Cerita Jumat Sore (Masih Dengan Supir Taksi)

Jumat sore, secara umum sudah sangat begah. Aku yakin itu pasti terjadi pada semua pekerja. Jadilah aku bergegas mengangkat tas yang sudah seminggu menemani dan mencari taksi untuk satu tujuan: Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng.

Kupanggil taksi yang nongkrong di depan Titan Center, segera naik, dan segera menyebutkan tujuan. Untuk kasus bertaksi ria aku memang punya standar sendiri. Kalau memang si supirnya tidak mengajak ngomong macem2 ya aku diam saja. Lain hal kalau supir taksinya mengajak ngobrol, aku ladeni.

Kali ini aku bertemu dengan Sudarto, 31 Tahun, asli Wonogiri, tinggal di Bekasi, sudah berkeluarga dan beranak 1. Itu semua pengakuannya lho. Aku kan tidak bisa mengecek kebenarannya, ya kan?

Banyak cerita dalam perjalanan ini, mulai dari kisahnya yang pernah jadi supir mobil box, supir pribadi, maupun supir taksi. Kisahnya bertemu penumpang-penumpang, sampai soal harta warisan mertua di kampung. Tapi poin menarik dari perjalanan panjang sore ini adalah ketika sudah memasuki kawasan bandara, ia melontarkan pertanyaan menarik.

“Kerja 2 tahun sudah dapat apa aja mas?”

Wew.. agak dalem kalau yang ini. hehe.. Ia pun berkisah soal motor supra fit yang sudah lunas dan sebuah kontrakan yang harus dibayar dari bulan ke bulan sebagai bagian dari apa yang sudah ia dapat.

Dan aku?

Hmm.. yang pasti adalah pengalaman, yang tentunya punya value tersendiri. Bukan begitu?

Yah, diluar itu, memang aku perlu menginventarisasi apa saja yang sudah aku dapat selama bekerja. Dan obrolan sore ini menyadarkanku untuk hal itu. Tentunya adalah secara materi, karena itu adalah parameter yang countable, bisa dihitung, dan jelas wujudnya. Ternyata itu perlu, agar kita punya parameter yang jelas untuk hal yang dilakukan sehari-hari.

Menurutku sih begitu.. 🙂

Bapak Supir Taksi

Hmm..  Hari ini aku naik RIA Taksi, supirnya bapak tua, wajarnya sih dipanggil simbah, terutama dilihat dari keriput dan rambutnya yang memutih. Sebenarnya agak berjudi juga memilih bapak ini sebagai supir taksinya, tapi mengingat terakhir naik taksi Balido SMB-Lr Famili aku dijadikan objek balapan oleh supir muda, mungkin sesekali memilih supir tua adalah solusi yang baik.

Nggak banyak cerita sebenarnya, hanya suatu momen ketika membayar.

“Piro pak?”

Argo menunjuk angka 31 ribu sekian, kuanggap 32 ribu.

“tambah parkir 2000”

Aku tidak berhitung soal berapa-nya saat itu, karena uangku pecahan 50rb, so dijamin akan ada kembalian. Jadi kuserahkan saja uang biru itu ke pak supir taksi.

Sejurus kemudian ia menyerahkan yang sebesar 21 ribu.

Aku terdiam sejenak, dan baru mulai menghitung, kok ada yang aneh, emang tadi ongkosnya berapa, dsb..

“nggak salah pak?”

“32 tambah parkir 2 ribu, jadi 34, brarti kembaliannya…”

“16”

“Maaf ya, maklum sudah tua”

Well, sejujurnya waktu tadi bertanya kembali, ada sejurus pikiran, ambil nggak ya, lumayan 5rb. Tapi untunglah Tuhan memberi sisi baik pada manusia berdosa sepertiku untuk tidak melakukannya.

Kalau mau dipikir-pikir, ini taksi argo, jadi berapapun output dari argo itu adalah benar biaya yang harus kita bayar karena memakai jasa taksi, yang juga berarti segitulah jatah si bapak. Kalau memang segitu jatahnya si bapak, apa haknya kita mengambil? Nggak ada kan? Kalau aja si koruptor-koruptor di atas sana mikir kayak gini ya. Aku juga heran tiba-tiba dikasih wangsit untuk bertindak baik. hehe..

Satu lagi, meski kesalahan yang ia lakukan sejatinya menguntungkan diriku, tetap saja si bapak bilang maaf.. Menurut pengalamanku, sangat sulit untuk kita meminta maaf ketika kita merasa rugi, atau kesalahan kita menguntungkan orang lain.. Iya nggak sih?

Terima kasih kepada bapak supir taksi atas pelajarannya yang sungguh menarik. 🙂

Menembus Awan

Baru kali ini posting di blog sederhana ini memakai foto karya sendiri.. hehe..  Baiklah, mari kita mulai. Ini sebenarnya efek dari kesukaanku duduk di seat A atau F setiap kali naik pesawat. Mengapa? Duduk di seat A dan F itu sesuai dengan kepribadianku.. halah.. Ya jadi begini, kalau duduk di seat C atau D kan pasti kudu cepat-cepat berdiri kalau pesawat berhenti. Padahal aku orangnya comply, baru melepas sabuk pengaman kalau lampu tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan. haha..

Perihal kesukaan duduk di seat A dan F inilah yang membuatku bisa mengambil foto di samping, foto ini sudah lama, dari rangkaian banyak foto awan lainnya. Tadi, waktu naik SJ 083, melihat-lihat awan, pengen foto lagi, tapi apa daya kamera sudah tergeletak di bagasi atas.

Hmm.. Mengapa awan? Lama-lama, melihat awan itu ada sisi menariknya juga. Awan itu kan terlihat begitu masif. Tapi pesawat bisa melewatinya, meski kadang dengan guncangan-guncangan. Ini yang menarik.

Aku terlahir dengan pesimisme. Mungkin bukan terlahir kali ya, efek lingkungan mungkin.. Tapi whatever lah, yang aku tahu, aku orang yang pesimis. Begitu melihat suatu target yang muncul pertama kali di pikiran adalah “ah… ketinggian..”. Sisi baik dari orang pesimis adalah begitu mudah mencapai target. Kenapa? Kalau kita menempatkan sub standar sebagai target kita, lalu kita mencapai keadaan standar, itu tandanya kita melampaui target kan? Itu yang aku suka. Lagipula, terlalu optimis juga jadi masalah. Sakit hatinya itu yang nggak nguati.. hehe..

Tapi soal pesimisme ini menjadi mentah oleh filosofi menembus awan. Kalau kita berkutat dengan pesimisme, awan yang masif itu akan terlihat sebagai rintangan yang tak terlewati oleh kita. Kita akan minggir, mlipir, mencari jalan yang nggak berawan. Hasilnya? jalan tambah jauh, entah dapat jalan yang tidak berawan atau nggak.

Coba kemudian kita memandang awan sebagai suatu hal masif yang bisa dilewati, meskipun dengan goncangan ketika melewatinya. Kita bisa masuk menembus awan itu untuk kemudian melihat bahwa sesudah itu yang ada adalah langit bersih tanpa awan lagi. Awan ada di bawah kita, menyaksikan bahwa kita telah sukses melewatinya. Well, cukup menarik untuk dipraktekkan, terutama dengan kebiasaan yang menetapkan sub standar sebagai target.. hehe..

Baiklah, satu posting dari ruang tunggu A3 🙂

Berpikir Ke Depan?

Dalam hal sebuah perubahan, berpikir ke depan itu sangat diperlukan. Kata orang, namanya visioner. Tapi begini, tidak semua dan tidak selalu, berpikir ke depan itu baik. Karena ada kalanya, orang akan berpikir ke depan saja, tanpa berpikir bagaimana kondisi saat ini, dan bagaimana mencapai keadaan yang di depan itu. Ini bagian dari manajemen perubahan.

Seringkali perubahan atau transisi itu tidak jadi dalam 1 tahap, namun dalam beberapa tahap, sehingga banyak aspek yang harus dipikirkan. Misal, dalam rencana ke depan, sistem yang dipakai adalah X, namun itu akan aplikasi tahun 2012. Nah, selama dari tahun 2011 ke 2012 itu pasti ada yang namanya masa transisi. Nah, di masa ini kadang kita membuat suatu sistem temporer agar kerja harian bisa berjalan dengan baik.

Masalahnya, banyak yang menganggap sepele hal ini dengan berpikir, “ke depannya kan akan begini…”. Lha iya ke depannya akan begitu, tapi ini kan sekarang? Kita tidak bisa berjalan terlunta-lunta dengan pola pikir yang seperti itu, sambil berharap sesuatu yang ada di depan itu akan jadi solusi, toh kita belum tahu jadinya seperti apa.

Berpikir visioner, ke depan, maju, itu bagus. Tapi akan lebih bagus lagi apabila kita tidak menyepelekan aspek-aspek yang berperan di masa transisi. Agar hal-hal rutin dapat tetap berjalan dengan baik, tidak banyak kerikil di jalan, dan kemudian kita bisa menyongsong yang di depan itu dengan lebih baik.

Menurutku sih begitu.. 🙂

Detail Kecil Yang Terlewatkan

Hayo, apa yang aneh dengan klasemen ini? Tenang, ini bukan klasemen sebuah kejuaraan beneran. Ini hanya klasemen kompetisi PES PS2 yang kemarin aku lakoni. Bukan maksud apa-apa juga sih menampilkan ini, tapi aku punya hal menarik untuk dibagi berdasarkan klasemen ini.

Apa?

Well, aku memegang Nigeria, ada di urutan 2 klasemen, kalah hanya selisih gol dengan Pantai Gading di nomor 1. Lalu dimana pelajarannya?

Hmmm..

Begini, dalam salah satu dari 11 pertandingan PS itu, aku dapat penalti (vs Paraguay). Karena keburu pengen menang (skor waktu dpt penalti adl 2-2), langsung dah asal mencet kanan, dan walhasil tendangannya membentur tiang.

Apa yang salah? Ada dua, pertama, aku tidak mengganti kick taker-nya. Kedua, ternyata aku salah pencet, harusnya kanan bawah, malah terpencet kanan atas. Akhirnya? Ya, coba saja seandainya Martins bisa masukin itu penalti, poinku akan jadi sekian, maka klasemen akan jadi demikian, dst..

Yah, itu nggak perlu dibahas, karena hasilnya adalah demikian.

Dalam hidup, dan dalam mencapai kesuksesan kita, kadang kita terburu-buru ataupun ngasal dalam melakukan sesuatu hal kecil yang merupakan bagian integral dari pencapaian itu. Dan pada akhirnya, kegagalan kita melakukan hal kecil dengan baik berpengaruh signifikan terhadap pencapaian akhir kita. Coba waktu sekolah dulu, datang rajin, bikin PR rajin, tapi ujian pas dengan piala dunia. Hasilnya? Ujian jeblok, nilai pun rendah. Target rangking pun tidak maksimal. Dan banyak hal lain yang demikian, termasuk di kuliah maupun kerja.

Aku belajar banyak dengan kegagalan untuk mencapai nomor 1 ini. Bukan dalam hal main PS-nya. Tapi dalam hal lain yang lebih besar. Yah, percayalah kawan, lakukan sekecil apapun detail dengan baik dan saksama. Jangan sampai hal kecil itu yang akan menjadi ganjalan kita dalam mencapai kesempurnaan pencapaian kita yang seharusnya. Karena kadang kita lebih banyak menyesalinya di kemudian hari. Dan menyesal nyata-nyata bukan solusi untuk apapun.

Semangat untuk next season.. hehe.. 🙂