Senyum Abadi

“Wer ewer ewer ewer ewer.. Ewer ewer…”

Suara pria separuh wanita–atau mungkin sebaliknya–itu membangunkanku dari tidur yang tidak enak. Yah, namanya juga kereta bukan eksekutif, mana bisa tidur enak. Lha kalau kereta eksekutif saja telingaku harus disibukkan oleh tawaran berbagai makanan, mulai dari nasi goreng hingga kentang goreng, juga minuman mulai dari es teh manis hingga kopi panas.

Apalagi kereta bisnis?

Mulai dari ratingdeng sampai mijon, dan bahkan hingga pijet, semuanya ada. Memang luar biasa. Tapi sesungguhnya semua itu mengganggu tidurku. Aku tidak bisa tidur dengan nikmat. Dan pagi ini aku dibangunkan oleh duo ewer-ewer.

Hmmm, tak masalah sih. Bagiku ewer-ewer ini justru menjadi pertanda jelas. Yak, ini sudah stasiun Wates. Tak lama lagi, Jogja.

Dan kereta api Senja Utama Jogja itu mendengus perlahan memasuki tempat-tempat yang perlahan makin aku kenal. Sawah di sisi kanan, hingga rumah kos di daerah Wates tempatku tinggal sebentar dulu. Perlahan dan perlahan lagi akhirnya sampai di kota Jogja, hingga aku lihat kewek.

Ini dia, stasiun Tugu.

Terakhir kali di tempat ini, aku diantar oleh seorang gadis, berpisah dengan pelukan manis. Ah, sebuah masa yang tak terkatakan.

Rombongan porter berebut masuk, bersamaan dengan penumpang yang keluar. Mukaku kusut kurang tidur, tapi aku paksakan untuk bangkit dan keluar.

Kaki kananku menjejak marmer putih di stasiun terkenal itu. Kuhirup sedikit dalam udaranya, dan aku mengerti bahwa ini Jogja. Kenangan merasuk ke dalam tubuh dan jiwaku. Inilah dia kota itu, ketika semua kenangan terkumpul jadi satu.

Aku keluar dari sisi Mangkubumi. Jalan cukup jauh ke depan, tentu dengan tawaran dari kiri dan kanan, mulai taksi (gelap), taksi (terang), hingga becak. Aku memilih untuk menolak semuanya, karena aku ingin mengenang.

Kenangan yang harus dipaksa untuk diingat, agar nanti aku segera lupa. Lelah aku untuk mengenang semuanya.

Langkah kakiku yang tertekuk semalaman satu persatu melangkah di sepanjang Mangkubumi. Ah, tempat ini sudah tak sedamai dulu. Jauh, jauh dan jauh lebih ramai dari 11 tahun yang lalu, ketika aku pertama kali menjejak kota ini.

Tubuh lelah ini sampai di sebuah lapak gudeg pinggir jalan.

“Bu, setunggal, ngagem ayam.”

“Nggih Mas.”

Entah ini pemandangan apa, aku tak mengerti. Tapi buatku, gudeg itu yang sebenarnya adalah yang dijual oleh orang dengan level Mbah-Mbah. Kalau tidak, menurutku kurang enak. Ya sama persis ketika aku masuk ke warung berlabel warung Padang tapi dilayani dengan bahasa Jawa. Sensasi enaknya berkurang signifikan.

Gudeg, jalanan ini. Ah! Untung ini masih siang. Kalau saja ini sudah malam, maka kenangan itu akan semakin merajalela di pikiranku. Ya aku jarang beredar pagi-pagi, tapi kalau malam hari, jangan ditanya. Disitulah kenanganku terbentuk, satu persatu.

Perjalananku berlanjut, tubuh gontai ini menapak kembali langkahnya di kota tempat ia terbentuk menjadi manusia.

“Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu…”

Yak! Pengamen yang tiba-tiba ada di sebelahku dengan sukses menyibak tabir yang selama ini aku tutup, membuka kekelaman yang selama ini aku bungkam. Dengan sukses, ehm, sangat sukses bahkan!

* * *

“Sesungguhnya, ku tak rela…”

Tanganku terjulur memberikan sejumlah koin kepada pengamen bersuara indah ini. Tapi bagiku akan lebih indah kalau dia pergi. Aku butuh suasana tenang.

“Kok disuruh pergi?” tanya Raras.

“Nggak apa-apa. Galau lagunya.”

“Yah, kenapa? Ada hubungan dengan suasana?”

“Sedikit.”

“Oke. Jadi apa yang mau dibicarakan?”

Aku menghirup nafas dalam-dalam. Nafas udara malam Jogja yang belum banyak kontaminasi.

“Aku sayang sama kamu, Ras.”

“Hmm, tapi mukamu sendu begitu?”

“Yah justru itu. Aku sayang sama kamu, tapi ternyata aku tidak bisa memiliki kamu sepenuhnya.”

“Masih masalah yang sama?” tanya Raras sambil melempar pandang ke sekeliling.

“Sepertinya masalah diantara kita hanya itu.”

“Dan itu yang terbesar, Jo.”

“Yah begitulah. Aku takut, semakin kita tidak mengindahkan masalah ini, semakin aku bertambah sayang pada kamu, dan semakin aku akan membuat hubungan ini menjadi penderitaan.”

“Maksudmu, Jo?”

“Yah, kalaulah kita menikmati kebersamaan kita, di saat sebenarnya kita tidak bisa bersatu. Pada akhirnya kita akan berpisah kan? Kalau itu terjadi nanti, ehm, akan sangat jauh lebih susah untuk melepaskanmu Ras.”

“Hmmmm, satu tembok ya Jo. Tapi memang terlalu tinggi.”

“Ini berat, Ras. Tapi akan jauh lebih baik buatmu. Memang sebaiknya kita berpisah.”

Raras terdiam, pandangnya masih di tempat yang sama. Nasi goreng sapi yang biasanya lahap disantapnya, kali ini terdiam manis dan malah digapai lalat.

“Mungkin memang begitu Jo. Setidaknya kita masih bisa menjadi teman yang baik.”

“Itu pasti, Ras. Kamu pasti akan jadi teman terbaikku.”

“Cinta itu ya begini kali Jo. Menggelitik. Bikin aku jatuh cinta pada kamu, tapi dengan pandainya membuat kita tidak bisa saling memiliki.”

“Mungkin iya, Ras. Sukanya main-main.”

“Atau mungkin kita yang mempermainkannya, Jo?”

Giliran aku yang terdiam. Bahwa tembok ini sudah aku tahu dari awal, dan tetap aku anggap tiada. Hingga kemudian aku sadar bahwa tembok ini ada dan nyata, tertulis jelas di KTP bahkan.

“Yah, mari kita lanjutkan hidup kita Ras. Pasti ke depan akan lebih baik.”

Aku menutup perpisahan di malam itu dengan mengalihkan pandangan ke nasi goreng sapi di depanku. Kutolehkan kepalaku sekejap, sebuah senyum manis Raras terkembang disana. Ah, senyum itu, masih sama dengan senyum yang membuatku jatuh hati padanya.

* * *

Langkahku masih sendirian saja, tidak akan yang menemani. Sebuah pertemuan, dan permainan yang aku ciptakan sendiri, lantas diakhiri dengan perpisahan yang juga aku buat sendiri. Semuanya terkuak di depan mata.

Dasar pengamen di sebelah ini tahu saja.

“… katamu hadirkan senyummu abadi..”

Raras, senyummu pasti abadi dalam hidupku. Selamanya.

* * *

Sebuah interpretasi dari lagu Jogjakarta-nya KLA Project.

Advertisement

Cowok Capricorn dan Cewek Virgo

pablo (2)

Yah, namanya program memuaskan orang tua, yang selalu bertanya calon menantu. Bukan kabarnya, tapi ada atau nggak. Hedeh dot com.

Ini sih buat suka-suka saja. Dikutip dari sini.

Capri dan Virgo punya hubungan yang baik dengan banyak berbagi dan memuji diantara mereka. Pasangan ini santai dan stabil. Keduanya menaruh perhatian pada akar hubungan yang kuat. Cowok Capri sangat ambisius dan keras kepala, dalam hal meraih mimpinya. Ia adalah pekerja keras dengan tekad keras dan kesabaran tinggi. Hal itu sangat penting bagi cowok Capri dalam rangka menggapai level lebih tinggi secara sosial dan finansial. Ia sering menaruh perhatian pada apa yang dipikirkan orang tentang dia. Cowok Capri juga sangat protektif pada orang-orang tersayang dan tentunya loyal. Gadisnya cowok Capri akan mendapatkan semua cinta dan perhatian jika ia mendedikasikan diri untuk si cowok dan keluarganya.

Cewek Virgo itu feminin dan intelek. Pada semua aspek, dia butuh struktur yang jelas dan efisiensi. Cewek Virgo adalah ibu dan istri yang baik. Jika ia mencintai pria, maka itu dilakukan dengan loyal dan memberikan cinta sepenuhnya.

Cowok Capri meyakini bahwa cewek Virgo dapat masuk ke keluarganya degan baik.  Cewek Virgo akan membantu sekali dengan support dan nasehat-nasehatnya.  Cowok Capri sangat stabil dan membuat cewek Virgo nyaman dengan hubungan yang ada. Ia adalah penantang dunia yang akan membuat gadisnya bangga. Cowok Capri sangat kritis pada diri sendiri dan disiplin kalau tahu dia salah, dan ini butuh apresiasi dan feedback. Inilah yang didapatkan dari cewek Virgo. Mereka punya pemenuha yang sama untuk cinta. Ya kadang-kadang muncul sikap egois, tapi selalu dimaafkan. *baik bener yak…*

Terdapat pengertian yang tidak terucapkan antara keduanya sejak awal. Kejujuran Virgo membawa Capri masuk ke dalam harmoni yang asyik. Dengan kesamaan itu, Capri melindungi gadisnya dengan emosional mendalam. Cintanya tanpa harapan tinggi.

They don’t love to be loved; they love to love.

* * *

Yah ini cuma mengutip. Sambil ngiler. Hedeh.

#300

Buat saya ini gila.

Yah, ketika blog ini dimulai dengan memakai domain jadul kreasi 2008, siapa yang mengira jalannya akan semacam ini. Dan yang bikin agak unik, blog ini dimulai beberapa waktu sesudah ada tawaran menarik untuk karier, dan angka 300 juga tercapai tidak jauh dari hal yang sama.

Apa saya begini-begini saja?

Entahlah.

Ya, buat saya 300 itu angka yang besar untuk dicapai dalam waktu 1,5 tahun saja. Ehm, ada bulan-bulan ketika saya bisa menulis hingga 40 post, tapi untunglah sejak Januari 2011 itu, saya belum pernah putus menulis sebulan. Setidaknya kontinuitasnya bisa dilihat di sisi kanan blog ini.

Jadi apa makna 300 ini?

Nggak lebih dari karya. Saya punya 300 post yang total jenderal dilihat 35 ribuan kali. Masak yang begitu nggak disyukuri?

Jadi, terima kasih kepada SELURUH pembaca ‘Sebuah Perspektif Sederhana’. Meski perlahan isinya tidak lagi sederhana, setidaknya masih ada yang meluangkan waktu membaca tulisan-tulisan saya.

Semoga saya bisa lanjut ke 400, 500, 1000, dan angka-angka milestones lainnya. SEMOGA!

Sebuah Percakapan

Aku datang, sendiri, ke tempat yang sangat aku rindukan ini. Sebuah tempat di ketinggian, dengan suasana sunyi senyap nyaris horror. Tapi meski ada dua pohon beringin disini, aku tidak merasa ketakutan. Sosok tersenyum yang menjulang di depanku membuatku tidak merasa takut sama sekali.

“Mengapa kau datang anakku?”

“Sekadar ingin bertanya.”

“Tanyakanlah.”

“Aku mensyukuri yang aku dapat sepenuhnya, terima kasih sepenuh hidupku untuk itu. Tapi ada sedikit yang aku heran.”

“Apakah itu?”

“Aku memohon untuk satu hal, namun yang datang kepadaku justru hal lainnya. Apakah maksud dari itu?”

Sosok itu tersenyum penuh ketenangan. Damai yang tidak pernah aku rasakan. Ah, mana ada damai di dunia yang semakin keras? Mana ada damai ketika semua sibuk mengetengahkan ego sendiri dengan dalil kepentingan bersama? Mana ada damai ketika semua sibuk membenarkan diri sendiri? Mana ada damai ketika setiap masukan yang diberikan dianggap sebagai aib?

Hanya senyum itulah yang menenangkan.

“Kamu bermasalah dengan yang datang itu?”

“Tentu tidak.”

“Kamu bersyukur?”

“Dengan sepenuh hidup.”

“Kenapa kamu masih bertanya?”

Aku terdiam. Sebuah pukulan balik untukku.

“Kamu berdoa sepanjang waktu untuk sebuah permohonan. Aku meyakini itu bukanlah yang terbaik untukmu.”

“Artinya aku mendapat yang lain, yang sejatinya lebih baik?”

“Aku hanya memberikan yang terbaik untukmu.”

“Terima kasih untuk itu.”

“Pulanglah. Nikmatilah berkatmu.”

Aku menunduk sedikit, lalu mundur. Kedamaian ini memang hanya berlangsung sebentar. Sedikit lagi aku akan menikmati lagi dunia tanpa damai. Ah, itu kan nanti.

Anak tangga yang kecil-kecil itu kupijak dengan santai. Setiap pijakan mengingatkanku pada percakapan tadi. Aku memohon dengan sangat untuk suatu hal, namun aku justru diberikan hal yang lain. Sebuah hal yang pada akhirnya menjadi nyata bahwa itulah yang terbaik untukku. Jadi untuk apa aku mempertanyakan?

Bahwa jalan terbaik untuk hidup adalah bersyukur. Aku perlahan mencoba memahami itu lewat anak tangga yang membawaku pada dunia yang sebenarnya.

Sore Hari Di Tepi Sungai Itu

Cuaca yang khas di sungai ini, sebuah kondisi yang sinonim dengan kerinduan. Dahulu aku sering berlama-lama di tepi sungai ini. Okelah aku tidak bisa berenang, tapi memandang air mengalir, pun kapal-kapal yang berjalan silih berganti di atasnya, adalah suasana yang dirindukan.

“Ngeliat apa?”

Suara manismu mengusik sore penuh memori. Yah, di tempat ini, aku dan kamu, duduk memandang air bergerak di depan sana.

“Nggak. Nggak ngeliat apa-apa kok.”

“Nggak baik ngelamun. Kesambit ntar.”

“Loh, aku kan sudah kesambit hatimu.”

“Gubrak!”

“Kenapa?”

“Dasar gombal.”

Kita tertawa lepas, dan segera ditelan oleh angin sore yang bertiup dengan riang. Tangan mungilmu, lengkap dengan jam tangan anak-anak yang membalut lenganmu, menggantung manis di sisi kananku. Kutautkan saja tangan nganggur itu dengan tanganku yang juga tanpa pegangan.

“Hayo, pegang-pegang.”

“Nggak boleh?”

“Nggak.”

“Lha kok nggak dilepas?”

“Lha kan kamu yang megang.”

“Trus?”

“Hmmmmm…”

“Hahahaha…,” tawaku kembali lepas. Berdua denganmu selalu menjadi saat yang menyenangkan.

“Eh, kamu tahu nggak?”

“Tahu apaan?” Wajahmu beralih menatap wajahku, meninggalkan pemandangan sungai di sore hari ini.

“Tahu nggak, kalau cinta itu misteri?”

“Maksudmu?”

“Yah, kayak kita sekarang ini. Bisa duduk disini, berdua, gandengan. Siapa yang ngira bisa begini?”

“Ehm, ya mungkin memang begitu.”

“Setidaknya aku punya pemikiran baru.”

“Apakah?”

“Ya itu, dalam hidup yang begini ini, kita nggak perlu melawan kehendak Tuhan. Dulu aku pikir, apa yang aku rencanakan itu sesuai, tapi nyatanya Tuhan punya cara lain.”

“Maksudmu?”

“Ya, kalaulah aku tidak meninggalkan tempat ini dulu, maka mungkin jalanku nggak begini. Jadi memang aku waktu itu harus pergi, dan sekarang pada akhirnya disuruh kembali.”

“Yah. Jadi jalani saja. Bener kan?”

“Yup. Jalani saja sambil berdoa agar cintamu tetap untukku. Haha.”

“Apa coba?”

“Nggak apa-apa, sayang.”

“Cinta itu tetap kok. Tenang saja. Aku nggak akan nambah cinta untukmu.”

“Kok gitu?”

“Cinta itu harus pas. Kalau kamu dapat cinta berlebih, kamu bakal bagi-bagi ke orang lain. Kalau kamu dapat kurang, ehm, kamu nyari yang lain ntar. Iya kan?”

“Hmmm.. Iya juga. Pinter kamu ya?”

“Biasa aja ah. Lebay.”

Senyumku dan senyummu menghantarkan sore hari terindah sepanjang aku berdiri di tepi sungai ini. Keindahan ketika cinta dua hati menyatu dalam kesepahaman akan misteri Ilahi. Keindahan yang sederhana.

“Say?”

“Iya, kenapa?”

“Aku sayang kamu.”

Kamu tersenyum, menyandarkan kepalamu di bahuku. Ah, benar juga, indah itu sederhana, pun bahagia. Di sore hari, di tepi sungai itu, aku memeluk keindahan dengan bahagia.

🙂

 

Aku Cinta Kamu

Mengapa cinta itu membingungkan?
Ihwal mengapa cinta itu membingungkan saja sudah membuatku bingung.

Mengapa cinta itu abstrak?
Karena, bahkan jarak sekalipun ternyata tidak mampu mengalahkannya.

Mengapa cinta itu unik?
Ehm, cinta katamu harus pas, tidak kurang tidak lebih.
Kalau kurang, pasti akan mencari ke tempat lain.
Kalau lebih, akan membaginya dengan yang lain.

Mengapa pula cinta itu membuatmu memilihku,
membuatku memilihmu?

Aku yakin ini bukan perkara
merobek kertas
membalik telapak tangan
mengangkat gelas
menggerakkan gunting.

Ini perkara hati
Ketika pada akhirnya aku menatap hatimu
sebagai peraduan.

Ah, itu tadi hanya panjang lebar belaka.

Simpelnya?

Aku cinta kamu.

Tidakkah tiada yang lebih sederhana daripada itu?

Menghormati Prinsip

Kemarin, Sabtu, dapat telepon dari Bapak saya yang awesome 🙂 Selain pertanyaan mendasar seperti sehat dan lagi ngapain, tentunya ada pertanyaan soal pasangan hidup. Yah, namanya kemarin itu lagi nyari, masih aja ditanyain. Hedeh. Tapi satu yang pasti, Bapak menekankan, SEIMAN kan?

Itu satu.

Nah barusan ini telepon lagi sama Mamak saya yang tak kalah awesome. Rada hebat ya saya punya dua orang tua yang sangat-sangat awesome, hebat, dan terkadang gila. Gila-gila nekat malah. Mamak sih nggak nanya soal ada atau belum. Ya, tampaknya sudah tahu perasaan saya yang ogah ditanyai begituan. Tapi intinya, Mamak menekankan lagi, harus SEIMAN dan Mamak maunya UMURNYA di bawah saya (lebih muda).

Well, meski saya termasuk ngeyelan, tapi untungnya dalam hal ini orang tua saya berhasil membuat saya tidak membantah mereka. Saya menerima syarat mereka dengan tanpa protes. Yak, SEIMAN dan LEBIH MUDA. Nggak banyak syarat lain. Mungkin karena Bapak dan Mamak berasal dari dua suku yang berbeda, mereka nggak mempermasalahkan suku mana. Toh, kalau dari suku selain Batak dan Jawa, maka keluarga saya akan menjadi sangat meng-Indonesia. Iya kan?

Yang saya heran, adalah orang lain di luar saya dan keluarga. Pertama, kalau saya single, apa coba urusannya? Okelah, even saya pun kadang menjodoh-jodohkan, tapi saya selalu berusaha melihat respon. Kalau yang dijodoh-jodohkan nggak suka, ngapain diterusin? Bikin orang sakit hati, nambah dosa malah. Huhuhu…

Dan kedua, ketika DENGAN TERPAKSA saya berkoar tentang dua kriteria utama tadi, masih ada saja yang MEREMEHKAN.

“Halah, nanti kan juga bisa berubah kriteriamu.”

“Nanti kan juga bisa diajak.”

Sungguh ya, saya nggak habis pikir soal ini. Soal Agama, saya angkat jempol dengan orang-orang yang mampu memfasilitasi perbedaan mendasar itu. Bos DP misalnya, dengan sip menceritakan itu di berbagai posting blognya. Masalahnya, secara psikis saya nggak bisa. Jadi mosok ya kudu dipaksakan? Soal ajak mengajak juga, wah, secara psikis saya nggak bisa. Itu aja masalahnya.

Lalu soal ketidakmauan saya menjadi brondong, itu juga mendasar kan? Salut deh buat yang bisa memfasilitasi perbedaan usia itu, tapi lagi-lagi, saya pribadi nggak bisa. Lha kalau saya nggak bisa, masak mau dipaksa?

Setiap orang kan punya levelnya sendiri-sendiri.

Ini mungkin yang bikin saya bergerak perlahan, secara ya, di dunia kerja sekarang yang saya temui hanya kayu manis dan cacing tanah. Hahahahaha..

Satu hal, dialog, gojeg, dan sejenisnya itu sangat diperkenankan, TAPI kalau sudah menyinggung soal prinsip, buat saya pribadi, ini bukan hal yang layak untuk diperbincangkan. Saya hormati prinsip situ, jadi kita sama-sama menghormatilah. Nggak susah sebenarnya, kalau sama-sama mau.

Ehm, terlepas dari itu, saya bangga pada ORANG TUA SAYA yang LUAR BIASA! 🙂

Yang Puasa Dua, Yang Buka Banyak

Oke, dalam ranah pergaulan Dolaners memang tidak mengenal perbedaan. Ehm, kalaupun perbedaan dikenali, itu adalah sebagai bahan ejekan. Halah. Ya, tapi memang itu yang terjadi. Selain itu, perbedaan juga dimaknai sebagai sumber oleh-oleh. Jadi ada kalanya, aku datang dari Bukittinggi membawa kaos gambar jam gadang, ditukar dengan kaos Toraja-nya Lani. Ada juga sandal Kalimantan-an Rani yang dibagi-bagi dan kemudian raib karena di kosku ternyata ada 4 sandal yang sama. Haduh.

Dan soal perbedaan agama, nggak signifikan juga. Waktu ke Ngobaran, aku dengan tenang bertapa di dekat sumur menunggu Ano selesai jumat-an. Semoga aku masih dilihat sebagai manusia, meski memang secara tampak agak sulit membedakan antara aku dan makhluk jadi-jadian.

Dan satu yang paling menyenangkan dari perbedaan ini adalah ketika bulan puasa, waktu Ano dan Chica berpuasa. Yak! Keduanya akan berada di lingkungan setan. Sungguh pahala mereka tinggi, karena selalu dirayu dan digoda. Bahwa setan-setan ini dosanya bertambah, anggap saja itu amal.

Bener? Bercanda ah!

Buka puasa bersama adalah agenda rutin bin wajib Dolaners. Dan berhubung Ano adalah perantauan agak riskan melakukan ritual buka puasa bersama di rumahnya, paling-paling ya beli kolak di pinggir jalan juga dia. Maka, Dolaners beralih ke rumah Chica, yang ada di bawah naungan orang tua yang baik hati. Plus, rumahnya nggak jauh-jauh benar dari sekitar kampus.

“Kapan ki buka puasa bersama?” tanya Chiko, ehm, masih si playboy kandas.

“Puasa ora, melu buka thok,” racau Roman.

“Halah, kowe yo ngono,” sergah Bona.

Dan obrolan macam ini nggak akan selesai kalau hanya di kalangan cowok-cowok. Maklumlah, meski tampan-tampan dan tampak pintar, tapi sejatinya isi otak kaum ini diragukan kebenarannya.

“Keburu lebaran lho,” ujar Aya. Nah, kalau kaum cewek Dolaners sudah berkata, baru deh agak lurus suasana.

Obrolan nggak jelas itu kemudian berakhir pada nggak bisa. Yah, memang, kesibukan sebagai mahasiswa dan (beberapa) sebagai pacar bukan hal yang mudah ditinggalkan. Para Dolaners sudah di semester 7, nggak semudah waktu membuat acara seperti ini di semester 3 atau 5. Ada yang kudu skripsi, ada yang kudu asisten, ada yang kudu latihan paduan suara, ada yang kudu ngopeni pacar.

Halah.

“Ayo cah. Kapan ke rumah?” tanya Chica, sesudah lebaran. Ketika para intelektual muda nan gamang ini berkumpul di tempat yang selalu sama, Pok-We.

“Lho, masih berlaku ki?” tanyaku.

“Yo orapopolah.”

“Mari direncanakan saudara-saudara,” ujar Chiko lantang. Hemmm, tampaknya lelaki ini sudah kelaparan. Hidangan-hidangan khas lebaran di rumah Chica tampak menarik untuk dikelola dalam perut.

Dan akhirnya event bertajuk Buka Puasa Bersama itu dihelat sesudah bulan puasanya lewat. Ehm, jadilah ini namanya makan-makan di rumah Chica sebagai pengganti buka puasa bersama. Ya, tampak lebih manis ya?

Maka di suatu sore yang gundah, karena cacing-cacing di perut mulai berteriak. Berangkatlah satu per satu ke rumah Chica.

Aku beranjak dari kos dengan Bang Revo, yang masih mulus, sambil kelelahan. Aku baru saja putar-putar Jogja mencari responden yang sakit kepala. Tampaknya tiada skripsi paling pusing daripada mencari orang pusing hingga pusing sendiri. Ah, kenapa ada topik itu sih?

Beberapa missed call sudah masuk, tandanya anak-anak Dolaners sudah berkumpul manis di rumah Chica. Perjalanan ke rumah Chica nggak jauh, hanya karena melewati persawahan jadi harus berjuang melawan ternak-ternak yang beterbangan di jalanan dan mengincar bola mata siapapun yang melintas.

Di kompleks perumahan dosen, di utara Jogja, aku membelokkan Bang Revo. Pada sebuah rumah yang banyak terparkir sepeda motor di depannya aku berhenti. Ada Grand AD AV, ada beberapa Supra Fit, beberapa sepeda motor yang aku kenal. Dan, eh, kok ada Satria F disini?

Yak, tampaknya ada Dolaners yang baru beli motor.

Aku, yang sudah telat, memasuki arena yang masih kosong dari makanan.

“Motore sopo kuwi?” tanyaku.

“Chiko kuwi,” ujar Prima, masih dengan tampangnya yang penuh kebajikan.

“Wooo.. Ngeriii.. Sugih.. Nyembah aku,” ujarku. Kemarin-kemarin memang Bang Revo jadi yang termulus di kalangan Dolaners, sekarang ada gantinya.

Makanan mulai datang silih berganti. Mama Chica mensuplai dengan lancar dari dapur. Kami duduk ngemper di garasi sambil menikmati hidup. Ah, ini sudah semester 7, mungkin ini terakhir kali bisa begini. Iya kan?

“Eh, Yama. Kowe nek noleh biasa wae loh,” kata Bona sambil menunjuk Yama yang lagi kesulitan menoleh alias tengeng.

“Asem.”

“Wo, ngapuro kowe Bon. Keno azab meneh ngko,” ujar Chiko. Yak, menurut catatan medis, atlet bernama Bona ini pernah mengalami dengkul mlingse tidak lama sesudah ngece Yama. Sejak itulah, kami menganggap bahwa menghina Yama itu ada azab. Tapi, mulut mana yang tidak hendak tertawa melihat Yama yang tegang leher itu susah payah hendak menengok ke belakang?

Inilah godaan duniawi.

“Eh, eh. Iki sik wis jadian urung do ngaku.” Prima membuka topik baru.

“Lha sopo? Kowe karo sopo Prim?” tanya Chiko.

“Asem lah. Yo dudu aku. Kowe kuwi.”

Beberapa mata mulai melihatku dan Chiko bergantian. Eh, eh, ini bukan bermakna aku dan Chiko yang jadian ya. Bagaimanapun aku masih normal, demikian pula playboy kandas yang satu itu.

“Ayo, konferensi pers nek ngene,” tukas Bayu.

Huh, ini bocah, mentang-mentang pendekatannya belum final, bisa teriak-teriak ya. Nantikan pembalasanku.

“Yo kowe sik Ko.”

“Kowe no.”

“Kowe wae lah.”

Dan,seperti biasa, meski sudah semester 7, kami masih saja tetap tidak cetho.

“Yowis. Tak dhisikan. Ya, seperti yang sudah diketahui. Aku wis jadian. September kemarin,” beber Chiko.

“Karo sopo Ko?” sergah Prima. Ah, bapak yang satu ini walaupun muka bajik, kepo juga.

“Cintia.”

Senyam senyum nggak jelas dari pemirsa konferensi pers ini memang menandakan bahwa mereka puas dengan wahana pengakuan ini. Jadi begini, kegagalan demi kegagalan cinta yang silih berganti kami alami membuat dalam hati ada tendensi untuk menyembunyikan kisah pendekatan sebelum kemudian launching ke muka publik. Jadi bukan koar-koar masa muda ketika bilang kalau sudah pedekate, tahu-tahu nggak jadi.

Dan ternyata itu bukan pikiranku saja. Chiko itu tanpa ada tanda-tanda, tahu-tahu sudah ujug-ujug pacaran. Dan aku…

“Kowe saiki,” suruh Chiko.

“Hedeh. Yo. Aku ya udah jadian. Baru sih, beberapa minggu.”

“Karo sopo?” Bapak bajik nan kepo kembali bertanya. Kali ini ditimpali yang lainnya.

“Yesi.”

Sorak sorai khalayak membahana, bukan apa-apa, karena Yesi sebelumnya ada kisah dengan Roman. Sehingga ini sedikit-sedikit ada hawa telikung teman. Padahal kan aku ya nggak ngerti kalau Yesi pernah dekat dengan Roman. Yah, anggap saja itu kebetulan. Kebetulan dapat. Halah.

Makanan berangsur luput oleh mulut besar orang-orang yang ada disini. Kegembiraan dalam balutan tajuk buka puasa bersama ini tidak dapt ditukar oleh apapun. Entah kapan lagi ada momen seperti ini.

Yang puasa dua, yang buka banyak. Yang dikenang? Bahkan aku tidak mampu menghitungnya.

Review Film: Soegija

Saya mendengar akan ada film Soegija sudah lama, sejak jaman penggalangan dana. Jujur saya awalnya meragukan Puskat dapat membuat film yang selevel dengan rumah produksi ternama yang biasa bikin film besar. Tapi fakta bahwa ini adalah film beraroma Katolik pertama yang tayang di 21 (yang saya tahu lho), membuat saya merasa harus nonton film ini, di hari pertama.

Kalau di The Avengers saya nonton pertama bener di Cikarang karena cuti, kali ini saya nonton penayangan ketiga dari empat slot. Meski di web Soegija dibilang tidak ada Cikarang, tapi karena saya cek di Cineplex ternyata ada, langsung deh lima kurang seperempat melajukan si BG ke Mall Lippo, nonton Soegija.

Oke baik, kita mulai review sekilasnya.

sumber: article.wn.com

Kisah ini berlatar masa perjuangan, mulai dari Belanda, Jepang, lanjut Sekutu, dan berakhir di masa sekitar KMB di akhir 1940-an. Jadi periodenya 40-an bener. Hmmm, setting awalnya bagus, memperlihatkan Romo naik sepeda unta. Ehm, Romo masa kini, maaf kata, ada yang minta ganti mobil ketika pindah paroki 😦

Kisah bergulir dengan sulit karena tampaknya film ini ingin menonjolkan beberapa kisah sekaligus dengan hubungan yang sekilas. Keluarga Ling-Ling membuat soto, dibawa oleh Mariyem-Maryono ke Romo Kanjeng. Lalu ada pula Robert dan Hendrick di tengah perjalanan itu. Ada lagi Nobozuki. Kisah ini kemudian diselingi oleh munculnya Koster Toegimin bersama Romo Kanjeng. Lalu ada pula Pak Besut. Dan kemudian, dua sosok paling menarik yakni si bocah kuncung dan si tukang gelut. Sebut saja begitu, saya nggak tahu namanya.

Kisah-kisahnya dimulai dan bermuara pada catatan Romo Kanjeng di sebuah halaman, dan rentang kisahnya 2-3 tahun. Hmmm, beberapa baris kata mengantar penonton pada parsial-parsial kemanusiaan yang berbeda, namun muaranya jelas.

Yak, Romo Kanjeng ada di tengah kisah-kisah itu. Romo Kanjeng tidak bertemu dengan Robert dan Hendrick memang, tapi ia selalu ada ketika plot sedang menaikkan Mariyem. Romo Kanjeng juga muncul dengan dialog segar bersama Koster Toegimin. Ia juga muncul dengan Ling-Ling. OOT sedikit, Ling-Ling ini sungguh cacat alias calon cantik. Hehehe..

Yak, pada intinya memang perang itu tidak berguna. Even kemerdekaan pun tidak serta merta berguna karena ternyata kemudian banyak penjarahan. Si bocah tukang gelut mempertanyakan itu. Buat apa merdeka kalau sapi dicuri, ngapain? Sebuah pertanyaan besar hingga masa kini.

Tokoh-tokoh semacam Mariyem-Maryono, Nobozuki, Suwito, Robert dan Hendrick, muncul selang seling hingga terkadang memusingkan. Tapi intinya memang satu, sejatinya perang ini memang tiada gunanya. “Aku juga benci dengan perang ini,” begitu kira-kira kata Hendrick.

Penonton harus memadukan masing-masing kisah, tapi itu dibantu kehadiran Romo Kanjeng dalam slot tertentu yang kemudian membuat itu menjadi kesimpulan. Itu sisi positif film ini.

Dan sungguhpun namanya saja saya nggak ngerti, tapi si kuncung dan si tukang gelut sungguh memberi makna dari film ini. Ketika si kuncung yang dibilang sama Marwoto “anak setan”, dan ikut-ikutan melempari Hendrick di Hotel, hingga pada kenyataan bahwa ia bisa membacaa adalah kesegaran dalam alur yang kadang berat.

Termasuk si tukang gelut. Lakunya kadang membuat emosi, termasuk ketika (sepertinya) membunuh Nobozuki yang sedang bernyanyi dan (sepertinya) juga membunuh Robert yang sedang membacakan surat ibunya, tapi ia adalah warna berbeda. Termasuk kata-kata, “aku saiki iso moco: merdeka!”

Tentunya warna jelas adalah Butet yang tetap segar dalam guyon. Mulai dari bilang Romo Kanjeng hampir mirip Bajak Laut hingga saat curhat jomblo pada Romo Kanjeng.

Overall memang butuh mikir, tapi kesimpulannya jelas, sepenuhnya kemanusiaan. Angkat jempol untuk Garin Nugroho atas film-nya 🙂

Tapi.. Ehm, kritik sedikit boleh kan?

Adegan tembak-tembakan dan dor-doran di depan mata mungkin perlu, tapi ada beberapa yang terlalu ekstrim, termasuk Nobozuki mati. Kalau bisa dipoles seperti caranya Robert mati, mungkin lebih baik.

Dan kritik saya yang paling keras adalah adegan ketika Romo Kanjeng merokok. Ehm, terlepas dari argumen bahwa itu fakta, apakah memang seperlu itu membuat adegan Romo Kanjeng merokok. Saya takutnya, anak-anak yang nonton bilang, “tuh, Romo Kanjeng aja ngerokok lho.”

Okelah merokok bukan dosa, saya hormati, karena saya juga mantan perokok, tapi mungkin bukan wadahnya ketika hampir seluruh orang tua datang ke bioskop bersama buah hatinya. Sayang balutan apik itu terkendala oleh adegan yang menurut saya juga nggak penting-penting amat kalau harus berasap. Tanpa asap juga bisa.

Sungguh, setting Jawa banget dan ada Jogja-nya, membuat saya sepenuhnya kangen. Dialog Jawa yang membuat tertawa, hingga gereja Bintaran benar-benar bikin merindu masa silam. Ah, dasar.

Oya, sepertinya ada adegan di studio Puskat, semoga saya benar. Setidaknya saya dulu pemakai wisma dan studio alam Puskat untuk Makrab. Hahahaha… Dan satu lagi yang keren, sebagai bass sejati, saya sangat suka lagu yang sangat menonjolkan bass, dalam hal ini mari kita bernyanyi, “Kopi susunyaaa… dst..” *minta teks dong*

Angkat jempol! 100% Katolik, 100% Indonesia!

🙂

Kenapa Saya Aneh

Ini mungkin sudah kejadian beberapa tahun silam, tapi ya mungkin memang belum pernah diklarifikasikan. Ketika dulu saya dengan nekat berpindah di jurusan di tahap paling akhir kuliah.

Hemmmm..

Okelah, mungkin saya bisa dicap pembelot atau sejenisnya. Oke, fine. Saya terima. Dan faktual tampak demikian. Saya hanya belum pernah menjelaskan alasan yang sebenarnya atas keputusan aneh saya itu.

Jadi ceritanya 3 Januari 2008, sore hari, saya ikut berdiskusi dengan dua dosen terkait data hasil penelitian saya. Ehm lagi, tampaknya bahwa data yang saya punya itu bisa dibilang ‘sayang’ alias eman-eman. Bahwa saya bisa menghitung prevalensi dengan proses yang saya lakukan dan bahkan saya nggak perlu mencari orang yang sama dua-tiga kali dalam rangka memperoleh data. Diketahui sehari sesudah ujian tertutup. Miris buat saya pribadi.

Dan sejujurnya motivasi saya menjadi nol, atau mungkin minus.

Saya akhirnya memilih untuk menyelesaikan saja studi ini, dan entah mau kenapa sesudah itu. Demikian faktanya.

Saya kemudian mencari-cari jalan ke depan saya. Mau terus di minat yang sama, sungguh saya nggak punya motivasi. Sayang banget uang orang tua saya tergerus dengan kuliah saya yang minim motivasi. Buat apa?

Nggak diterusin, udah separuh jalan mau kelar ini. Lebih sayang lagi kan?

Akhirnya saya nekat saja, tentu sesudah tanya-tanya boleh atau tidak. Kebetulan saya masih ada celah yang memungkinkan untuk bertindak aneh. PINDAH MINAT.

Pindah minat pasti akan jadi jelek di mata orang lain? Ya terpaksa. Daripada duit orang tua saya habis untuk kuliah yang tidak bermotivasi?

Dan tentu ada konsekuensinya.

Saya belajar beneran. Saya bahkan melepas PSM, dimulai dari tugas di Bank Mandiri, demi tetap kuliah dengan baik. Saya juga belajar dengan sangat keras di 6 bulan pertama. Bagaimana lagi? Itu konsekuensi. Dan setidaknya saya punya motivasi. Itu yang jauh lebih penting.

Hasilnya? Ehm, bukan mau sombong. Tapi di ujian CPOB, saya satu dari dua yang tidak ngulang. Buat saya itu prestasi, lha jarang-jarang saya bisa begitu. Lebih lanjut, meski saya kena di kompre, eh pada akhirnya saya bisa dapat IP rangking 3. Kalau Rissa nggak dapat IP 4, pasti saya udah ikut dipanggil penghargaan. Hahahaha..

Dan pada akhirnya saya menemukan teman-teman yang pindah minat ketika di dunia kerja. Salah? Nggak! Saya hanya perlu belajar lebih dulu, dan itu saya ambil di kuliah. Saya agak lambat belajar soalnya.

Hasilnya?

Saya bisa bekerja di salah satu perusahaan farmasi terbesar Indonesia, nyaris promosi (hehehe…), belajar banyak hal baru di industri, dan sejauh ini punya penghasilan yang lumayan.

Saya aneh, tapi saya punya alasan untuk itu. 🙂