Kiranya hampir semua universitas punya Paduan Suara Mahasiswa alias padus alias PSM atau apalah namanya. Paduan Suara Mahasiswa kiranya merupakan sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) atau apalah namanya yang sejenis. Suka-suka yang punya kampus, toh? Nah, sebagai mantan anak Paduan Suara Mahasiswa saya lantas mengerutkan kening untuk mengenang apa-apa aja sih yang unik dari anak Paduan Suara Mahasiswa itu. Mengingat saya sudah lulus kuliah sejak zaman Boedi Oetomo, maka kerutan kening saya lumayan berlipat sehingga bisa membentuk partitur lagu galau.
Daripada kelamaan, baiklah, sesudah rada sering menulis kisah perjalanan #KelilingKAJ, ada baiknya kita refresh sejenak dengan beberapa fakta unik tentang anak Paduan Suara Mahasiswa versi ariesadhar.com
1. Anak Paduan Suara Mahasiswa biasanya adalah hasil seleksi. Namun biarpun sudah diseleksi, tetap ada seleksi alam.
Namanya juga Paduan Suara Mahasiswa yang membawa nama kampus, rekrutmen jadi nggak sembarangan ketimbang koor-koor biasa yang bahkan–kayak yang pernah saya lakukan–nyaut orang lewat yang penting rame. Anak-anak yang mau ikut Paduan Suara Mahasiswa harus dihadapkan pada persaingan ketat. Biasanya anak-anak semacam ini sudah ikutan paduan suara sejak dari TK, SD, SMP, atau SMA. Atau kalau ada yang nggak ikut sama sekali, lalu daftar jadi PSM ada juga kok. Saya. Padahal saat daftar saya itu nggak bisa membaca not. Membaca saja sulit, bagaimana mungkin diterima?
Bicara soal kebebasan berekspresi, negara ASEAN yang paling mula mendapatkan kesempatan itu adalah Filipina, via pergerakan people power yang berhasil menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos pada tahun 1986.
Pagi tadi, bangun tidur saya terus tidur lagi. Namanya juga buruh di hari Sabtu. Mumpung bisa bangun siang kenapa tidak? Nah, sesudah bangun yang kedua kalinya, saya lalu iseng buka Youtube dan tiba-tiba jari-jari mengarahkan ke video penampilan saya bersama Paduan Suara Mahasiswa Cantus Firmus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini. Itu adalah penampilan resmi terakhir saya bersama PSM CF (singkatannya), dengan status sebagai mahasiswa. Terjadi pada suatu hari di bulan Desember 2007.
Long time ago.
Mendadak saya mengingat-ingat, kok bisa saya bergabung dengan PSM CF ini. Sebenarnya kisahnya sih agak unik juga. Jadi–buat ngisi postingan aja–saya mau flashback perihal masuknya saya sebagai anggota PSM CF ini.
Sesudah menggalau karena nggak keterima UM UGM, akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar (lagi) ke USD. Sebagai manusia dengan nama yang sama persis dengan nama universitas, saya setengah terpaksa mendaftar kesini. Tapi saya nggak kebayang saja kalau saya masuk universitas lain di Jogja dengan nama saya ini. Mau jadi apa saya ketika Ospek nanti?
Ya sudah, USD saja.
Saya lalu membuka-buka buku promosi USD yang saya dapat waktu di sekolah. Saya lalu memilih Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang hendak saya masuki. Ada 3 yang saya tunjuk ketika itu, radio, penerbitan, dan paduan suara. Kalau radio, mungkin itu efek karena beberapa bulan sebelumnya saya sempat siaran di acara “High School Jam” Radio Swaragama. Untuk penerbitan, tentunya semacam retorika. Sebagai mantan anggota Cas Cis Cus di JB, saya memang identik dengan jurnalisme. Waktu itu belum kenal jurnalisme galau sih. Dan paduan suara? Entahlah. Saya pengen aja. Padahal di sekolah, saya juga nggak ikut paduan suara.
Sampai kemudian Expo di Insadha 2004 itu, saya “melewatkan” PSM CF yang adalah UKM paduan suara yang sempat hendak saya masuki. Saya justru fokus di UKM penerbitan, termasuk mendaftar dengan legal dan resmi. Adapun hal yang membuat saya keder masuk PSM CF adalah begitu mengetahui kalau tesnya pakai acara baca not segala.
Ya udah. Lewat.
Saya lantas join ke UKM majalah kampus. Tapi nggak lama. Sesudah satu pekan penuh pembekalan dan satu kali kunjungan ke sebuah kampus yang tidak jauh dari SMA saya, akhirnya saya memilih lari dari kenyataan. Ada kalanya keyakinan itu muncul belakangan, dan kala itu saya yakin kalau penerbitan kampus ini bukan jalannya saya.
*kemudian lari tunggang langgang*
Sampai kemudian saya tidak tergabung di UKM mana-mana. Saya resmi menjadi mahasiswa biasa yang tidak berniat aktif, sampai suatu saat sesudah praktikum, saya lewat di Lorong Cinta dan menemui latihan PSF. Ini adalah Paduan Suara di tingkat Fakultas. Fakultas Farmasi tentu saja. Saya ditarik untuk bergabung ketika itu, dan kok ya mau saja.
Lagu waktu itu adalah “For The Beauty of This Earth”. Dan saya kemudian terjebak dalam kengawuran hidup saya dalam 1 tahun penuh. Iya, asli ngawur, karena saya masuk ke suara TENOR. Enggg, waktu itu saya masih kurang paham soal bernyanyi sih. Jadi, mohon dimaklumi. Plis, sekali ini saja. Plis.
Nah gitu kan oke.
PSF ini kemudian yang membuka mata saya soal menyanyi. Di PSF inilah saya belajar soal bunyi Do Re Mi Fa Sol La Si Do, termasuk Do Di Re Ri Mi Fa Fi Sol Sel La Sa Si Do. Juga tentang modulasi dan nada dasar. Di bawah asuhan Mbak Ina yang teriakannya legendaris dari ujung lorong satu ke ujung lainnya, saya bertumbuh kembang sampai akhirnya ikut semua tugas PSF dalam periode 2004/2005, kecuali pada misa perpisahan Romo Andalas, yang waktu itu hendak studi ke luar negeri.
Di sela-sela itu, sekitar bulan Desember 2004, ada event bernama Golden Night. Sepertinya sih rangkaian dari 50 tahun USD. Saya sempat melihat beberapa teman saya berdandan rapi karena hendak tampil menyanyi disana. Iya, mereka adalah anggota PSM CF.
Dan entah kenapa, saya jadi pengen seperti mereka.
Anak muda emang kebanyakan keinginan.
Saya lalu join Insadha 2005 sebagai pendamping kelompok, kejatahan kelompok 24. Banyak dinamika yang saya alami di posisi ini, termasuk juga meninggalnya Mbah Kakung. Dan dinamika yang jelas justru ketika saya mengantarkan anak-anak kelompok 24 ke stand PSM CF waktu Expo UKM di Insadha 2005. Sambutan teman-teman saya sesama Farmasi, yang juga anggota PSF (oya, namanya PSF Veronica), membuat saya mengingat kembali keinginan menjadi seperti mereka.
Saya lalu mikir dan mikir, juga menimbang faktor perkuliahan yang tambah padat, dan IP saya semester 2 yang lumayan cakep dibandingkan semester 1. Hasil mikir dan mikir, saya kemudian memutuskan untuk mendaftar PSM.
Terlambat 1 tahun, itu pasti. Teman sekelas saya sudah 1 tahun bergabung disana. Saya juga akan bergabung dengan anak-anak yang menjadi dampingan saya selama Insadha. Dan terlambat 1 tahun sebenarnya bermakna semakin pendek waktu saya kalau nanti join PSM CF.
Ya udah, daftar aja dulu. Belum tentu juga diterima kan?
Saya mendaftar di hari terakhir. Juga tes di hari terakhir. Semua serba terakhir, karena pada saat yang sama lagi ada event Pekan Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (PIMFI) yang mana saya menjabat sebagai bendahara. Pertama kali dan terakhir kali saya jadi bendahara. Hehehe.
Tesnya ternyata dimulai dengan wawancara. Sebagai orang yang dalam 1 tahun sudah berkali-kali diwawancarai ketika mau gabung kepanitiaan, tentunya semua bisa saya lewati. Cuma wawancara ini, asal mbacot juga bisa.
Yang nggak bisa mbacot itu, tes berikutnya.
Namanya: Tes Intelegensi. Tes yang bikin saya keder untuk gabung PSM CF setahun silam.
Kalau tadi saya ketemu Mbak Lia dan Budi. Sekarang saya ketemu Mbak Citra dan Mas Dede. Di depan saya ada sekumpulan angka untuk dibaca. Iya kalau angkanya benar. Lha ini angkanya salah-salah. Maksudnya, notnya pakai acara coret sana sini, jadinya kan Di Ri Fi Sel Sa itu muncul semua.
Sontak saja saya keringat dingin.
Apalagi lanjutannya adalah tes ketukan. Mbohlah apa saja yang saya ketuk dengan bunyi Pam Pam Pam sebagai pengganti X yang tertulis di soal. Soal ketukan ini, saya sebagai Tenor penganut Gandulisme di PSF, tentu gandul tetangga sebelah. Lah kalau sendirian begini, saya gandul siapa?
Hingga tes terakhir, pemetaan suara. Saya disuruh baca not sampai ke bawah. Sampai kemudian Mbak Citra bilang, “Kamu itu bass asli.”
TERUS KENAPA SELAMA INI SAYA JADI TENOR? SALAH KOK SUWI BANGET?
Hampir jam 10 malam saya menyelesaikan tes masuk PSM CF itu. Sebagai manusia yang selalu ingin pulang malam–karena suatu hal yang bisa dicari tahu disini–maka jam 10 itu menjadi sangat biasa. Saya pulang dengan anggapan nggak akan lolos. Apalagi soal tes intelegensi tadi.
Saya pun menjalani hari-hari seperti biasa. Sampai akhirnya Finza bertanya pada saya waktu praktikum.
“Kamu tuh niat nggak daftar PSM?”
“Kalau nggak niat ya saya nggak daftar.”
Tidak lama sesudah saya menjawab begitu ke Finza, saya mendapati pengumuman yang menyertakan nama saya di deretan anggota baru PSM CF yang diterima. Tentu saja dalam kategori suara Bass.
Ya. Saya jadi anggota PSM CF juga pada tahun 2005 itu.
Buat saya, ini kadang menjadi aneh. Tapi justru menjadi kebanggaan besar. Kalau waktu itu saya nggak mendaftar CF, maka nggak akan ada penampilan yang bisa dilihat di bar yang ada di atas, pada tab “My Performance”. Sebagian besar itu bersama CF lho. Kalau nggak ikut CF, mana ada kisahnya saya mewakili kampus untuk sebuah lomba.
Ya, tentunya ada yang dikorbankan. Tapi menjadi mahasiswa S1 tanpa harus terbebani tanggungan hanya bisa dilakoni sekali seumur hidup. Maka, tidak pernah ada penyesalan dengan IP jongkok saya di S1, karena dibalik itu saya punya banyak pengalaman, yang sebagian diantara terjadi karena saya bisa bergabung dengan PSM CF.
Golden Voice Member
Ini cerita saya. Hendak berbagi cerita yang lain? Silakan 🙂
Ada suatu masa yang telah berlalu, yang kemudian memberi warna, makna, dan rasa pada kehidupan kita. Itu sudah pasti. Dan pernahkah kita merindukan masa-masa itu?
Saya yakin, pernah.
Dan mungkinkah kita kembali ke masa itu?
Tentu kita nggak akan menjadi muda kembali. Tapi itu bukan berarti kita tidak bisa sejenak pulang dan merasakan kembali masa yang telah berlalu itu.
Yup. Sejenak pulang. Sebuah terminologi yang kurang lebih bermakna ‘kembali’. Sebuah diksi yang sejatinya tidak akan bermakna lebih tanpa kehadiran manusia di dalamnya.
Ya anggaplah dulu kita pernah tinggal di suatu tempat, lalu bertahun-tahun kemudian kita kembali ke tempat itu, tapi kita tidak menemukan orang-orang yang dulu ada di tempat itu bersama kita. Makna pulang jadi kurang terasa.
Maka, apa jadinya ketika orang-orang dengan kerinduan yang sama, memutuskan untuk pulang dalam satu waktu yang sama?
Pastinya sangat monumental.
Dan disinilah itu akan terjadi.
Bermula dari sebuah tantangan sang pelatih yang langsung disambut antusias, maka terjadilah event ini:
Konser Reuni Alumni Paduan Suara Mahasiswa Cantus Firmus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Namanya juga konser reuni, maka yang akan ada di panggung adalah orang-orang yang dulu pernah berjuang bersama di PSM Cantus Firmus, dan kini sudah tersebar di berbagai tempat, yang khusus pulang untuk konser ini.
Mereka datang dari tempat-tempat yang berjauhan, dari barat Indonesia, juga dari timur Indonesia, pun dari sekitar ibukota, hingga dari belahan dunia yang berbeda.
Mereka datang, untuk pulang.
Pernah melihat yang seperti ini sebelumnya?
Untuk itu, jangan lewatkan Konser Reuni Alumni Paduan Suara Mahasiswa Cantus Firmus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini. Digelar di Concert HallTaman Budaya Yogyakarta pada hari Sabtu tanggal 22 Juni 2013.
Untuk reservasi tiket bisa melalui Mbak Niken (08985554109). Sistem pemesanannya juga sudah canggih, jadi bisa memilih bangku yang hendak direservasi hanya dengan klik disini 🙂
Tunggu apalagi? Masih hendak melewatkan peristiwa istimewa ini?
Jaman saya ikut pergerakan dulu, ada istilah terkenal ‘Jas Merah’ alias Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Ya walaupun saya nggak cukup lama di bidang pergerakan ini karena terbenam dengan laporan praktikum dan paduan suara, tapi hawa politik masihlah ada nyantol sedikit di kepala. Hehehe..
Nah berhubung ini lagi rame Pemilu 2014 yang undian nomor urutnya sudah dilakukan kemarin. Mari kita sedikit refresh perihal nomor urut ini. Dimulai dari jaman saya ngeh politik yakni Pemilu 1999. Kalau sebelumnya, masih perlu dikasih tahu? Itu mah retorika.
Nomor 1 Partai Persatuan Pembagunan (PPP), nomor 2 Golongan Karya (ingat! dulu ini disebut Golongan, bukan Partai), dan nomor 3 Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Oke, Pemilu 1999, asli kayak pasar. Karena kran reformasi baru dibuka, jadilah partai yang ikut sampai 48.. Edyannn.. List-nya ini (dikutip dari sini)
01. Partai Indonesia Baru
02. Partai Kristen Nasional Indonesia
03. PNI – Supeni
04. Partai Aliansi Demokrat Indonesia
05. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia
06. Partai Ummat Islam
07. Partai Kebangkitan Ummat
08. Partai Masyumi Baru
09. Partai Persatuan Pembangunan
10. Partai Syarikat Islam Indonesia
11. PDI Perjuangan
12. Partai Abul Yatama
13. Partai Kebangsaan Merdeka
14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa
15. Partai Amanat Nasional
16. Partai Rakyat Demokrat
17. Partai Syarikat Islam Indonesia – 1905
18. Partai Katolik Demokrat
19. Partai Pilihan Rakyat
20. Partai Rakyat Indonesia
21. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi
22. Partai Bulan Bintang
23. Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia
24. Partai Keadilan
25. Partai Nahdlatul Ummat
26. PNI – Front Marhaenis
27. Partai Ikatan Penerus Kemerdekaan Indonesia
28. Partai Republik
29. Partai Islam Demokrat
30. PNI Massa Marhaen
31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak
32. Partai Demokrasi Indonesia
33. Partai Golkar
34. Partai Persatuan
35. Partai Kebangkitan Bangsa
36. Partai Uni Demokrasi Indonesia
37. Partai Buruh Nasional
38. Partai MKGR
39. Partai Daulat Rakyat
40. Partai Cinta Damai
41. Partai Keadilan dan Persatuan
42. Partai Solidaritas Pekerja
43. Partai Nasional Bangsa Indonesia
44. Partai Bhineka Tunggal Ika Indonesia
45. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia
46. Partai Nasional Demokrat
47. Partai Ummat Muslimin Indonesia
48. Partai Pekerja Indonesia
Pemilu ini yang ujung-ujungnya menghasilkan Gus Dur sebagai Presiden dan lantas terjadi dinamika politik segala macam sehingga Megawati naik dari posisi Wakil Presiden menjadi Presiden. Dan, kalau nggak salah Hamzah Haz yang naik jadi wakil kemudian.
Pemilu ini dilanjutkan di tahun 2004, dengan bintang baru: Demokrat. Ada 24 partai yang ikut serta–berkurang setengah (dikutip dari sini).
1. PNI Marhaenisme
2. Partai Buruh Sosial Demokrat
3. Partai Bulan Bintang
4. Partai Merdeka
5. Partai Persatuan Pembangunan
6. Partai Demokrasi Kebangsaan
7. Partai Indonesia Baru
8. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
9. Partai Demokrat
10. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia
12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia
13. Partai Amanat Nasional
14. Partai Karya Peduli Bangsa
15. Partai Kebangkitan Bangsa
16. Partai Keadilan Sejahtera
17. Partai Bintang Reformasi
18. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
19. Partai Damai Sejahtera
20. Partai Golkar
21. Partai Patriot Pancasila
22. Partai Sarikat Indonesia
23. Partai Persatuan Daerah
24. Partai Pelopor
Laluuuu, pemilu ini yang memenangkan (kalau nggak salah) Golkar, tapi kemudian menjadikan SBY-JK sebagai pasangan presiden-wapres. Oh iya, di Pemilu ini saya untuk pertama kali (dan sejauh ini, juga terakhir kali) ikut pemilu. Hahaha..
Berikutnya, keduanya pecah kongsi di Pemilu 2009 yang diikuti oleh 31 partai (sumber disini).
1. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
2. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB)
3. Partai Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (P3I)
4. Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
5. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
6. Partai Barisan Nasional (Barnas)
7. Partai Keadian dan Persatuan Indonesia (PKPI)
8. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
9. Partai Amanat Nasional (PAN)
10. Partai Indonesia Baru (PIB)
11. Partai Kedaulatan
12. Partai Persatuan
13. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
14. Partai Pemuda Indonesia (PPI)
15. Partai Nasional Indonesia Marhaenis (PNI Marhaenis)
16. Partai Demokrasi Pembaruan (PDP)
17. Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan)
18. Partai Matahari Bangsa (PMB)
19. Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI)
20. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK)
21. Partai Republik Nusantara (RebublikaN)
22. Partai Pelopor
23. Partai Golongan Karya (Golkar)
24. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
25. Partai Damai Sejahtera (PDS)
26. Partai Nasional Banteng Kerakyatan Indonesia (PNBK)
27. Partai Bulan Bintang (PBB)
28. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
29. Partai Bintang Reformasi (PBR)
30. Partai Patriot
31. Partai Demokrat
32. Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI)
33. Partai Indonesia Sejahtera
34. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)
Di partai ini pemenangnya, sejujurnya saya LUPA.. hahaha.. Tapi ujung-ujungnya SBY jadi presiden lagi.
Terbaru, ada 10 partai yang lolos verifikasi dan menjadi peserta SAH pemilu 2014. Benar-benar pemangkasan, 9 lama dan 1 baru, jadi 10. Ini dia (dikutip dari sini).
1. Partai Nasdem
2. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
3. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
4. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
5. Partai Golkar
6. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
7. Partai Demokrat
8. Partai Amanat Nasional (PAN)
9. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
10. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
Well, entahlah, akan menghasilkan kualitas legislatif macam apa lagi pemilu dengan 10 partai ini. Satu harapan saya sebagai anak bangsa ya sepele, supaya bangsa ini menjadi lebih baik. AMIN! 😀
Haha.. Nggak usah dijawab. Ya, sebagai contoh nih, lihat di page yang ada di blog ini bahwa saya pernah ikut lomba Christmas Choir Competition. Ada choir kan disitu? Anggap saja paduan suara.
Dua kali ikut lomba choir di dua pekan belakangan membuat saya sedikit ‘terbuka’ tentang profil choir yang ada–terutama di Jakarta.
Dipikir-pikir, uang yang berputar sebenarnya cukup besar. Kalau dulu di Jogja, setahu saya levelnya sekitar 600 ribu-an, di Jakarta bilangan sudah jutaan. Kualitas? Don’t ask. Saya bisa pastikan bagus, karena ya memang bagus.
Kapan ya, saya bisa ikut lagi choir yang ‘bener’?
Maksudnya, yang kualitasnya bagus, yang latihannya rutin, yang tugasnya rutin, dan yang MENAMBAH INCOME. *butuh duit mode on*
Iya, saya emang ‘ngelatih’ (mungkin lebih tepatnya milihin lagu sama jadi dirigen, i am not really sure that i am a choir coach) di lingkungan. Tapi, aih, boro-boro. Yang latihan 20, yang tugas 40. KEMANE AJE???
Kualitas apa sih yang diharapkan kalau begitu? Kualitas asal tahu lagu? Entahlah.
Saya lomba choir bareng CFX, alias Ex-CF. Lha tapi gimana latihan yang baik dan benar dan rutin dan lainnya kalau personelnya se-Jabodetabek. Sekali latihan (contoh di Gading Serpong), saya bisa habis 50 ribu ongkos doang, belum kalau kelaparan, belum lagi ada orang dekil masuk ke bis, makan silet, lalu minta duit. *dasar edan* Choir semacam ini sangat mengandalkan kualitas individu dan rekam jejak masa silam untuk saling mengenal. *tapi gitu-gitu juara satu lohhh…*
Kapan ya? Sesungguhnya, saya rindu suasana choir yang sebenarnya 😦
Ada banyak penyesalan dalam pilihan hidup. Kenapa menyesal? Karena seharusnya ada pilihan yang lebih baik.
Dan salah satu penyesalan terbesar saya dalam hidup adalah melewatkan kesempatan bergerilya dengan musik, tepatnya menyanyi.
Dulu saya juara 2 loh, lomba nyanyi di SD Fransiskus, kalah sama Abe alias Abrar Zaki. Dan itulah kali terakhir saya bernyanyi di depan umum dalam kompetisi. Berikutnya, bahkan untuk menyanyi di depan kelas pun saya malas. Kalau adik-adik saya di level SMP sudah mazmur di gereja, saya memilih untuk tidak. Bagian terburuknya adalah kala tugas nyanyi di SMP, dengan suara puber, saya gagal membawakan bagian “kita jadi bisa menulis dan membaca, karena siapaaaaa…” dengan baik. Haduh. Tapi vokal grup saya di SMP sempat menang loh. Kelas 2 dan kelas 3. Itulah bekal terakhir.
Adapun di pelajaran musik, saya sama sekali abai dengan 1 2 3 4 5 6 7 itu. Nggak suka, entah kenapa.
Ujungnya, di SMA ketika ada tawaran ikut paduan suara, saya memilih nggak ikut, dengan mantap.
Sebatas itu, sampai kemudian saya mengenal Paduan Suara Fakultas Farmasi yang bernama Veronica. Semata-mata teriming-imingi makan dan snack gratis, saya ikutan nyoba menyanyi, tanpa paham banget kalau 1 itu bunyinya do yang seperti ini. Saya buta benar-benar. Saking butanya, saya nyemplung di tenor. Sebuah opsi gaib yang kadang bikin saya geleng-geleng.
Di bawah asuhan Mbak Ina yang keren banget, saya belajar soal not sampai akhirnya bisa menyanyikan lagu dari notasi angka-angka. Saya baru menyadari indahnya angka-angka itu di semester 1 saya kuliah, di usia 17 tahun. SEBUAH AWAL YANG SANGAT TERLAMBAT!
Tapi bagi saya, lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali. Maka saya mencoba serius di PSF ini dengan mengikuti semua kegiatannya. Saya hanya luput 1 waktu perpisahan Romo Andalas, karena harus makrab Dampok Insadha 2005. Jadi dari seluruh tugas di periode 2004/2005, saya hanya bolos sekali. Dan saya semakin menyukai hal ini.
Dan sebuah godaan besar muncul ketika saya membawa anak kelompok 24 Insadha 2005 ke stand PSM Cantus Firmus. Well, melihat teman-teman macam Rinto, Shinta, Finza, hingga Daru membuat saya pengen ikutan. Jadi kalau rata-rata orang mendaftar PSM CF itu di semester 1, saya di semester 3. Telat lagi.
Modalnya nekat bener, nggak bisa apa-apa. Saya dites not sama Mas Dede dan Mbak Citra dan mereka tampak geleng-geleng. Dari sisi intelegensi, saya mungkin NOL BESAR. Tapi entahlah, nyatanya saya masuk.
Di CF inilah saya ditegaskan sebagai pemilik suara BASS MURNI. See? Bahkan saya ngawur masuk tenor. Ibarat kata, melanggar kodrat. Di CF juga saya semakin memperdalam soal not, soal akord, soal bagaimana berlatih, soal bunyi do re mi dan seterusnya, hingga kemudian tampil dan tampil lagi.
Pelan-pelan angka-angka itu menjadi kesukaan. Misal nih, untuk bagian Sing Haleluya Clap Your Hands itu bunyinya la do la do re mi re do la. Lalu ada beberapa lain yang saya pelan-pelan hafal. Di PSM CF inilah saya dilatih sama pelatih paling berkarakter yang saya tahu dari karier singkat paduan suara saya, Mas Mbong. Di PSM CF sendiri ada Cik Lani dan Mbak Prima sampai Bu Jin yang bergantian memimpin latihan.
Paralel, saya juga masih kukuh di PSF karena saya nggak pengen meninggalkan tempat saya belajar baca not itu. Waktu itu dibawah asuhan Ulit alias Fitri hehehe…
Dari pelatih-pelatih itulah saya mencoba belajar dan terus belajar, utamanya mengatasi ketertinggalan saya bertahun-tahun karena baru ngeh soal musik ini di usia 17 tahun sementara yang lain mungkin sebelum belasan sudah pakar.
Ketika lulus, saya satu kerinduan saya kemudian adalah bernyanyi. Sempat sih di Palembang beberapa kali, tapi ya jujur, saya sendiri kurang total keluarnya. Saya jadi sadar kalau saya itu orang gandulan. Maksudnya, dulu di PSF ada Rudi, di PSM ada Oon dan Brondang. Ketika mereka nyanyi besar, saya bisa tampil besar. Ketika di Palembang, tidak ada yang besar, saya ikutan nggak besar. Padahal jelasnya di CV saya tampil tuh Golden Voice dan KPS Unpar yang menandakan saya seharusnya bisa jadi gandulan. Nyatanya? Tidak.
Dan di Cikarang ini, ketika saya kehilangan paduan suara sama sekali, eh saya malah dapat macam-macam kesempatan. Mulai dari ikut pegang mike dan dapat part sendiri waktu di Titan (fals pulak.. huhuhu..) sampai yang terbaru dan lumayan bikin bingung ini.
Jadi suatu ketika saya pergi menemui teman lama yang datang ke Cikarang, lalu pulang-pulang dapat kabar kalau saya dan Agung diminta melatih koor karena pelatih lawas pindah rumah. BUSET! Saya sepanjang hidup itu cuma jadi anggota, solis saja tidak pernah, paling mentok nyanyi mazmur “Ya Tuhan aku datang melakukan kehendakMu”. Udah. Mau disuruh ngelatih koor?
Waduh.
Dan, barusan ini, saya berdiri di depan podium dan belagak menjadi pelatih. Astaga. Menjadi pelatih itu ternyata tidak sesederhana yang mungkin saya duga. Saya dulu paham kalau jadi pelatih itu sulit, tapi kok sepertinya nggak sesulit ini. Tapi nyatanya ya sulit. Saya ini hanya melatihkan lagu unisono loh. Belum yang 2, 3, apalagi 8 suara. Di lagu pertama sudah cukup bikin keringat dingin. Grogi sumpah. Memang rasanya belum mengalahkan tampil pom-pom, tapi serupa dengan tampil di lomba. Fiuhhh…
Untunglah, menurut saya, debut hari ini lancar. Ah, semoga berikutnya juga demikian.
Terima kasih untuk para inspirator saya, Mbak Ina, Ulit, Mas Mbong, Mbak Prima, Cik Lani, Bu Jin, lalu juga yang sempat ngelatih saya macam Romo (dulu Frater) Ardi, Mas Selsi, sampai Santo. Kalian semua hebat! 😀
Oktober 2009, ketika gedung itu baru saja diresmikan, aku yang jelas dan lugas masih unyu itu tampil bernyanyi bersama (kalo nggak salah) 9 orang lainnya. Bangga? Waktu itu mungkin iya, bayangkan saja seorang bocah yang baru 5 bulan kerja sudah disuruh pergi ke kantor pusat, bukan untuk dinas meeting atau training, tapi untuk nyanyi.
Tapi siapa sangka nyanyi itu berujung trauma?
Lagunya itu pakai minus one, dan ada interlude lumayan dengan isi instrumental ciduk-ciduk yang lumayan. Dan entah siapa yang salah, persis pada saat interlude itu, lagu DIMATIKAN!
Bayangkan saja kalau lagi nge-seks tapi belum klimaks. Mungkin kayak gitu, nggak tahu sih saya. Tapi itu lagu belum kelar, dan klimaks lagunya di belakang, dan itu tidak ada.
Cengak cengok di panggung bingung kenapa bisa begitu?
Lagu kedua kemudian berakhir bubar jalan. Cuk Mailang yang aslinya simpel itu menjadi lagu dengan nada yang lari kemana-mana. Tidak saya, tidak orang di sebelah saya, sama saja. Faktor psikis membuat mental bubar jalan. Parah. Saya sakit hati sama yang matiin itu musik. Dan lebih jauh, saya trauma tampil di panggung lagi.
Ehm, di PSM Cantus Firmus saya diajari benar bagaimana tampil di panggung. Mulai dari panggung Melody of Memory hingga ICC Mega Glodok Kemayoran lantai 10. Dan kemudian saya harus berakhir trauma di sebuah gedung di Bintaro itu?
Huffffttttttt…
Dan kemarin, dengan terpaksa, saya kembali ke panggung itu. Dengan nuansa yang lebih parah, cuma berempat, dan bernyanyi. Cukup? Tidak! Ada bagian khusus ketika saya harus bernyanyi sendiri. Saya itu orang paduan suara yang ada di bass dan tidak pernah dapat jatah solis. Dan saya harus menyanyi sendiri?
Meski itu hanya 2 kalimat, sudah cukup bikin merinding! Sumpah!
Dua lagu, Tanah Air dan Mengejar Matahari menjadi warna beda dalam upaya menghapus luka dan trauma. Kalau nggak begini, mau sampai kapan saya trauma sama panggung itu? Ya kan?
Syukurlah, tidak ada kejadian krusial macam 3 tahun silam. Banyak yang bilang bagus, meski saya tahu saya fals, dan itu diamini oleh teman saya sesama CF. Ehm, dalam hal ini anak CF memang selalu bisa objektif. It’s okay for me. Tapi apresiasi juga tentu saya terima dengan penuh rasa terima kasih.
Setidaknya saya tidak perlu trauma dengan panggung itu. Beberapa waktu terakhir saya banyak melawan ketakutan. Mulai dari naik Banana Boat, nonton di GBK, hingga tampil kembali di panggung itu.
Percayalah, tidak ada luka yang sejati, selama kita berniat menghilangkannya 🙂