Menikmati 5 Santapan Khas Makassar

Jpeg

Setelah 3 kali mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin namun tidak turun dari pesawat–karena memang pesawatnya transit dari Kendari dan dari/ke Jayapura–akhirnya saya mendapat kesempatan untuk benar-benar mendarat dan menginjakkan kaki di Sulawesi Selatan. Lumayan, sesudah kaki sisi Tenggara dan kepala, saya bisa juga berada di kaki sisi Selatan dari celebes. Wow!

photogrid_1454738199551.jpg

Dalam waktu nan singkat, memang sulit untuk menikmati suatu kota. Begitu, sih, pengalaman saya. Namun bagaimanapun, namanya lagi perjalanan kiranya rugi jika tidak menikmati santapan khas suatu kota. Termasuk ketika saya berada di Makassar, tentunya ada niatan untuk menikmati setiap kunyahan khas Makassar, meskipun sesudah makan terus mikir kira-kira berapa nilai kolesterol dalam darah. Heu. So, ini dia output kunjungan singkat saya ke Makassar, 5 santapan saja, kakak.

Klik untuk membaca selengkapnya!

Daftar Penyesalan: 6+1 Tempat Impian Untuk Dikunjungi di Sumatera Selatan

SONY DSC

Maret 2009, kali pertama saya melihat kokohnya Jembatan Ampera dari balik awan. Pertama kalinya pula mata saya mengagumi lekuk Sungai Musi nan mengagumkan itu. Dipadu garis nasib, akhirnya pertemuan pertama itu mengikat saya hingga akhirnya datang kembali ke Bumi Sriwijaya pada bulan Mei 2009. Kali ini sebagai manusia yang hendak bermukim di kota Palembang.

FILE048-edit

Sebuah perjodohan yang berusia 2 tahun nan sangat membekas bagi saya. Meski karena berpisah dengan Bumi Sriwijaya-lah saya jadi bisa melihat sisi lain Indonesia mulai Kendari sampai Papua. Maka, bahkan ketika sudah hampir lima tahun saya meninggalkan Bumi Sriwijaya pada umumnya dan Palembang pada khususnya, saya selalu punya kerinduan khusus pada Bumi Wong Kito Galo ini. Apalagi, banyak sekali tempat yang belum saya singgahi selama saya menjadi manusia yang minum air Musi. Tempat-tempat yang pada akhirnya berakhir sebagai perencanaan dari sekadar makan siang di kantin, tanpa sempat menjadi realisasi.

Tempat apa saja itu? Payo dijingok!

Selengkapnya!

98 Hal Yang Pernah Dilakukan Anak Farmasi di Laboratorium

98HalAnakFarmasi

Dua hari ngubek-ngubek laboratorium yang kurang lebih setara canggihnya sama kantor lama bikin rindu masa-masa di laboratorium. Mengingat saya nggak pernah jadi QC, maka yang saya maksud rindu itu adalah masa-masa kuliah. Ya, masa-masa yang sama persis ketika saya mengenangnya via 97 Fakta Unik Anak Farmasi. Jadi nggak usah berlama-lama, berikut ini hasil mengenangnya: 98 Hal Yang Pernah Dilakukan Anak Farmasi di Laborasitorustorium:

Selengkapnya!

Jadi Konsumen Cerdas Dengan Aplikasi Cek BPOM

bepepom

Satu hal yang meresahkan saya belakangan ini–selain dari populasi jomlo yang meningkat–adalah berseliwerannya share-share-an di Facebook. Share yang dilakukan dari website dengan nama merangsang semacam ‘bagikanlah.net’ atau ‘sakkarepmulah.com’ ini ditunjang dengan judul nan semlohai pula, seperti ‘Terungkap! Babi Ternyata Haram! Sebarkan Jika Peduli!’. Dan yang paling bikin gemas adalah share-share-an itu kebanyakan tentang obat dan makanan, dan bagian paling mengenaskan adalah sebagian besar HOAX.

Persepsi saya masih sama seperti ketika saya menulis tentang hoax PPA. Dengan linimasa dan menggila seperti sekarang, saya sungguh merasa perlu agar otak bisa dicuil dan ditaruh sedikit di jempol. Biar orang yang nge-share itu sebelum bertindak mikir dulu. Soalnya, ada nih, kakak kelas dulunya pintar bin asisten–namanya kakak kelas berarti ya apoteker, bukan arsitek, soalnya saya anak farmasi–ketika nge-share sesuatu dan saya bilang hoax, malah nesu-nesu. Njuk aku kudu piye? Aku kudu sayang-sayang Hayati? Nanti Hayati lelah. Heu.

Untunglah, regulator tentang obat dan makanan di Indonesia lumayan MULAI responsif. Maklum, tahun 2014 awal saja ketika Twitter lagi galak-galaknya, regulator bernama Badan POM itu bahkan belum punya akun untuk bercuit ria. Untungnya sekarang sudah ada. Salah satu inovasi yang dibuat oleh Badan POM–yang sering kali dengan semena-mena disebut sebagai BPPOM itu–adalah aplikasi Android! Soal BPPOM ini kesalahsebutannya masif dan terstruktur. Pernah lihat gedung MLM di bilangan Gatot Subroto? Itu kan ada layarnya, dan tertulis bahwa produknya sudah terdaftar di BBPOM. Beuh!

Kembali ke topik. Untuk apa, sih, aplikasi Android?

Selengkapnya tentang Cek BPOM!

Menikmati Martabak 65A Nan Legendaris

Jpeg

Sejujurnya, saya bukan sengaja hendak menjadi manusia tukang review martabak. Kalaulah postingan ini tidak begitu jauh jaraknya dengan postingan martabak yang lain, itu lebih karena saya doyan martabak kebetulan belaka. Kalau kata orang keren, cosmological coincidence. Tsah. Ini semua terjadi karena dua hal. Satu, saya ingin makan martabak. Dua, pacar ingin makan di Pecenongan. Supaya mengakomodasi keduanya, maka kami berdua akhirnya makan Martabak Pecenongan.

Bagi saya, martabak adalah suatu pertanda keberlangsungan perekonomian masyarakat. Pertama, martabak bukan makanan primer. Martabak tidak bisa disubstitusikan dengan nasi. Ya, menurut ngana sajalah. Kedua, harga martabak boleh dibilang tidak murah. Mungkin martabak mini di Pasar Genjing murah, 4000 perak saja. Tapi martabak dengan ukuran normal itu diatas 20-30 ribu untuk rasa yang paling plain, kacang coklat. Artinya, ketika masih ada manusia yang beli martabak, berarti ada uang berlebih yang menandakan perekonomian baik. Nah, bagaimana jika harga martabaknya tembus seratus ribu lebih, yang beli ngantre pula? Cukup bisa menyebut bahwa perekonomian masyarakat Jakarta–khususunya–berada dalam posisi tangguh, kan?

Jadi begini, pada suatu malam minggu nan cerah, pergilah saya dan pacar naik si BG dari Benhil ke Pecenongan. Melewati rute umum, Sudirman ke Dukuh Atas lanjut Pasar Rumput lantas Manggarai hingga Matraman dan Kramat Raya, si BG melaju terus via Gunung Sahari hingga melewati Mal Golden Truly. Nah, tinggal belok kiri, kami sudah disambut dengan gapura khas Pecenongan. Sejujurnya, saya tidak terlalu tahu Pecenongan. Bagi saya yang lama tinggal di Cikarang, Pecenongan adalah Jalan Kedasih dan Kasuari di sekitar Jababeka. Padahal, jelas-jelas pada tahun Pecenongan yang asli mulai tumbuh, Pecenongan di Cikarang mungkin masih jadi tempat jin buang anak.

Persis begitu belok kanan, di kanan jalan sudah tampak tulisan ini:
wp-1453124199068.jpegPatokan yang jelas untuk belok kanan dan lantas parkir. Tulisan itu menjadi pembeda karena persis sesudah warung itu ada banyak warung martabak yang lain, sama-sama pakai nomor pula. Namun karena Pacar bilang bahwa Martabak 65A ini adalah pelopor martabak premium, maka saya akhirnya memarkir si BG dengan tertib dan damai. Agak kaget, sih, awalnya karena pukul 20.00 lebih sedikit pelanggannya sudah sembilan puluh sekian. Saya tahunya ya karena petugas Martabak 65A memanggil nomor antrean yang sudah kelar. Kalau dibandingkan dengan martabak yang saya review sebelumnya ini malah dua kali lipat. Buka dua jam, pelanggan seratus. Saya jadi heran, kenapa bisa begini? Ini edan. Orang-orang dipaksa mengantre SATU JAM hanya untuk sebuah kenangan martabak.

Selengkapnya tentang Martabak 65A