinggal mulai dari harian, mingguan, bulanan, sampai dengan tahunan. Salah satu fitur yang menarik adalah adanya verifikasi dengan dua tanda centang berbunyi “Data terverifikasi” dan “Sudah dikunjungi”. Plus, lokasinya juga detail di map. Beda banget sama zaman dahulu kala~

Platform lainnya adalah yukstay.com, yang sekilas pandang lebih identik dengan apartemen, sih. Nah, kalau di platform ini ada salah satu fitur bernama Co-living. Menurut pemilik platform, co-living adalah cara dan gaya hidup baru di kota yang fokus menyediakan kenyamanan dan kemudahan dalma artian adanya kamar-kamar tidur pribadi dan ruang bersama, tapi di apartemen gitu. Pilihan lainnya adalah whole living unit.

Photo by Andrew Neel on Pexels.com

Ada juga cari-kos.com. Di platform ini ada pencarian berbasis jenis kos yaitu putra, putri, dan campur. Termasuk opsi pelihara binatang, sekamar bertiga, dan banyak lainnya juga ada. Plus petanya juga cukup jelas. Sekilas pandang melihat petanya berasa sedang ngojek pakai Maxim. Platform ini dikembangkan oleh PT. Cari Kos Nusantara.

Platform berikutnya adalah BabeKost. Namanya babe, ini ada kumisnya. Di platform ini ada informasi tentang kost, apartemen, villa, juga hunian. Kontrakan di Citra Maja Raya juga ada. Ada sedikit tips sih tapi memang update terakhirnya dibuat pas Wakil Presiden masih Jusuf Kalla. Oya platform ini mencakup Jakarta, Bandung, Bekasi, Bogor, Depok, Surabaya, Tangerang, sampai Yogyakarta. Eh, ya sampai ke Lebak juga itu kan tadi ada Maja.

Kalau agak-agak tajir sedikit, maka mungkin bisa mlipir ke flokq.com. Di sini, opsinya cenderung dari apartemen-apartemen kelas atas seperti Bellagio Residence, Parama Apartment, hingga The Royal Olive Residence kalau di Jakarta. Disini ada beberapa tipe membership yaitu Master Room, Queen Room, hingga Common Room. Semuanya dengan spesifikasi masing-masing.

Platform berikutnya adalah SewaKost. Nah, kalau disini beberapa kata kunci utama adalah AC, Free WiFi, dan kamar mandi dalam. Lebih sedikit, sih dibandingkan platform lainnya yang bahkan tadi sampai ada informasi tentang boleh pelihara hewan atau tidak. Akan tetapi, di SewaKost ini pilihannya lumayan banyak juga.

Survei kost sambil rebahan dan ngadem itu tentu diperlukan karena ini adalah masa-masa pandemi. Kata WHO, mau pergi ke luar rumah itu urusan hidup dan mati. Jadi, sebisa mungkin kita meminimalkan kegiatan di luar rumah.

Lah, kalau mau survei kosan gimana?

Photo by Nathan Cowley on Pexels.com

Kan sudah dibilang tadi, bahwa zaman now ini nggak seperti 15 tahun lalu. Jadi bisa pakai cara yang menenangkan. Pertama-tama, kita dapat mendownload aplikasi RedDoorz dan bisa langsung mencari kost yang sesuai dengan kriteria.

Soal RedDoorz sendiri tentu kita sudah cukup kenal karena merupakan salah satu jaringan manajemen dan reservasi akomodasi yang cukup kondang di ASEAN. Nah, selama ini yang saya tahu ada beberapa properti RedDoorz itu yang aslinya adalah kos-kosan eksklusif gitu. Saya kan sering pakai. Kadang-kadang kepikiran, kalau mau ngekost di tempat itu gimana ya…

Ternyata kini RedDoorz juga sudah menyediakan opsi itu. Akomodasi jangka panjang seperti kost. Pencarian dapat kita lakukan melalui Kost di RedDoorz. Ada berbagai penawaran yang menarik baik dari fasilitas maupun harga. Proses sortir di aplikasi dapat kita lakukan berdasarkan harga, fasilitas, booking, dan sebagainya.

Nah, melalui Kost di RedDoorz, kita bisa mengeksplorasi calon kost baik dari jaraknya dengan tempat kerja atau kuliah. Plus kan zaman sekarang map sudah canggih, jadi kita bisa melihat pula fasilitas yang tersedia di sekitarnya melalui peta yang tersedia. Di sisi lain, kita juga bisa melakukan pencarian berdasarkan harga. Model begini tentu tidak ada pada zaman dahulu karena minimal kita harus menelepon dulu atau datang langsung ke calon kost supaya mengetahui harganya, dan tentu saja fasilitas lain.

Salah satu yang juga menarik dari Kost di RedDoorz adalah program RedDoorz HygienePass sebagai bagian dari upaya menaati protokol kesehatan. Bagaimanapun, kita harus bisa menghindari penyakit yang belum ada obat dan vaksinnya itu.

Demikianlah kiranya mencari kost zaman sekarang itu sudah sangat lebih mudah dan lebih asyik dibandingkan pada zaman saya sekolah dan kuliah dulu. Dengan bantuan teknologi, kita jadi dipermudah, sehingga pada akhirnya kita bisa jauh lebih produktif.

Photo by Andrea Piacquadio on Pexels.com