Cara Termudah Baca Meter Mandiri PLN Pascabayar

Sejak April saya itu deg-degan. Bukan apa-apa, pemakaian listrik saya dan bayaran bulanannya ada selisih. Kalau orang lain marah-marah karena kemahalan, saya justru karena kemurahan. Saya deg-degan karena pada akhirnya kelak saya akan membayar sangat mahal ketika tagihan aslinya terpenuhi. Faktornya tentu saja karena COVID-19, petugas PLN tidak ada yang ke rumah-rumah buat baca meteran.

Kalau di rumah sendiri kemurahan, maka hal kebalikan saya rasakan ketika membuka tagihan listrik rumah orangtua. Lha piye, mosok rumah kosong (ditinggal tengok cucu) tapi bayarannya sebulan 200 ribu? Ya, jadi begitulah. Pandemi ini bikin kocar kacir.

Karena saya nggak siap suatu saat bakal bayar listrik 2 juta sebulan (biasanya 400-600 ribu) karena beberapa bulan ini tagihan listrik di bawah 400 ribu padahal saya di rumah dan berarti AC kan nyala maksimal terus menerus sehingga standarnya ya 500-an ke atas lah, maka saya mencari cara lapor ke PLN dan kok ya ketemu.

Singkat kata laporannya adalah lewat nomor WhatsApp 08122 123 123. Nomor WA-nya nggak kalah cantik daripada nomor saya yang 123 juga belakangnya. Saya kemudian WA “Halo”. Dan dasar akun bisnis, dia nggak pakai centang biru. Tapi memang langsung dibalas, sih.

Pada intinya kita akan mendapati pesan berikut ini:

SYARAT & KETENTUAN BACA METER MANDIRI OLEH PELANGGAN

PLN mulai bulan Mei 2020, kembali melaksanakan pembacaan meter secara langsung ke rumah pelanggan pascabayar. Petugas PLN dalam melakukan pembacaan meter ke rumah pelanggan, menggunakan standar APD dengan tetap memperhatikan Pedoman Pencegahan Penyebaran COVID-19 @kemenkes_ri

PLN juga tetap menyiapkan layanan baca meter mandiri melalui aplikasi WhatsApp Messenger PLN 123 dengan nomor 08122 123 123.

Baca meter mandiri bisa dilakukan oleh pelanggan mulai tanggal 24 s.d. 27 setiap bulannya.

Pelaporan baca meter mandiri oleh pelanggan yang valid, yaitu pengiriman foto angka stand meter akan dijadikan prioritas utama dasar perhitungan rekening listrik.

Jika pelanggan tidak dapat mengirimkan angka stand & foto pada tanggal baca mandiri yang disediakan bagi pelanggan pada tanggal 24 s.d. 27, maka angka stand yg akan digunakan adalah hasil dari baca petugas PLN.

Jika pelanggan tidak dapat mengirimkan foto angka stand meter ataupun lokasi kWh meter tidak dapat didatangi oleh petugas PLN, maka pemakaian listrik akan diperhitungkan rata-rata 3 bulan terakhir.

Apabila Pengiriman angka stand & foto kWh meter oleh pelanggan diluar dari tanggal yang telah ditetapkan, yaitu tanggal 24 s.d. 27, maka tidak akan dijadikan angka dalam perhitungan tagihan listrik.

Selanjutnya, setiap 3 (tiga) bulan PLN akan melakukan pencocokan angka stand kWh meter khusus hasil kiriman pelanggan dengan angka faktual hasil pembacaan petugas PLN, dan akan dilakukan penyesuaian pada perhitungan tagihan listrik. Untuk itu dimohon pelanggan mengirimkan angka & foto stand sesuai dengan yang tertera di kWh meter sehingga diharapkan tidak terjadi penyesuaian tagihan naik atau turun secara berlebihan.

Hubungi layanan Contact Center PLN 123 untuk menyampaikan pertanyaan, informasi atau keluhan atas layanan kami. Terimakasih atas kesediaan pelanggan telah membaca syarat & ketentuan ini.

Kemudian berikutnya kita masukkan angka pembacaan meteran serta lantas mengirimkan fotonya. Kira-kira demikian saja yang harus dilakukan. Nah, tinggal kita cek nanti tanggal 1 tagihannya keluar berapa. Tinggal saya yang deg-degan ini bayar listrik sejutaan kan itu BERARTI SEPERTIGA GAJI SAYA BUAT BAYAR LISTRIK DOANG. ASEM.

Advertisement

5 Ikhtiar Wajib Menghindari Coronavirus

Sejak awal 2020, seluruh dunia gonjang-ganjing karena infeksi novel coronavirus, yang di kemudian hari dikenali sebagai SARS-CoV-2 atau penyakitnya COVID-19. Gonjang-ganjing yang wajar sebab angka kematiannya lumayan tinggi, kurang lebih sama dengan spanish flu yang terjadi lebih dari 100 tahun lalu.

Angka kematian yang lumayan tinggi itu juga kemudian terkait dengan penularan yang terbilang mudah. Segitunya ya masih untung bahwa SARS-CoV-2 ini tidak airbone alias tertular via udara. Kalau airbone, wah, sudah kayak Thanos dia.

Mudahnya adalah karena lewat droplet. Sementara kita tahu bahwa aktivitas kita sehari-hari sangat identik dengan droplet. Orang batuk sembarangan, lalu nyiprat ke dinding, dindingnya dipegang orang lain, orang lain salaman sama bapaknya, bapaknya hidungnya gatal, masuk deh droplet ke tubuh si bapak dan ketika SARS-CoV-2 merasa bahwa si bapak adalah inang yang cocok dan kebetulan tidak ada sel B atau sel T yang melawan maka invasi mereka sukses.

Lantas apa yang harus kita lakukan?

Sekali lagi, ini virus baru. Segala pengetahuan masih terbatas meski dalam 5 bulan ini perkembangan jurnal-jurnal tentang COVID-19 begitu masif dan seluruhnya gratis pula. Untuk itu, yang kita perlukan adalah sebaik-baiknya ikhtiar.

Cuci Tangan

Tampak sepele, tapi saya sudah buktikan bahwa selama 2 bulan ini saya nggak pilek-pilek gimana gitu dengan kerajinan saya mencuci tangan. Faktanya, tangan adalah penghantar terbaik dari droplet yang mengandung SARS-CoV-2 menuju saluran pernapasan kita. Nggak sadar kita pegang pintu, pegang gantungan MRT, pegang jok motor, dll tenyata ada banyak hal yang bisa diantarkan oleh tangan kita.

Wash Hands Hand GIF by jjjjjohn - Find & Share on GIPHY

Jadi, kalau seolah-olah dibilang bahwa ini penyakit gawat tapi kok pencegahannya sereceh cuci tangan, alasannya ya demikian. Soal ini, jurnalnya sudah banyak. Lagipula, di pabrik obat–sebagaimana saya dulu orang pabrik–cuci tangan adalah hal yang sangat biasa dan diatur dalam standar.

Segera Mandi Sesudah Dari Luar

Kalau kita ke pasar atau habis berdempetan di KRL, boleh jadi ada virus yang menempel di baju kita. Nah, ikhtiar yang satu ini menjadi sangat penting untuk mencegah virus yang kalaulah memang nempel itu supaya tidak masuk ke rumah kita.

nickelodeon, spongebob squarepants, bath, relaxing, squidward ...

Hal ini mungkin akan menjadi new normal, bahwa di bagian depan rumah akan ada lapak ganti baju. Atau salah-salah malah kamar mandi pindah ke depan rumah supaya begitu sampai rumah, penghuni bisa langsung mandi dan nggak leha-leha dulu dengan alasan capek. Heuheu.

Disinfeksi Setiap Barang Dari Luar

Sering terima paket dari luar? Dulu saya juga biasa saja. Nah karena lagi ada COVID-19 ini, saya jadi menyiapkan semprotan disinfektan sederhana di luar untuk semprot-semprot dulu plus melepas kemasan terluar di luar saja, sehingga kalaupun ada virus tidak terbawa masuk ke rumah.

Konsumsi Vitamin dan Imunomodulator

Seperti saya cerita tadi, kalaupun ada virus masuk, maka kita butuh tentara untuk melawannya. Kalau tentara kita santuy, maka serangan akan bablas sampai ke istana negara dan pada posisi itu kita kemudian akan sampai pada tingkat keparahan yang lumayan.

TED-Ed - Gifs worth sharing — Meet Team Vitamin!

Untuk itu, kita harus menjaga tubuh dengan konsumsi vitamin dan imunomodulator yang tepat. Tepat lho ya. Jangan kebanyakan. Khusus yang berkaitan dengan sistem imun, jangan sampai kebablasan juga. Salah-salah tentaranya kebanyakan jadi dia malah memakan sesama rakyat alias sel-sel baik. Kondisi ini yang kita kenal dengan penyakit autoimun.

Optimalkan Teknologi

Kampanye di rumah saja sesungguhnya adalah bentuk ikhtiar kita. Kalau memang bisa nggak keluar, ya jangan keluar. Kalau mau beli-beli, kan sekarang bisa nitip beli pakai online. Dan ketika diserahterimakan, kita perlakukan dengan protokol yang tepat seperti lepas kemasan terluar di luar dan disemprot disinfektan.

Lha sekarang kan apa-apa bisa online. Beda dengan zaman 100 tahun yang lalu. Dengan teknologi itu plus perkembangan kesehatan, seharusnya ya tidak akan separah flu Spanyol. Sayangnya, ya itu dia, banyak orang yang tidak peduli dan jadinya kurang ikhtiar. Padahal ikhtiarnya kan simpel-simpel semua.

Salah satu bentuk pengoptimalan teknologi adalah dengan aplikasi Halodoc. Di masa pandemi ini, saya pakai Halodoc untuk membeli vitamin dan imunomodulator. Paling kerasa waktu vitamin sempat langka di bulan Maret. Saya kayak orang putus asa datang dari apotek ke apotek, nyari vitamin dan nggak ada.

Kemudian saya ingat bahwa dulu waktu Isto masih kecil sekali, ada salah satu vitamin yang pasti saya dan Mamanya beli via Halodoc, sebab nggak selalu ada di semua tempat. Dengan teknologi Halodoc, maka saya nggak perlu repot-repot nyari vitamin yang nggak umum itu di berbagai apotek. Tinggal order via Halodoc, obatnya langsung diantar, dengan tingkat keamanan yang oke pula. Terutama bungkusnya yang khas.

Satu lagi, sebagai apoteker, saya melihat bahwa Halodoc punya kontrol sendiri pada barang-barang yang bisa dibeli dengan pesan antar atau tidak. Bagaimanapun, ada regulasi yang harus dipatuhi dan sejauh saya pakai, Halodoc terbilang oke punya. Jadi, sayanya juga nggak takut melanggar suatu aturan apapun.

Demikianlah yang bisa kita lakukan itu sebatas ikhtiar. Namanya kita kan manusia biasa. Percaya dan ikhtiar adalah hal yang relevan dengan kondisi kita dalam menghadapi si coronavirus ini. Semoga pandemi cepat berakhir, yha. Saya kangen main ke mal~

Pedoman The New Normal dari WHO di Tengah Pandemi Corona
Sumber: Halodoc

Tentang Weton Anggota Kabinet Indonesia Maju

Sudah baca olahan data saya yang jilid 1? Kalau belum, ya tolong baca dulu. Saya ngolahnya setengah mati, viewernya sedikit. Kasihan. Nah, khusus di postingan ini, saya mau memaparkan beberapa fakta lain kali ini khusus weton khas penanggalan Jawa. Itu lho, Jumat Kliwon, Minggu Pon, Kamis Pahing, dan lain-lain.

Mari disimuck~

Trio Senin Pon

Dalam deretan anggota kabinet, ternyata ada 3 orang yang sama-sama Senin Pon. Mereka adalah Menko PolhukHAM Mahfud MD, Menkominfo Johny G. Plate, serta Menristek/BRIN Bambang Brodjonegoro. Uniknya, mereka lahir di tanggal, bulan, dan tahun yang sama-sama berbeda. Sudah saya tulis di versi sebelumnya bahwa memang nggak ada tanggal lahir yang sama persis.

Trio Sabtu Wage

Masih non hari kerja dan juga ada 3 nama. Kali ini Sabtu Wage. Ada tiga orang yaitu Menag Fachrul Razi, Menteri LHK Siti Nurbaya, serta Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. Ini juga tahunnya lompat-lompat sekali. Menag kita tahu adalah yang paling sepuh, sementara Kepala BKPM adalah salah satu dari lima besar termuda.

6 Jurus Bahlil Lahadalia Gaet Investor - Ekonomi Bisnis.com
Sumber: Bisnis.com

Trio Minggu Kliwon

Masih trio dan masih hari libur. Keren ya pemilihan menteri-menterinya, belum apa-apa sudah ada 6 orang yang lahir pada hari Minggu. Kali ini Minggu Kliwon, ada 3 orang yaitu Menko PMK Muhadjir Effendy, MenPAN-RB Tjahjo Kumolo, serta Menpora Zainudin Amali.

Jangan mudik jangan mudik dulu~~

Seperti Pendahulunya, Zainudin Amali Juga Menpora yang Minim Latar ...
Sumber: Liputan6.com

Ternyata Ada 8 Orang Lahir di Hari Minggu!

Ya, selain nama-nama tadi, masih ada Menkeu Sri Mulyani, Menteri KKP Edhy Prabowo, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, serta Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati.

Ada 3 Yang Lahir Hari Jumat

Kalau Minggu-nya ada 8, maka Jumat-nya hanya ada 3. Mereka adalah Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri ESDM Arifin Tasrif, dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.

Tidak Ada Yang Jumat Kliwon

Ya, dari 3 nama yang lahir di hari Jumat, wetonnya adalah Legi, Wage, dan Pon (dibaca sesuai urutan nama di atas yha). Jadi tidak ada yang Kliwon.

Kabinet Wage

Ada 10 nama lahir sebagai Wage. Angka itu lebih 1 dari Pon yang 9 nama, serta meninggalkan Legi dan Pahing yang angkanya 6. Selain yang sudah disebut tadi, masih ada nama Agus Suparmanto (Kamis Wage), Syahrul Yasin Limpo (Rabu Wage), Wishnutama (Selasa Wage), Moeldoko (Senin Wage), dan tentu saja Menteri Kesehatan kesayangan kita semua yang lahir Rabu Wage: Dokter Terawan Agus Putranto.

Menkes Terawan Tegaskan Bali Aman dari Corona
Sumber: Riau Pos

Bahaya Laten Keringanan Cicilan Kartu Kredit di Masa Pandemi

Salah satu bentuk penyesuaian dari penyedia kartu kredit telah dilakukan. Per bulan lalu, saya dapat informasi bahwa ada pengurangan pembayaran minimal. Angka yang dulunya sudah rendah, jadi semakin rendah. Hal ini paralel dengan penyesuaian bunga per bulannya juga jadi sedikit lebih rendah.

Tentu, pasalnya adalah kemampuan bayar berkurang. Kita tahu, pandemi bikin ekonomi ambyar kayak menghadiri nikahan mantan. Boleh jadi, bank hanya berpikir bahwa yang penting ada uang yang masuk.

Sumber: Fox Business

Akan tetapi, bagi orang-orang yang punya hutang di kartu kredit, TERLEBIH YANG PUNYA KEBIASAAN BAYAR MINIMAL, harus waspada. Soalnya, dampaknya tentu sangat besar.

Sebagai gambaran, jika kita utang 10 juta, maka dulu bayar minimalnya 10% alias sejuta. Sekarang di 2 penyedia CC yang saya langgan, turun jadi 5%. Artinya, ibarat kata kita beli laptop 10 juta gesek doang maka di bulan depannya cukup bayar 500 ribu saja dan kita bebas dari telepon debt collector.

Kebiasaan bayar minimal itu dapat menyebabkan ada pikiran bahwa “ada sisa uang”. Jadi misalnya tadi bayar 1 juta, terus kemudian jadi hanya bayar 500 ribu, maka perasaannya boleh jadi adalah “Wah, ada sisa 500 ribu nih”.

Perasaan itu tentu sangat berba-hay-hay. Sebab, yang 500 ribu itu masihlah merupakan utang. Hanya ditunda saja–dan tentu saja jika tidak dibayar maka menjadi korban bunga yang akan terus terakumulasi dari bulan ke bulan.

Tulisan ini sekali lagi diutamakan bagi yang punya kebiasaan bayar minimal, yha. Sebab, saya sendiri dulu sempat begitu sebelum kemudian baru normal akhir tahun lalu. Bagaimanapun, CC ini sebaiknya harus dibayar tuntas pada bulan berikutnya. Kalau memang cicilan ya dibayar sesuai jumlah cicilannya.

Saya sendiri tidak menutup CC karena finansial saya belum cukup mantap. Kayak pas mudik kemarin, sekali beli tiket bertiga 10 juta. Sementara, uang belum ada segitu. Ada, sih, tapi peruntukannya lain. Jadi, CC dapat menjadi alat untuk penunda tagihan. Dan memang harus bisa dikelola dengan sangat bijak agar tidak terjebak ke hutang yang nggak-nggak.

Nanti kapan-kapan saya cerita, deh, soal jerat utang CC akibat bayar minimal terus. Asli, ora enak. Heuheu.

Kondangan Deg-Degan ke Jambi

Pada bulan Oktober, bos saya ketika itu menggelar kondangan pernikahan anak pertamanya di homebase-nya. Iya, sebagai orang Jambi, tentu saja pernikahannya digelar di Jambi. Mosok di Oregon?

Posisi saat itu, saya sudah lepas dari jabatan. Walhasil, tentu tidak dimungkinkan untuk mendapat biaya-biaya apapun dari kantor. Jadilah, saya berangkat dan pulang pakai uang sendiri. Kebetulan masih ada.

Soal itu sih nggak masalah. Yang masalah dan sangat bikin deg-degan, adalah satu problematika lagi.

ASAP.

Sejak pindah dari Palembang tahun 2011 sesungguhnya saya sudah kurang akrab sama asap. Ada sih kena asap sesekali ketika pergi dinas ke kota-kota yang familiar dengan asap. Tapi overall sudah lupa sama asap.

Nah, kondangan Pak Bos ini juga bertepatan dengan kabut asap yang lagi pekat-pekatnya. Saya sendiri membeli tiket balil hari. Pergi pagi-pagi sekali, kemudian pulang ya jam 4-an gitu. Untuk penerbangan lintas pulau, saya berasa pergi ke Bekasi karena hanya bawa 1 tas dan itupun isinya laptop (untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah di waktu-waktu luang yang ada).

Karena penerbangan pagi, belum ada halangan berarti meskipun kabutnya sudah jelas. Tapi masih bisa landing. Okesip.

Begitu sampai Jambi-nya. Wew. Lihat saja gambar-gambar berikut ini:

Ini adalah sesuatu yang pernah saya alami bertahun-tahun silam ketika masih di Bukittinggi atau di Palembang. Tentu tidak akan terjadi ketika saya ngekos nggak jauh dari istana negara. Memang begitu, yang jauh-jauh dari pusat kekuasaan itu agak kasihan. Ini adalah contohnya.

Kondangannya sendiri berlangsung baik-baik saja. Ketika sudah mulai cabut, saya mampir sejenak di sebuah warung kopi sembari menunggu waktu yang pas untuk ke bandara.

Ketika tiba waktunya, saya mendapati bahwa bandara Sultan Thaha ramai sekali. Cek flightradar24, eh, ternyata sudah ada beberapa penerbangan yang divert ke Palembang. Bandara sini ditutup karena jarak pandang.

Bayangkan posisinya saya sudahlah nggak punya uang, nggak punya baju pula. Sudah kebayang kalau mau menginap bagaimana ini caranya~

Well, pada akhirnya sih jarak pandang kembali terbuka. Meski memang sangat minimal tapi masih sesuatu standar sehingga setidaknya bisa terbang. Saya kemudian naik pesawat dengan deg-degan dan begitu pesawat menembus awan akhirnya agak legaan.

Btw, ini adalah penerbangan balik hari saya yang kedua. Pertama kali itu tahun 2008, ke bandara cuma minta tanda tangan dosen pembimbing 2. Saya dari Jogja ke Jakarta, bawa 8 skripsi untuk ditanda tangan. Kebetulan bapaknya mau dipaksa ke bandara. HAHAHAHAHA.

Menjadi Saksi Laga-Laga Terakhir Tontowi Ahmad

Daihatsu Indonesia Masters Super 500 bulan Januari silam sungguh menjadi momen menarik di dunia perbulutangkisan Indonesia. Ya, siapa sangka bahwa turnamen itu menjadi salah satu yang terakhir sebelum kemudian badminton mandek sejak All England gara-gara coronavirus.

Lebih bikin nyes lagi karena ternyata turnamen itu adalah laga-laga terakhir seorang legenda bulutangkis Indonesia, Tontowi Ahmad. Tepat 18 Mei 2020, Owi–sapaan akrabnya–mengumumkan pensiun.

Gelaran DIM ini menjadi unik karena sebenarnya Owi hanya pemain daftar tunggu, bersama dengan tandem barunya Apriyani Rahayu–rising star ganda putri Indonesia. Bahkan hingga saya sampai di Istora, saya sebagai penonton babak kualifikasi hari pertama tidak menyadari bahwa ada yang berbeda dengan daftar laga-laga dibandingkan sehari sebelumnya.

Yes, ketika laga sudah kesekian pas saya tahu bahwa kurang lebih pukul 1 akan berlaga duet Owi/Apri melawan pasangan Thailand Supak Jomkoh/Supissara Paewsampran. Tidak semua penonton tahu. Hanya penonton yang ngupdate Tournament Software yang ngeh dan kemudian memposisikan diri di lapangan 2, tempat laga itu akan dilangsungkan.

Mau berlaga di babak kualifikasi sekalipun, Owi tetaplah Owi. Apalagi partnernya adalah Apri, salah satu kesayangan BL. Jadi wajar kalau sambutan untuk mereka hanya bisa disandingi oleh Lee Yong-Dae yang juga berlaga di babak kualifikasi itu.

Owi/Apri tampil prima. Kemenangan dua set langsung berhasil dibukukan dengan 21-16 dan 21-17. Mereka kemudian masuk ke babak utama dan akan berhadapan dengan XD Korea yang termasuk unggulan, Seo Seung-Jae/Chae Yu-Jung.

Besoknya saya datang lagi. Saya juga datang ngepasin jadwalnya Owi/Apri. Eh, sesudah nunggu lama, pertandingan justru berakhir cepat sekali. Pemain Korea ada yang cedera, sepertinya Chae. Sebuah bola out akhirnya mengakhiri laga dengan sangat cepat. Owi/Apri bablas sampai perempat final.

Lawannya kali ini tentu saja lebih berat. Duo pasutri, XD nomor 2 Inggris, Chris dan Gaby Adcock. Pasangan yang baru main 2 hari dilawan dengan pasangan sampai ke ranjang. Owi/Apri baru terlihat keteteran mulai pertengahan laga ke belakang.

Di laga itu, ada istri Owi berserta buah hati mereka. Lokasinya tentu saja di lapak pemain dan keluarga. Kebetulan saya masuk dari pintu yang itu jadi melihat betul bagaimana Owi begitu masuk langsung dadah-dadah sama anak-istri. Anaknya–dengan baby sitter masing-masing–lucu-lucu, gaes.

Pada akhirnya, Owi/Apri kalah 2 set langsung. Penampilan mereka sejauh itu jelas tidak buruk. Mereka punya kelas masing-masing. Banyak BL kemudian berharap banyak pada kelangsungan duet ini.

Apa daya, harapan itu musnah. Owi sudah pensiun sekarang. Siapa yang sangka smash nyangkut terakhir di Court 1 itu menjadi bola terakhir yang dipukul sang legenda di Istora?

Ah, untunglah saya sempat menjadi saksi dari jejak langkah terakhir sang legenda~

Jangan Underestimate Sama Anak

Sejak 10 Maret 2020, si Isto memang tidak masuk daycare lagi (walaupun tiap bulan masih bayar). Ketika itu masih ada Opung sama Mbah di rumah. Per 20 Maret, Opung sama Mbah ke Solo dan bapaknya sudah Pembelajaran Jarak Jauh alias kuliah di rumah. Walhasil, sudah nyaris 3 bulan si Isto jadi anak asuh bapaknya.

Bersama mantan tetangga yang pindah buru-buru karena atapnya keburu mau roboh.

Berhubung bapaknya juga cuma sendirian, maka kalau pas bapaknya sambil garap paper atau cuci piring, mau tidak mau si Isto jadi anak YouTube. Beberapa waktu belakangan, dia menjadi anak asuh Daddy Pig. Ha nontonnya Peppa Pig terus.

Nah, sejak beberapa waktu belakangan pula, dia kalau lihat kucing mampir ke teras dan nggak berkenan maka dia akan mengusir kucing itu. Diksi yang digunakan awalnya bikin ngekek.

“Su….su…..”

Normalnya, orang Indonesia kalau ngusir hewan kan “Hush… Hush…” yha. Jadi, saya anggap si Isto ini kebalik aja HUS jadi SU (H luluh). Cuma demi kesopanan, ya saya coba benarkan. Mosok nanti di ranah publik dia bilang “SU… SU….” kan dikira bapaknya nggak ngajarin adab yak.

Sampai kemudian, beberapa hari yang lalu saya mendapati sebuah adegan Daddy Pig mengusir ayam. Pada detik itu juga, saya sadar, bahwa saya selama ini salah memahami maksud anak saya.

Soalnya, Daddy Pig–yang aksennya sangat British itu–ternyata mengusir ayam dengan kata-kata, “Su… su…..”

Saya laporan sama Mamaknya yang pernah setahun di England sono. Eh, mungkin karena belajar terus dan nggak pernah ngusir kucing, Mamaknya juga nggak tahu. Jadilah kemudian dia ngecek ke kamus dan…. ow…ow…..

SHOO itu betul-betul ada di kamus Cambridge! Anak aing pakai diksi dari kamus Cambridge dan selama ini saya mengira dia kebalik mengucapkan sesuatu. Inilah akibat kalau bapaknya lebih ndeso daripada anaknya. Dan ini pula akibat dari pengasuhan Daddy Pig. Heu.

Pilus vs Virus

Kondisi pandemi COVID-19 tentu membuat saya dan Mama Isto harus mengajarkan tentang bahaya virus kepada anak yang hampir tidak batita lagi ini. Setidaknya, agar dia mau pakai masker kalau pergi ke warung. Dan ya sejauh ini berhasil. Dia tahu bahwa di luar lagi ada virus jahat warna oranye. Saya tentu nggak bilang bahwa kalau menurut JRX, virus jahat itu adalah ulah dari elit global. Bukan apa-apa, setahu saya, elit Global itu tentunya Harry Tanoe, sebagai pemilik dari MNC Group yang membawahi Global TV.

Konteks virus ini juga yang membuat dia masih baik-baik saja selama 2 bulan tidak sekolah karena sekolahnya libur gara-gara ada virus jahat. Soal nama aslinya adalah SARS-CoV-2, tentu nanti kapan-kapan saya ajarkan. Semoga ketika saatnya tiba, si virus hanya tinggal sejarah.

Nah, pada saat yang sama karena lagi doyan betul ke warung, maka secara kebetulan semesta anak ini mengenal pilus. Kebetulan doyan. Pilus kemudian menjadi pengalihan yang bagus karena dia lagi doyan Pringles. Bayangkan bahwa bapaknya hanya PNS biasa, bukan PNS DKI, apalagi PNS Pajak, kok bisa-bisanya doyan snack seharga 20 ribu sekali makan? Betul-betul harus disadarkan, dan untungnya pilus sangat membantu pengalihan itu.

Persoalannya kemudian adalah dia belum terlalu memahami perbedaan VIRUS dengan PILUS. Sehingga, dialog yang selalu terjadi adalah seperti ini:

Isto: Pa, Eto minta vi-rus (sambil bawa-bawa pilus)
Bapak: Pi-lus…
Isto: Vi-rus…
Bapak: Pi…
Isto: Pi…
Bapak: lus…
Isto: lus…
Bapak: Pi-lus…
Isto: Vi-rus…

Mana saat ini posisi dia sudah mulai nggak terima kalau salah dan kadang-kadang malah saya yang diajarin. Jadilah kami berdebat soal virus dan pilus saja setiap harinya~

Tentang Ketertiban di Transportasi Umum

Sering mengeluh tentang betapa sulitnya orang Indonesia tertib, terutama di tempat umum? Saya juga sering. Heuheu. Akan tetapi, perlahan saya mulai memahami akar masalahnya karena sering naik transportasi umum.

Ya, terakhir sih 2 bulan yang lalu. Siapa sangka saya balik dari kuliah Kebijakan Publik hari Kamis malam sambil hujan-hujanan itu adalah terakhir kali saya naik KRL setidaknya sampai sekarang?

Oke, skip dulu curhatnya. Tapi begini, seburuk-buruknya KRL di weekday, sesungguhnya lebih parah di weekend. Itu kalau menurut saya. Separah-parahnya di Tanah Abang mau jam berapapun, orang-orang yang selow di tangga dan bahkan di tangga berjalan itu umumnya terjadi ketika weekend.

Demikian pula dengan MRT. Kalau kita ikutan wisata MRT di Sabtu atau Minggu, selain kepadatan nggak kira-kira, perilaku manusianya juga nggak karuan. Hal itu berbeda kalau kita naik MRT di hari kerja.

Nih, saya punya buktinya. Rapi sekali.

Kenapa itu terjadi?

Dugaan saya, ini adalah soal kebiasaan. Di weekday, para pengguna adalah pengguna rutin yang tiap hari ya menggunakan moda yang sama. Setidak terburu-burunya mereka, sudah ada pemahaman perihal perilaku yang seharusnya dilakukan. Saya bilang tadi, seburuk-buruknya Tanah Abang, kalau weekday itu satu-dua doang orang yang diam di sebelah kanan tangga berjalan atau santai-santai di tangga manual.

Jadi, para pengguna rutin itu sudah tahu aturan dasarnya. Di MRT cenderung lebih tertib lagi kemungkinan karena faktor pendidikan dan pekerjaan dari para penumpang. Pemandangan antre serapi di foto tadi adalah hal biasa di stasiun MRT manapun dan jam berapa saja peristiwa itu ada asal pas hari kerja.

Boleh jadi karena cukup pendidikan dan cukup pengetahuan, para pengguna MRT di kala weekday ini jauh lebih tertib dan bisa sekali membuat MRT Indonesia serapi di Singapura atau Hong Kong.

Kesimpulan sementara saya adalah tatanan itu tidak dimengerti para pengguna sekali-sekali yang umumnya menggunakan moda transportasi umum itu di kala weekend alias hanya Sabtu-Minggu atau hari libur saja. Karena tidak mengerti, jadi suka bingung. Ya mending kalau bingung lalu diingatkan terus minggir atau membenahi diri. Masalahnya, kalau penumpang weekend itu suka enaknya sendiri. Kalau ditegur, suka sengak dan malah marahin yang negur.

Kan asem.

Hal yang serupa juga saya dapati ketika naik TransJakarta. Kalau jam 8 atau 9 di setiap halte ramai sekitar Sudirman itu kelihatan kok ketertiban orang-orang antre keluar dengan membentuk barisan atas dasar kesadaran sendiri. Paling kondang ya halte Dukuh Atas yang sempit tapi hub penting jadi kalau sore antrenya bisa mengular sampai atas dan antreannya terbentuk tanpa masalah.

Jadi intinya sih kebiasaan dan lingkungan. Hal itu sebenarnya sudah terbentuk ketika weekday namun seringkali bablas kala weekend.

Bujet Riset Dalam Kelindan Isu Kesehatan Indonesia

Sebagian dari kita mungkin ingat kontroversi cuitan CEO BukaLapak, Achmad Zaky, pada pukul 22.25 WIB tanggal 13 Februari 2019 tentang omong kosong industri 4.0, bujet riset dan pengembangan, serta presiden baru. Sebagian lagi mungkin mengingat dampaknya yang cukup panjang. Pertama, tentu saja perkembangan tagar #UninstallBukaLapak yang bekalangan jadi semakin politis karena kata ‘BukaLapak’ malah diganti dengan ‘Jokowi’, padahal jelas-jelas Jokowi adalah Presiden, bukan aplikasi, jadi ya nggak mungkin di-uninstall, toh?

Kedua, Zaky sendiri sampai datang ke istana karena Jokowi khawatir bahwa tagar untuk meng-uninstall aplikasi yang belum lama di-endorse olehnya itu akan berdampak pada para penjual. Yha, bagi yang doyan belanja daring sih pasti paham bahwa mayoritas penjual itu punya toko di sekurang-kurangnya 3 marketplace besar di Indonesia alias kalau satu ditinggal, tokonya masih bisa dikunjungi via marketplace lainnya.

Ketiga, publik penggerak #UninstallBukaLapak ternyata sama saja pemikirannya dengan #UninstallTraveloka cuma gara-gara hal sepele. Lebih parah lagi, malah jadi lupa pada substansi.

Walaupun ditengarai datanya salah tahun, namun poin Zaky pada pentingnya bujet riset dan pengembangan itu sudah selayaknya jadi perhatian. Supaya isunya tidak seliar cuitan pria Solo tersebut, mari kita coba tempatkan pembahasan pada sektor yang sangat riil kebutuhan akan riset dan pengembangannya yakni industri kesehatan. Lebih spesifik lagi: industri farmasi.

Konsep Riset Industri Farmasi

Saya beruntung pernah hampir 5 tahun berkecimpung di sebuah industri farmasi papan atas Indonesia yang menguasai pangsa pasar obat generik berlogo namun juga pemiliknya cukup edan untuk memiliki sebuah unit riset tersendiri dengan bujet setahun yang nilainya bisa menghidupi sebuah industri farmasi kecil. Dengan demikian, saya bisa cukup percaya diri dalam mengurai perkara riset dalam konteks kefarmasian.

Bagaimanapun, industri farmasi itu unik karena yang dihadapi tidak hanya kompetitor bisnis, namun juga perkembangan penyakit hingga pemutakhiran data keamanan suatu obat sehingga kemudian peran riset dan pengembangan alias R&D menjadi sangat penting.

Apabila pada industri makanan dan kosmetik, R&D bisa dikembangkan ke arah variasi produk seperti rasa maupun warna—hingga kemudian kita bisa mendapati mi instan rasa rendang atau keripik rasa mi instan, misalnya, maka berbeda halnya dengan industri farmasi.

Para peneliti farmasi sejak mula mengembangkan suatu molekul dengan target yang jelas, yakni mengobati suatu penyakit. Metode yang digunakan memang semakin modern dan semakin menggunakan pendekatan bioteknologi untuk hasil yang lebih optimal. Namun tetap saja harus ada harga yang dibayar untuk itu.

Biaya riset menjadi besar setidaknya karena 4 hal, yakni teknologi yang digunakan, bahan aktif baru yang lebih kompleks, fokus riset pada penyakit kronis dan degeneratif dengan biaya yang lebih mahal, dan persyaratan regulatori yang lebih ketat. Dikutip dari penelitian mantan Kepala BPOM, Sampurno, dengan judul ‘Kapabilitas Teknologi dan Penguatan R&D: Tantangan Industri Farmasi Indonesia’ yang dimuat pada Majalah Farmasi Indonesia (2007) estimasi biaya yang dikeluarkan untuk penelitian sejak dari laboratorium hingga dipasarkan pada tahun 1979 adalah 54 juta dolar, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 897 juta dolar. Itupun, tingkat keberhasilannya terbilang rendah. Artikel yang sama menyajikan data bahwa pasca Uji Klinis Tahap III, hanya 20% molekul obat baru yang disetujui untuk diproduksi dan dipasarkan. Forbes pada tahun 2017 menyitir beberapa riset terbaru dan kisarannya sudah semakin dahsyat, bisa mencapai 2,7 miliar dolar per produk!

Makanya, saya suka berpikir kalau di grup WhatsApp ada yang bilang bahwa suatu penyakit adalah konspirasi suatu negara atau kalangan agar mereka bisa menjual obatnya atau suatu obat diarahkan untuk wajib karena ingin membunuh generasi suatu bangsa. Dalam pola pikir ilmiah dan bisnis, kedua konspirasi itu sungguh sangat tidak relevan dan hanya akan terpikirkan oleh otak yang penuh dengan kebencian.

Faktanya COVID-19 sekarang ini sampai nyaris 5 bulan belum ada obatnya. Sampai-sampai obat Ebola yang belum kelar uji klinik diberdayakan.

Biaya riset yang tinggi untuk suatu molekul obat itu tentu saja membutuhkan perlindungan. Tidak ada entitas bisnis yang cukup dungu membiarkan hasil risetnya ditiru dengan serta merta oleh pesaing. Maka dalam dunia farmasi dikenal adanya perlindungan paten. Dampaknya tentu saja adalah harga yang tinggi sebagai upaya untuk balik modal biaya riset dan juga sarana untuk meraih keuntungan sebagaimana hakikat sebuah industri pada umumnya. Begitulah yang terjadi di luar negeri.

Riset Farmasi di Indonesia

Masih menurut Sampurno, di Indonesia agak berbeda karena industri farmasi adalah industri formulasi, bukan research-based company. Kegiatan R&D lebih banyak dilakukan untuk pengembangan formula produk dengan mengandalkan obat-obat yang sudah atau akan segera habis masa patennya. Misalkan untuk obat diabetes Metformin, R&D akan difokuskan pada pencarian kombinasi zat aktif dan eksipien yang akan memberikan hasil paling optimal pada proses produksi, paling mendekati standar kualitas yang telah ditetapkan, serta juga paling efisien dari sisi akuntansi.

Meski begitu, masih ada beberapa pemilik perusahaan yang cukup gila dalam inovasi. Kantor saya dulu, misalnya, berani membayar ratusan miliar untuk mendirikan gedung riset berbasis bahan alam Indonesia, termasuk juga memanggil pulang anak bangsa yang lama berkecimpung dalam riset di luar negeri—tentu saja dengan bayaran yang memadai dan berarti cost yang tinggi bagi perusahaan.

Riset yang baik tentu didukung oleh penelitian tentang kebutuhan obat yang tepat, metode berbasis bioteknologi dan komputasi yang baik, alat-alat yang mutakhir, periset yang kompeten, bahan baku riset yang cukup untuk bereksplorasi, fasiilitas untuk memadai untuk upscaling dari skala laboratorium ke skala industri, fasilitas produksi yang terkini, hingga pemenuhan terhadap standar yang ditetapkan baik oleh regulator maupun oleh calon mitra tujuan ekspor. Sekali lagi, itu semua butuh cost.

Perlu lebih dari 5 tahun hingga unit riset tersebut bisa menelurkan suatu produk sampai ke pasar dan itupun setelah melewati tahapan-tahapan yang tidak mudah terutama dari aspek regulasi. Ketika itu, tidak ada insentif khusus, misalnya, karena riset bahan alam Indonesia maka ada tahap-tahap yang boleh dilewati. TIdak ada sama sekali. Kalaulah ada yang agak bisa membanggakan adalah pengembangan unit riset tersebut menjadi salah satu pabrik pertama di Indonesia yang diakui sebagai Industri Ekstrak Bahan Alam dengan peresmian yang dihadiri oleh Menteri Kesehatan berikut Plt. Kepala BPOM pada tahun 2013 silam.

Proses registrasi produk hasil riset sendiri berjalan sesuai dan sejalan dengan regulasi yang ditetapkan. Begitulah, untuk proses yang sepanjang itu, dipastikan butuh perusahaan yang cukup kuat secara finansial dan pemimpin yang cukup nekat untuk terus menggelontorkan bujet pada risetnya, yang belum tentu balik modal dengan segera.

Tidak Dapat Kompromi Pada Mutu

Sekali lagi, industri farmasi punya kekhasan, yakni tidak dapat kompromi pada 3 hal yakni keamanan, mutu, dan khasiat. Hal itulah yang menyebabkan proses registrasi dari produk yang merupakan hasil karya anak bangsa sekalipun juga harus mengikuti tahapan-tahapan yang ditetapkan tanpa perlakuan khusus. Pada posisi ini, pemerintah harus menjalankan beberapa peran sekaligus yakni mendukung sektor industri pada satu kaki, mendukung tambahan terapi pada sektor kesehatan pada kaki yang lain, namun juga harus menjamin keamanan, mutu, dan khasiat produk tersebut pada kaki yang lain lagi.

Aspek mutu ini juga bersisian dengan daya saing. Pada era persaingan bebas, banyak negara menyiapkan perlindungan kepada warganya untuk tetap bisa mendapatkan produk yang bermutu dengan menerapkan pagar berupa standar yang tinggi kepada suatu produk agar bisa masuk ke pasar negara tersebut. Demikian juga dengan sektor farmasi. Walhasil, industri farmasi nasional yang memiliki pasar di luar negeri, mulai ASEAN hingga Eropa harus senantiasa menerapkan standar yang tinggi agar bisa memenuhi standar yang diterapkan di negara tujuan. Dan siapapun tahu, semakin tinggi kualitas yang diharapkan, maka biaya juga akan menyesuaikan.

Ihwal biaya baik untuk riset maupun untuk kualitas yang berstandar internasional ini di Indonesia akan sangat terkait dengan pendapatan suatu industri farmasi yang dalam konstelasi tata kelola kesehatan di Indonesia akan begitu lekat pada isu yang selalu hangat: BPJS Kesehatan.

Sebagai perlindungan kesehatan nasional, BPJS Kesehatan memang masih memiliki segudang pekerjaan rumah untuk pembenahan. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, BPK RI pun telah melakukan pemeriksaan kinerja pada layanan BPJS Kesehatan ini. Persoalan tentang tersendatnya pembayaran dari BPJS Kesehatan ke Rumah Sakit menjadi salah satu perkara yang sering diangkat ke publik.

Pada konteks ini, industri farmasi dipastikan terkena dampaknya. Obat sebagai produk industri farmasi hanyalah salah satu komponen dari pelayanan kesehatan. Artinya, terhadap pembayaran yang tersendat ke rumah sakit akan berdampak pula pada pembayaran obat ke industri farmasi dan kalaupun pembayaran sudah dilakukan boleh jadi akan dialokasikan terlebih dahulu untuk pembayaran listrik atau air hingga tenaga kesehatan, baru kemudian obat. Bagi industri, pembayaran yang tersendat berarti uang yang diam dan tidak dapat diapa-apakan, padahal ada potensi untuk dikelola salah satunya pada riset dan pengembangan.

Jadi, ketika pendiri BukaLapak membawa isu R&D ke ranah netizen nan kejam dan terlalu fokus pada tahun data dan perkembangan angka, sejatinya problematika R&D itu sendiri telah sedemikian rumitnya di industri farmasi. Persoalannya bukan lagi sekadar besarnya dana sehingga butuh komitmen bersama dari elemen pemerintah yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, industri farmasi maupun yang relevan dengan dunia kesehatan lainnya, hingga stakeholder lain untuk bisa mengurai problematika riset dalam rumit serta ganasnya gorengan isu kesehatan di negeri ini.

Satu hal yang pasti, untuk membahas soal ini kita tidak perlu membawa-bawa politik yang sarat kepentingan. Bukan apa-apa, kepentingan rakyat dalam persoalan kesehatan itu saja sudah begitu besar dan lebih dari cukup untuk menjadi dasar berpikir bersama demi kesehatan dan industri farmasi Indonesia yang lebih baik.