Perjalanan Pulang dari Kompasiana Blogshop

Sungguh tidak saya sangka bahwa keberangkatan ke Telkomsel Kompasiana Blogshop ini akan memberi banyak pelajaran hidup. Saya sih nggak berharap tulisan ini HL, tapi sungguh, saya merasa perlu membagi hal ini kepada Kompasianer semua. Makanya, alih-alih mengerjakan tugas dari Kang Pepih, saya memilih menulis tentang Perjuangan Pulang Dari Kompasiana Blogshop ini dulu.

1319896755336690749sumber: pribadi

Saya tinggal di Cikarang, sebuah kawasan yang isinya pabrik semua. Maaf agak lebai bin alay. Ketika berangkat untuk ikut Telkomsel Kompasiana Blogshop ini, saya tidak punya firasat apa-apa. Saya masih bisa dapat bus 121A seharga 9000, duduk manis pula.

Singkat cerita, Telkomsel Kompasiana Blogshop yang saya hadiri kelar. Saya mendapat banyak hal. Mulai dari kaos Telkomsel Kompasiana Blogshop, ilmu-ilmu dari Kang Pepih, Mas Iskandarjet, dan Uda Ahmad Fuadi, sampai teman-teman baru yang ternyata gokil-gokil macam Latip pake P, Yonathan, dan Cornelius Ginting.

Jam 5. Langit di Sarinah masih terang. Saya mulai menyebrang ke Sarinah lanjut naik jembatan menuju shelter bus TransJakarta Sarinah. Disitu saya berkumpul dengan banyak Kompasianer. Tolong yang ikut serta kumpul bersama saya bisa komen disini.. hehehe.. 1 bus lewat, 2 bus juga, lama-lama sampai 5. Wah, lama nih, pikir saya. Seorang ibu nyeletuk, “nanti kita booking 1 gerbong Kompasianer semua!”.

Eh bener. Bus ke-6 datang dengan kondisi agak sepi. Maka masuklah semua Kompasianer di halte itu ke dalam bus. Masih lancar posisinya, turun pula satu persatu, mulai dari Halte Setiabudi, Bundaran HI, dan seterusnya. Saya aslinya hendak mencoba turun di Blok M dengan asumsi bisa dapat bus 121 yang masih kosong karena kalau nunggu di Semanggi biasanya penuh. Tapi karena teman Kompasianer Izha Aulia turun di Benhil, maka saya mendadak ikut turun. Mungkin ini yang disebut firasat. Sudah kayak lagu Marsel saja ya. Hehehe…

Saya lantas melalui rute biasa, dari halte Benhil jalan sampai depan Plaza Semanggi, berharap ada bus menuju Cikarang disana. Leadtime menunggu bus Cikarang memang lama. Ibarat kata, kalau mau nunggu bus di Semanggi itu harus sabar, tawakal, dan rajin menabung. Setengah jam berlalu, firasat mulai buruk karena orang yang ada disana sudah saking banyaknya. Bus Bekasi yang biasanya ramai lewat, kali ini tidak.

Perasaan mulai nggak enak.

Saya yang biasa menunggu di bawah tangga, pelan-pelan geser ke arah Semanggi. Perasaan makin tidak enak waktu bus 121 lewat tapi ada tulisan PARIWISATA. Makin galau lagi waktu bus Lippo juga lewat bablas dengan kondisi penuh. Dengar punya dengar, katanya ada sebuah partai yang menyewa habis seluruh bus ke Cikarang.

Seorang bapak mulai tampak galau, demikian pula bapak yang lain.

“Cikarang pak?” tanya saya.

“Iya, Cikarang?” Bapak itu bertanya sama bapak yang lain.

Mulailah sang bapak bercerita kalau info yang dia dapat bus 121 memang tidak jalan karena ada yang sewa. Benar atau tidak saya kurang tahu, itulah info yang saya dapat. Hingga kemudian satu lagi bus Lippo muncul dan bablas, akhirnya ada tindakan. Seorang bapak dengan tas besar bertanya pada bapak yang saya sapa tadi, “Bapak mau nunggu, saya mau ambil mobil dulu di Apartemen, paling 15 menit, gimana?”

Hayukkk pak.. Jerit saya dalam hati.

Jangan salah, si bapak yang saya sapa pertama tadi itu sebenarnya juga punya mobil, cuma ditinggal di parkiran terminal yang ada di Lippo Cikarang.

Akhirnya, kami bertiga dan seorang wanita karier yang juga sudah menanti lama, bersepakat berangkat bersama. Bapak yang punya mobil tadi kembali ke apartemennya. Sejurus kemudian 3 orang ibu nongol. “Pak, saya dari jam 2 nunggu disini, nggak ada bus ke Cikarang?”

What? Saya setengah tidak percaya, jam segitu saya masih dengan Dhisa nyanyi di Telkomsel Kompasiana Blogshop dan ibu ini sudah nunggu bus ke Cikarang?

Bapak tadi kembali dengan mobil bagus, Avanza baru! Kami masuk dengan cepat, keburu diklakson yang lain. Eh, tahu-tahu ada satu anak cowok tanggung yang ikut masuk. Ada kisah soal anak ini, nanti saya tambahkan.

Di mobil Avanza itu, kami ber-8, termasuk yang punya mobil. Tujuh orang nebengers sepakat membayar 15 ribu buat tambah-tambah uang bensin dan tol. Bagi kami nggak masalah, yang penting SAMPAI KE CIKARANG! Mulailah cerita macam-macam, mulai dari nunggu jam 2, jam 5, jam 6, bus yang nggak datang-datang, dan lain-lain.

Tidak sampai 1 jam, karena tol lancar jaya, kami sampai di Pintu Tol Cikarang Barat. Saya yang jurusan Jababeka turun di jembatan layang. Si ABG tanggung tadi ikut turun juga. Ucapan terima kasih teramat sangat saya ucapkan pada bapak yang punya mobil Avanza yang bahkan pelat nomornya pun saya tidak sempat hafal.

Selesai? Belum.

Si ABG tadi sayaajak jalan untuk naik angkot ke Jababeka tapi dia berkata, “Saya itu mau ke BEKASI barat mas”.

Saya jantungan.

“Lho, kok naik ini tadi? Memangnya nggak tahu kalau ini ke Cikarang. Masuk Pintu Tol CIKARANG barat?” tanyaku.

“Tahu sih, tapi tadi saya kira nganter ke Lippo dulu lalu balik ke BEKASI barat”.

Saya diamkan saja. Silahkan pergi nak dengan jalanmu sendiri. Dalam hati saya mau bilang, “memangnya ini mobil bapakmu po? Ini masih mending itu bapak berbaik hati mengantar sampai ke Cikarang, mau mbok suruh balik ke Bekasi barat?”

Saya akhirnya sampai ke Jababeka dengan selamat. Jababeka masih seperti saya tinggalkan tadi pagi. Maaf kalau lebai bin alai ya.. hehehe..

Oke, pelajaran yang saya ambil:

1. Bapak yang pertama dari Lippo ke Jakarta meninggalkan mobilnya. Ada itikad baik tidak menggunakan mobil pribadi, seperti himbauan pemerintah untuk memakai angkutan umum. Bapak yang punya mobil tadi juga hendak ke Cikarang naik bus dengan meninggalkan mobilnya. TAPI APA? Mereka mendapatkan kekecewaan! Angkutan umum yang disarankan itu tidak ada, malah katanya disewa oleh partai tertentu. Ini dua orang sudah dikecewakan lho, saya nggak yakin mereka bakal naik angkutan umum lagi dengan pengalaman macam ini. Jujur saya nggak habis pikir dengan keberpihakan kepada rakyat kecil macam saya dan penumpang Avanza tadi. Huh..

2. Ada 8 orang di mobil Avanza itu dan semuanya TIDAK SALING KENAL. Dengan bekal kesamaan tujuan saja, kami berhasil mendapatkan solusi bersama. Apa artinya? Jiwa apatisme di negeri ini ternyata belum sepenuhnya berkuasa. Masih ada kepedulian, masih ada rasa persaudaraan, masih ada gotong royong, masih ada kerjasama, dan semua hal yang diajarkan bapak saya di kelas pendidikan Pancasila, masih ada. Dan saya membuktikan sendiri. Ini aktual, ini asli, ini fakta, dan saya saksinya.

3. Mengomentari ABG labil tadi. Harap kalau ada ramai-ramai, cek dulu. Benarkah mobil ini hendak membawa ke tujuan yang benar? Jangan lantas menganggap mobil yang datang atas nama kebaikan itu dianggap mobil bapaknya sendiri. Kenapa saya lantas agak emosi? Karena di belakang ABG tadi, ada bapak yang hendak ke Cikarang yang terpaksa kami tolak karena mobil sudah full. Ini pelajaran untuk lebih teliti lagi ya.. 😀

Kira-kira begitulah perjuangan saya sampai kembali ke kamar kost tercinta setelah bertualang ke Telkomsel Kompasiana Blogshop hari ini. Sekarang saya mau kerjain tugas dari Kang Pepih dulu karena saya sudah ngimpi punya tablet. Harap maklum karena sebagai Apoteker, saya sudah biasa dengan tablet Paracetamol, Amoxicillin, dan lainnya, jadi mau variasi dengan tablet jenis lain.. hehehe..

Salam Kompasiana Blogshop!

asli dikopi dari Kompasiana saya.

123

Yuhuuuu… Postingan ke-123, sampai juga!

Penting ya?

JELAS! Bagi saya, 123 adalah milestones yang lebih perlu dipertimbangkan diantara milestones lain, manapun. Hehe..

Ada apa sih dengan angka 123?

Banyak yang bertanya begitu. Mungkin agak asing, tapi faktanya, 3 digit nomor HP saya ada bunyi 123. Saya mengorbankan nomor jadul 0812 ***1052 yang harganya ratusan ribu untuk nomor baru seharga 25 ribu (mahal untuk ukuran perdana pada zamannya). Dan yang paling mengundang orang bertanya mungkin tanda tangan saya, ada jelas dan lugas tertulis disitu “123”. Saya nggak attach filenya disini, takut pemalsuan. Hehehe..

Lagi-lagi, ada apa dengan 123?

Semuanya bermula dari sebuah pendaftaran ulang mahasiswa.  Saya dikasih nomor 04 8114 123. Nomor ini ada di Google, jadi nggak masalah kalau saya beberkan. Hanya itu kok asal muasalnya.

Kenapa jadi penting buat saya? Ada beberapa alasan.

1. Nomor itu adalah nomor ganjil satu-satunya sepanjang saya menempuh jenjang pendidikan. Sejak TK, SD, SMP, SMA, dan malah juga Apoteker, selalu saya dapat nomor induk GENAP. Entah diakhiri 2, 4, atau 6. Dan satu-satunya yang GANJIL, ya pas kuliah S1 ini.

2. Pas kuliah adalah masa-masa saya mendapatkan banyak hal. Istilahnya, masa-masa saya meraih banyak mimpi. Menulis di koran terjadi pas kuliah, join lomba nyanyi macem-macem juga pas kuliah, dan banyak hal yang saya kategorikan pencapaian. Itulah mengapa jadi istimewa.

3. Urutannya cantik. Sudah nggak perlu dijelaskan kan? Saya mulai sadar kalau nomor saya itu cantik waktu saling menyapa dengan Tintus dan Budiaji. “Hei, 122” atau “Hoi, 128”, dan dibalas “Halo juga 123”.

Sebenarnya cuma 1, 2, dan 3 alasan itu kok. Nggak banyak-banyak.

TAPI, jangan pikir saya cukup bodoh untuk memasang angka ini untuk password email, PIN ATM, atau apapun yang rahasia. Saya tidak sebodoh itu kok. Saya tetap tahu mana nomor yang pantas jadi PIN, mana kata yang pantas jadi password, kecuali itu memang password itu di-share (misal, akun Perangkaum atau Online Football Manager..hehehe..)

Itulah, dan ketika blog galau ini sampai di angka 123, saya hanya bisa mengucap syukur. Ini batu loncatan untuk bisa melompat jauh, jauh dan jauh lebih tinggi.

Salam 123!

Luar Negeri

Teman-teman saya baru pulang dari Thailand dan tentu memberi oleh-oleh.

Mendadak saya ingat koleksi di rumah:

Sebuah gantungan kunci motor -> KL, Malaysia

Sebuah gantungan kunci serep (di Palembang) -> Singapore

Sebuah gantungan kunci kost -> Filipina

Dan, kini sebuah gantungan kunci gajah -> Thailand

4 negara ASEAN, deket-deket dan saya dibagi gantungan kunci.

Lama-lama ke luar negeri jadi cita-cita kalau begini. Sungguh, saya pengen.

*mari meraih mimpi

Dari Yakin Ku Teguh

Hah, anggaplah judul tadi mengejewantahkan makna selanjutnya. Ya, saya maksudnya mau nulis tentang Syukur. Bukan tentang Syukur teman bapak saya dulu, tapi ya tentang bersyukur. Kenapa judulnya ini? Tahu kan lagu Syukur? Itu kan dimulai dari kata-kata “Dari Yakin Ku Teguh.. dst..”

Sebuah mention masuk di twitter saya kemarin, dari seorang penulis galau juga, masuk blog teman di sisi kanan blog ini, pilih saja. Saya pikir dia hendak membagi kegalauan lagi, ternyata tidak. Dia menulis soal berbagi.

Salah satu cerita, uang sekolah seorang anak adalah 55 ribu, orang tuanya cuma mampu 25 ribu, teman saya tadi nombok 30 ribu. Sederhana sekali.

Hey! Apa makna 30 ribu sekarang?

Lihat konteks.

Saya pernah menginap dengan ironis di sebuah apartemen mewah, mau tahu harga makanan paling murah disana? 40 ribu. Untuk sepiring nasi goreng!

Saya pernah minum kopi, ya segelas kopi (saja), di sebuah warung kopi ternama, dan harga paling murahnya? 30! Dengan note di bawahnya, dalam satuan 000. Well, itu berarti 30 ribu.

Saya pernah survei untuk skripsi. Mau tahu berapa pendapatan SEBULAN sebuah keluarga? Ada yang 200 ribu, ada yang 400 ribu, ada yang 500 ribu. Itu sekeluarga lho.

Dan saya beruntung dibesarkan di keluarga yang tidak kaya raya sehingga saya paham benar makna uang semacam itu. Di kala jajan anak lain 5000, saya 2000 saja, itu sudah termasuk ongkos. Demi ngirit, pulang jalan kaki. Hehehe… Tapi itu disyukuri, karena ada yang lebih menderita dari saya.

Inilah, saya seringkali lupa. Di sela-sela kehebohan isi kepala dan rasa syok melihat isi rekening yang terus menyusut. Datang posting blog yang menyentuh macam itu. Bayangkan, gaji saya itu berapa kali lipat keperluannya anak-anak itu? Dan saya masih mengeluh? ASTAGA!

Saya sering menulis kalimat terakhir tadi, tapi seringkali lupa. Itu makanya saya perlu tulis kembali dan terus menerus. Biar ingat!

Ini hari sudah mau gajian. Saya sudah komitmen untuk menghadiri pernikahan teman di luar kota (itu ongkos), membayar tanggungan (itu ongkos juga), tapi toh gaji saya sebenarnya bahkan jauh lebih banyak daripada mamak saya. Masak sih nggak bisa? Kata retweet seorang teman barusan, “Jika kamu memberi banyak, kamu akan menerima banyak”.

Jadi, yang harus saya lakukan sekarang adalah memberi banyak dan tentunya mencari lebih banyak, supaya saya bisa menerima banyak dan HARUS memberi lebih banyak lagi.

Baiklah, mari kita lanjutkan..

….hati iklasku penuh, akan karuniamu.. dst…

Aku Dan Cantus Firmus

BUKU TERBARU!!!!
Aku Dan Cantus Firmus
0 Colour Pages & 156 B/W Pages
Harga: Rp 33000

Cantus Firmus dalam paduan suara dikenal sebagai istilah terhadap suara utama. Buku ini berisi goresan nakal pecinta seni dan pemilik suara utama yang bergumul dalam paduan suara. Ada 9 cerita yang akan menguraikan perjalanan cinta, tetesan peluh perjuangan, dan helaan nafas keteladanan. Kisah kasih tak sampai, cinta yang lepas dari sangkarnya, perjuangan untuk sekadar pulang dari latihan paduan suara, bolos kuliah demi publikasi konser, menjadi bintang dan kuli dalam semalam, hingga kisah keteladanan pelatih terlantun menjadi satu. Rasakanlah makna terdalam dari kisah-kisah tersebut!

Please cek dan order ke:

http://nulisbuku.com/books/view/aku-dan-cantus-firmus

 

 

Memaknai Kesempatan

Memang ya nasib universitas swasta tu lowongan pekerjaannya + kesempatannya sangat sedikit yang ditawarkan dibanding universitas negeri 😦

Demikian sebuah statement.

Coba aja ke gedung X (sebuah universitas negeri ternama), wuih lowongannya super banyak buanget dan misal kayak U (sebuah perusahaan ternama) dll yang gede2 pasang juga..

Demikian statement berikutnya.

Kesimpulan saya sementara:

kesempatan kerja berbanding lurus dengan lowongan kerja yang ditempelkan di kampus.

Apa iya?

Hmmmm.. berdasarkan pengalaman saya sih, nggak setuju dengan statement di atas.

Dulu saya memang sempat jadi pengangguran (ngaku deh.. hehe..) karena lulus 28 Feb dan kerja 5 May. Tapi sebenarnya, tempat yang saya masuki 5 May itu sudah mulai proses saya sejak 3 May tahun sebelumnya.. hahahaha..

Which is means, saya sebenarnya nganggur juga bukan nganggur nggak jelas.

Dan di sela-sela menganggur itu, saya sempat bertualang ke beberapa tempat. Macam-macam latar belakangnya. Ada yang apply langsung, ada yang lewat teman, tapi yang pasti hampir nggak pernah menggunakan pengumuman rekrutmen yang ditempel di kampus 🙂

Dengan begitu saja, saya sudah berhasil masuk ke gedung perusahaan nomor farmasi nomor 1, perusahaan farmasi nomor 2, perusahaan farmasi nomor 3, dan perusahaan farmasi nomor 4 di Indonesia. Semuanya tanpa sama sekali menggunakan lowongan pekerjaan yang ditempel di kampus. Sampai saat ini saya bekerja di salah satu dari perusahaan2 tersebut.. hehehehe….

Yah, sederhana kok. Hari gini juga ada situs-situs pencari kerja. Saya juga 2-3 kali proses lewat portal itu, termasuk salah satunya untuk salah satu perusahaan di atas.

Jangan lupa juga soal networking. Meskipun saya kadang nggak kepenak karena minta-minta CV tapi ada beberapa yang belum follow up. Tapi ada beberapa yang berhasil masuk via saya (meski belakangan berharap jangan sampai anaknya menyesal.. hahahaha..)

Jadi sebenarnya tidak ada dikotomi swasta-negeri di banyak perusahaan. Memang tidak bisa dipungkiri, masih ada yang demikian, tapi nggak banyak dan nggak bisa digeneralisasi.

Haree geneee, ternyata yang lebih penting adalah kualitas personal dan tentu saja attitude. Begitu kata salah satu petinggi di salah satu dari 4 perusahaan diatas dalam sebuah pembicaraan.

So?

Jawabannya dalam hidup kita masing-masing.

Semangat!!!

Kancah Perapotekeran Industri Farmasi Dan Warung Tahu Tek

KancahPerapotekeran

Dua hari nggak buka laptop bagi pemain perangkaum macam saya itu mirip dengan bunuh diri. Desa-desa saya di perangkaum sudah diserang sama yang namanya coolwar, akuang, dan banyak lagi. Bayangkan berapa duit yang terbuang untuk membangun desa-desa itu, sudah setahun lebih main perangkaum, kalikan saja jumlah byte setiap kali proses. *lho kok malah curhat..

Tapi nasib desa saya yang semakin tak menentu mengalihkan saya ke topik lain yang agaknya cukup menarik bin menawan.

Jadi ceritanya kemarin teman saya dari PT. Dexa Medica Site Palembang datang. Sebagai teman yang baik saya pun membawanya makan ke tempat yang kiranya jadi trademark di bumi Cikarang. Jadilah kami makan di bakmi jawa GUNUNGKIDUL.. Lho? Mana ke-Cikarang-annya? Nggak urus, menurut saya enak.

Selesai makan, kami pun hendak kembali ke hotel tempat teman saya tadi menginap. Tapi di sisi kiri, tampak godaan tahu tek. Well, posisi saya sudah maju beberapa ratus meter sebelum kemudian memutuskan kembali untuk membeli tahu tek.

Dan disinilah aspek yang saya jadikan judul bermula.

Sejenak parkir, teman saya tadi malah bertemu dengan adik kelasnya yang juga bekerja di site yang sama, tapi di Site RnD Cikarang, kebetulan dia sedang bersama temannya yang lain yang bekerja di tempat yang sama tapi beda bagian. Sejenak ini sudah unik. Seharusnya kami pulang, tapi keputusan membeli tahu tek membawa ke tempat yang malah mempertemukan kenalan lama.

Obrol punya obrol, dari kejauhan muncullah sepasang suami-istri muda alias pengantin baru. Dia adalah kenalannya teman yang di RnD tadi karena satu angkatan pas kuliah di Jogja. Dan kebetulan lagi, ia bersama istrinya yang adalah kakak kelas saya dua tahun. Yang lelaki kerja di AstraZeneca Cikarang dan yang wanita di Sanbe Farma Bandung.

Entah apa persepsi anda, tapi menurut saya ini sudah unik minta ampun. Disini adalah setidaknya dua institusi pendidikan di Jogja, UGM dan USD. Disini ada institusi Dexa Medica, DLBS, Sanbe Farma, dan AstraZeneca. Disini bahkan ada apoteker dari Palembang dan dari Bandung. Pada saat bersamaan bertemu, di tahu tek jalan Puspa Cikarang.

Saya lalu teringat cerita teman minggu lalu kala ikut pameran Ipex di Kemayoran. Keliling punya keliling, ketemu-ketemunya ya teman sendiri. Untuk itulah saya bertanya, kenapa semuanya seolah bisa bertemu sedemikian mudahnya? Atau, industri farmasi memang terlalu sentral sehingga person-person macam saya bisa bertemu sedemikian mudahnya dengan rekan yang lain, bahkan di warung tahu tek?

Tanya kenapa 😀

Selamat Jalan Sang Legenda: Tribute To Drs. Mulyono., Apt.

Barusan dapat pesan singkat:

Berita duka: telah meninggal dunia dengan tenang Bapak Drs. Mulyono, Apt pada pukul 17.15 di RS Sardjito Yogyakarta

Sedih.

Saya bukan orang yang cukup dekat dengan beliau, saya hanyalah seorang mahasiswanya, dan beliau tentunya punya ribuan mahasiswa. Tapi saya mengagumi ilmu yang beliau miliki, mengagumi semangat beliau, dan sangat mengagumi jiwa mudanya.

Drs. Mulyono, Apt. (sumber: http://www.usd.ac.id)

Pak Mul adalah dosen pendamping untuk kelompok F angkatan 2004, kelompok dimana saya bernaung. Jadilah saya bertemu terus dengan Pak Mul setiap kali KRS. Sebenarnya sebatas itu saja keakraban saya dengan Pak Mul. Beliau mengampu di banyak mata kuliah yang sayangnya kebanyakan saya dapat C, hanya 1 kuliah saya dapat B, Farmakologi-Toksikologi Molekuler. Tapi sesungguhnya saya menikmati kuliah-kuliahnya, terutama Farmakokinetika Dasar. Kuliah ini oleh banyak mahasiswa dianggap mengerikan, sehingga toh saya bersyukur bisa dapat C 🙂

Pak Mul selalu berjiwa muda, itu yang sangat istimewa darinya. Beliau sangat sangat enerjik. Semangat mengajarnya mengalahkan mahasiswa-mahasiswa pemalas macam saya.

Suatu kali saya dapat kesempatan istimewa. Hari Rabu, 14 Februari 2007, saya semester 6 waktu itu. Hari itu bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-70 pas. Beliau datang ke kampus dengan kemeja pink melambangkan Valentine hari itu. Dan beliau juga berbagi sedikit makanan. Dan ketika kami mengucapkan selamat ulang tahun kepada beliau, yang kemudian dilontarkan kepada kami mahasiswanya adalah soal rasa syukurnya bisa diberi umur lebih, maksudnya dari rata-rata usia harapan hidup.

Pak Mul ini begitu legendarisnya dengan keilmuan yang beliau punya. Saya kadang nggak habis pikir bagaimana seseorang bisa paham farmakologi, farmakoterapi, farmakokinetika, bioanalisis, toksikologi, ilmu-ilmu molekuler, uji klinis, bahkan sampai ke psikologi kesehatan. Dan dari cerita-ceritanya sepanjang kuliah, beliau juga sangat paham dengan ilmu-ilmu kimia, mulai dari analisis sampai medisinal. Pak Mul adalah dosen yang sangat komplet dari sisi keilmuan.

Gosip yang saya dengar, beliau sebenarnya S2 dan S3 di Belanda, namun gelarnya tidak dapat dipakai di Indonesia karena suatu hal. Bagi saya itu jadi nggak penting karena beliau membuktikan dirinya punya ilmu yang seabrek-abrek dalam bidangnya. Kalau sudah mendengar dia kuliah, siapa yang percaya bahwa namanya hanya ada Drs dan Apt? Semua juga yakin pasti lebih. Anda juga kan?

Mungkin saya memang sering terkantuk-kantuk waktu kuliahnya, terutama Bioanalisis karena dihelat siang-siang sesudah makan. Tapi soal cerita-cerita dan perspektifnya mengenai farmasi, banyak yang saya tangkap. Mungkin itu sebabnya saya dapat C, karena menangkap hal lain dalam kuliah alih-alih isi kuliahnya? Saya juga termasuk yang terkesima bahwa beliau juga sangat paham cerita-cerita film dan sinetron dengan detail dan lengkap.

Beliau mungkin lupa-lupa ingat sama saya meskipun saya adalah mahasiswa bimbingannya di kelompok F. Tapi seperti saya bilang tadi, siapa yang bakal ingat kalau sudah punya ribuan mahasiswa. Saya pernah dapat cerita bahwa Pak Mul adalah dosen seorang dosen yang kemudian mendoseni dosen yang lain. Ibarat kata mahasiswanya adalah anak, maka sudah ada 3 generasi. Pak Mul, mahasiswanya, dan mahasiswa dari mahasiswanya itu tadi. Apa nggak luar biasa itu namanya?

Dan satu hal lagi saya peroleh dari Pak Mul menjelang kelulusan saya. Waktu itu hendak meminta kesan-pesan yang akan dimasukkan di buku kenangan angkatan XVI. Kami memang meminta setiap dosen menulis langsung kata-kata yang diinginkan. Dan apa yang beliau tulis?

If you can live forever, what do you live for?

Beliau bercerita sedikit latar belakang dari pernyataan yang ditulis tadi. Dan tentunya sambil bertanya kepada kami yang meminta. Saya sendiri hanya terbengong-bengong, entah dua rekan saya yang lain. Ada benarnya juga, kalau kamu bisa hidup selamanya, lalu hidup kamu buat apa?

Dan Pak Mul sudah membuktikan diri bahwa hidupnya adalah untuk mendidik. Sampai selesai.

Teringat saat terakhir saya bertemu beliau, waktu itu di depan sekretariat farmasi, 17 April 2011. Saya bertanya apakah beliau sehat karena memang saya mendengar beliau sempat masuk rumah sakit. Dan beliau dengan semangat mudanya, menggerakkan tangan dan mengindikasikan bahwa beliau sehat. Meski saya juga sangsi apakah beliau masih betul-betul ingat saya, tapi kami sempat mengobrol soal kesehatannya, dan sedikit soal karier saya. Setidaknya beliau mengerti dimana saya bekerja (kala itu).

Dan kini di usia 74 tahun, beliau pergi. Menghadap Pemilik dan bersatu kembali dengan istri tercinta.

Selamat Jalan Pak Mul!

Tuhan selalu punya jalan yang hebat untuk manusia yang hebat…

 

 

Kuku Jempol Tangan Kiri

Apa pentingnya judul ini?

Hahahahaha…

Jangan dulu mengabaikannya karena saya barusan menemukan refleksi yang cukup dalam gara-gara kuku jempol tangan kiri.

Alkisah, lepas dari paksaan kuku pendek di SMP, saya masuk ke SMA yang dari segi kuku boleh kayak gimana aja. Lagipula, mana ada cowok yang membuat kukunya sepanjang nenek-nenek pemegang rekor dunia kuku terpanjang? Simple saja, kuku terserah. Maka saya pun memanjangkan sebuah kuku saja, kuku jempol tangan kiri. Ini sejak tahun 2001.

Kenapa?

Mungkin ada yang berpikir untuk sanitasi alias ngupil. Well, saya kok lebih senang yang masuk hidung jari yang lain yak. Jempol kegedean. Mungkin ada yang berpikir untuk melepas sticker, ya kadang-kadang demikian. Tapi sejatinya saya nggak pernah punya alasan spesifik untuk memanjangkannya.

Dan tahu apa yang saya korbankan?

Waktu SMA saya lumayan sering jadi kiper, tentunya karena saya sudah dipecat dari posisi yang lain, dan pernah dipercaya dalam pertandingan melawan kelas II-6 dengan rekor kebobolan 4 kali oleh pria yang sama *astaga.. Saya sebenarnya bisa mematangkan posisi itu, tapi apa? Saya lebih memilih menjaga kuku saya yang di kiri ini dari terjangan bola besar. Karena pernah kesenggol, sakit.

Dan saya mengorbankan posisi idaman di sepakbola hanya demi sebuah kuku?

Dan begitulah, kuku jempol tangan kiri ini selalu lebih dari 3 mm panjangnya, beda dengan 9 kuku lainnya di tangan pun 10 yang lain di kaki. Dan sesuatu tanpa alasan itu bertahan hingga 10 tahun.

Mungkin sudah takdirnya bahwa saya mendadak harus bersentuhan dengan sesuai yang related potensi bahaya, dan kuku panjang adalah potensi bahaya. Tidak ada lagi kuku panjang. Itu harus. Pilihannya saya cari kerjaan lain yang membolehkan kuku panjang atau potong. Hingga kemudian saya berjanji bahwa ketika gong sudah ditabuh, si kuku jempol ini harus sama dengan lainnya.

Well, tadi siang saatnya. Ketika kuku yang lain sudah rapi jali, tinggal si kuku yang satu itu.

Sempat 3-4 kali alat pemotong itu hanya numpang lewat sebelum akhirnya saya benar-benar memotongnya. Fuihhh.. keramat 10 tahun selesai. Dan ada 2 refleksi hari ini.

Pertama, kenapa saya harus nggondeli si kuku ini tetap panjang? Memangnya siapa saya? Berkali-kali ia memberikan rasa nyeri ketika tak sengaja kejepit, meski ia pernah membantu jadi pembolong plastik di toko buku.. hehehe.. Toh kalau Tuhan mau, dia bisa saja bikin ini kuku kejepit dari dulu sehingga harus dipotong. Kalau itu ceritanya, memangnya saya bisa apa? Jadi saya pun memilih untuk memotong saja, selagi keputusan itu masih di saya. Sama aja dengan hidup kita kan?

Kedua, percaya atau tidak, saya sudah nggak bisa memotongnya sependek kuku yang lain. Sedikit daging jempol menyatu dengan bagian kuku, kira-kira 1 mm dan kalau disentuh sakit. Artinya? Kalau saya perlama lagi, mungkin bisa jadi 2-3 mm. Waw, berapa sakit itu? Semakin lama 2 hal bertemu, semakin lengketnya mereka, kalau kita selalu bertemu si buruk, makin buruklah kita. Sesederhana itu, harus ada langkah revolusioner, POTONG!

Fuihhh.. dan sekarang ia ikut menari di tuts ini, dengan tampilan barunya dan tugas lamanya sebagai tukang pencet spasi.. hehehe…