“Wer ewer ewer ewer ewer.. Ewer ewer…”
Suara pria separuh wanita–atau mungkin sebaliknya–itu membangunkanku dari tidur yang tidak enak. Yah, namanya juga kereta bukan eksekutif, mana bisa tidur enak. Lha kalau kereta eksekutif saja telingaku harus disibukkan oleh tawaran berbagai makanan, mulai dari nasi goreng hingga kentang goreng, juga minuman mulai dari es teh manis hingga kopi panas.
Apalagi kereta bisnis?
Mulai dari ratingdeng sampai mijon, dan bahkan hingga pijet, semuanya ada. Memang luar biasa. Tapi sesungguhnya semua itu mengganggu tidurku. Aku tidak bisa tidur dengan nikmat. Dan pagi ini aku dibangunkan oleh duo ewer-ewer.
Hmmm, tak masalah sih. Bagiku ewer-ewer ini justru menjadi pertanda jelas. Yak, ini sudah stasiun Wates. Tak lama lagi, Jogja.
Dan kereta api Senja Utama Jogja itu mendengus perlahan memasuki tempat-tempat yang perlahan makin aku kenal. Sawah di sisi kanan, hingga rumah kos di daerah Wates tempatku tinggal sebentar dulu. Perlahan dan perlahan lagi akhirnya sampai di kota Jogja, hingga aku lihat kewek.
Ini dia, stasiun Tugu.
Terakhir kali di tempat ini, aku diantar oleh seorang gadis, berpisah dengan pelukan manis. Ah, sebuah masa yang tak terkatakan.
Rombongan porter berebut masuk, bersamaan dengan penumpang yang keluar. Mukaku kusut kurang tidur, tapi aku paksakan untuk bangkit dan keluar.
Kaki kananku menjejak marmer putih di stasiun terkenal itu. Kuhirup sedikit dalam udaranya, dan aku mengerti bahwa ini Jogja. Kenangan merasuk ke dalam tubuh dan jiwaku. Inilah dia kota itu, ketika semua kenangan terkumpul jadi satu.
Aku keluar dari sisi Mangkubumi. Jalan cukup jauh ke depan, tentu dengan tawaran dari kiri dan kanan, mulai taksi (gelap), taksi (terang), hingga becak. Aku memilih untuk menolak semuanya, karena aku ingin mengenang.
Kenangan yang harus dipaksa untuk diingat, agar nanti aku segera lupa. Lelah aku untuk mengenang semuanya.
Langkah kakiku yang tertekuk semalaman satu persatu melangkah di sepanjang Mangkubumi. Ah, tempat ini sudah tak sedamai dulu. Jauh, jauh dan jauh lebih ramai dari 11 tahun yang lalu, ketika aku pertama kali menjejak kota ini.
Tubuh lelah ini sampai di sebuah lapak gudeg pinggir jalan.
“Bu, setunggal, ngagem ayam.”
“Nggih Mas.”
Entah ini pemandangan apa, aku tak mengerti. Tapi buatku, gudeg itu yang sebenarnya adalah yang dijual oleh orang dengan level Mbah-Mbah. Kalau tidak, menurutku kurang enak. Ya sama persis ketika aku masuk ke warung berlabel warung Padang tapi dilayani dengan bahasa Jawa. Sensasi enaknya berkurang signifikan.
Gudeg, jalanan ini. Ah! Untung ini masih siang. Kalau saja ini sudah malam, maka kenangan itu akan semakin merajalela di pikiranku. Ya aku jarang beredar pagi-pagi, tapi kalau malam hari, jangan ditanya. Disitulah kenanganku terbentuk, satu persatu.
Perjalananku berlanjut, tubuh gontai ini menapak kembali langkahnya di kota tempat ia terbentuk menjadi manusia.
“Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu…”
Yak! Pengamen yang tiba-tiba ada di sebelahku dengan sukses menyibak tabir yang selama ini aku tutup, membuka kekelaman yang selama ini aku bungkam. Dengan sukses, ehm, sangat sukses bahkan!
* * *
“Sesungguhnya, ku tak rela…”
Tanganku terjulur memberikan sejumlah koin kepada pengamen bersuara indah ini. Tapi bagiku akan lebih indah kalau dia pergi. Aku butuh suasana tenang.
“Kok disuruh pergi?” tanya Raras.
“Nggak apa-apa. Galau lagunya.”
“Yah, kenapa? Ada hubungan dengan suasana?”
“Sedikit.”
“Oke. Jadi apa yang mau dibicarakan?”
Aku menghirup nafas dalam-dalam. Nafas udara malam Jogja yang belum banyak kontaminasi.
“Aku sayang sama kamu, Ras.”
“Hmm, tapi mukamu sendu begitu?”
“Yah justru itu. Aku sayang sama kamu, tapi ternyata aku tidak bisa memiliki kamu sepenuhnya.”
“Masih masalah yang sama?” tanya Raras sambil melempar pandang ke sekeliling.
“Sepertinya masalah diantara kita hanya itu.”
“Dan itu yang terbesar, Jo.”
“Yah begitulah. Aku takut, semakin kita tidak mengindahkan masalah ini, semakin aku bertambah sayang pada kamu, dan semakin aku akan membuat hubungan ini menjadi penderitaan.”
“Maksudmu, Jo?”
“Yah, kalaulah kita menikmati kebersamaan kita, di saat sebenarnya kita tidak bisa bersatu. Pada akhirnya kita akan berpisah kan? Kalau itu terjadi nanti, ehm, akan sangat jauh lebih susah untuk melepaskanmu Ras.”
“Hmmmm, satu tembok ya Jo. Tapi memang terlalu tinggi.”
“Ini berat, Ras. Tapi akan jauh lebih baik buatmu. Memang sebaiknya kita berpisah.”
Raras terdiam, pandangnya masih di tempat yang sama. Nasi goreng sapi yang biasanya lahap disantapnya, kali ini terdiam manis dan malah digapai lalat.
“Mungkin memang begitu Jo. Setidaknya kita masih bisa menjadi teman yang baik.”
“Itu pasti, Ras. Kamu pasti akan jadi teman terbaikku.”
“Cinta itu ya begini kali Jo. Menggelitik. Bikin aku jatuh cinta pada kamu, tapi dengan pandainya membuat kita tidak bisa saling memiliki.”
“Mungkin iya, Ras. Sukanya main-main.”
“Atau mungkin kita yang mempermainkannya, Jo?”
Giliran aku yang terdiam. Bahwa tembok ini sudah aku tahu dari awal, dan tetap aku anggap tiada. Hingga kemudian aku sadar bahwa tembok ini ada dan nyata, tertulis jelas di KTP bahkan.
“Yah, mari kita lanjutkan hidup kita Ras. Pasti ke depan akan lebih baik.”
Aku menutup perpisahan di malam itu dengan mengalihkan pandangan ke nasi goreng sapi di depanku. Kutolehkan kepalaku sekejap, sebuah senyum manis Raras terkembang disana. Ah, senyum itu, masih sama dengan senyum yang membuatku jatuh hati padanya.
* * *
Langkahku masih sendirian saja, tidak akan yang menemani. Sebuah pertemuan, dan permainan yang aku ciptakan sendiri, lantas diakhiri dengan perpisahan yang juga aku buat sendiri. Semuanya terkuak di depan mata.
Dasar pengamen di sebelah ini tahu saja.
“… katamu hadirkan senyummu abadi..”
Raras, senyummu pasti abadi dalam hidupku. Selamanya.
* * *
Sebuah interpretasi dari lagu Jogjakarta-nya KLA Project.