Cikarang Jaya

Hohohohoho…

Kalau di posting perjalanan lainnya saya membahas tempat yang memang layak jadi tempat wisata, sekarang saatnya sekilas mengenai suatu tempat bernama Cikarang.

What?

Mau lihat apa di Cikarang?

Yah, kalau di Palembang saya masih bisa mengajak tamu tetamu untuk melihat ampera, museum, dan makan pempek. Nah kalo di Cikarang?

Begitulah, Cikarang ini tempat yang betul-betul sarana mencari uang.

Kalau melihat peta, Cikarang masuk di kawasan Bekasi. Secara umum dibagi jadi Cikarang Utara (Jababeka dan sekitarnya), Cikarang Selatan (Lippo Cikarang dan sekitarnya), Cikarang Barat (pintu tol Cikarang Barat dan sekitarnya), serta yang pasti satunya lagi.. hehehe..

Di Cikarang ini kita mungkin tidak menemukan landmark tertentu. Yang menguasai disini adalah pabrik dan perumahan. Diperkirakan ada 1 juta manusia yang hidup dan mencari makanan di daerah sini. Akses utama adalah lewat tol yakni Exit Tol Cikarang Barat. Ini yang paling dekat, ada sih Tol Cikarang Utama juga.

Nah, kalau dari Tol Cikarang Barat kita akan dihadapkan dengan jembatan layang. Itu adalah jalan kiri dan kanan. Kiri ke Jababeka, Kanan ke Lippo, dua wilayah besar di Cikarang, selain kalau terus lurus menembus apapun akan sampai ke Delta Mas hehe..

Di Kota Jababeka kita akan disambut oleh tulisan besar warna merah dan jalan beton. Berkendara di jalanan Cikarang berarti harus siap bertemu truk2 besar dan panjang. Namanya juga kawasan industri. Nantinya kita akan sampai di pintu Jababeka II terlebih dahulu, disini ada Plaza Jababeka, President Executive Club, Patung Kuda, Metro Park Condominium, Pecenongan Square, Movieland, dan tentunya kawasan industri Jababeka II. Disini ada Kawan Lama, Alfamart, serta NDC AAM.

Kalau dari pintu II tadi kita lurus, maka ke kiri ada Jababeka I. Disini banyak sekali pabrik besar macam Samsung dan Unilever. Nah, kalau kita teruskan lagi, maka akan sampai ke Cikarang Dry Port (Pelabuhan Kering??) dan kompleks baru lagi namanya Techno Park, ada pabrik AstraZeneca disini. Terus lagi? Ketemu Stasiun Lemahabang. Terus lagi? Karawang. Hahaha…

Nah, di sekitar Lippo lebih banyak lagi. Ada kawasan Delta Silicon, ada EJIP, ada Hyundai. Yah, pokoknya kalau pabrik, disini buanyakkkkk.. Mungkin wisata pabrik paling oke kalau di Cikarang sini… hehehe..

Segitu dulu yah..

Advertisement

Kemasan: Sejenak Refleksi

Kemarin bantu-bantu di Balai Kesehatan di sebuah kompleks perumahan di daerah Cikarang. Sebagai apoteker galau yang (kalau kata orang Palembang) katek gawe, jadilah bantu-bantu sejenak dilakoni.

Menjelang akhir keluarlah resep hiperlipidemia, isinya Allopurinol dan Simvastatin. Saya nggak perlu nyebut merknya lah ya? hahaha..

Well done.

Well done sampai kemudian, sesuai prosedur, saya menyobek kemasan doos dari salah satu obat itu. Begitu suara sobekan terdengar, mendadak saya sadar, bahwa produk yang kemasannya saya sobek barusan ini berasal dari tempat kerja saya yang lama.

Dan produk ini, lebih tepatnya item kemasan yang baru saya sobek ini, dikelola dengan suatu mekanisme njelimet yang bikin telinga saya sampai kebal dan otak saya nyaris hang.

Saya lihat nomor batchnya, tepat di bulan saya pindah.

Artinya, benda yang saya sobek ini yang pernah bikin saya sakit kepala. Dan sekarang saya juga yang menyobek dan memasukkannya ke tempat sampah?

ASTAGA!

Itulah kemasan sekunder. Kalau bicara kemasan primer alias kontak langsung dengan produk, kita nggak bisa permisif, dia lekat dengan produk. Kalau sekunder? Coba deh, berapa persen (sebutlah) doos yang sampai ke konsumen? Atau berapa banyak brosur yang dibaca oleh konsumen?

Atau sepengalaman saya ikut di bala bantuan gempa, seberapa banyak tenaga kesehatan yang membaca brosur? Tidak cukup banyak. Apalagi hanya untuk obat-obat yang terkenal macam dua yang di atas.

Kemasan sekunder itu fungsinya hanya mengantarkan isi berupa kemasan primer. Itupun dari pabrik ke distributor. Sesudah itu, mayoritas dari mereka akan hinggap di tempat sampah.

Itulah yang kadang bikin saya merasa sia-sia berpusing2 ria mengurusi benda yang pada akhirnya juga harus musnah.

Tapi..

Pernahkah kita berpikir begitu? Kalau iya, salah!

Ini pola pikir busuk.. Sama saja dengan buat apa bikin obat dengan kualitas prima toh nanti juga ED di apotek, pola pikir yang keluar saat pemusnahan obat di apotek. Buat apa masak banyak2 kalau akhirnya jadi busuk juga.

Kalau kita berpikir soal akhir yang buruk, kita nggak akan berkarya. Kalau kita masih menganggap suatu kerja akan sia-sia, maka nilai dari kerja kita akan jadi minimal. Coba deh kalau saya bilang, ngapain yang begini ini diurusin? Selain saya pasti dimarahin bos, saya juga bisa menganggap proses dari pabrik hingga sampai ke distributor itu bukan proses bernilai. Padahal ada penjagaan kualitas, ada pihak yang terlibat disana.

Jadi sebaiknya sih, jangan kayak saya. Kalau bekerja atau mengerjakan sesatu, pikirkan saja dampak baiknya. Itu agaknya lebih menambah value dari sesuatu yang kita kerjakan.

Undangan Pernikahan

Well, tahun-tahun ini memang gila.

Kenapa gila? Mungkin saya jadi gila karena saya selalu menganggap diri saya kecil dan masih buda melia alias muda belia.

Mulai dari tahun 2009, ketika teman yang kala itu usia 25 mengirimkan undangan pernikahan. Masih biasa wae. Lha saya masih umur 22 kok. Masih jauh.

Lantas setahun kemudian, teman yang seumuran juga mengirimkan undangan yang sama. Saya juga masih biasa saja. Toh beliau pacaran lebih lama. No issue lah soal itu.

Masih di tahun yang sama, teman yang jauh lebih senior menikah (akhirnya..). Saya pun menghadiri pernikahannya sambil terbang nun jauh ke Jogja dari Palembang. Ini juga masih biasa. Beliau usia 30 kala menikah. Which is means beda 7 tahun dengan saya. Tetap no issue.

Cuma berondongan belakangan ini mulai menggelitik.

Mulai dari undangan teman sekantor yang umurnya 27. Itu logis banget buat nikah. Lalu diteruskan dengan rencana salah satu teman COWOK seangkatan kuliah dan senasib di Dolanz-Dolanz untuk menikah awal tahun depan. Lalu juga teman sesama cowok di kuliah yang mo nikah akhir bulan ini. Lalu buka email tadi pagi dan tiba-tiba ada undangan pernikahan tanggal 2 besok dari eks rekan sebelah kamar saya di mess waktu di Palembang. Lalu menyusul juga teman saya yang lain yang usianya siap nikah (28) yang akah nikah di November. Plus lagi sebuah SMS undangan pernikahan lain pada tanggal 9 Oktober mendatang.

Itu semua teman-teman saya, beberapa yang saya tahu benar kelakuannya. Dan mereka hendak menikah? Lalu saya?

Saya lantas mulai berkaca sedikit. Ini sudah bulan September mau Oktober. Jadilah saya sebentar lagi akan tembus usia 25. Kalau mengacu pada undang-undang, kalau tidak salah saya sudah lewat 6 tahun dari limit “boleh kawin”. Nggak masalah, wong saya punya pacar baru umur 20. Hahahaha..

Saya lalu mengkombinasikannya dengan teman-teman lain yang mulai galau dengan deadline usia.

Apa iya menikah itu harus? Itu dulu pertanyaannya. Lalu, apa iya menikah itu harus umur sekian? Lalu pertanyaannya bisa dilanjut: memangnya habis nikah mau ngapain?

Kalau kita bertanya itu terus, maka nggak akan ada upaya persiapan. Jadi iri melihat teman yang sudah mempersiapkan diri dengan membeli rumah meskipun itu secara KPR.

Apakah saya kepengen?

Nggak sesederhana itu juga sih.

Kepengen kawin? JELAS! Saya pria normal kok. Hahaha..

Tapi saya yang berada di kumpulan orang-orang usia matang, dan memang seharusnya sudah menikah, menangkap berita kiri-kanan itu sebagai sebuah fenomena.

Kita sering dijebak dan terjebak oleh target-target. Umur sekian harus nikah, umur sekian harus punya anak. Kita juga sering terjerat oleh pandangan sekitar bahwa kalau umur sekian belum nikah itu pasti nggak oke. Kita juga sering dibuat iri oleh lingkungan sekitar dengan kabar gembiranya. Namun kita juga sering dibuat bersyukur: syukur saya belum nikah, kalau lagi dihadapkan pada sesuatu konflik orang lain.

Mari kembali ke inti.

Ada yang bilang kita diciptakan berpasang-pasangan. Ada yang bilang bahwa hakekat hidup kita adalah melanjutkan keturunan. Dan legal formal di depan hukum dan di depan Tuhan adalah pernikahan.

Apakah kita wajib galau kalau mendapat undangan pernikahan? Kalau dengan usia saya yang belum 25, mungkin masih belum. Toh, teman cowok segenerasi yang jelas beritanya juga baru 2. Haha..

Mungkin tulisan itu malah ruwet dan nggak jelas sikapnya. Tapi intinya yang saya bilang adalah setiap manusia punya garisnya sendiri-sendiri. Kalau kita galau karena ada undangan pernikahan dan galau karena usia kita, kegalauan itu pun memang sudah digariskan. Biarkan saja.

Toh hidup dari Tuhan ini harusnya kita nikmati, bukan kita galaukan. Kalau ada undangan, ikut senang. Dan mari kita pikirkan undangan kita kelak. Kalau belum ada nama yang pas untuk diketik di undangan, memangnya ada masalah soal itu? Itulah garis kita untuk mencarinya.

Selamat pagi! 🙂

Tentang Sebuah Perspektif Sederhana

Ini judul blog ini, lantas kenapa pula saya perlu jadikan posting? Ada 2 alasan. Pertama, judul ini sangat istimewa. Kedua, karena posting di blog ini sudah tembus 100 dalam 9 bulan kelahiran kembalinya.

Berhubungan? Tidak juga. Hehehe..

Hanya ada satu orang yang selalu protes terhadap penggunaan judul ini, adik saya si Cici. Kenapa? Ya karena judul ini saya pakai terus kemana-mana. Toh penggunaannya gampang banget. Sebut saja kita membahas soal kondom, maka tulisannya akan berjudul ‘Kondom: Sebuah Perspektif Sederhana’ atau kalau kita bahas soal jeruk, maka judulnya ‘Jeruk: Sebuah Perspektif Sederhana’. Enak kan? Hahaha..

Judul ini muncul sebagai masterpiece karya-karya saya karena setidaknya pernah memberikan gelar dan (tentu saja) uang. Kalau nggak salah ada 3 lomba yang saya ikuti dengan judul ini yang berhasil meraih penghargaan. Sebenarnya lomba yang diikuti banyak, tapi cuma itu yang dapat.. haha..

Riwayat kelahiran judul ini adalah saat mengikuti Lomba Reportase Pertanian di UPN Veteran tahun 2003. Lombanya unik bin ajaib. Seumur-umur ya baru sekali itu ikut lomba reportase. Modelnya adalah peserta diberi waktu sekitar 2 jam untuk menulis di kertas folio bergaris (tulis tangan pula, waktu itu sih tulisan saya masih bagus). Peserta menulis dengan bahan yang dibawa dari rumah dengan topik kira-kira tanaman lain non beras.

Saya sudah melakukan searching sebelumnya dan memilih singkong. Dan seperti penulis pemula pada umumnya, judul adalah urusan belakangan karena sulit. Walhasil, rangkuman referensi dan opini saya sudah jadi duluan, tinggal dua baris di atas yang belum diisi: judul.

Waktu semakin mepet ketika saatnya harus membuat judul. Mumet minta ampun kala itu. Saya punya kata awal memang, Pemberdayaan Tanaman Singkong. Tapi masak judul tulisan kayak gitu? Ini kan membahas perspektif, bukannya mengajari menanam singkong. Ups, nemu deh kata perspektif.

Waktu semakin semakin dan semakin mepet ketika judul itu harus ditulis. Perspektif Pemberdayaan Tanaman Singkong? Kurang sreg di hati. Pikir terus, karena ini hanya singkong maka saya tambahkan kata Sebuah. Jadilah Sebuah Perspektif Pemberdayaan Tanaman Singkong. Masih belum kena. Belum ada sense yang nendang. Sampai kemudian terlintaslah sebuah kata simple alias sederhana.

Wew, Sebuah Perspektif Sederhana. Sounds sweet.. hahaha..

Maka judul itu pun ditulis. Jangan salah, utik-utik judul itu dilakukan dengan cara menulis pakai pensil dan lalu menghapusnya. Tepat di kertas lomba. Hahaha..

Begitu kira-kira sejarah kelahiran judul ini. Dia berubah menjadi masterpiece, ketika ada lomba lain tentang partai politik yang diselenggarakan oleh PDIP Sleman saya mendapat gelar juara harapan (berharap juara) yang berhadiah 100rb dan kaos PDIP (astaga..)

Judulnya kalau nggak salah, Partai Politik Dari Zaman ke Zaman: Sebuah Perspektif Sederhana. Nongol lagi dia. Haha..

Dan gelar terakhir adalah saat lomba di kampus. Waktu itu Pusat Penelitian Obat USD menyelenggarakan lomba Pusat Penelitian Obat Yang Ideal. Yang boleh ikut mahasiswa dan dosen. Astaga, mati kutu ini. Tapi waktu itu saya berhasil jadi Harapan (lagi-lagi berharap) namun tetap bangga karena juara 1-3 adalah dosen semua.. haha.. Judulnya? Pusat Penelitian Obat Yang Ideal: Sebuah Perspektif Sederhana. 🙂

Memang sekarang saya jarang pakai lagi sebagai judul, namun sebagai masterpiece, dia saya pakai di judul blog ini. Bahkan dia juga jadi alamat blog saya yang lain.

Sederhana bukan? 🙂

Juju: Sebuah Kisah Makanan Enak

Juju.

Entah saya nulisnya bener apa nggak, yang pasti saya diperkenalkan dengan nama itu. Kata Juju kemudian merepresentasikan sebuah tempat penjualan makanan.

Apa yang istimewa dengan Juju?

Sebentar, sebelum berkisah, mari saya ceritakan dulu sejenak kisahnya.

Warung Juju ini terletak di dalam kawasan industri Jababeka II. Kalau dari Pintu Jababeka II, masuk terus, ketemu bundaran kuda masih lurus, lalu ke kanan sampai ketemu Mattel (Pabrik Barbie) lantas ke kiri, terus aja sampai ke tulisan Pecenongan Square. Setelah ini ambil kanan masuk ke kawasan Jababeka II yang beneran. Begitu sampai di perempatan pertama dekat klinik ambil kanan, ikut terus jalannya, ada beberapa belokan. Nanti akan ketemu Jalan Industri Selatan V, jalan aja terus sampai perempatan. Pas disini ambil lurus mentok sampai jalan yang seolah-olah buntu. Nah warungnya ada di kiri jalan. Atau kalau mau lebih mudah, ambil dari Kalimalang, masuk pintu 10 Jababeka, belok kiri, lalu ketemu perempatan belok kiri lagi. Disitulah dia berada.

Warung ini sejatinya ya serupa warung yang lain. Kalau di dekat De Britto dulu ada yang namanya Tenda Biru. Apa persamaannya?

Hehehe.. Harap maklum, keduanya sama-sama warung yang mungkin akan bikin ilfil orang yang (maaf) jijikan. Kalau tenda biru itu, iya dapur, iya pembuangan, iya tempat nggoreng, iya tempat nyuci, iya tempat ngiris, dan lain-lain. Kalau Juju ini modelnya gubuk, lantai tanah. Di dapurnya segala sesuatu jadi satu, mirip dengan tenda biru. Pokoknya kalau terbiasa makan di tempat yang oke macam Hoka Hoka Bento, dijamin ilfil.

Untunglah saya dididik makan murah di tenda biru. Hahaha..

Uniknya dari Juju, terutama yang terjadi dengan beberapa teman kantor saya, adalah: banyak penggemarnya! Masih biasa? Oke, ini fakta berikutnya, beberapa dari penggemar itu belum mengetahui bentuk warung Juju yang sebenarnya. Mereka rata-rata delivery (alias titip beli). Yah, apakah nanti kalau melihat bentuk warungnya masih akan suka Juju?

Tidak ada yang bisa menerka.

Seringkali dalam hidup itu kita suka begitu. Kita menyukai sesuatu yang enak, tapi nggak ngerti latar belakangnya, tahunya ya enaknya. Coba ingat-ingat apakah kita suka dengan sebuah mobil yang bagus yang dimiliki seseorang, tapi kita nggak tahu apa itu diperoleh dari usaha yang halal atau hasil bagi-bagi proyek (lho, malah nyindir? hehe..). Apakah kita berlaku seperti seorang raja yang duduk manis, tanpa peduli orang-orang yang ada di belakang kita? Apakah kita begitu jumawanya saat ini dengan pencapaian saat ini dan lantas lupa latar belakang kita mencapainya?

Yah, ini bukan soal melihat ke belakang tapi ini soal melihat ke dalam. Kita kadang lupa sesuatu yang mendasar dan malah puas terlena pada sesuatu yang enak, yang sudah kita nikmati saat ini. Pada akhirnya? Lupa bersyukur deh. Penyakit kronis saya pribadi itu. Apakah ini penyakit teman-teman juga? Semoga tidak.

Jadi, ada baiknya yang belum pernah lihat warung Juju, segeralah kesana melihat. Siapa tahu ada perubahan perspektif. Hehehehe…

Semangat!!!

Career and Treadmill

Menjadi seseorang yang bekerja di industri atau bolehlah dikatakan profesional skala ecek2, adalah hal yang baru. Latar belakang kehidupan di masa kecil sebagai anak guru membuat jenjang karir itu adalah hal yang baru dalam hidup. Maaf-maaf kata, kehidupan yang saya tahu, tataran guru adalah di golongan, jabatannya ya tetap guru.Jabatan macam Kepsek dan sejenisnya itu fungsional. Itu setahu saya lho.. Maaf kalau sekarang sudah beda. Jadi dari jaman dulu kala, bapak saya ya guru, dengan golongan yang terus meningkat dan tentunya gaji yang terus bertambah, sesekali jadi wakil kepsek atau kepsek. Begitu yang dulu saya tahu.

Maka ketika sampai di karir semacam ini agak kagok juga. Di kota macam bukittinggi dan pergaulan di lingkungan pendidikan, siapa yang pernah dengar jabatan manager? Makanan macam apa itu?

Tapi intinya saya sekarang berada di lingkungan yang baru itu.

Well, kemarin baca-baca tentang filosofi treadmill dan relevansinya terhadap karier. Maka mau sedikit berbagi saja disini.

Dulu waktu di Palembang sempat ikut fitness, salah satu alat yang dipakai adalah treadmill. Alat yang memungkinkan orang berjalan hingga berlari di tempat yang sama, karena nggak mungkin tempat fitness menyediakan lintasan lari.

Apa khasnya?

Treadmill itu akan selalu di tempat yang sama, orang yang naik akan berjalan atau berlari mengikuti irama yang ada di treadmill. Kecepatan bisa ditingkatkan, elevasi bisa dinaikkan, keringat deras akan mengucur sejadi-jadinya.

Bayangkan dalam konteks karier, sudah berjalan, berlari, berkeringat susah payah, apakah ada perubahan tempat? TIDAK. Itulah kalau kita berjuang di atas treadmill. Kita memang dibentuk dengan kuat oleh tempaan yang ada, namun kalau tidak ada peluang untuk maju, buat apa?

Coba bayangkan kelemahan lain treadmill. Ketika kita sudah susah payah berjuang lalu lemas, lalu kita ditendang oleh orang untuk turun dari treadmill itu, ada dimana kita? Yap, tepat di tempat yang sama ketika kita naik dalam keadaan masih segar-bugar.

Apa artinya?

Dalam berkarier, janganlah memilih tempat seperti treadmill. Kalau itu anak muda baru lulus mungkin tidak masalah, namanya juga belajar. Tapi ketika sudah berkaitan dengan kemajuan diri, ngapain kita lama-lama di treadmill, kapan kita majunya? Kita hanya akan menguras keringat sampai tepar untuk kemudian harus terus berkeringat agar orang yang siap menendang kita di sebelah itu tahu kalau kita tetap memakai treadmill-nya.

Kalau kita di lintasan? Mungkin di depan kita akan menemui batu, mungkin rintangan lain, tapi pada saat tertentu kita akan sampai pada tempat yang baru dan tentunya kemungkinan yang baru. Umpama kita ditendang dari lintasan, apakah kita sudah berubah dari awal berlari? Tentu saja sudah. Kita ditendang, tapi tetap beberapa langkah lebih maju dari sebelumnya.

Sekadar refleksi, bagaimana kondisi di tempat kerja anda sekarang? 🙂

Kutipan Tentang Wim

Wim Rijsbergen jadi topik di kalangan suporter Indonesia. Bukan prestasi tentunya. Ini soal tindak tanduknya yang mengundang gemas kala sangat sering menulis catatannya. Status banyak orang di FB pada saat pertandingan Indonesia-Bahrain menandakan tindak-tanduk yang itu jadi perhatian rakyat banyak.

Kedua, tentu soal pernyataannya. Awal-awal ada banyak pernyataan optimis bahkan over confidence. Lama-lama si pelatih malah menyalahkan pemain yang ada. Mereka memang tidak bisa maen simple football, sesuai kata Pak Wim, tapi siapa yang seharusnya menyuruh pemain timnas maen simple football kalau bukan Pak Wim?

Dan jangan lupa sejarah dia walaupun hanya sekejap mata di Indonesia.

“Kita tidak siap untuk sepak bola level internasional. Lagi pula, ini bukan skuat yang saya pilih. Sesaat setelah kompetisi mulai, saya akan lihat pemain baru yang lebih segar,” kata Wim, seusai pertandingan, Selasa (6/9).  (Wim Rijsbergen Tolak Bertanggung Jawab)

“Masalahnya, mereka tinggi. Kita seharusnya bermain bola bawah dan bergerak. Jika Anda main lambung maka tidak efektif. Pemain harus siap menerima bola. Tetapi bermain bola bawah juga tidak mudah,” lanjutnya. (KO, Beda Postur Tubuh Jadi Alasan Pelatih Timnas)

Comment: kalau tahu nggak siap, kok mau ngelatih Indonesia?

“Selama ini, Wim sering mengomel dan minta dipulangkan ke Belanda. Bagi kami, tidak ada masalah melepas Wim karena sejak awal memang tidak enjoy dengan materi pemain PSM,” kata Husain. (Pengamat Heran Keputusan PSM Pecat Wim)

Comment: wah, kok di lapangan jarang ngomel?

Saat diberitahukan mengenai hal ini di Hotel Sultan usai laga, bomber muda Ferdinand Sinaga terlihat cukup kesal. “Ya semua pemain memang cukup kesal dengan sikap yang ditunjukkan Wim kepada kami. Tak seharusnya seluruh kesalahan dibebankan pada para pemain,” kata Ferdinand kepada INILAH.COM.

Tak mampu membendung kekesalan, Firman Utina pun menulis lewat twitternya, @FirmanUtina_15, “Saat skarang kami bagaikan anak ayam yg di tinggal induknya. Tapi harus di ingat kita adalah 1 tim yg harus 1 dan tidak bercerai berai, Seharusnya kita cari solusinya sama”menir,” tulis Firman.

(Bomber Timnas: Jangan Cuma Salahkan Pemain, Wim!)

Comment: ini tanda-tanda perpecahan! Bahaya!

Wilhelmus (“Wim”) Gerardus Rijsbergen (lahir di Leiden, Zuid-Holland, Belanda, 18 Januari 1952; umur 59 tahun) adalah seorang pelatih sepakbola dan mantan pemain bertahan yang berasal dari Belanda. Rijsbergen adalah asisten Leo Beenhakker pada Piala Dunia 2006 di Jerman, dan menjadi pelatih Trinidad dan Tobago setelah Piala Dunia berakhir. Per Desember 2007, posisinya sebagai pelatih diberhentikan sementara waktu oleh Federasi sepak bola Trinidad dan Tobago selama (6) bulan, sampai akhirnya digantikan pada 4 June 2007 (Wim Rijsbergen)

Comment: inikah yang disebut pelatih berprestasi?

Ini preseden buruk bagi kita, setelah loyo di era sebelum Alfred Riedl, penampilan timnas di piala AFF telah menghasilkan euforia bahwa Indonesia Bisa! Lihat penampilan kita saat melawan Malaysia di Senayan pada final. Kita kalah agregat, tapi semangat juang yang luar biasa hingga menang 2-1 meskipun akhirnya tetap kalah, membuat pemain tetap memuji dan berharap ada peningkatan. Hanya sesederhana itu.

Pak Wim datang dengan keluhan-keluhannya. Kalau mau ngelatih yang siap, yang posturnya bagus, yang keren, Bert van Maarwijck itu kayaknya mau resign habis Euro 2012, silahkan Pak Wim apply kesana.

Pak Wim juga bermasalah di timnas Trinidad Tobago, Pak Wim menyalahkan pemainnya, ini BURUK. Jose Mourinho saat kalah dalam perebutan Juara Premier League mendatangi bangku fans, menunjuk ke para pemainnya, meletakkan tangannya dalam posisi mengangkat dagu. Apa artinya? DIA BANGGA dengan pemainnya. Mou juga selalu membela pemainnya, bahkan kalau perlu menjadikan dirinya sebagai kambing hitam. Pun dengan Alex Ferguson, kala membela performa David De Gea. Pep Guardiola juga demikian kala mengangkat Victor Valdes. Pelatih besar selalu membela pemainnya di depan orang lain (mungkin memang memarahinya di kamar ganti).

Jadi apakah Pak Wim ini bisa kita anggap pelatih besar?

Saya jadi bertanya-tanya.

Satu yang pasti, Riedl telah ilfil sama Indonesia. Jangan berharap ada Riedl. Menurut saya sih, kasih kesempatan Pak Wim ini membuktikan sorak sorainya untuk mencari pemain di kompetisi. Kasih 2 pertandingan, buktikan, kalau nggak mari kita goyang ramai-ramai.

Permainan atraktif lawan Turkmenistan jelas bukan karya Wim. Pondasi Riedl dan sentuhan Rahmad Darmawan jelas terlihat disana. Sumbangan Wim adalah mengganti Firman dengan Toni, bukan dengan Eka. Sehingga lantas Indonesia bermain tanpa arah dan tujuan dan kebobolan 2 gol lawan 10 pemain lawan.

Rakyat kadung berharap setelah nyaris pupus sebelum era Riedl. Pak Wim mau nggak mau harus menerima itu, bukannya menyalahkan pemain, postur, lama-lama nanti salahnya suporter, wasit, dan lapangan pula. Itu sifatnya given, nggak bisa diutik-utik.

Saya juga pernah kecewa kok sama Riedl. Jauh2 nonton Indonesia-Turkmenistan ke Jakabaring malah disuguhi kekalahan. Tapi yang patut dicatat adalah semangat dan cara bermain para pengguna merah putih di lapangan, itu beda dengan yang kelihatan di Senayan kemarin Selasa.

Well, ini sekadar catatan saya si penggila bola.

Larva

Sekarang yang namanya kartun ini ngirit ya. Sejak kemunculan kartun jenis Shaun The Sheep dan Oscar Oasis mendadak nongol berbagai jenis kartun lainnya. Kali ini saya mau bahas sedikit tentang LARVA.

Larva ini tayang pagi-pagi jelang saya berangkat ke kantor. Penayangannya betul-betul tanpa percakapan dan lagi tokohnya hanya buntelan berlidah. Tapi menurut saya cukup sulit membuat cerita tanpa percakapan dan penonton melihat maknanya. Jadi kalau kita bisa tertawa melihat Larva itu berarti pembuatnya sukses.

Larva bercerita tentang dua ekor belatung yakni merah dan kuning yang hidup di saluran air yang jarang jadi perhatian orang. Kadang-kadang saja ada barang jatuh ke saluran itu macam permen karet, es krim, koin atau cincin.

Larva dirilis tahun 2011 sebagai animasi 3D, jadi ini masih baru benar. Larva diproduksi bersama oleh Studio Animasi Korea Tuba Entertainment bersama Synergy Media. Penulis naskah dan direktur produksi nya adalah Meang Joo-gong, produsernya Ahn Sung-jai, dan pemimpin animasinya Kim Byoung-sun. Jangan lupa bahwa Tuba juga yang memproduksi Vicky and Johnny, Oasis, Me and My Robot, serta Yeti.

Larva merah sedikit lebih antagonis karena cenderung kasar, sedangkan si kuning cenderung bodoh. Konfliknya bermain-main disana. Ada tokoh lain macam kumbang dan kodok.

Begitu dulu review untuk Larva.. hehehe…