Per 24 Oktober, film Susi Susanti akhirnya tayang di bioskop. Belum banyak bioskop yang menyediakan lapak, karena masih ada Maleficent yang cukup menyita tempat, plus Perempuan Tanah Jahanam yang ternyata lumayan juga. Di beberapa tempat, posisi film masih dipegang Ajari Aku Islam-nya Roger Danuarta. Di CGV FX Sudirman, Pacific Place, maupun Transmart Cempaka Putih juga belum tayang.
Ya semoga habis ini bertambah.
Film ini murni mengambil kisah Susy Susanti, sosok besar dalam dunia badminton Indonesia. Susy memegang peranan penting dalam kebangkitan badminton putri Indonesia pada masanya, sesuatu yang sampai sekarang masih belum kembali lagi.
Alurnya dibawakan urut ketika Susy masih kecil dan menang tanding badminton lawan cowok sampai berakhir ketika Susy hamil, setahun sesudah pernikahannya dengan Alan Budikusuma. Beda dengan biopik lain seperti Bohemian Rhapsody yang ada momen terbalik-baliknya.
Sebagai sebuah film yang diambil dari kisah nyata dan melibatkan bahkan hingga Liang Chiu Sia asli dalam prosesnya, tentu tidak ada detail peristiwa yang begitu mengganggu. Yang agak aneh ada juga, sih. Nanti saya kisahkan.
Secara umum, sebagai Badminton Lovers, film ini cukup bikin terharu. Meski demikian, kiranya ada beberapa hal yang menjadi catatan saya.
Pertama, film ini tampak bingung karena ada begitu banyak momen penting yang ingin diangkat. Dua diantaranya adalah final Sudirman 1989 dan final Olimpiade Barcelona 1992. Final Sudirman diangkat karena laga itu memang sangat dramatis dan jadi tonggak beralihnya Susy dari junior ke senior, melewati Sarwendah–seniornya. Sayangnya, final yang itu justru kebanting dengan final Olimpiade yang tampak jadi numpang lewat. Padahal di teaser, adegan Susy menangis di podium adalah yang diangkat.
Kebingungan juga terjadi karena Susy memang secara prestasi memuncak dari 1989 sampai menikah di 1997. Sementara, film ini ingin membawa konflik persoalan identitas Tionghoa sampai ke 1998 yang merupakan tahun terakhir Susy berkarir sebagai pemain. Jadi momen puncaknya tampak wagu karena di 1998 itu yang menang adalah Piala Thomas…
…yang sudah nggak ada Alan-nya, tapi di film masih ada. Itu ngapain Alan pakai baju atlet segala di Hong Kong padahal sudah era Marleve Mainaky?
Menurut saya, yang rasanya lebih cocok sebagai puncak adalah Piala Uber 1994 atau 1996. Tapi itu tentu tidak bisa ditempel dengan konflik 1998 jadinya. Masalahnya memang mengkombinasi perkara status WN Liang Chiu Sia dan Tong Sin Fu dengan SBKRI para atlet ke kerusuhan 1998 butuh effort lebih untuk kesempurnaan dan itu menjadi agak kurang di film ini.
Kedua, ada beberapa detail yang kurang pas terutama tentang karir Alan sesudah 1992. Ketika dia masih nongol di Hongkong pada 1998 malah jadi aneh karena di usia segitu Alan sudah tidak ikut timnas lagi. Tampaknya sutradara juga sadar makanya adegannya nggak yang banyak dan penting sekali.
Ada kebingungan untuk memasukkan Alan dalam kisah Susi padahal momen puncak keduanya memang berbeda. Alan cenderung berjaya dengan Olimpiade 1992 sebagai puncak, sedangkan Susi cenderung baru memulai. Ingat, Alan dan Susi itu berselisih 3 tahun. Dan pada waktu itu, usia 25 tahun untuk atlet cowok sudah bisa dibilang tua. Kita tahu di zaman now paling hanya ada Chou Tien Chen dan sekarang Shesar Hiren Rhustavito yang merangkak naik di usia 25 tahun.
Ketiga, salut kepada kru film dan kepada Laura Basuki yang di usianya pas syuting, 30 tahun mau 31, sukses memerankan Susy sejak usia belasan sampai 28 tahun! Cantik bener, sih, Mbak.
Keempat, ya soal teknik badminton para aktor dan atrisnya, sudahlah ya. Laura Basuki segitunya sudah langsung dilatih Liang Chiu Sia yang asli, lho. Tapi ya namanya keluwesan badminton itu butuh bertahun-tahun. Saya ingat sekali Pak Ipang, dosen saya, yang karir badmintonnya seangkatan Chandra Wijaya, itu saking luwesnya dengan badan yang sudah membesar tetap tangannya ajaib betul. Saya tanding dua lawan satu dengan beliau yang bahkan pakai raket anaknya, tetap kalah. Wagelaseh.
Kelima, film ini membuka luka lama para BL lawas tentang sosok Tong Sin Fu. Dengan segala yang sudah dia berikan ke Indonesia, status kewarganegaraannya tidak kunjung diperoleh dan akhirnya dia kembali ke Tiongkok untuk menelurkan, salah satunya, Lin Dan. Sementara Indonesia sesudah era Taufik Hidayat, mengalami kevakuman prestasi. Sekarang mulai tampak bibit unggul dalam diri Anthony Sinisuka Ginting dan Jonatan Christie, tapi ya mereka berdua masih belum konsisten. Mimpi para BL bahwa sektor tunggal putra kita seperti era 90-an dengan lebih dari 2 andalan yang saling bunuh di tiap kejuaraan pada era Pak Tong masih jauh panggang dari api.
Apapun, sebagai BL saya tetap terharu pada film ini. Saya menantikan sekali besok-besok ada film berjudul Dewa Hendra atau Tangan Petir Kevin. Tentunya setelah segala periode prestasi dilalui, yha.