Bicara soal kebebasan berekspresi, negara ASEAN yang paling mula mendapatkan kesempatan itu adalah Filipina, via pergerakan people power yang berhasil menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos pada tahun 1986.
Yah, saya saja belum lahir itu.
Pada saat yang sama, negara-negara lain yang sibuk terkungkung oleh kebijakan penguasa masing-masing. Sebagian dari negara itu masih memiliki sistem kendali yang ketat sampai sekarang. Ibarat celana ketat, ada beberapa negara yang lama-lama juga longgar sendiri. Ini mungkin celana ketat KW3.
People power di Filipina nyata-nyata tidak hanya sekali berhasil menggulingkan pemimpin. Ya, walaupun pada akhirnya Presidennya berganti-ganti dari anak mantan presiden satu ke anak presiden lainnya, tapi beberapa diantaranya merupakan dampak dari kekuatan masyarakat yang adalah bentuk kebebasan berekspresi.
Sayangnya, sebagai negara yang paling dulu eksis dengan kebebasannya, mulai ada border kembali dalam pergerakan negara Filipina. Kini 10 negara ASEAN–tentunya termasuk Filipina, ada di urutan antara 122 sampai 172 alias sepertiga juru kunci perihal kondisi kebebasan pers. Jangan lupa, pers adalah patokan dalam kebebasan berekspresi.
Mengacu pada pers warga alias jurnalisme warga, maka Filipina punya Republic Act 7079 perihal jurnalisme kampus. Bahkan artikel yang link-nya bisa diklik di kalimat sebelum ini menyebut jurnalisme kampus sebagai rennaisance of philippine journalism. Kata rennaisance sendiri sudah mengacu kepada perbaikan yang megah. Ya meskipun saya lebih tahu rennaisance sebagai salah satu teknik vokal.
Maaaaaa… *ala paduan suara*
Cuma, negara kepulauan tetangga kita itu, dalam berita sebulan yang lalu, justru menjadi negara yang mengerikan bagi pers. Aneh dong ya? Mungkin memang topik perihal bisnis narkoba yang membuat profesi wartawan jadi mengerikan. Tapi kalau profesi wartawan yang dilindungi oleh banyak peraturan saja mengerikan, bagaimana jurnalisme warga?
Bisa-bisa tidak eksis kalau begini. Apalagi kemudian di tahun 2012, Filipina justru mengeluarkan undang-undang yang mengatur soal cybercrime. Komentar bernada fitnah di media sosial bisa kena 1 juta Peso.
Waduh.
Dalam rangka interkoneksi komunitas ASEAN, tentu saja persoalan pers akan memegang peranan penting, termasuk juga jurnalisme warga dalam koridor kebebasan berekspresi. Masalahnya adalah semakin ke sini, justru tampak ada dekadensi di Filipina, yang sebenarnya adalah pencetus people power. Sepertinya eksistensinya mulai berkurang. Semoga tidak dihabisi ya.
Salam eksis!
One thought on “Masihkah People Power Eksis?”