Belakangan saya rada keranjingan meneliti media sosial. Pertama, karena penelitian dengan media sosial (atau malah media sosialnya itu sendiri) adalah hal menarik untuk dilakukan memenuhi tugas-tugas kuliah ketika kita nggak bisa kemana-mana karena pandemi. Eh, tepatnya sih saya selagi bisa ya memilih nggak kemana-mana karena kopid sialan ini.
Salah satu hasil amatan saya adalah penggunaan akun personal untuk instansi pemerintah, atau ya minimal setara Eselon II gitu, alih-alih menggunakan Facebook Fanspage. Entah kenapa~
Saya suka bertanya-tanya karena sebenarnya dari sisi penamaan sudah pasti tampak mengganggu. Apalagi untuk instansi pemerintah Indonesia yang banyak singkatan. Di Facebook personal, mau nulis LPDP saja nggak bisa, pasti jadinya “Lpdp” karena dianggap nama orang dan nama orang nggak ada yang huruf besar semua.
Jadilah pasti kalau POM kemudian jadi Pom dan BKN menjadi Bkn, demikian pula BSN menjadi Bsn dan seterusnya.
Kalau pakai fanspage atau halaman tentu berbeda, ya karena settingannya berbeda. Lihatlah fanspage LPDP UI, itu bahkan semuanya huruf besar dan bisa-bisa saja, tidak menjadi “Lpdp Ui” sebagaimana kalau dibuat pakai akun personal.
Selain itu, kalau pakai akun personal kan jadinya kita harus logan-login. Namanya juga akun personal. Harus sharing password juga berarti kalau adminnya lebih dari satu. Salah-salah juga bisa bikin salah posting. Belum lagi kalau kejadian lupa password segala macam.
Kalau di fanspage, kan bisa diatur sekian orang sebagai admin, sekian orang sebagai editor, dll. Jadi, tanggung jawab masing-masing bisa dibagi. Bahkan kalau di fanspage itu bisa ketahuan siapa (akun personal) yang nge-post. Yang tahu siapa? Ya, sesama admin. Publik tahunya tentu suatu post dibuat oleh sebuah fanspage.
Selain itu pula, di fanspage itu bisa dipantau reach, dll, segala macamnya. Sehingga kita tahu suatu unggahan itu impact-nya sejauh mana. Makanya, saya nggak menemukan sedikitpun enaknya mengelola akun media sosial instansi pakai akun Facebook personal.
Belum lagi, di fanspage bisa ditambahkan nomor kontak. Karena sama-sama punya Pak Zuck, jadilah bisa di-link dengan WhatsApp. Plus lagi, Facebook fanspage juga bisa langsung link dengan akun Instagram instansi. Jadi, bisa tuh sekali post untuk lebih dari satu media sosial.
Kemudan pula, kalau akun personal kan ada limit teman, ada pula pengaturan post untuk dilihat teman sebatas apa. Geli aja rasanya ketika kita mendapati di-add suatu akun instansi. Walaupun ya tetap saja accept, sih. Toh, di fanspage, jika memang mau nge-tag pimpinan di akun Facebook personal juga bisa saja tanpa masalah.
Mungkin ini lebih karena ketidaktahuan. Jadi, semoga post ini bisa sedikit memberi tahu para pengelola media sosial instansi supaya lebih tepat dalam bekerja. Ya, saya tahu, jarang yang ada honornya, apalagi kalau sebatas unit eselon II. Hehe.
Ah! Salam galau dulu buat para pelaku cinta diam-diam, sebuah tataran mencintai yang paling indah, sekaligus paling pekok. Bentuk mencintai yang paling tulus, sekaligus paling absurd kayak OOM ALFA. Tahapan berharap yang paling sempurna, sekaligus paling pahit. Semacam membeli reksadana cuma untuk ketenangan hati, dan nggak mengharap return. Salam galau saya bukan saja buat pelaku cinta diam-diam yang masih jomblo loh ya. Juga termasuk kepada pelaku cinta diam-diam yang hatinya bukan pada pasangannya. Selamat menikmati!
Nah, soal cinta diam-diam ini memang bagian khas dari riak-riak dunia. Jatuh cinta itu adalah suatu kewajaran bagi anak manusia, bahkan bagi yang sudah punya pacar, sudah menikah, sudah beranak dua, sudah beristri tiga, hingga sudah bercucu empat belas. Masalahnya, kewajaran itu belum tentu ditindaklanjuti. Sebagian dari perasaan cinta itu tidak akan menjelma menjadi apapun. Perasaan cinta itu hanya akan terpendam saja, tidak kemana-mana. Perasaan cinta itu hanya menjadi kabar gembira bagi diri sendiri, berbeda dengan kulit manggis yang kini sudah ada ekstraknya.
Ketika orang-orang yang kita cintai butuh bantuan, pengennya pasti kita ada disana kan?
Sama persis ketika adek saya opname, besoknya mamak saya ujug2 sudah sampai di Jogja. That’s why saya nggak pernah kasih tahu kalau saya sakit, cek darah, sampai opname sekalipun, KECUALI sudah sembuh kepada orang tua saya. Supaya tidak merepotkan saja sih.
Nah, sepagian tadi saya dikasih aneka link dan kode dan entah apa namanya dari mamak saya. Yang saya pahami sih, itu semacam akun untuk data keguruan di departemen yang duitnya paling melimpah sak Endonesa tapi ngegarap UN wae amburadul.
Kenapa saya sedih?
Karena orang tua saya pasti nggak bisa mengakses segala sistem yang ribet itu. Dan pasti mereka butuh bantuan anaknya. Untung saya ini manusia online, yang selalu online dimanapun karena jomblo.
Kalau lagi begini, pengen rasanya ada di rumah, ngajarin orang tua caranya online yang baik dan benar, menggunakan komputer yang sekarang terbengkalai, memakai kabel telkom yang bayaran bulanannya nggak sampai 80 ribu, dan segala fasilitas yang menjadi lengkap setelah anak-anak kabur dari rumah.
Hahaha.. Melow amat yak?!
Oya, sedikit kritik sih buat penyedia. Mengingat anggarannya yang 20% Endonesa Raya. Meng-IT-kan sistem itu baik. Tapi ada baiknya ditunjang dengan service yang oke juga. Mosok webnya lelet sak umur-umur? Ngalah-ngalahi Manajer Sepakbola di waktu padat? Kan bisa dikasih satu komputer di sekolah buat akses khusus itu. Jadi nggak perlu menyuruh guru mengecek sendiri dengan caranya masing-masing kan?
Lagian ini ya aneh, sertifikasi belum dapat karena ada yang kurang, kurangnya apa, cek sendiri di online. Lahdalah. Minimal yak, summary yang kurang yang bisa diprint, dicetak, distribusi, lalu dilengkapi. Masak sih anggaran yang 20% Endonesa Raya itu nggak bisa cover juga?
Ini mending ya orang tua saya yang punya anak manusia online, lha yang anaknya masih cupu cupu unyu dan ngartinya cuma facebook, gimane?
Fiuhhh, capek seharian training, jadi pengen menulis sesuatu. Pengennya nulis sesuatu yang cetar membal-membal (opo jal?). Gimana kalau ini saja ya, mengidentifikasi kelakuan para pelaku tindakan kriminal tingkat dewa pada diri sendiri, yakni cinta diam-diam.
Yeah, ini pasti jamak terjadi, dan pasti dialami oleh sebagian cowok atau cewek di dunia yang fana ini. Nah, berikut beberapa hal yang dilakukan pelaku cinta diam-diam.
Berselancar di linimasa, terutama di bagian foto
Sila berterima kasih kepada pencipta Friendster dan kemudian Facebook. Sebuah terobosan duniawi masa kini yang memungkinkan manusia untuk mengeluarkan potensi diri berupa narsis. Ya, sejak ada FS maka kita mengenal memajang foto di depan umum, tepatnya di halaman profil.
Para pelaku cinta diam-diam umumnya adalah orang yang dekat dengan sang target, jadi umumnya sudah berteman satu sama lain di linimasa. Efeknya? Kalau di FS dulu kan nggak seenaknya bisa intip foto orang. Demikian juga dengan pengaturan privasi di FB masa kini. Kalau sudah friend, maka bebaslah berselancar.
Maka satu hal yang dirindukan dari FS adalah kemampuan memberikan informasi, siapa yang melakukan aksi kepo pada sebuah akun. Hal ini ternyata disyukuri para pelaku cinta diam-diam karena bisa seenaknya memantengi halaman profil si gebetan tanpa khawatir ketahuan. Juga dengan seenaknya bisa membuka-buka segala macam foto, mulai pose menyamping, dari atas, pose melet, sampai pose BB BM (hasil tag toko handphone abal-abal). Dan tidak jarang juga orang yang sampai mengunduh foto-foto gebetannya dan menyimpannya dalam sebuah folder khusus.
Kasihan ya? *pukpuk*
Menyimpan SMS dari zaman batu, dan sesekali membacanya kembali
SMS yang rada-rada manis dari gebetan, meskipun itu sudah dikirimkan dari satu abad yang lalu, akan tetap disimpan. Bahkan ketika gonta ganti HP, SMS itu tetap ditransfer. Jadi jangan heran kalau di handphone android terbaru, masih ada SMS tertanggal 2004. Padahal ya isinya sih nggak manis-manis banget. Cuma bilang, “Makasih ya udah denger curhatku.”
Dan sepotong kalimat itu adalah bersifat abadi sepanjang masa bagi penganut cinta diam-diam. pelaku kriminal jenis ini akan membaca pesan singkat yang sudah tidak kontekstual tersebut ketika lagi ingat gebetannya yang dicintai secara diam-diam.
Sengaja datang ke kampus cuma buat ngelihat gebetan
Penganut cinta diam-diam akan menghafal jadwal kuliah gebetannya dan kemudian menyempatkan diri datang ke kampus, serta berada di posisi yang tepat untuk bisa sekadar melihat si gebetan.
Jadi kalau misalnya dia kuliah jam 3 sore, tapi si gebetan kuliah jam 7 pagi. Maka dari subuh, penganut cinta diam-diam sudah sampai di kampus kemudian pura-pura nongkrong dan pura-pura belajar yang tekun demi masa depan bangsa sambil matanya celingak-celinguk ke arah arus mahasiswa datang.
Lalu?
Pemeluk kepercayaan cinta diam-diam akan melihat dari kejauhan, si gebetan mendekat, lalu menjauh kembali karena mau ke kelas buat kuliah. Nah, segitu saja cukup kok. Kan namanya juga cinta diam-diam.
*pukpuk lagi*
Sengaja lewat depan kos-kosan gebetan
Ketika seorang pelaku cinta diam-diam kosnya dari kampus belok kanan 1000 langkah, dia bisa saja belok kiri dulu menuju kos-kosan gebetan. Momen ini umumnya terjadi ketika si pelaku tahu kalau gebetan kira-kira ada di kos-kosan atau tidak.
Tapi momen yang paling mendasar adalah ketika malam hari. Kenapa? Karena malam hari adalah jam apel anak kos-kosan. Pelaku cinta diam-diam akan mondar-mandir di depan kos-kosan gebetan sambil melihat orang yang bertamu ke kos-kosan gebetan tersebut. Kalau kebetulan yang ada disana adalah teman kosnya gebetan dengan pacarnya, maka pemeluk kepercayaan cinta diam-diam akan kembali ke kos-kosannya dan berteriak mengucap syukur.
Kalau kemudian yang ditemukan adalah gebetan sedang bersama lain jenis dalam posisi yang rada mesra, maka pelaku cinta diam-diam akan mencari racun tikus dan bergegas menuju pinggir jurang terdekat.
Melihat sepanjang waktu
Ada kalanya cinta diam-diam terbentuk karena 1 kelas atau 1 komunitas. Nah, ketika cinta itu muncul dan kebetulan ada aktivitas bersama, maka penganut ajaran cinta diam-diam akan memanfaatkan waktu ‘bersama’ itu sebaik-baiknya.
Sebaik mungkin, meskipun sebenarnya komunitasnya adalah senam jantung sehat dengan 1000 peserta. Seorang penganut cinta diam-diam memiliki kemampuan lebih untuk mencari celah-celah agar tetap bisa memandangi wajah gebetannya.
Lalu?
Ya sudah, gitu doang sih. Ketika kegiatan ‘bersama’ itu berakhir. Maka penganut cinta diam-diam akan kembali ke layar monitor, menatap galau pada foto-foto gebetan yang sudah sejak lama dia cintai secara diam-diam.
Berdoa tanpa berusaha
Kata pepatah Latin, Ora Et Labora, berdoa dan bekerja. Perkaranya, penganut ajaran cinta diam-diam memiliki kencenderungan untuk rajin berdoa tanpa kemudian meningkatkan usahanya lebih tinggi daripada level berharap.
Penganut cinta diam-diam akan membawa gebetan dalam doa-doa dan harapannya tapi kemudian tertunduk malu ketika berada di hadapan gebetan yang sejatinya sudah meraja di dalam hati.
Persoalannya sih cuma 1, tidak ada keberanian untuk berusaha. Terkadang penganut cinta diam-diam lebih berani untuk melakukan tindakan ekstrim semacam lompat dari pinggir bak mandi atau berenang di kolam ikan hias daripada menyatakan perasaan yang dipendam sambil diam-diam itu.
Cemburu lalu menerawang pasrah
Hal ini terjadi ketika gebetan dipastikan dan sudah dikonfirmasi telah memiliki pasangan. Ada rasa cemburu, meskipun itu sebenarnya cemburu yang patut dipertanyakan. Emang siapa dia sampai lo cemburu coy?
Nah karena kemudian disadarkan oleh pernyataan itu, maka penganut aliran cinta diam-diam akan segera mengerti kondisi. Dan tindakan yang berikutnya adalah membuka mata dan menatap hampa, semacam menerawang nasib yang buruk, untuk kemudian pasrah terhadap kenyataan hidup yang terkadang pahit itu.
Yah, sekian sedikit ulasan mengenai hal-hal yang dilakukan oleh pelaku cinta diam-diam. Semoga bisa menambah khasanah bercinta secara diam-diam.
Raungan sepeda motor begitu membahana begitu memasuki ruang sempit di kos-kosan Ray. Bahwasanya Tuhan tidak lagi menciptakan tanah adalah sebuah kendala tersendiri buat anak kos. Kenapa? Ya, pemilik kos-kosan dengan asoy geboy membuat kos-kosan dengan fasilitas tempat parkir yang minim abis. Dan karena faktor biaya, tetap saja ada anak kos yang akan menyewa tempat meski parkirnya minimalis begitu.
Ray turun dari sepeda motornya dengan gontai lantas memarkir kendaraan miliknya itu mepet-mepet. Ya memang harus mepet karena ada 10 sepeda motor lain yang ada di kos ini. Semua perlu tempat.
Bahwa tempat parkir kos ini adalah anomali di hati Ray. Ketika disini ada muatan tapi minim tempat, maka di hati lelaki menjelang dewasa itu berlaku sebaliknya. Ada tempat yang luas, tapi tidak ada muatan.
Mirip dengan parkiran kos yang sudah menempatkan bahwa di sudut dekat pintu itu adalah kapling punya Ray, maka di hatinya juga sudah ada pemilik kapling itu.
Ada tempat, ada pemilik kapling, tapi tempat itu kosong, tidak bertuan.
Ray menyeret langkahnya menuju kamarnya, empat meter dari tempatnya parkir sepeda motor. Serenteng kunci dikeluarkan dari saku, masuk ke lubang kunci, pintu segera terbuka.
Tas yang disandangnya segera terlempar ke sudut kamar, sementara pemilik tas itu dengan pasrah terjun ke kasur yang terhampar di lantai. Seragam masih melekat di badan. Tangan Ray segera menuju ke saku celana, mengambil handphone dan melihat isi tampilan layar dalam posisi tidur terlentang.
Inilah keseharian Ray sepulang kerja, terkapar manis bersama linimasa. Ya, linimasa yang spesifik, merujuk pada sebuah nama yang ada di Twitter, di Facebook, dan di Blogspot. Linimasa yang punya 3 ID berbeda tapi dimiliki oleh satu orang. Persona yang sama dengan pemilik kapling luas di hati Ray.
“Hehmmm.. Kapan kelarnya niy?” gumam Ray.
Agaknya ia sudah ada dalam posisi lelah. Stalking nyata-nyata melelahkan. Selain tentunya jiwa tersiksa. Stalking kadang menjadi kebodohan, apalagi ketika dengan santainya Ray membuka ‘view conversation’ pada twit yang nongol di timeline si pemilik kapling hati itu.
Sebut saja itu kebodohan yang (kadang-kadang) indah.
Ray terpejam sejenak. Tangannya mengepal dan nafasnya ditarik dalam-dalam. Seluruh oksigen yang sejatinya sudah minimalis masuk ke dalam paru-paru.
“Ini harus diselesaikan,” bisiknya.
Ray lalu membuka aplikasi kalender di handphone-nya, menatap tanggal-tanggal yang tertera disana. Ia lantas mengetik dua kata pada kotak yang menunjuk tanggal 30 April.
Perjalanan Keputusan
Jemarinya masih ada di handphone itu, menuju aplikasi burung biru. Kali ini Ray mengetik sebuah kalimat singkat.
“Mohon bantuannya pada semesta.”
Lalu Ray terlelap, dengan handphone di tangan, dengan seragam di sekujur tubuh, dengan ID Card perusahaan masih menggantung di leher. Sebuah lelap yang lelah.
* * *
sumber: ecosalon.com
“Magelang? Ada?”
Ray beringsut dari kursi yang sudah membawanya ratusan kilometer dari tempatnya berasal. Selimut yang semalaman menempel di tubuhnya segera lepas. Sudah saatnya ia turun, untuk memenuhi segala bentuk pencarian keinginan semesta dalam perjalanan keputusan.
Kaki kiri Ray menapak manis di depan Armada Town Square alias Artos. Masih pagi hari, dan kota ini dingin sekali. Ray melempar pandang ke sekeliling. Selintas, merk-merk yang ada di depan Artos ini mengingatkannya dengan hiruk pikuknya ibukota. Ah, sampai juga mereka di kota kecil ini.
Tangan Ray menyambar handphone di saku jaketnya. Powerbank dan kabel masih menjadi satu dengan handphone itu. Sungguh mudahnya teknologi sehingga nge-charge handphone-pun bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja.
Dan teknologi menjadi semakin mudah ketika kemudian Ray membuka GPS. Diketiknya nama sebuah hotel dan segera peta Magelang plus petunjuk arah ada di kotak kecil bernama handphone itu. Semuanya tampak begitu sederhana. Sesuatu yang dahulu dibayangkan saja tidak bisa. Begitulah dunia.
Jarak hotel yang dimaksud nyatanya tidak terlalu jauh. Ray lantas berjalan mengikuti petunjuk yang ada di GPS-nya. Pagi ini menjadi tidak lagi dingin karena seluruh sel di tubuh Ray bergerak mengikuti arah GPS itu. Tidak jauh benar memang, karena 15 menit kemudian ia sampai di hotel yang namanya persis sama dengan yang tertera di GPS.
Tidur di dalam bis sungguh tidak lelap meski Ray sudah mengambil bis yang paling oke, Super Executive. Maka, begitu kamar hotel itu dibuka, tubuhnya segera terkapar manja.
Tangannya mengetik sebuah pesan singkat, sesaat sebelum ia tertidur.
Dua jam kemudian, Ray terbangun sejenak. Ia segera melihat ke handphone-nya dan tidak ada SMS masuk. Ray melanjutkan tidurnya.
Empat jam berikutnya, Ray akhirnya benar-benar terjaga. Sudah siang di Magelang dan lapar mulai terasa. Ketika ia terduduk di ranjang hotel, tangannya kembali menggapai handphone-nya. Tidak ada SMS masuk.
“Satu poin dari semesta,” ujar Ray sambil melihat ke kotak kecil sejuta fungsi itu. Ya, sebuah pesan singkat yang tidak berbalas.
* * *
“Patas AC ngendi Pak?” tanya Ray pada seorang bapak yang berdiri dengan memegang setumpuk kertas kecil warna biru.
“Disini, Mas.”
“Sudah lewat?”
“Nanti lewat lagi.”
Ray pun melakukan transaksi pembelian tiket bis Patas AC dengan bapak yang berdiri di depan warung itu. Transaksi kilat khusus yang bahkan semenit pun tidak sampai. Ray lantas berlalu dan menunggu, sambil sesekali melihat transaksi yang sama terjadi di depan matanya.
“Semarang?”
Orang-orang yang sedang asyik duduk dan berdiri segera bersiap. Rokok dimatikan, minuman dihabiskan, tas-tas segera disandang, pun handphone segera dimasukkan ke kantong.
Ray mengikuti orang-orang yang menaiki bis Ramayana yang muncul dari arah kanan. Ia mengambil posisi idealnya, kebetulan masih ada. Yup, nomor 4 dari depan, di sisi tempat supir berada. Entahlah, posisi itu adalah kesukaannya ketika naik bis. Kecuali busway tentunya.
Perjalanan keputusan itu berlanjut, dan baru ada satu poin dari semesta. Ray mencatat itu dengan baik, sambil berharap ada pertanda lain yang memungkinkannya untuk segera memutuskan.
Lelap menjadi teman Ray sepanjang perjalanan melewati Secang, Ambarawa, Ungaran, dan seterusnya. Ia mulai terjaga ketika deretan kaleng biskuit ukuran raksasa tampak di sepanjang jalanan.
“Mau sampai,” bisiknya.
Pandangan Ray menuju ke langit, mendung menggantung manja disana. Dalam hati ia berdoa semoga hujan tidak akan cepat-cepat turun.
“Banyumanik!” teriak kondektur bis Patas AC itu.
Ray dan beberapa orang lain bergegas turun. Dan ketika kakinya menapak di tempat yang bernama Semarang itu, ia mulai keder. Bukan keder karena ia baru pertama kali menginjakkan kaki ke kota dan tempat ini. Tapi keder pada tanda yang hendak semesta tunjukkan padanya.
“Udah jauh-jauh juga. Lanjut!” katanya dengan lembut sambil berjalan ke arah utara.
Kembali GPS menjadi andalan. Ia lagi-lagi mengetik nama sebuah hotel dan kali ini tampaknya GPS kurang berjodoh dengannya. Tempat itu tidak cukup dekat, plus mendung yang kali ini menggantung tapi tidak sambil manja.
Ray memutuskan untuk berjalan kaki, kali ini dengan tempo yang lebih cepat. Langkahnya terus menyapu jalanan yang baru pertama kali diinjak seumur hidupnya itu. Melewati Museum Rekor Indonesia, Jamu Jago, Carrefour, dan kemudian KFC.
Ketika sampai persis di depan ADA, air mulai menetes perlahan dari langit.
“Ups…,” gerutu Ray sambil mempercepat jalannya. Ia bisa saja berlari, tapi akan menjadi pemandangan yang aneh di jalanan itu.
Air yang menetes itu mulai bertambah, sementara pengendara sepeda motor satu persatu berhenti untuk mengenakan jas hujan masing-masing. Sementara Ray masih saja terus berjalan.
Hingga kemudian, air di langit itu benar-benar tumpah. Ray menuju tempat berteduh terdekat, sebuah gapura. Ah! Tapi atapnya kecil sekali.
Ray melihat sekeliling dan melihat sebuah pos ojek, dan seorang tukang ojek melambaikan tangan padanya.
“Teduhan kene wae, Mas,” teriak tukang ojek itu.
Bahwa keras dan mirisnya ibukota mampu membuat Ray lupa bahwa kebaikan itu sejatinya masih ada, meski tidak di ibukota.
Tanpa buang waktu, Ray berlari ke pos ojek. Persis di saat yang sama, seorang tukang ojek dengan ponco masuk ke pos ojek itu. Maka, seketika sebuah ide terlintas di benak Ray, meminta untuk dieksekusi.
“Mas, ke hotel yang disana itu ya,” ujar Ray.
“Di belakang?”
“Di hotelnya, Mas.”
Ray langsung menelusup masuk ke dalam lindungan ponco. Sepeda motor itu melaju dan air yang tumpah dari langit masih pada eksistensinya. Sepeda motor itu melaju pelan, entah kemana. Sungguhpun Ray tidak tahu tempat itu, dan tidak tahu sejauh mana lagi hotel yang ia maksud.
Nyatanya memang dekat, tak sampai 5 menit sepeda motor ojek itu berhenti di sebuah tempat yang teduh. Tidak ada air menetes dari langit, tertahan oleh atap.
Ray membayar lebih untuk jasa ojek ini. Setidaknya jasa ojek masih JAUH lebih manusiawi daripada ojek yang pernah ia rasakan di kawasan industri, yang mematok harga gila untuk jarak yang teramat pendek.
Dengan tubuh basah, Ray masuk ke hotel. Secara muka dan aroma, ia jelas tidak tampak seperti orang yang mampu menginap di hotel. Tapi terlepas dari itu sesungguhnya ia mampu.
Sebuah kamar dengan harga yang cukup mahal ia ambil. Ray ingin menikmati perjalanan keputusannya dengan nyaman. Kalaulah pertanda semesta itu masih dalam tanda tanya, setidaknya ia masih bisa menikmati hidup. Kalaulah pertanda semesta itu lantas buruk, setidaknya ia masih bisa menghibur diri.
Lelah berjalan cukup jauh, tubuh Ray kembali terkapar manis di ranjang yang jauh lebih empuk. Tentu tidak lupa mengetik sebuah pesan singkat.
Dua jam berlalu.
Ray bangkit, menyalakan TV dan AC yang sedari tadi belum menjalankan fungsinya. Sesudahnya, tangannya kembali ke handphone yang ternyata…. tidak ada pesan singkat apapun.
Tidak berbalas.
Ray beranjak ke WC. Menikmati setiap fasilitas di hotel itu penting karena sejatinya itu semua dibayar. Ray akan selalu mengeksplorasi semuanya jika itu adalah hotel yang dibayar sendiri. Kalau hotel yang dibayari kantor, tentu tidak terlalu jadi beban di pikiran.
Ray kembali, dan masih berharap ada sesuatu di handphone-nya.
Tangannya membuka lock tombol.
1 Unread Message
Ray hampir bersorak sebelum kemudian ia sadar kalau kamarnya terletak di dekat sisi ramai hotel ini. Sebuah pesan balasan yang diharapkan tadi diterima juga!
Dengan harapan yang lebih tinggi, Ray mengirimkan pesan lagi, ke tujuan yang sama.
Harapannya tinggi dan terus membumbung naik seiring terkirimnya pesan singkat itu. Ray duduk tidak jauh-jauh dari handphone yang sedang diisi power-nya itu sambil menonton televisi.
Lima belas menit, tidak ada pertanda dari handphone itu.
Tiga puluh menit.
Satu jam.
Dua jam.
Dan hari sudah jam 9 malam. Harapan yang tadinya tinggi itu perlahan menurun, jatuh, dan lantas terkubur.
Ray terlentang di kasur yang empuk sambil berkata, “dua poin dari semesta.”
* * *
Pagi hari di hotel yang dibayar sendiri tentunya bernama breakfast semaksimal mungkin. Ray segera turun, menuju tempat breakfast di pinggir kolam renang dan meminta segala yang mungkin dipesan. Ada dua hal, ia benar-benar lapar atau itu hanyalah kamuflase atas dua pertanda dari semesta yang muncul dua hari sebelumnya.
Sesudah mengisi perut, Ray lantas menuju kamar kembali lalu bergegas mandi. Tidak cukup lama, ia kemudian sudah siap menempuh perjalanan yang mungkin akan menjadi pertanda kemenangan semesta atas perjalanannya.
Ray keluar hotel dan berjalan ke arah selatan. Sebuah pemandangan unik ada di depan markas tentara di seberang jalan. Bukan markas tentaranya, tapi beberapa pohon dan banyak hewan–entah burung entah angsa–yang berumah dan berkeliaran di atas sana.
Ini indah.
Langkah Ray terus melaju di pinggiran jalanan yang penuh kendaraan melaju kencang itu. Kaki-kakinya terus menuju sebuah tempat yang dianggapnya peraduan terakhir dalam perjalanan keputusan ini. Jika kali ini semesta juga berkata TIDAK, maka sampailah Ray pada penantian kesimpulan.
Semakin dekat dengan rumah yang ia tuju, hatinya semakin deg-degan. Langkahnya menjadi pelan dan gontai. Tapi sepelan-pelannya langkah itu akhirnya sampai juga pada tujuan. Mendadak jarak menjadi sedemikian dekat.
Ray berdiri di depan sebuah rumah. Hanya berdiri.
Pandangannya terlempar ke sekeliling dan memastikan bahwa rumah ini sama persis dengan sebuah alamat yang pernah masuk sebagai pesan singkat di handphone-nya. Ia tak perlu mengeceknya karena sudah hafal benar alamat rumah itu pada kali pertama membacanya.
Bahwa cinta kadang membuat logika berantakan.
Ray masih berdiri, langkahnya berhenti. Niatan untuk masuk dan mengetuk pintu tercekat hanya 2 meter dari depan pintu. Dua meter yang ternyata jauh lebih sulit daripada ratusan kilometer yang dilaluinya sebelum sampai ke tempat ini.
Hingga kemudian keberanian itu secuil muncul. Langkahnya menembus dua meter yang sulit itu hingga kemudian tangannya mengayun ringan.
“Tok.. Tok.. Tok..”
Ketukan halus, tanda lemas. Satu kali percobaan tanpa jawaban.
“Satu lagi, berarti tidak,” bisik Ray sambil kemudian mengayun tangannya untuk percobaan kedua.
“Tok.. Tok.. Tok..”
Satu menit.
Lima menit.
Tujuh menit.
Dan sunyi masih ada disana.
Ray mundur teratur dan membalikkan tubuhnya. Ia menengadah ke langit dan bergumam, “Sudah tiga dalam tiga hari. Oke semesta menang.”
Semesta menang, keputusan itu akhirnya dibuat.
* * *
“Mangkang habis!”
Kaki kiri Ray menginjak terminal Mangkang. Sebuah tempat yang menjadi jalannya untuk pulang, kembali ke rutinitasnya, dengan sebuah keputusan.
Ray menatap lurus menerawang di jalur bis tempatnya menanti. Seketika bak ada pemutaran film layar lebar disana.
Terlintas tahun-tahun yang berlalu bersama si pemilik kapling hati itu. Mulai dari pertama kali bertemu, berkenalan, dan akhirnya Ray jatuh cinta.
Semuanya terjadi dengan sederhana meski tidak berdampak sama sederhananya. Jatuh cinta itu adalah kecelakaan yang indah, yang mungkin akan jadi buruk jika terjadi pada saat atau objek yang tidak tepat.
Ya, ini memang tidak tepat.
Ray sadar soal ketidaktepatan itu dan kemudian memilih menyimpan rasa itu hingga bertahun lamanya, hingga membatu dalam hatinya.
Sebuah rasa yang kemudian tidak bisa dibunuh karena ia tidak pernah dilahirkan. Tidak lahir, tapi sudah hidup dan menghuni ruang besar di hati Ray.
Segala momen kebersamaan itu berseliweran bersama bis-bis yang silih berganti lewat. Satu per satu.
“Bejeu!”
Sebuah bis warna hitam yang dinanti akhirnya tiba. Ray bergegas berdiri dan film yang diputar tadi seketika selesai. Ray masuk via pintu tengah dan menuju kursi yang kali ini bukan favoritnya.
Ia duduk, mengatur kursi, dan lantas memejamkan mata.
“Aku memang tidak boleh mencintai kamu. Dan semesta sudah memberi pertanda itu. Sekarang, aku tidak lagi orang yang mencintaimu. Aku hendak menjadi orang yang PERNAH mencintaimu.”
Sebuah lafal dalam hati Ray. Sebuah lafal yang menjadi kesimpulan dari perjalanan keputusan. Tak lupa Ray memberi catatan khusus dalam kesimpulannya.
Jemariku belum lepas dari telepon genggam yang agak pintar ini. Sudah dua jam lebih aku terkapar di kasur sambil memegangi benda hitam mungil yang kubeli dari Tunjangan Hari Raya tahun lalu ini. Aplikasi yang dibuka sebenarnya tidak banyak, hanya Facebook, Twitter, dan beberapa portal berita. Ketika aku bosan, maka aku akan mengulang kembali aplikasi yang sama. Selalu ada yang baru di newsfeed FB dan timeline Twitter, jadi biasanya mampu membuatku tidak bosan.
Beginilah aktivitasku sehari-hari. Sepulang dari kantor, aku hanya terpakar di kasur dan akrab dengan aplikasi yang tidak banyak. Aku tahu ini hanya upayaku untuk mengalihkan diri dari masa lalu tapi tampaknya aku bertindak dengan cara yang salah. Aku masih tetap memegang benda hitam mungil ini. Aku memang membuka aplikasi, tapi mata dan jariku sangat awas pada notifikasi Whatsapp di pojok kiri atas. Lingkaran hijau itu yang selalu mengingatkanku tentang masa lalu yang indah.
Nyatanya, lingkaran hijau notifikasi itu tidak pernah ada lagi. Hidupku memang tidak pernah sama lagi. Sejak aku dan dia memutuskan untuk berpisah karena perbedaan yang tidak lagi dapat menyatukan dua hati yang rindu, hidupku memasuki babak baru. Menurutku, ini babak baru yang suram.
Aku tidak lagi mampu mengerjakan sebuah laporan dengan cepat. Aku jauh lebih sibuk melihat telepon genggam yang nyata-nyata tidak pernah berbunyi lagi. Dalam setiap pandanganku ke layar monitor, aku tidak melihat forecast dan rencana produksi. Angka-angka itu, di mataku, menjelma menjadi teks percakapan Whatsapp plus emoticon yang menyertai.
Aku tidak lagi menempuh perjalanan dengan riang karena tidak ada lagi yang berpesan padaku seperti yang dia selalu lakukan dulu, “hati-hati ya”. Malah wajahnya terbayang di berbagai kejadian, entah itu lukisan di belakang truk hingga sekadar orang lewat. Aku selalu merasa sedang melihat wajahnya.
“Brakkkk.”
Terdengar suara pintuku dipukul keras. Ah, itu pasti Rian yang baru pulang kerja. Sudah menjadi kebiasaannya untuk berbuat barbar macam itu. Sudah hampir pasti juga kamarku menjadi sasaran karena terletak paling depan.
“Apa?” teriakku sambil tetap terguling sempurna.
“Nggak apa-apa. Makan?”
“Nanti.”
“Ya. Mandi dulu.”
“Ya.”
Aku serasa hidup di hutan kalau sedang ngobrol dengan Rian dalam posisi ini. Aku tergolek lesu di kamar, Rian duduk asyik di depan televisi yang jaraknya lima belas meter dari tempat aku berbaring sekarang. Rian tertawa riang karena baru jadian, aku tertunduk lesu karena baru putus.
Hawa panas di dalam kamar yang pengap ini akhirnya mampu membuatku bergerak. Dua jam terkapar dengan masih mengenakan seragam kantor adalah tabiat buruk yang tidak layak ditiru. Seragam kantorku—berikut kelengkapannya—sangat cocok untuk kantorku yang dingin ber-AC, tapi tidak untuk kamarku yang pengap dan lembab.
Aku bangkit, tapi tetap lemas. Mataku masih awas pada sudut kiri atas telepon genggamku, berharap notifikasi Whatsapp muncul. Satu menit mataku menatap awas ke arah itu, dan nihil. Segera kulepas seragam kantorku dan berganti dengan baju rumah.
“Jokowi atau Foke?” tanyaku pada Rian yang sedang asyik duduk di depan televisi, menonton Quick Count Pilkada DKI.
“Ini lagi nonton.”
“Nggak phonesex?”
“Belum.”
Tepat ketika Rian selesai menyebut “belum”, Blackberry-nya berbunyi. Rian bergegas masuk kamar, dan aku langsung menyimpulkan itu adalah pacarnya.
Perihal istilah phonesex, memang agak vulgar. Meski tidaklah ada diksi yang cukup kurang ajar di sebuah kos-kosan cowok yang berisi staf-staf muda di berbagai pabrik. Rian yang mencetuskan istilah itu ketika ia sering tiba-tiba berada di depan kamarku dan mendengarkan pembicaraan teleponku.
Kini dunia berbalik. Rian sering senyum-senyum sendiri. Staf di pabrik otomotif ini juga bisa berjam-jam bertelepon ria di dalam kamar. Dalam beberapa kali percakapan, ia mulai sering menyebut diksi “bojoku”.
Ah, ini pasti pertanda jatuh cinta. Sebuah keadaan yang mampu mengaduk-aduk emosi manusia. Sebuah perasaan yang mampu meningkatkan kadar senang dan sedih dalam hitungan detik. Sebuah kondisi yang bisa menyunggingkan senyum dan menorehkan luka lebih cepat dari membalik telapak tangan.
sumber: iamalittlemorethanuseless.blogspot.com
Rian sedang menikmati indahnya. Ia tersenyum sepanjang hari. Kalau jam 10 malam ia sudah keluar dari kamar, senyumnya bisa lebih mengembang. Saat main PES 2012 pun, ia hampir selalu menang karena bermain dengan riang gembira. Ketika mandi, ia bernyanyi paling keras, bahkan sampai terdengar ke kamarku. Indah sekali hidup seperti Rian ya?
Aku masuk ke kamar mandi, tetap dengan gontai. Kuletakkan peralatan mandi di pinggir bak dan kugantung handuk pada tempatnya. Kedua tanganku masuk ke bak dan basah seketika. Kuusap kedua belah tangan itu ke wajahku. Pikiranku melayang ke berbagai tempat. Sekelebat tampak Rian yang sedang riang gembira. Sedetik berikutnya terbayang kesendirianku di dalam kamar. Sejurus kemudian berganti ke masa silam, ketika aku berada pada posisi yang sama dengan Rian.
Bahwa jatuh cinta itu indah, aku paham benar soal ini. Bahwa ada konsekuensi lain dari jatuh cinta, aku juga harus mengerti soal itu. Maka pikiranku melayang ke sebuah percakapan yang masih melekat erat di hidupku.
“Mas, aku mau kita udahan.”
“Kenapa?”
“Ya, kamu tahu kan. Kita nggak bisa bersatu.”
Aku terdiam, berpikir, dan mengeluarkan kata-kata yang menurutku ajaib bisa meluncur dari mulutku sendiri, “Kalau memang itu yang terbaik buat kamu, nggak apa-apa kok.”
Senyum tersungging kecil di bibirku, berharap itu dapat menyunggingkan senyum yang sama dari bibir lawan bicaraku.
“Aku sayang kamu, Mas. Tapi sepertinya memang harus begini. Ini bukan yang terbaik untukku. Akupun menangis karena ini.”
“Ini fakta kok, kita itu sukunya berbeda. Ya nggak ada yang bisa diubah.”
“Mas?”
“Iya?”
Dan yang kudengar selanjutnya ada isak tangis, dari gadis yang sangat kucintai ini. Perbedaan suku berhasil memisahkan dua hati ini.
Kusandarkan dua tanganku pada bak mandi, kupandang air yang menggenang di bak itu. Kulihat wajah gembira Rian disana, kulihat kebersamaanku dengan gadis manis yang aku cintai, kulihat tubuhku terkapar di dalam kamar.
Ah, seandainya aku bisa seperti Rian, yang sedang menikmati indahnya jatuh cinta. Seandainya waktuku menikmati indahnya jatuh cinta itu bisa lebih lama. Berbagai pengandaian lain mendadak bermunculan, sekaligus berupaya menepis kenyataan. Sebuah kesia-siaan, karena kenyataan tidaklah musnah oleh pengandaian. Ini tetaplah kenyataan.
Aku ingin jatuh cinta lagi, tapi nyatanya aku tidak bisa. Aku sudah jatuh terlalu dalam di hatinya.
Di era teknologi modern seperti sekarang, seorang penulis diberi keleluasaan untuk mempromosikan bukunya sendiri.Tak hanya penulis self-published, penulis dari major publisher juga diharapkan mempromosikan bukunya melalui social media hanya dalam satu klik.
Menulis adalah seni, begitu juga dengan self-promotion. Dari pertama kali kamu menuliskan kata pertama, kamu juga boleh memikirkan bagaimana caranya men-share tulisanmu. Dan sekali kamu mulai berpikir menulis dan usaha mempromosikannya melibatkan seni, hal luar biasa mulai terjadi. Kamu akan menemukan pembaca.
Buku tidak ditulis dalam semalam. Tulisan terus berkembang dari hari ke hari, mengalami perubahan, penambahan, proses editing, dan lain sebagainya. Sama dengan landasan kita, yang mencakup segala cara agar tulisan kita bisa dibaca orang.
Ada beberapa cara cepat untuk mengubah landasan menjadi action. Berpikirlah setiap langkah kecil sebagai lompatan besar dalam mendapatkan pembaca, juga kesempatan menyenangkan untuk menyebarluaskan hasil keja kerjamu.
Listen & Learn
1. Mencari Pembaca Setia. Perjelas jenis pembaca yang ingin kamu cari. Tulislah daftar jenis-jenis pembaca yang kamu miliki. Lalu, putuskan kelompok mana yang akan kamu jadikan sebagai pembaca setia tulisanmu.
>>> setidaknya ada 1 pembaca setia Aku dan Alfa 🙂
2. Memulai Penelitian. Google Alerts (google.com/alerts) dapat membantumu eksis di dunia maya. Set up alerts untuk memberitahu namamu, judul buku, artikel, Twitter handle, site URL dan topic lain pop up online. Kamu akan senang melihat alert yang muncul ketika orang lain mempromosikan bukumu.
>>> cuma dapat rating Alexa sama Edelman Level 🙂
3. Membuat Polling. Ketika sedang menulis, dan kamu bingung dengan berbagai pilihan nama tokoh, misalnya, buatlah polling di Facebook atau Twitter dan tanyakan kepada pembaca. Biasanya penulis mendapat jawaban dari hasil polling yang dibuatnya.
>>> lihat di kanan atas blog ini hehehe..
4. Hargai Orang Lain. Dalam social networks, follow dan berteman dengan orang-orang yang kamu kagumi. Jangan mempromosikan bukumu terus menerus, karena timeline akan menjadi seperti iklan mini. Kenali follower-mu dengan baik, dan promosikan bukumu perlahan tapi pasti.
>>> dan saya belum punya buku sendiri.. hehehe..
5. Study the Competition. Klik search engine lalu ketik keywords tetang tema tulisanmu. Lihat link yang muncul. Jangan takut bersaing. Pelajari kompetitormu. Apakah mereka lebih baik dari pada kamu? Tambahkan hal-hal yang kamu pelajari dalam to-do list.
>>> sakjane ngeri 🙂
Create Context
6. Perkenalkan diri. Tulislah data diri singkat agar pembaca tahu. Cantumkan alamat blog, status, judul buku yang sudah diterbitkan, dan kerjasama professional lainnya..
>>> lumayanlah di blog ini..
7. Show Yourself in Action. Kamu pasti banyak memiliki foto tapi banyak yang belum dipublikasikan. Carilah beberapa foto dengan resolusi tinggi. Foto dimana kamu menghadiri acara klub buku, tanda tangan buku dan segala sesuatu yang berhubungan dengan karyamu. Muat foto-foto tersebut di Facebook, Twitter dan blog.
>>> dan itu belum ada huaaaa…
8. Post Ads and Affiliate Links. Ingin mendapatkan uang secara online? Muatlah iklan atau link afiliasi di blogmu.
>>> dan berakhir dengan diblokirnya blog ini 😦
9. Buat Event. Buatlah kegiatan dengan jangka waktu tertentu dan melibatkan keikutsertaan penulis lain. Seperti NaNoWriMo, kamu bisa membuat event serupa, misalnya: November Menulis. Post hasilnya di blog, Facebook dan Twitter.
>>> pengennya sih..
10 Grade Yourself. HubSpot memiliki free graders (grader.com) yang bisa menilai tingkat keefektifan website, blog, Google Alerts, Facebook, Twitter dan lain sebagainya. Setiap penilaian memakan waktu kurang dari lima menit.
>>> mbuh kie?
Contribute Content
11. Bagi-Bagi Tulisan. Buat pengumuman di social media tentang tulisan yang akan kamu bagikan gratis. Bisa berupa flash fiction, cerpen atau puisi. Cantumkan link-nya.
>>> selalu gratis kalau saya mah, ada yang baca wae syukur 🙂
12. Brainstorm 20 Ide. Kalau kamu tidak menanyakan dirimu sendiri tentang ide baru yang muncul, biasanya setengahnya akan hilang. Lalu, kamu membaca blog orang lain, majalah, atau surat kabar. Biasanya muncul ide untuk menulis. Biasakan menuliskan ide yang muncul di buku bank ide. Berpikirlah setidaknya lima menit untuk satu ide.
>>> setiap hari dibawa tapi tak ditulis heheheuu..
13. Put Your Best Forward. Pastikan follower-mu langsung membaca postinganmu. Beberapa blog memiliki widgets yang langsung menposting tulisan setelah selesai ditulis di blog.
>>> so pasti..
14. Recycle. Luangkan waktu beberapa menit untuk melihat tulisan lamamu di blog. Cari blog orang lain, forum atau website yang tertarik untuk mempublikasikan tulisanmu. Edit kembali tulisan lamamu agar lebih ‘cantik’.
>>> sering juga sih.. 🙂
15. Menulis Review. Pembaca atau follower-mu biasanya ingin tahu buku favoritmu dan alasannya. Buat review singkat tentang buku yang sudah kamu baca dan post di website seperti GoodReads, Amazon.com and Red Room. Untuk karma baik, tulislah review positif untuk penulis favoritmu.
>>> kadang kadang sekali..
Cultivate Community
16. Prompt a Response. Prompt adalah kata atau tema sugestif yang memicu respon interaktif dari orang lain. Bisa berupa foto, simbol atau kata, atau bisa juga beruba teka-teki. Biasanya, penulis memberikan kuis buku gratis untuk pembaca. Jawaban benar diundi dan dicari pemenangnya. Coba saja, pembaca pasti suka.
>>> belum punya buku 😦
17. Lima Menit Interaksi. Reply komen yang masuk di blog. Beri ucapan terima kasih kepada pembaca setia blog kamu. Karena mereka menyukai karya kita, beri penghargaan kepada mereka dengan meluangkan sedikit waktu untuk berterima kasih.
>>> langsung secepat kilat..
18. Buat Tawaran Menarik. Kalau kamu sedang mengerjakan proyek buku dan membutuhkan bantuan penulis lain, editor atau first reader, beri kompensasi. Bisa dengan memberi diskon untuk buku, atau namanya tercantum di daftar terima kasih. Buat mereka yang bekereja denganmu bahagia.
>>> tunggu duit dulu..
19. Kerjasama Stategis. Siapa yang ingin kamu jadikan partner? Ramah dan ringan tangan tentu diperlukan dalam kerjasama, tetapi kerjasama yang baik menguntungkan kedua belah pihak. Buat perjanjian tertulis agar lebih jelas dan terlihat formal.
>>> 1 project saja susah.. 🙂
20. Create a Quickie Blogroll. Buat list penulis kesukaanmu. Cari di Google lalu buatlah blogroll. Posisikan blogmu sebagai sumber inspirasi dilihat dari segi kualitas, bukan kuantitas.
>>> maksude??
Be Authentic
21. Be Yourself. Saran yang mengatakan penulis harus bersikap sesuai dengan brand image membuat kita melupakan sikap sebagai orang biasa. Tapi, social media dibuat untuk manusia, bukan robot. Faktanya adalah kamu seorang penulis, orang tua, bankir, public relations, etc. Pembacamu ingin melihat kamu sebagai diri kamu sendiri. Luanghkan lima menit untuk menulis profil yang ‘kamu banget’.
>>> cek, about me 🙂
22. Put Passion Into Action. Misalnya kamu menulis cerita fiksi. Apakah sulit untuk membuat outline dan landasan? Tidak. Kerjakan sepenuh hati. Jangan beranggapan tidak ada yang peduli. Anggap saja jutaan orang sepertimu, dan ingin berhubungan denganmu. Tulis pendahuluan singkat tentang mengapa kamu sangat bersemangat menulis tentang topik tersebut. Baca kembali setiap kamu online. Itu akan membantumu untuk fokus.
>>> iki mboh kie..
23. Get Together. Biarkan orang tahu akan kegiatanmu. Misalnya: mengajar, mengikuti workshop menulis, dan lain-lain. Make yourself accessible.
>>> nggak enak sama kantor 🙂
24. Spark Conversations. Banyak orang di luar sana yang tertarik dengan topic yang sedang kamu tulis. Cek Google, Twitter atau forum dimana topikmu sedang ramai dibahas. Aktiflah dalam diskusi. Biasanya penulis mendapat ide tambahan dari interaksi tersebut.
>>> kadang kadang sajo..
25. Share the Journey. Kehidupan seseorang penuh warna dan disisipi dengan lika-liku. Biarkan pembacamu tahu tentang keadaanmu. Update status dengan cerita lucu yang baru kamu alami, atau peristiwa sedih tentang kematian hewan peliharaanmu. Curious fans love to be treated like insiders.
>>> noh, cek Aku dan Alfa 🙂
Synergize Connections
26. Friend and Follow Media Pros. Cari akun penerbit, penulis dan editor lalu follow mereka. Ramahlah pada mereka. Jika namamu mulai dikenal, jangan kaget mereka yang akan mencarimu.
>>> sudah! dan belum dikenal.. hehe..
27. Say Thanks. Dalam waktu lima menit, kamu bisa menuliskan kartu ucapan terima kasih, menempelkan di buku dan membungkusnya dengan rapi. Lakukan dengan rutin, sebagai ucapan terima kasih atau hadiah kuis pembaca.
>>> dibilangin belum punya buku sendiri.. heuheuheu..
28. Articulate Your Allies. Siapa yang mensupport hasil karyamu? Karya siapa yang kamu suka? Sesama penulis biasanya saling membaca dan mereview tulisan masing-masing. Bertemanlah dengan mereka yang suportif sehingga tujuanmu tercapai dengan baik.
>>> yah, sesama saya yang satu itu malah menjauh kie..
29. Sesi Tanya Jawab. Buat daftar pertanyaan tentang topik yang menurutmu menarik. Mintalah orang-orang untuk menjawabnya dalam berbagai format: video chat, email atau wawancara via smart phone.
>>> hemmmm…
30. Shake Things Up. Stop menjadi penganut yes, Sir. Ambil satu topic lalu adu argumentasi dengan teman.
>>> opo maneh ki?
Produce Yourself
31. Capture E-mail Addresses. Gunakan servis newsletter service atau RSS feed service di blogmu sehingga orang-orang bisa mendaftar dan berlangganan blogmu.
>>> sudah kok..
32. Go Multimedia. Munculkan kembali konten lama dengan fresh media. Habiskan lima menit latihan membaca tulisanmu dengan smartphone. Atau hafalkan chapter awal, lalu bacalah sambil direkam tanpa skrip.
>>> hehehehe…
33. Ask for Feedback. Untuk mengetahui karyamu baik atau tidak, kita harus tahu pendapat orang lain. Kirimkan feedback form kepada pembacamu.
>>> segera deh..
34. Outsource Something. Habiskan lima menit untuk memikirkan topi yang sedang dipakai: the creative, the closer, the perpetual student, the accountant, the publicist, etc. Cari kelemahan yang kamu miliki dan mintalah orang lain untuk membantumu mengatasi kelemahan tersebut.
>>> berharap…
35. Share More. Satu kesalahan umum yang sering kita lakukan adalah to make it perfect, yang akan membuat kita memiliki banyak pembaca. Tapi, seringkali malah sebaliknya. Kerja keras untuk memaksimalkan tulisanmu.
>>> berusaha…
Publicize Yourself
36. Hunt and Answer. Jangan lupakan media tradisional. Jawablah permintaan media di Help a Reporter Out (helpareporter.com). Dalam waktu lima menit, kamu akan mendapatkan respon dari setidaknya satu media. Setiap postingan membuat namamu dikenal.
>>> kalau saja ada.. hahaha..
37. Grow Your List. Kemanapun kamu pergi, apapun yang kamu lakukan, bawa kertas/buku dan minta alamat email dari orang yang kamu temui. Siapa tahu, mereka adalah calon pembaca setiamu.
>>> iya ya?
38. Think Ahead. What do you have coming up? Buat daftar event yang akan berlangsung dan publikasikan di blog, newsletter, social media dan e-mail signature. Seringlah membuat update.
>>> maunya sih, kalau sempat..
39. Compartmentalize. Buatlah list email pembaca, teman, rekan kerja, dll. Reorganize your e-mail groupings.
>>> hihihihi…
40. Master the 5-Minute Release. Fokuslah pada satu peristiwa penting dalam waktu dekat. Buat press release dalam lima menit dan kirimkan setidaknya sebulan sekali. Short is good.
>>> nggak ada..
Pay it Forward
41. Round Up Resources. Kumpulkan buku, website dan sumber lain yang berhubungan dengan topic yang sedang kamu tulis. Be helpful to others, and they’ll send people to you.
>>> lha ini contohnya.. hehe..
42. Boost Others. Bantulah rekan penulis atau penulis debut dalam mempromosikan bukunya. Tawarkan juga untuk menulis testimonial.
>>> kalau ada yang minta, dengan rela hati…
43. Offer Your Services. Menurut Gary Vaynerchuk, penulis Crush It!, pertanyaan terbaik yang bisa kamu tanyakan di social media adalah, “What can I do for you?” Ide yagng simple tapi brilian. Lakukan secara berkala.
>>> siapppp…
44. Be a Good Guest. Tanyakan dirimu sendiri pertanyaan sulit dan controversial yang orang lain tidak berani tanyakan (tapi penasaran ingin tahu). Bisa dipost di blog dan dishare kepada pembaca.
>>> apa eaaa…
45. Hit the Highlights. Kamu tidak harus menuliskan semua hal yang dibicarakan dalam event/workshop. Tuliskan intinya dan bagikan di blog.
>>> T_T
Strut your Stuff
46. Count Down to Every Launch. Punya buku yang mau dirilis? Bagikan kegembiraan di social media. Tulislah promo bukumu, misalnya: minggu depan buku A akan rilis. Berikan juga clue tentang isi bukumu agar pembaca penasaran dan tertarik ingin membaca.
>>> nggak punyaaaa…
47. Spiff Up What’s Old. Tawarkan promosi agar orang tertarik membaca karyamu. Misalnya: diskon selama pre-order buku.
>>> maunyyaaaa…
48. Make Merchandise. Dalam mempromosikan bukumu, biasanya ada kuis gratis berhadiah buku. Kerjasama dengan media seperti majalah atau radio. Kamu bisa sekalian mempromosikan karyamu.
>>> kalau adaaaaa…
49. Sustain Yourself. Online secara aktif memerlukan keseimbangan dan kesabaran. Pertegas bagaimana dan dimana kamu ingin mencurahkan energi. Sortir kembali dan buatlah skala prioritas, dimana kamu bisa menulis dengan tenang dan online secara berkala.
>>> hihihihi…
50. Break Out of Your Box. Tanya diri sendiri, “Apa yang akan aku buat jika aku membiarkan diriku menciptakan apapun yang kumau?” Lepaskan label yang melekat, seperti novelis, penulis puisi atau jurnalis. Dalam lima menit, tulislah apa saja sejujurnya, dari lubuk hati terdalam. Kemampuanmu untuk keluar dari kotak bisa menginspirasi orang lain.
Sebuah gumam putus asa, setelah puluhan pesan singkat tak berbalas, dan beberapa pesan singkat yang berbalas, ditambah belasan kali nguping, semuanya bermuara pada satu jawaban: belum ada jawabannya.
Yama masih dalam proses mendekati cewek secara baik dan benar. Yama masih ingat betul setahun silam kena batunya. SMS-an sama nomor si cewek gebetan, eh ternyata yang membalas SMS itu adalah pacarnya si gebetan. Sebuah trauma yang diakhiri private message di Facebook. Panjang lebar, antar pria.
Sejak itu, Yama merasa bahwa mendekati cewek harus didahului oleh prosedur utama: pastikan kalau dia single. Bahkan cewek yang lagi rapuh juga tidak masuk kategori Yama.
Dan sekarang gadis idaman itu sudah ditemukan, persis di hadapannya sekarang. Masalahnya cuma 1, Yama nggak ngerti apakah Ninda masih single atau sudah double. Sepele sebenarnya. Dan berbagai taktik sudah dikeluarkan, berhasil pada cewek lain, tapi tidak pada yang satu ini.
Metode pertama, sindir-sindir mlipir. “Malam minggu nggak keluar?” atau “Nggak ada yang ngajak makan bareng?” adalah jenisnya. Jawaban Ninda? “Aku kan di rumah…”
Metode kedua, rekonfirmasi. “Nggak ada yang marah kan kalau aku SMS kamu?”. Jawaban Ninda kemudian, “Ngapain marah, semua temen juga SMS aku.”
Metode ketiga, ngintip-ngintip bintitan. Nongkrong di warung dekat rumah Ninda selama berjam-jam di malam minggu. Sesekali melihat ada cowok mampir memang, tapi nggak jelas itu ngapelin Ninda atau pembantunya. Soalnya kata Ninda, dia punya pembantu yang cantik dengan usia ABG. Metode ini diulang beberapa malam minggu sebelum muncul pengumuman di warung, “Nongkrong lebih dari 15 menit harus beli makan.”
Yama keder, karena selama ini, untuk 3 jam operasi, dia hanya membeli kerupuk. Gopekan.
Metode terakhir yang belum Yama coba adalah bukti fisik. Biasanya cewek akan menyimpan foto pacarnya secara terang benderang di dompet.
“Dompetnya! Itu dia!” Yama tampak seperti Archimedes ketika menemukan teori. Hampir saja dia berkeliling kampung dan berteriak, “Eureka.. Eureka..”. Untung saja kemudian di ingat kalau ide itu diperoleh jam 3 pagi, dan anjing-anjing galak di kompleks sedang diperkenankan untuk berkeliaran.
Sebuah pertemuan yang diatur agar tidak sengaja kelihatannya, diatur oleh Yama. Di kantin kampus, Yama pura-pura baru ada di kantin ketika Ninda nongol. Padahal Yama sudah di kantin dari subuh, dan Ninda datang ke kantin jam 2 siang.
“Hai, Nin.”
“Hai.. Nggak kuliah?”
“Lagi males aja. Hehehe.. Kamu nggak kuliah?”
“Lagi habis praktikum aja. Laper. Mau makan apa Yama?” tanya Ninda, dengan suaranya yang manis dan mengandung obat penenang karena Yama nyaris pingsan mendengarnya.
“Ngikut kamu aja,” jawab Yama malu-malu.
Yama mengikuti Ninda dari mengambil makanan, sampai ke kasir kantin. Ketika Ninda mengeluarkan dompet, Yama bergumam lagi, “Ini dia!”
Ninda membuka dompet, tampak sebuah foto disana, sosok dengan jumper coklat, dan kupluk terpasang di kepala.
Yama sudah merasa bahwa atap kantin tiba-tiba runtuh menimpanya.
Ninda masing geleng-geleng kepala sambil membawa makanannya ke meja. Sejurus kemudian, Lia datang sambil berteriak, “Niiinnnnn… Jumper coklatmu nih.. Ketinggalan di lab…”
Ninda menoleh lalu beraksi ala orang lupa di tivi-tivi, memukul ringan jidatnya dengan telapak tangan.
“Iyaaaa Li… Sorry lupaa.. hehehe.. Ketinggalan di mana?”
“Di rak lah. Dimana lagi? Mana ini jumper ada namanya terbordir dengan jelas. NINDA.”
“Hoooo.. sip-sip.. Thanks ya Li.”
“Sama-sama, Nin.”
Dan Nindapun melanjutkan makan siangnya, dengan jumper coklat kesayangannya. Jumper kelas waktu SMA. Jumper yang sama dengan yang dia kenakan di foto yang terpasang pada dompetnya.
🙂
-24 Januari 2012-
*edisi ngedit dari cerpen ini dimuat di buku Radio Galau FM Fans Stories.. hehehe.. Dengan ending yang berbeda..
Kakek dan nenek ini bisa bersatu lagi setelah 42 tahun lamanya terpisah. Kakek dan nenek yang pernah pacaran saat masih remaja itu bisa bertemu lagi berkat Facebook.
Maureen Wallace bertemu lagi dengan pacar remajanya, Hugh Forsythe setelah ia bercerai dari suaminya, Dugald Stewart. Maureen dan Hugh pernah menjalin asmara selama empat bulan pada tahun 1970. Saat itu mereka tinggal di kawasan Troon, Skotlandia.
Saat itu, Maureen yang memutuskan hubungan tersebut. Namun Hugh rupanya tidak pernah melupakan wanita yang jadi cinta pertamanya itu. Setelah lama berpisah dari istrinya, Hugh mulai mencari Maureen.
“Aku tidak pernah melupakan Maureen selama bertahun-tahun. Dia adalah cinta pertamaku dan tidak akan membiarkannya pergi lagi,” ujar Hugh (60 tahun) seperti dikutip dari Daily Mail.
Hugh kemudian mencoba mencari Maureen di Facebook, setelah puluhan tahun berlalu. Dia mengirimkan banyak pesan ke orang-orang bernama Maureen Stewarts yang ditemukannya di situs jejaring sosial itu.
Hingga akhirnya, Hugh mendapatkan balasan dari wanita impiannya. Apa balasan Maureen? “Apakah kamu Hugh Forsythe yang punya saudara laki-laki dari Barassie dan pernah kencan dengan gadis asal Barassie?” begitu isi pesannya.
Dengan senyum sumringah, Hugh pun membalas pesan tersebut. Sejak saat itulah mereka kembali berkomunikasi dan pergi ke tempat-tempat saat mereka berkencan dulu di 1970.
Pasangan yang terpisah selama 42 tahun itu, kemudian resmi menikah sebelum Natal. “Kami sangat beruntung diberikan kesempatan kedua. Tidak banyak orang mendapatkan itu,” ujar Maureen yang kini berusia 62 tahun.
Setelah menikah, keduanya memutuskan tinggal di daerah yang dulu membuat cinta mereka bersemi yaitu di Troon, Skotlandia. Mereka juga kini mengasuh cucu Hugh yang berusia 11 tahun, Dylan.