
Sejujurnya, saya bukan sengaja hendak menjadi manusia tukang review martabak. Kalaulah postingan ini tidak begitu jauh jaraknya dengan postingan martabak yang lain, itu lebih karena saya doyan martabak kebetulan belaka. Kalau kata orang keren, cosmological coincidence. Tsah. Ini semua terjadi karena dua hal. Satu, saya ingin makan martabak. Dua, pacar ingin makan di Pecenongan. Supaya mengakomodasi keduanya, maka kami berdua akhirnya makan Martabak Pecenongan.
Bagi saya, martabak adalah suatu pertanda keberlangsungan perekonomian masyarakat. Pertama, martabak bukan makanan primer. Martabak tidak bisa disubstitusikan dengan nasi. Ya, menurut ngana sajalah. Kedua, harga martabak boleh dibilang tidak murah. Mungkin martabak mini di Pasar Genjing murah, 4000 perak saja. Tapi martabak dengan ukuran normal itu diatas 20-30 ribu untuk rasa yang paling plain, kacang coklat. Artinya, ketika masih ada manusia yang beli martabak, berarti ada uang berlebih yang menandakan perekonomian baik. Nah, bagaimana jika harga martabaknya tembus seratus ribu lebih, yang beli ngantre pula? Cukup bisa menyebut bahwa perekonomian masyarakat Jakarta–khususunya–berada dalam posisi tangguh, kan?
Jadi begini, pada suatu malam minggu nan cerah, pergilah saya dan pacar naik si BG dari Benhil ke Pecenongan. Melewati rute umum, Sudirman ke Dukuh Atas lanjut Pasar Rumput lantas Manggarai hingga Matraman dan Kramat Raya, si BG melaju terus via Gunung Sahari hingga melewati Mal Golden Truly. Nah, tinggal belok kiri, kami sudah disambut dengan gapura khas Pecenongan. Sejujurnya, saya tidak terlalu tahu Pecenongan. Bagi saya yang lama tinggal di Cikarang, Pecenongan adalah Jalan Kedasih dan Kasuari di sekitar Jababeka. Padahal, jelas-jelas pada tahun Pecenongan yang asli mulai tumbuh, Pecenongan di Cikarang mungkin masih jadi tempat jin buang anak.
Persis begitu belok kanan, di kanan jalan sudah tampak tulisan ini:
Patokan yang jelas untuk belok kanan dan lantas parkir. Tulisan itu menjadi pembeda karena persis sesudah warung itu ada banyak warung martabak yang lain, sama-sama pakai nomor pula. Namun karena Pacar bilang bahwa Martabak 65A ini adalah pelopor martabak premium, maka saya akhirnya memarkir si BG dengan tertib dan damai. Agak kaget, sih, awalnya karena pukul 20.00 lebih sedikit pelanggannya sudah sembilan puluh sekian. Saya tahunya ya karena petugas Martabak 65A memanggil nomor antrean yang sudah kelar. Kalau dibandingkan dengan martabak yang saya review sebelumnya ini malah dua kali lipat. Buka dua jam, pelanggan seratus. Saya jadi heran, kenapa bisa begini? Ini edan. Orang-orang dipaksa mengantre SATU JAM hanya untuk sebuah kenangan martabak.
Selengkapnya tentang Martabak 65A
Like this:
Like Loading...