Mencoba Berdamai Dengan Jakarta

mencobaberdamaidengan

Pagi hari–sama halnya dengan pagi-pagi lain–kala para jomblo masih meringkuk manja di bawah naungan selimut, pukul 7 tepat, saya membuka gembok pagar kontrakan kecil yang saya huni bersama Istri.

Ciye, punya istri. Ciye.

Sekilas memandang sekitar, gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tampak berdiri dengan angkuh. Sementara udara yang tersedia untuk dihirup terasa benar tidak menyuguhkan kesegaran hakiki yang dibutuhkan, hanya cukup untuk bernapas dan melanjutkan siklus oksigen untuk mendukung kinerja mitokondria di dalam sel sana.

Seketika saya terkenang kala pertama kali melihat Jakarta dalam kondisi sadar dan bisa mengingat, medio 1997. Setelah kena tipu bis asal Padang yang dengan janji manis bak playboy akan mengantar hingga Kampung Rambutan namun lantas semena-mena mengoper keluarga saya di sebuah mesjid dekat Pelabuhan Merak, kami akhirnya mendapat tumpangan sebuah bis nan penuh sesak.

Saya terduduk setengah terhimpit di tangga pintu belakang bis. sementara orang-orang lain yang lebih tua bahkan tidak peduli sedikitpun pada anak kecil yang teronggok di sudut mati bis pengap itu. Aroma apapun bercampur baur layaknya toko parfum bermetanol berada di tengah-tengah pasar ikan. Tumplek blek menjadi satu dalam persaudaraan nan erat.

Nyaris tengah malam ketika bis yang entah apa namanya itu melewati Tol Dalam Kota, menyajikan gedung-gedung tinggi dengan gemerlap lampu yang terangnya minta ampun. Saya terpana sepenuhnya, melihat sesuatu yang selama 10 tahun hidup tidak pernah saya saksikan di Bukittinggi. Lha, angkutan umum bernama Ikabe saja berakhir pukul 6 sore. Bagi saya dalam raga nan kecil, hari berakhir pukul 6 sore, kala lampu terbesar yang tampak berasal dari mushala Al-Ikhlas di depan rumah.

Si BG segera saya keluarkan dari parkiran mini di depan pintu kontrakan, sembari melakukan ritual memanaskan mesin dan menanti istri mengunci pintu, saya seketika ingat kali lain saya menginjak Jakarta. Enam tahun sesudah saya terpana dengan gedung tinggi Jakarta pada waktu tengah malam.

Pernah saya tulis juga di blog ini ketika saya ketiban rejeki juara sekian lomba sebuah Kementerian. Saya melaju bersama Kereta Api Taksaka Malam bersama Frater Danang Bramasti, SJ, sekarang sudah Romo dan bertugas di Paroki Kotabaru, Jogja. Saya diajak ke rumah beliau, diajak juga ke rumah para Romo, diajak juga naik bajaj yang kala itu masih oranye semua. Saya menemukan sisi-sisi Jakarta yang berbeda. Gang-gang sempit, jalan kecil, penatnya menumpang bajaj, dan lain-lainnya. Akan tetapi, gegara saya kemudian ikut acara di Hotel Bidakara yang megah sekali itu, maka Jakarta versi realistis itu menjadi pemandangan sekunder untuk disimpan dalam memori, bergabung bersama kenangan kecupan mantan.

Klik untuk membaca selengkapnya!

Advertisement

9 Hal yang Perlu Diketahui Jika Hendak Terbang atau Mendarat di Terminal 3 Ultimate

IMG_20160817_085902 (1)

Salah satu bangunan yang katanya adalah mahakarya anak bangsa akhirnya launching juga, namanya Terminal 3 Ultimate. Perlahan-lahan, Ultimate akan hilang dan hanya berlaku penamaan ‘Terminal 3’. Sama halnya dengan mantan pacar terindah, yang lama kelamaan akan menjadi sekadar ‘mantan pacar’ belaka. Harapan-harapan tinggi diberikan sepanjang proses pembangunan hingga tahapan nyaris diresmikan sebelum ditahan oleh Pak Ignasius Jonan. Apa daya, Pak Jonan lengser yang digantikan secara sah dan meyakinkan oleh Pak Budi Karya.

Saya berkesempatan untuk terbang melalui Terminal 3 Ultimate ini setelah jauh-jauh hari membeli tiket pesawat Garuda Indonesia tujuan Padang. Ada sisi ketika saya takjub dengan bandara baru ini, namun ada banyak sisi pula ketika saya hanya mampu geleng-geleng kepala. Maka, posting ini didedikasikan untuk orang-orang yang akan terbang dari dan melalui Terminal 3 Ultimate. Agar tidak kecele,  perhatikanlah beberapa hal berikut.

1. Akses Masuk Lebih dari 1

Begitu sampai di pelataran Keberangkatan Terminal 3 Ultimate kita akan disajikan lebih dari 1 pintu. Tiada perlu bingung, jika ada pintu masuk saja. Toh sampai saat tulisan ini diturunkan, satu-satunya maskapai yang menghuni Terminal 3 Ultimate adalah Garuda Indonesia untuk penerbangan lokal. Jangan khawatir karena pintu-pintu itu akan merujuk pada ruangan check-in yang sama, sama halnya dengan pintu-pintu hati yang diketuk akan bermuara pada hal yang sama: penolakan. Rasain!

2. Bagasi Dengan Ukuran Tidak Biasa Diperlakukan Berbeda

IMG_20160817_093127

Ini salah satu perbedaan krusial antara Terminal 3 Ultimate dengan terminal lain di Bandara Soekarno-Hatta. Bagasi-bagasi dengan ukuran yang tidak biasa, seperti kekecilan, kepipihan, kelamaan jomblo, atau sejenisnya hanya akan diberi label di counter check-in. Sesudah itu, penumpang akan diarahkan untuk mengantarkan bagasinya yang berukuran tidak biasa itu ke conveyor khusus dengan kode OOG. Patut dicatat bahwa penandaan OOG dilakukan menggunakan sebuah bahan yang sangat luar biasa, namanya kertas HVS.

Klik untuk membaca selengkapnya!

Jalan-Jalan di Pekanbaru? Ini Dia Pilihan Lokasi Untuk Menginap!

Sebagai manusia biasa yang tak sempurna dan kadang salah, jalan-jalan tentunya adalah panggilan jiwa nan tiada perlu dibantahkan. Baik itu jalan-jalan dalam rangka beneran jalan-jalan maupun jalan-jalan dalam rangka perjalan-(jalan)-an dinas.

Nah, salah satu kota yang biasa dijadikan objek jalan-jalan adalah Pekanbaru. Kota ini adalah ibukota dari Provinsi Riau. Dahulu bahkan punya jangkauan begitu luas sebelum lantas Provinsi Kepulauan Riau berdiri dengan Tanjung Pinang sebagai ibukotanya. Namanya juga ibukota, sudah barang tentu Pekanbaru merupakan gerbang masuk ke Riau secara umum, termasuk juga jadi pilihan jalan-jalan hingga perjalan-(jalan)-an dinas ala PNS.

Jalan Jenderal Sudirman

Sama halnya dengan kota-kota lain dI Indonesia, nama Jenderal Sudirman kemudian memegang peranan nan sangat penting dalam urusan jalan. Hampir di setiap kota, nama Jenderal Sudirman adalah jalan protokol, termasuk di Pekanbaru.

Di satu jalan ini saja setidak-tidaknya kita akan menemukan Hotel Pangeran Pekanbaru, The Premiere Hotel Pekanbaru, Grand Central Hotel Pekanbaru, Grand Tjokro Pekanbaru, Furaya Hotel, hingga Drego Hotel.

Aneka hotel dengan kelas yang berbeda-beda dapat diakses dengan mudah melalui jalur ini. Tentunya, bagi yang hendak berdinas di Pekanbaru maupun hendak main-main, pikirkan pula jarak dengan tempat wisata/tempat kerja sebelum kemudian memilih hotel sebagai tempat menginap. Jangankan gegara terkesima Jalan Sudirman malah kemudian jauh dan agak sulit diakses daritempat yang kita tuju.

Jalan Soekarno-Hatta

Jalanan yang mengambil nama proklamator ini juga menyediakan opsi beberapa hotel untuk disinggahi dan diinapi. Setidak-tidaknya kita akan menemukan Grand Suka Hotel maupun Hotel Benteng hingga Swiss-Bel Inn yang berada di Mall SKA Pekanbaru.

Dari sisi akses, terutama dengan Bandara Sultan Syarif Kasim di Pekanbaru, Jalan Soekarno Hatta tiada jauh berbeda dengan Jalan Sudirman, hanya saja dari sisi ketersediaan hotel terbilang lebih sedikit, walau begitu

Jalan Riau

Jikalau berada di Riau tentu baiklah kiranya jika kita melewati Jalan Riau, yang bukan berada di Bandung. Lokasinya bedekatan dengan Sungai Siak, namun juga menyediakan beberapa hotel seperti Novotel, Tangram, dan Hotel Mutiara Merdeka.

Jalan Riau sendiri terbilang lebih jauh dari arah bandara, tentu jika kita bandingkan dengan dua jalan yang telah disebut terlebih dahulu. Walau begitu, daerah yang berlokasi dekat dengan Sungai Siak tentu menjadi hal menarik untuk dieksplorasi.

Kira-kira demikian beberapa masukan mengenai pemilihan lokasi hotel jikalau hendak jalan-jalan aneka keperluan di Pekanbaru dan sekitarnya. Semoga pada berkenan ya, Kak!