WIB-Sentris Era Zoom Meeting yang Menggemaskan

Beberapa waktu yang lalu, saya dinas ke Ambon. Itu adalah kali pertama saya sejak 2015 berdinas di zona waktu +2. Tahun 2015 itu saya dinas ke Jayapura. Yah, memang nasibnya jarang-jarang ke WIT. Masanya tentu beda banget. Hari-hari ini adalah era Zoom Meeting dan tentu saja dinas ke luar kota tidak menghalangi agenda untuk disuruh Zoom Meeting.

Kala itu bulan puasa, jadi seharusnya kantor selesai jam 15.00 WIT. Saya baru sadar bahwa 15.00 WIT itu adalah 13.00 WIB. Jam favorit orang WIB untuk mengundang rapat. Ah, jangankan itu. Undangan rapat jam 15.00 WIB pun sering, kan? Hal itu berarti rapatnya adalah 17.00 WIT. Itu jamnya orang pulang kantor.

Photo by Anna Shvets on Pexels.com

Nah, kebetulan banget, beberapa hari lalu saya mendapat tugas untuk nge-desk salah satu kantor di WIT. Karena satu dan lain hal terjadi perubahan jadwal yang menggemaskan (karena makin jadi tren di era Zoom, seolah-olah semua orang itu jadwalnya kosong jadi jadwal bisa digeser seenaknya). Walhasil, daripada pening, saya sebagai Ketua Tim memutuskan untuk sesekali orang WIB di kantor pusat mengikuti jadwalnya orang WIT.

Yha, saya mengajukan jadwal desk itu jam ENAM PAGI WAKTU INDONESIA BARAT. Saya belajar dari upacara Hari Lahir Pancasila yang berpusat di Ende (WITA) dan kemudian memaksa para pejabat di Jakarta bisa upacara pukul 06.30 pagi. Dalam skala yang lebih kecil, desk yang saya lakukan dapatlah berupa penyesuaian itu.

Kalau teman-teman yang di WIT itu bisa Zoom Meeting nyaris tiap sore ke malam, masak sih orang-orang WIB yang katanya orang Pusat itu nggak bisa bikin Zoom Meeting mengikuti jadwal kantor di WIT. Ketika saya mulai jam 6, itu di Papua kan sudah jam 8. Sudah jam kantor. Sebuah penyesuaian yang menarik.

Begitulah rapat-rapat Zoom ini dalam satu sisi memudahkan, sih. Banyak orang bisa berkumpul dan bisa merapat dengan cepat. Cuma masalahnya saking mudahnya, jadi bikin keenakan. Dikit-dikit rapat. Rapat-rapat dikit. Teman-teman di daerah itu paling ngerasain, lah, sebab teman-teman di unit vertikal di daerah maupun juga Pemda berhadapan dengan begitu banyak program dari Pusat. Kalau Pusatnya sembrono bikin rapat karena begitu mudahnya langganan Zoom, korbannya ya daerah. Paling gawat adalah kalau lupa atau nggak bisa mengikuti, yang salah bukan yang mengundang, tapi yang nggak mengikuti.

Sejujurnya, saya berpikir harus ada pembatasan. Tidak lagi setiap unit kerja bisa punya 4-5 akun Zoom yang bisa digunakan seenaknya. Harus ada keterbatasan ruang rapat yang kemudian membuat pengaturan pertemuan menjadi realistis bagi yang diundang untuk menghadiri. Zoom 2, 3, atau 4 itu nggak akan ada faedahnya. Serius, deh. Otak ini nggak bisa melakoni lebih dari satu pekerjaan yang sama persis dalam satu waktu.

Saya nggak tahu dan nggak peduli tentang apapun yang akan dipikirkan orang tentang keputusan saya kemarin bikin desk jam 6 pagi yang kemudian bikin repot banyak orang WIB. Mulai dari yang buka Zoom, mengawal room, dan lain-lain. Saya sih lebih fokus pada upaya memberi pengalaman baru sekaligus sesekali menciptakan kondisi terbalik. Nggak harus WIT selalu mengikuti WIB. Sesekali, WIB bisa mengikuti jadwalnya WIT.

Realistisnya sih rapat itu mulai dari 8 WIB (10 WIT) dan bisa diakhiri rentangnya pada 14 WIB (16 WIT). Sebenarnya bisa, kalau yang Pusat itu nggak egois. Wk.

Perjalanan Sentimentil di Bandung

Beberapa hari yang lalu saya dinas ke Bandung. Karena satu dan lain hal, saya naik travel dari TangSel ke Bandung kurang lebih pukul 9 malam. Walhasil, baru sampai ke Bandung ya sekitar pukul 00.00. Saya cukup tenang karena kota tujuannya cukup familar. Jadi ya masih beranilah untuk order ojol ke hotel tempat dinas. Lha wong dulu pernah saking gebleknya saya naik Argo Parahyangan paling malam ke Cimahi, eh ketiduran dan berakhir di Stasiun Bandung sehingga pukul 2 atau 3 pagi harus naik ojol plus taxol ke tempat mertua.

Ndilalah karena saya naik Cititrans, maka tujuan akhirnya adalah Dipati Ukur sehingga dari keluar tol di Pasteur menuju lokasi harus lewat RS Borromeus. Tengah malam lewat di depan RS Borromeus itu sungguh menjadi sesuatu yang sentimentil buat saya.

Saya ingat sekali 5 tahun yang lalu berjalan kaki dari penginapan di sekitar RS Borromeus untuk mengantarkan ASIP ke anak saya yang harus ngekos ekstra di RS karena kuning. Jumlah ASI yang saya antarkan itu nggak banyak. Tipis sekali lah plastiknya. Hanya saja, buat kami, ASI itu sangat berharga. Hari itu posisinya saya sempat pulang ke Jakarta untuk kerja karena cutinya habis dan balik lagi karena weekend.

Saya mengantarkan ASIP itu sekitar pukul 2 pagi. Satu hal yang saya ingat, sesudah mengantarkan ASIP itu, saya terlelap di lobi RS Borromeus selama sekitar 1 jam dalam posisi duduk si sofa. Kuesel biyanget, bos! Hal-hal semacam ini kadang-kadang bikin rindu untuk punya anak lagi. Namun saya mencoba berkaca, apakah jika nanti ada bayi lagi saya akan sekuat itu? Belum lagi ada Isto yang tentu juga harus diperhatikan.

Naik ojol melewati jalanan tempat saya dulu tengah malam mengantarkan ASIP menjadi perjalanan yang cukup sentimentil apalagi ketika melihat bahwa anak bayi yang dianterin ASIP itu sekarang sudah mau ulang tahun yang ke-5, sudah memberikan begitu banyak kegembiraan, terlepas dari begitu banyak amarah saya yang tercurah padanya.