Revisi ariesadhar.com

Saya sadar sepenuhnya bahwa secara konten blog ini kacau sekali. Tapi dulu itu kan maunya blog ini untuk menampung keinginan saya menulis. Jadi apapun saya tuliskan.

Nah, kalau mau jadi blogger yang benar, dan mengingat sudah saatnya saya memonetisasi blog ini, dengan tidak menghilangkan kandungan ‘just a script’ yang menjadi roh blog ini, maka saya harus merevisi.

Jadi, gimana enaknya?

Akhirnya sih saya putuskan untuk mengaktifkan eks blog bermerk ariesadhar.blogspot.com yang saya buat sewaktu blog ini kena blokir. Agar tidak rancu, nama itu saya off, dan saya pakai nama alfarevo.blogspot.com.

Nah, beberapa tulisan yang sepi pembaca dan NOL komentar akan saya pindahkan kesana. Iya, benar-benar hanya copy dan paste. Nah, tulisan aslinya dengan berat hati akan masuk ke Trash.

Mau nggak mau ya begitu.

Jadi ke depannya, isi blog ini nggak akan terlalu sering tapi pendek-pendek (seperti posting ini). Sesudah menulis Loser Trip, saya jadi paham gunanya menulis draft dan mengecek berulang kali sebelum ditampilkan.

Hehehe.

Penulis yang baik harus selalu memperbaharui diri kan?

Begitu saja. Selamat menikmati perubahan minor di blog ini 🙂

“Handphone Untuk Adikku”

Judulnya cakep ya? Udah mirip judul film (apa sinetron? malah lupa) semacam “Hari Untuk Amanda”. Iya, judul cakep diperlukan untuk membuat penulis yang tidak cakep menjadi cakep.

*apa-apaan ini?*

Beberapa hari yang lalu iseng kembali buka website Tokopedia. Kok ya kebetulan ketemu ada kontes berbagai cerita. Berhubung saya punya sedikit cerita dengan Tokopedia, jadi mari dituliskan disini.

Disini loh..

Loser Trip: Full Story of Journey

Apaan Sih?
Apaan Sih?

Pertama-tama saya ucapkan selamat datang di posting ini. Intinya sih, posting ini akan panjang sekali. Jadi kalau kuota anda bermasalah lebih baik segera klik tanda silang yang ada di kanan atas, lalu beli kuota baru, terus buka lagi posting ini. Kalau nggak mau ya nggak apa-apa juga sih. Yang penting jangan minta pulsa atau kuota sama saya. Itu saja.

Kita mulai dari judul? Kenapa judulnya begini? William Shakespeare saja bilang “apalah arti sebuah nama?”. Itu sudah penulis legendaris lho. Makanya, saya yang penulis cupuistis juga hendak menyitir Pak William dengan menyebut “apalah arti sebuah judul?” Hanya orang-orang tertentu yang tahu makna kata pertama dari judul posting ini.

Sudah ini? Mulai? Yakin? Baiklah! INI DIA!

Ini kompilasi keren sebenarnya. Keren karena sebenarnya duit saya lagi mendekati tandas, tapi niat saya malah menyerbu kuat. Akhirnya kantong ngalah. Untung pula ada pengumuman penyesuaian gaji karena kenaikan BBM, jadi urusan kantong bisa dipikirkan belakangan. *buru-buru beli mie instan yang banyak*

Trip ini dirancang dalam rangka membuat diri saya tidak menjadi loser sejati. Sebagai perencana produksi yang ulung dengan angka order fulfillment selalu 100% sejak 2011–silakan cari Supply Chain lain sedunia yang dalam dua tahun berturut-turut bisa segitu angka order fulfillmentnya–maka saya nggak perlu perencana trip. Saya tinggal mengandalkan Mbah Google dalam merencanakan trip ini.

Dan tujuan dari trip kali ini adalah….

Selamat Datang di Semarang
Selamat Datang di Semarang

SEMARANG!

Saya ambil cuti dua hari, Kamis dan Jumat untuk perjalanan ini. Agak aneh ya? Intinya sih saya mau sebelum lebaran. Saya juga nggak menggunakan jalur darat Pantura alias bis. Ada dua pertimbangan utama. Pertama karena saya membawa Tristan dan Eos, yang total nilai keduanya melebihi harga diri saya, soalnya masih utang. Kedua, karena saya masih tobat soal Cikarang-Jogja 18 jam. CAPEK!

Lalu naik apa? Karena tujuan lain dari trip ini adalah untuk memberdayakan si Eos, maka saya memutuskan untuk naik pesawat.

Biasanya Kramat Djati, sekarang beralih sedikit ke Garuda. Sekali-kali nggak apa-apa. Harganya “cuma” selisih 100 ribu dengan si Merah. Dan Garuda kan nggak pakai pajak bandara lagi, jadi total hanya selisih 50-60 ribu saja. Anggaplah selisih itu sebagai harga roti dan segelas susu ultra, plus buat nambah-nambah kilometer terbang saya sebagai Frequent Flyer Garuda. Iya. Setahun dua kali naik Garuda aja nggaya punya Frequent Flyer. Penumpang macam apa saya ini? Memalukan.

Semua urusan pertiketan saya bereskan 24 jam sebelum berangkat. Tiket Garuda saya beli online menggunakan website Garuda. Dan sebagai Frequent Flyer, saya login, lalu beli. Kemudian bayar pakai e-commerce BCA. Dunia makin gila ya. Saya bahkan nggak perlu mengucap sepatah katapun untuk membeli tiket ini. 512.500 terdebet dari rekening payroll saya untuk sebuah tiket Garuda Indonesia dari CGK ke SRG. Karena sebelumnya saya hanya pernah ke Semarang naik sepeda motor dan bis, maka artinya ini adalah penerbangan pertama saya ke Semarang. Artinya lagi, ini menambah koleksi bandara yang saya darati. Tercatat sebagai penerbangan ke-76 saya seumur hidup. *melankolis kampret yang menghitung dan mencatat jumlah penerbangan yang dilakoni*

Sedangkan untuk pulangnya, lagi-lagi untuk memberdayakan si Eos, saya order online via layanan 121-nya Kereta Api. Dan ini juga pertama kalinya saya akan naik kereta dari Stasiun Semarang Tawang (SMT). Dan biar lebih seru–sekaligus lebih murah–saya ordernya bukan kereta api jurusan Jakarta, apalagi Cikarang. Saya beli tiket Semarang – Bandung, lalu lanjut Bandung – Jakarta. 😀

Dan karena saya sudah akrab dengan 121, maka bukan merupakan issue utama soal order ini. Cuma kok ya yang ngeladenin cowok, biasanya kan cewek. -____-” Transaksi saya tuntaskan via ATM Mandiri, seperti biasanya.

Dan sampailah hari Kamis, harinya perjalanan. Saya cabut dari kos-kosan jam 6 kurang 15. Pikir saya, jam 6 gitu kan, jalanan masih sepi. Tapi saya lupa kalau ini Cikarang. Bahkan ayam saja kalah agresif daripada Cikarang. Jam 6 itu segala macam bis, mobil, dan sepeda motor sudah berkeliaran di jalanan, dan nggak kalah macet dari jam 7, 8, dan seterusnya. Ini Cikarang, Bung!

Saya kemudian parkir si BG di tempat penitipan langganan, yang ada CCTV dan tempatnya terlokalisasi. Beda sama tetangganya, yang sekali-kalinya saya parkir, si BG pindah sejauh 100 meter. Kampret bener. Saya lalu menunggu Damri Jababeka – Bandara di depan penitipan motor itu. Tentunya berharap tidak ada orang kantor yang lewat. Dikiranya saya mau interview, jam 6 udah nangkring aja di tol. Selalu saja ada orang yang berprasangka buruk dengan mudah. Bahkan waktu saya Kelas Inspirasi aja dikira interview! Sinting.

30 menit saya menunggu, persis selama Jamrud menunggu tanpa suara dan resah harus menunggu lama kata darimu. Sesudah 30 menit itu, Damri yang dimaksud lewat. Saya naik, dan bertemu dengan…

Oma Cwi Mie.

Penting ya? Nggak juga sih.

Dua jam lebih saya digoyang di atas Damri ini. Ya namanya juga jam berangkat kerja. Tol Halim itu macetnya minta ampun. Saya bayangin Pak Anang yang SETIAP HARI menempuh kemacetan itu. Kuat-kuat saja dia. Kalau saya? Mungkin sudah resign dengan sukses. Sukses resign itu prestasi bukan ya?

Kira-kira jam 8 lewat 20 saya sampai di terminal 2F. Saya termasuk rombongan terakhir yang turun dari bis. Oma Cwi Mie bilang, “sukses ya”, waktu dia mau turun. Saya anggap itu adalah doa agar Loser Trip saya sukses menjadikan saya tidak loser.

Hasilnya? *ting tung ting tung*

Saya lalu kabur ke AW. Sudah lama saya tidak mencicipi makanan favorit dulu kalau di bandara, jaman masih LDR: Fish Sandwich. Di AW saya ketemu dengan dua karyawati berhijab, dan meladeni makanan. Ada tirai memang di depan AW. Ehm, ini semacam menghormati ya mestinya. Tapi saya kok tetap makan sambil ngelirik supaya mbak-mbak-nya nggak ngelihat. Kebiasaan di Bukittinggi masih kebawa banget.

Tapi saya nggak minum rootbeer, air putih saja. Sakit gigi ini begitu perih, sehingga saya harus berganti selera. Kalau lagi begini, saya baru menyadari bahwa sakit hati itu lebih mendingan. Ya nanti kalau lagi sakit hati, maka sakit gigi akan menjadi tampak lebih indah. Apa-apaan ini?

Terminal 2F lama-lama nggak asing memang dalam hidup saya, sejak saya mencoba menaikkan derajat dengan berprinsip, kalau bisa Garuda, ya Garuda. Kalau pulang misalnya, saya akan cari salah satu penerbangan Garuda. Dengan kompensasi penerbangan sisanya yang murah. Mudik terakhir saya “hanya” habis 1,2 juta pp, separo dari lebaran tahun lalu. Kenapa? Karena berangkatnya pakai Tiger Mandala, pulangnya Garuda. Bersakit-sakit dahulu, nggaya kemudian.

Penerbangan 11.50, dan saya sudah cek in jam setengah 10. Alangkah kurang kerjaannya saya ini. -____-

Lalu saya sudah mau masuk ke ruang tunggu. Nggaya naik conveyor. Begitu nyampe, ternyata antriannya sudah sepanjang seperempat akhir benda yang bikin malas itu. Walhasil belok kiri, jalan lagi seperempat conveyor, lalu antre. Eh buset. Sempat ditolak (hiks) masuk ruang tunggu karena kepagian, saya kemudian ngemper sambil online di luar ruang tunggu. Syukurlah saya sudah punya Tristan. Kalau nggak? Saya hanya akan repot nyari colokan si Lappy karena dia hanya mau hidup dengan colokan. Prinsip hidup yang cukup menyusahkan kalau lagi di bandara.

Begitu saya masuk ruang tunggu. Rada kaget juga. Iya kaget karena memang terakhir kali saya berangkat naik Garuda dari 2F memang sudah agak lama, kalau mendarat lebih sering sih. Kalau nggak salah pas nikahannya Boris. Eh pas ngurus SKCK ding. Kagetnya karena di ruang tunggu sekarang ada yang namanya pojok baca, disponsori sebuah asuransi. Ada sofa, ada majalah, ada buku, dan NYAMAN ABIS. That’s why i love Garuda 😀

Dan ruang tunggu menjadi semakin ramai. Saya selalu mengamati bahwa rupa-rupa penumpang Garuda itu banyakan songong-nya. Kalau penumpang Lion Air atau Sriwijaya itu banyakan katro-nya. Maaf ini kesimpulan sepihak. Memang saya ini sudah songong, katro pula. Lagipula dari 76 penerbangan saya, yang pakai Garuda baru belasan kok. Jadi memang saya ini banyak katro-nya. *bahkan saya sendiri kurang paham makna tulisan barusan*

Oke. Siap. Berangkat.

Sesudah panggilan boarding, saya segera naik bis. Ealah. Mahal-mahal beli tiket, jadinya ya bis juga. Dan tahu bukti songong-nya? Kursi ada, tapi semua pada mau berdiri. Songong karena mikirnya deket. Ternyata? Jauh abis! Soalnya pesawatnya parkir di keberangkatan luar negeri. Nyempil di dekat-dekat pesawat-pesawat besar. Mungkin nggak dapat tempat mendarat saking padatnya bandara terbesar di Indonesia Raya Merdeka Merdeka itu.

Saya sengaja milih tempat di jendela, jadi bisa dengan lebih mudah beraksi galau dan tidak terselamatkan. Cukup menatap jendela, bertemankan awan, setel playlist galau. Beres deh.

Tempat yang saya ambil adalah 21F. Yang mana daripada itu sedikit di belakang sayap. Maka tidak heran kalau separo hasil karya si Eos akan selalu berhiaskan sayap menekup ke atasnya si Garuda GA 236 ini. Okelah. Yang jelas mimpi saya bisa motret pakai DSLR lewat langit terlaksana. Terakhir kali saya motret dari langit itu ya pakai Brica Ambon. Sebelumnya malah pakai kamera pocket yang blitz-nya dimatiin. Mimpi itu bisa terwujud ya kalau diusahakan. Usaha ngutang buat beli si Eos, usaha cuti, usaha buat beli tiket pesawat. Simpel kan?

Hasil Karya Eos
Hasil Karya Eos

Sayangnya saya dapat 737-800 yang bukan NG. Jadi tidak dapat LCD pribadi kayak biasanya. Hanya ada layar nekuk di atas, dan kebetulan tepat di atas saya.

Njuk piye le nonton? *asem*

Dan ternyata penerbangan ini sebentar sekali, plus mlipir pantura. Jadi pemandangannya nggak jauh-jauh dari laut. Hiks lagi. Beda sama penerbangan dari Padang yang full of green, atau dari Palembang yang berhiaskan sungai plus Kepulauan Seribu. Cenderung lebih asyik untuk difoto.

Mlipir Pantura
Mlipir Pantura

Plus, ternyata penerbangan ini sebentar sekali. Cenderung nggak kerasa. Hedew.

Duduk Pas Sayap
Duduk Pas Sayap

Harapan saya untuk motret Kota Semarang dari langit kandas karena ternyata bandara Ahmad Yani ini langsung mlipir laut. Beda banget sama Jogja yang memperlihatkan profil kota sebelum mendarat. Ini laut, laut, sawah, lalu landasan. Rasanya bandara ini lebih besar dari Jogja, karena ngerem-nya nggak sekeras di Jogja, kalau menurut saya.

Sebelum Mendarat
Sebelum Mendarat Apa Sesudah Mengudara ya? *lupa*

Sampai di landasan, turunnya tanpa belalai. Benda yang hanya ada di bandara nggak minjem kayak Minangkabau atau SMB II. Kalau minjem kayak Jogja atau Semarang atau Medan yang Polonia, ya nggak ada. Tanda minjem? Lihat aja kalau ada menaranya tentara, itu tandanya bandara masih minjem. Minjem sejarah setidaknya.

Setelah mimpi motret dari langit terlaksana, sekarang mimpi motret pesawat dari landasan juga terlaksana. Kalau pakai HP, biasanya kan nunggu HP on dulu baru bisa motret. Sedangkan saya itu orangnya tertib, menyalakan HP yang kalau sudah sampai gedung terminal. Keburu nggak kelihatan pesawatnya.

GA 236
GA 236

Ada juga bapak-bapak yang motret pakai tablet-nya. Next target adalah tablet. Meski saya meragukan untuk apa juga saya punya tablet kalau semua aktivitas online masih bisa dicover sama si Young, ya meskipun dia harus tersambung selalu ke powerbank.

Sampai Semarang dan kesimpulannya adalah bandara ini kecil sekali. Lha kecil kalau begitu keluar LANGSUNG kelihatan parkiran mobil, dan ujungnya parkiran mobil juga kelihatan. Ealah. Plus akses keluar satu-satunya, selain dijemput dan ngesot, adalah taksi bandara. Dan layaknya taksi bandara manapun, tarifnya sungguh tiada masuk akal. Buat saya taksi bandara paling fair itu tetap Palembang. Bayar beberapa ribu di tempat, sisanya argo. Di Jogja? Tahun 2008, bandara ke Paingan yang cuma sakcrit itu bayarnya 35 ribu. Edan!

Mana yang ngelayanin karcis taksi itu udah tua pula. Kalau lambat kan logis. Tapi kalau lambat gitu kan saya emosi jiwa. Tapi ini kan perjalanan, masak saya emosi. Tak patut, kata Upin atau Ipin.

Hasil googling, saya memutuskan untuk naik taksi ke Katedral. Sebagai mantan warga Keuskupan Agung Semarang, saya kan pengen lihat juga Keuskupan Semarang dan katedralnya kayak apa. Sekaligus koleksi tambahan sesudah melihat Katedral Padang, Palembang, dan Jakarta.

Letak Katedral itu dekat Tugu Muda. Supir taksinya malah nanya, “Katedral mana ya Mas?”

Untung sudah googling. Hahahaha. Tinggal jawab, “dekat Tugu Muda.”

Dan ya memang Katedral itu seputar-putar Tugu Muda. Dan malah sebrang-sebrangan sama Lawang Sewu yang legendaris itu. Sayangnya nih, saya nggak bisa masuk Katedral itu. Agak miris juga ya, umat Katolik, nggak bisa masuk Katedral. Padahal di saat yang sama orang lain bisa masuk Watugong dan Gereja Blenduk, walaupun bayar. *tanya kenapa*

Di Katedral, tujuan saya yang utama sebenarnya cari halte Bus Rapid Trans-nya Semarang koridor 2. Cara irit kan? Sesudah tarif kampet 40 ribu bandara ke Katedral, maka perlu penetralisir dompet. Tentu saja 🙂

Di sebelah Katedral ternyata ada sekolah Dom Savio. Satu hal yang selalu saya ingat dari nama sekolah ini adalah dulu waktu di JB kelas I-5, ada anak nomor absen 5, namanya Alexander Ivan berasal dari sekolah ini, dan tidak pernah nongol sebagai siswa JB. Ini kan sebuah misteri, yang harus diungkap setajam silet. Silet pitik.

Sebenarnya pengen mampir dulu ke Lawang Sewu, wong cuma nyeberang. Tapi kok tiba-tiba mendung menggantung dan hujan melanda. Ya sudah, memandang Lawang Sewu-nya dari kejauhan saja deh. Saya akhirnya umpek-umpekan sama anak-anak sekolahan di dalam BRT warna merah jurusan Terminal Sisemut itu. Ini jam padat.

Agak unik BRT ini menurut saya. Mekanismenya lebih mirip Trans Musi mungkin. Ya secara saya belum pernah naik Trans Musi sih. Soalnya Halte-nya kosongan. Halte kosong ini tentu beda dengan Trans Jogja, apalagi Trans Jakarta. Jadi begitu umpek-umpekan, si penarik bayaran niscaya akan bingung, mana yang sudah dan mana yang belum. Untung bisnya kecil. Oya, bis-nya keren. Mungkin karena masih baru. Setahun yang lalu waktu saya ke Semarang demi naik Bejeu, belum ada BRT koridor 2 ini.

Intermezo sedikit, saya ketemu anak SMP cantik namanya Sabrina Taleetha, turun di Pasar Jatingaleh. *Iklan Layanan Masyarakat*

Satu hal lagi yang membedakan BRT ini dengan Trans Jogja, apalagi Trans Jakarta, adalah berhenti-nya. Selalu ditanya dulu. “Pasar Jatingaleh?”, kalau ada yang bilang ada, baru berhenti. Lah kan aneh. Jadi nggak selalu mandek di setiap halte. Dan yang unik berikutnya adalah di hujan yang deras itu ada Honda Tiger yang parkir PERSIS di tempat BRT harusnya mandek. Dan begitu BRT datang ke halte itu, yang punya motor diam saja, berasa halte ini punya Mbah Kakung-nya.

Itu kalau di Jakarta mungkin sudah dihajar massa.

Plus, ada satu halte yang saya lupa, yang di depannya persis terparkir mobil Carry jadul warna hijau. Dan khusus disini penumpang akan turun lewat pintu depan. Mungkinkah pemilik Carry itu adalah penunggu halte, sehingga BRT nggak berani menggusur. Suasana semakin mistis karena ada taburan bunga di atas Carry hijau itu. Hiiii… wagu.

Saya turun sejurus sesudah patung Pangeran Diponegoro. Masih hujan, tapi sudah tidak sederas waktu di Katedral. Mengulang kejadian yang sama setahun silam. Ya sudah, wong tas saya sudah punya pelindung parasut dua biji, jadi perjalanan diteruskan saja. Entah kenapa, sejak Heavy 13, saya memang cenderung takut hujan, Takut yang aneh.

Hari hujan ini justru bikin galau. Halah, nggak hujan juga galau. Sambil hujan-hujan ini, saya mengirim sebuah pesan singkat, yang kemudian sampai kepada nomor yang dituju. Iya, udah gitu doang sih.

TERUS KENAPA?

Nggak ada apa-apa sih. Sejak masuk penginapan sekitar jam 3, sampai kemudian Romelu Lukaku menorehkan luka ke gawang Kurnia Meiga, saya nggak keluar-keluar kamar lagi. Dengan kata lain, molor sampai pagi.

Bangun-bangun kok sudah Jumat. Coba kalau bangun-bangun masih Kamis, kan saya nggak harus nambah biaya penginapan. Di hari Jumat ini, tujuan saya adalah sebuah tempat yang katanya namanya Pagoda, beberapa kilometer dari tempat saya menginap. Ini aksesnya jauh lebih mudah daripada saya harus ke Sam Poo Kong. Dan katanya, yang akan saya tuju ini lebih gede. Ya benar atau tidaknya kan harus dibuktikan.

Pohon dan Angsa (Kelihatan Nggak?)
Pohon dan Angsa Di Depan Penginapan (Kelihatan Nggak?)

Hasil blogwalking bilang kalau saya cukup naik BRT arah Sisemut untuk bisa sampai ke tempat yang hendak saya tuju ini. Jadilah saya kembali ke Halte Srondol. Mikirnya kan logis ya, ada halte, ada BRT, ada penumpang, maka bis berhenti. Iya kan?

Iya apanya. Nggak! Saya nangkring di Halte Srondol dan cuma dilewatin doang sama bis nomor 39 dan 40. Setelah saya analisis, ternyata halte ini ketutup pohon, jadi nggak kelihatan kalau ada orang. Selain itu, saya-nya memang pada dasarnya juga sudah untuk dilihat. Maka lengkap sudah.

Jadi, saya turun dari Halte Srondol dan menuju Halte Tembalang. Dari tadi, dua BRT mampir di halte ini. Dan benar saja, bis nomor 41 mampir dan saya segera naik. Begitu ketemu kondektur-nya, saya berpesan kepada kondektur, layaknya orang tua pada anaknya.

*uopoooo*

“Mas, Watugong medun ngendi?”

“Mega.”

“Sip.”

Halte demi halte dilewati, dan akhirnya saya sampai juga di halte yang disebut Mega itu. Pas turun saya juga kurang paham Mbak-Mbak yang namanya Mega itu nunggu dimana. Pas pulang baru tahu kalau itu nama perumahan.

Pas turun dari Mega, pucuknya pagoda sudah kelihatan. Jadi saya berjalan terus ke selatan guna mencari kitab suci. Yang unik, dari Mega sampai ke Pagoda itu, berjejer penjual ubi cilembu rasa madu. Lah, ini Semarang apa Bandung?

Untung bulan puasa, jadi saya nggak beli. Ya meskipun kata-kata sebelum dan sesudah koma itu sama sekali tidak berhubungan sih.

Terus berjalan ke selatan sambil disabet udara kencang tronton yang lewat ke arah Ungaran, saya akhirnya sampai juga di Pagoda yang dimaksud. Izin dulu sama satpam, nulis di buku tamu, dan memberikan duit seikhlasnya. Paling suka kalau sudah seikhlasnya gini. Kalau saya nggak ikhlas, nggak apa-apa dong?

Hanya karena saya kasihan kepada Pak Satpam yang menonton sinetron, buat saya sih nggak sesuai sama profesi, jadi saya tetap ikhlas ngasih.

Sesudah izin untuk mengambil gambar, akhirnya saya jeprat-jepret sana-sini di Pagoda ini. Asyik! 😀

Pagoda
Pagoda

Sempat ngobrol dengan Bapak-Bapak yang menunggui tempat beribadah ini. Juga cerita kalau hari Sabtu Minggu biasanya ramai, dan dikunjungi umat dari berbagai agama. Dia juga cerita kalau istrinya satu agama dengan saya. Dia juga cerita soal rombongan-rombongan yang datang kesana. Hingga bagian paling mengenaskan adalah ketika dia bertanya pada saya, “punya pacar nggak Mas?”

Mengheningkan cipta, mulai!

Semut Aja Nggak Sendirian
Semut Aja Nggak Sendirian

Kebetulan masih pagi dan masih sepi, jadi saya menyempatkan diri untuk keliling-keliling, dan ketemu dengan tukang sapu yang juga bertanya kenapa saya sendirian.

Emangnya salah ya ke Pagoda sendirian? Nggak apa-apa, tinggal diberikan senyum termanis saja deh. Perjalanan ini juga saya lakukan dalam rangka membersihkan pikiran dari keinginan punya pacar, tapi nggak cinta. Ya to? Mending juga nggak punya pacar, daripada punya tapi kayak memaksa perasaan. Sudah pernah, dan sudah nggak mau mengulanginya lagi. Begitu sih.

Patung Budha dan Pagoda
Patung Budha dan Pagoda

Disini saya ketemu sama 1 keluarga dari Belanda. Ngobrolnya pas lagi foto-foto. Ternyata si Eos ada kembaran punya bule Belanda. Hore.

*senang yang tidak fundamental*

Menjulang Tenang
Menjulang Tenang

Sesudah capek dan sesudah minum teh kotak, saya akhirnya cabut dari Pagoda Watugong ini, untuk kembali ke utara. Kalau ke selatan lagi, saya takut kebablasan ke Jogja. Padahal cawet saya masih ada di penginapan. Masak saya mau ke Jogja tanpa cadangan cawet?

Angkot kuning menjadi pilihan. Ini hasil tanya-tanya sama teman Twitter soal akses ke Watugong, sehari sebelumnya. Nggak jauh saya naik angkot ini, dan tarifnya juga nggak se-kurang ajar angkot masuk ke kawasan Jababeka 2. Saya turun di Terminal Banyumanik, untuk lanjut BRT. Niat awalnya sih pulang ke penginapan, tapi karena kemarin belum sempat lewat Lawang Sewu, akhirnya saya memutuskan untuk bablas lagi ke Tugu Muda, sekadar mau lewat Lawang Sewu. Ogah masuk, soalnya hasil blogwalking perlu 30 ribu rupiah untuk biaya guide. Kalau guide-nya cewek nggak apa-apa, kalau guide-nya cowok? Bisa-bisa saya kayak homo nanti jalan berduaan sama cowok.

Ternyata BRT itu mandeg-nya agak jauh dari Lawang Sewu, di depan SMA 5 yang depan-depanan sama Balai Kota. Ehm, bagian Semarang yang ini asli keren. Area pedestriannya sungguh lapang, selapang dada Mbak Julia. Berharap ini ada di Cikarang, tapi–ah–yang penting kan industri yang dibangun, jalanan nggak usah, apalagi buat pedestrian. Buat apa?

*iri hati dot com*

Jalan ke Lawang Sewu sudah, lalu nyeberang lagi ke Katedral. Kayak kemarin sih. Tapi saya coba berhenti dulu beli Leker. Biar ada cerita kuliner Semarang. Padahal ya ini cuma Leker di depan Dom Savio. Dan anehnya, yang beli Leker bareng saya malah anak Don Bosco.

*tuing tuing*

Singkat cerita, Leker-nya habis. Ya karena emang cuma tipis gitu. Sama saya mah cepet banget habisnya. Plus saya beli juga Kopiko 78 derajat buat minumnya. Intinya sih biar ngepas belanja 20 ribu rupiah, mengingat tujuan utama jajan sebenarnya adalah mecah duit biru bung WR Supratman.

Saya kembali ke penginapan sekitar jam 12. Tidak ketemu Sabrina Taleetha yang pasti. Mungkin dia masih menuntut ilmu demi masa depan Semarang. Masih ada 1 jam sebelum cek out, saya manfaatkan untuk ngecas laptop dan leyeh-leyeh.

Jam 1 kemudian segera cek out dari penginapan, daripada disuruh bayar ekstra kalau molor. Padahal sih di hotel besar aja selisih 10-20 menit telat cek out ya nggak masalah. Ini memang semata karena saya tertib.

Untungnya Semarang lagi nggak hujan kayak pas saya datang sehari sebelumnya. Jadi saya bisa jalan sedikit ke Halte BRT Tembalang, tapi yang arah utara. Iya, sedikit. Sedikit jauh.

Pengen juga mencicipi jembatan penyeberangan yang ada persis dekat Halte Srondol. Soalnya Jalan Setiabudi ini agak ramai. Ah, tapi sebagai lulusan penyeberangan Gang Mesjid Jalan Raya Bogor, malu sih kalau nggak bisa nyeberang jalanan manapun di dunia. Tempat yang saya sebut barusan adalah tempat penyeberangan tersulit sedunia versi On G Spot.

Jadi, saya pakai jembatan penyeberangan itu sebatas pengen nyoba.

Dan…

ngeri. -___-

Bukan apa-apa, itu jembatan penyeberangan menggunakan kayu sebagai alasnya. Kayu yang di beberapa bagian goyang, dan di beberapa bagian lain bolong. Pantes nggak ada yang berminat naik jembatan ini. Juga nggak ada yang berminat nongkrong jualan sprei layaknya jembatan penyeberangan di ibukota negara sana.

BRT yang dinanti tiba tidak lama sesudah saya turun dari jembatan penyeberangan. Artinya? Iya, saya ketinggalan BRT itu. Soalnya halte Tembalang masih rada jauh dari jembatan maut ini. Nggak apa-apa, 10 menit lagi juga lewat. Mobil merah itu benar-benar membantu saya dalam perjalanan ke Semarang kali ini. Dan di BRT menuju Terboyo ini saya duduk dekat Bapak-Bapak yang mengeluh kok BRT ini lama.

“Keokehan mandek.”

-____-

Namanya juga BRT, ya pasti akan berhenti dari halte ke halte. Dia lalu membandingkan dengan bis Solo. Saya cuma membatin, “Kok yo tadi nggak naik bis Solo aja. Sekarang muring-muring begini.”

Dasar manusia.

Saya lewat lagi Katedral dan Lawang Sewu, tapi ya cuma lewat, karena saya memutuskan untuk langsung turun di Stasiun Tawang.

Ini jam 2, dan kereta saya jam setengah 9. Orang gila.

Kota lama segera dimasuki, ditandai dengan bangunannya yang tua-tua dan tampak penuh beban hidup. Saya turun di Halte Tawang, sedikit berjalan kaki dari pintu masuk Stasiun Tawang. Kesan pertama, halaman parkirnya luas. Dan kesan berikutnya adalah betapa besarnya polder Tawang yang ada di depan stasiun yang katanya tertua di Indonesia itu.

Saya masuk hendak menukarkan struk ATM dengan tiket. Dan ternyata online KAI benar-benar sudah canggih. Termasuk tiket Bandung-Jakarta bisa saya cetak di Semarang. Hmmm, berarti besok-besok kalau beliin tiket buat orang tua, sekalian aja saya cetak di Bekasi atau di Senen kali ya. Daripada ngirim struk doang.

Sebuah perubahan signifikan di bawah asuhan Pak Jonan dan Pak Dahlan. Ini signifikan banget lho, dibandingkan tahun 2010. Nggak sampai 5 tahun, dan perubahan menjadi amat sangat jelas.

Angkat jempol deh.

Tawang
Tawang

Saya kemudian cari makan, guna persiapan minum Amoxicillin terakhir yang saya konsumsi gegara sakit gigi. Cari makannya ini rada males, karena bau polder rada amis, kalau mau makan di dekat polder kok bikin nggak nafsu.

Akhirnya saya asal jalan aja. Dari stasiun ke kiri, sampai nemu mesjid, dan sebuah hamparan air yang cukup luas. Mungkin ini laut? Ah, apa iya?

Sesudah ke Katedral, lalu ke Watugong, saya kemudian ngemper 15 menit di mesjid dekat hamparan air itu 😀 Nggak aneh, karena yang numpang terkapar ada banyak. Kalau yang sholat beneran sih hanya dua orang. Mesjidnya bagus, terbuka, dan mulus.

Nah, di depan mesjid itu ada tukang becak. Saya segera mendekat, dalam rangka hendak ke Gereja Blenduk. Sudah sampai Tawang kok ya nggak ke Blenduk kan rugi. Jadi saya mendekat, dengan estimasi budget 10 ribu rupiah. Karena saya tahu itu dekat.

“Blenduk piro, Pak?”

“Delapan ribu.”

Berhubung di bawah budget, langsung naik. Dan namanya becak, hedeh, ini transportasi paling tidak fair. Penumpang akan disodok truk lebih dulu dalam posisi adu kambing. Dan mendekati polder, becak yang saya tumpangi hanya selisih 30 cm dengan BRT dari arah Tawang.

Ealah.

Menjulang Teguh
Menjulang Teguh

Sampai di Blenduk, saya kasih 10 ribu, dan bonus 2 ribu tentu saja karena saya nggak minta kembalian. Langsung kabur saja. Mengingat untuk jarak ini, ojek-ojek di kawasan industri sudah pasang tarif 7 ribu, maka tarif 10 ribu untuk becak, bagi saya sangat masuk akal.

Akhirnya melihat juga Blenduk ini, sesudah sering lihat di blog orang. Ketemu satpamnya, katanya kalau masuk 10 ribu per orang. Ada yang unik sih, waktu saya masuk, di tempat duitnya itu ada menggantung duit 20 ribu, si satpam nggak mendorong masuk uang itu, tapi menariknya keluar pelan-pelan dengan tangan kanan, lalu masuk ke kantong.

Hehehe. Sebagai mantan anak gereja yang ngerti sela-nya kotak sumbangan, apa yang dilakukan oleh satpam tadi begitu kasar, seharusnya dia bisa berlaku lebih mulus lagi kalau mau memiliki duit 20 ribu itu.

Ya sudahlah. Urusan dia sama Tuhan 🙂

Blenduk di Langit Biru
Blenduk di Langit Biru

Ada organ yang menetap di gereja itu. Mirip Katedral Jakarta, tapi lebih kecil. Dan Blenduk sendiri ternyata gereja kecil. Bayangan saya aja yang berlebihan, ternyata.

Hanya 5 menit dan beberapa foto dengan Eos, saya cabut. Kalau tadi 10 ribu buat becak berguna, 10 ribu yang ini kok semacam wagu. Jadi, saya menuju penghabisan 10 ribu berikutnya di warung dekat Blenduk situ.

Saya pesan indomie goreng, plus es teh manis. Lumayan untuk persiapan ngantibiotik.

Sambil menanti, saya melirik ke taman di dekat Blenduk. Taman yang asri dan bagus, tapi sayangnya, di sudut-sudutnya ada orang kumuh, dengan tatapan mengerikan. Sebagai orang yang punya trauma mendalam pada orang gila, yang menyebabkan saya ogah jadi orang gila, maka saya buru-buru makan dan buru-buru kabur.

Saya ditendang orang gila itu tahun 2000, sampai 2013 masih aja takut sama orang gila.

*melankolis yang trauma mendalam*

Kabur dengan berjalan kaki ternyata membuat saya mendapati beberapa objek menarik diantara Blenduk dengan polder Tawang. Semisal, pemukiman tentara, atau semacam asrama. Mirip dengan yang ada di Bukittinggi dulu.

Sampai di polder Tawang, saya sempat takut begitu hendak mengeluarkan Eos. Ya secara ini tempat terbuka, dan tentu saja ada kemungkinan kriminalitas. Bukan apa-apa, masalahnya ya belum lunas itu tadi.

Lihat Blenduk Disana?
Lihat Blenduk Disana?

Hingga akhirnya saya nekat saya potrat-potret di sekitar polder Tawang. Syukurlah tidak ada masalah yang berarti. Ada beberapa gambar yang saya suka. Sebagai orang cupu di dunia fotografi, suka ini sangat relatif 😀

Biru
Biru

Menjelang gelap, saya masuk kembali ke Tawang, dan bertemu dengan seorang lelaki dengan tas besar lagi foto-foto di depan tulisan Stasiun Tawang. Dia minta tolong saya mengambil fotonya, pakai camdig kecil, lebih bagus dari Brica Ambon yang pasti.

Ternyata dia adalah Rio, orang Medan yang baru pulang dari mendaki gunung-gunung di Jawa. Ketika saya menyebut Slamet–ini nama ex calon mertua–dia lalu menyambung dengan Sumbing dan Sindoro. Keren juga ini orang. Sejak bulan Mei dia datang ke Jawa untuk mendaki, dan sekarang hendak balik Jakarta, lalu terus ke Medan.

Merah Putih Berkibar
Merah Putih Berkibar

Manusia yang mengikuti passion-nya, bagi saya adalah manusia yang seutuhnya.

*nggak kayak saya*

Sudah gelap, saya kemudian mampir ke Dunkin Donuts yang ada di dalam stasiun. Karena saya pesan teh panas, saya dapat kopi panas. Itu artinya, dalam sehari saya minum 2 gelas kopi hitam, di penginapan pas sarapan dan di Dunkin ini. Belum lagi dua botol 78 degree yang saya hajar di jalanan.

Dijamin nggak ngantuk ini mah.

Sebagian dari tulisan ini saya garap sambil menyantap donat di Dunkin Donuts Stasiun Tawang Semarang. 🙂

Kereta Harina yang akan mengantar saya ke Bandung, terlambat 15 menit. Saya dapat posisi 4A, dekat jendela, tapi nggak bisa foto-foto soalnya sudah gelap. Dan efek kopi begitu terasa karena sampai jam 2 saya nggak tidur-tidur. Biasanya sih kopi nggak ngaruh ke saya, tapi mungkin ini kebanyakan kopi kali ya.

Tidak ada perbedaan signifikan kalau naik kereta api. Merk apapun ya sama saja. Kereta ya gitu-gitu aja kan? Beda sama pesawat yang interior berbeda, dan beberapa perlakuan juga berbeda. Jadi, nggak banyak cerita di dalam Harina ini.

Paling 1 doang, yakni kereta ini jalan sampai (mungkin) Purwakarta dengan arah ke depan. Dari (mungkin) Purwakarta itu, kereta jalannya mundur. Kayaknya sih semacam jalur segitiga. Dengan orientasi yang berbeda.

*iki ngomong opo sih*

Dan… sampailah di BANDUNG. St. Hall tercinta. Saya akrab dengan stasiun ini sekitar 2008-2009. Dimulai dari liburan ke Bandung medio 2008, lalu interview Medion awal 2009, diakhiri panggilan wawancara Sanbe beberapa pekan kemudian. Hanya 3 kali kalau nggak salah, tapi saya serasa paham banget tempat ini.

Entah kenapa.

Bandung :)
Bandung 🙂

Sembari menunggu kereta berikutnya, saya melanjutkan tulisan ini di Hoka Hoka Bento. Jadi ini tulisan bakal keren habis karena dikerjakan di berbagai kota yang berbeda. Hehehe.

Jam 06.45, kereta Argo Parahyangan sudah stand by di jalur 5. Padahal berangkat jam 07.15. Saya masuk saja, supaya bisa menikmati fasilitas berupa bantal. Sambil persiapan nge-charge si Young yang mendadak gundah dalam perjalanan musafiriah saya ini.

07.15, kereta melaju, dan tidak lama kemudian, saya mendapati sesuatu yang saya cari khusus di perjalanan ini.

Ijo Royo-Royo
Ijo Royo-Royo

Pemandangan yang indah.

Tsakep Abis
Tsakep Abis

Jakarta-Bandung, bahkan via Tol Cipularang saja sudah memberikan pemandangan yang keren. Kalau naik kereta, si Tol Cipularang itu saja bisa saja foto. Hanya saja, saran nih, kalau mau naik Argo Parahyangan Bandung-Jakarta, pilih bangku A atau B. Jangan C dan D kayak saya. Ketemunya cuma tebing doang. Untungnya bangku A kosong, jadi saya bisa pindah-pindah jeprat-jepret sana-sini. Well, sampai kemudian kehabisan memori.

Tol Cipularang :)
Tol Cipularang 🙂

Mendapatkan yang dicari dari sebuah perjalanan, adalah sebuah kepuasan batin yang tidak tertinggi. Bukan begitu?

*padahal ini perjalanan cari pacar*

*dan nggak dapat*

*sigh*

Masih tsakep abis
Masih tsakep abis

Hanya setengah jalan yang indah. Sisanya? Ya namanya sudah Cikampek-Karawang-Cikarang-Bekasi-Jakarta. Mau lihat apa lagi di kota-kota itu? Saya malah ngerasain lewat Lemah Abang, dan berhasil mengambil foto disana. Iya, jalanan yang bikin saya membatalkan niat punya rumah di Cikarang, meskipun sebenarnya saya sudah punya.

Ulah Orang Gila
Ulah Orang Gila

Hingga akhirnya…

JAKARTA.

Stasiun Gambir ya masih begini saja. Saya foto sedikit si Mbah Monas sebagai oleh-oleh terakhir Loser Trip ini. Lanjut ke Trans Jakarta arah Harmoni, kemudian turun di Gelora Bung Karno. Dan keberuntungan petualang adalah, begitu turun jembatan, ada bis Lippo Cikarang lewat. Kosong pula. Saya bisa tidur dengan nyenyak.

Dan memang nyenyak. Hanya saja, entah kenapa, saya sudah tiga kali ini, tidur di bis Lippo, dan bangun PAS di pintu tol Cikarang Barat. Kebiasaan petualang? Mungkin. 😀

Si BG saya tebus sesudah saya tinggal dari Kamis. Jalanan Cikarang ya begini ini. Macet. Untungnya sudah biasa. Saya kemudian melengkapi hari penuh junkfood dengan mampir ke McD Jababeka. Dunkin, Hokben, McD. Betapa kapitalisnya hidup saya.

Siang hari yang terik. Saya sampai kembali di kos. Perjalanan berakhir dengan kantong bolong meski nggak overbudget.

Pertanyaan besarnya adalah:

Apakah saya masih loser sesudah perjalanan ini?

Jawaban besarnya adalah:

Iya. Tapi setidaknya saya adalah loser yang berusaha untuk tidak menjadi loser lagi. Meskipun memang belum mendapat kesempatan menghilangkan predikat yang saya buat sendiri itu.

Mungkin memang perlu cara lain. Ya sudah. Yang penting, saya sudah mencatat bandara baru dan stasiun baru untuk dikunjungi. Saya sudah berhasil mengambil foto pakai DSLR dari langit, juga dari kereta api. Saya juga sudah mengabadikan berbagai gambar bagus dengan si Eos.

Tapi yang paling menarik dari perjalanan ini adalah obrolan saya dengan seorang Bapak di Watugong, juga percakapan saya dengan Rio si anak Medan. Sebagai seorang introvert, bisa bercakap-cakap dengan orang baru sepanjang perjalanan adalah sebuah kemajuan yang luar biasa. Untuk konten, tentu ada yang bisa ditarik 🙂

Demikian laporan perjalanan saya. Ada sekitar 5000 kata, alias 12,5% dari sebuah naskah novel. Delapan kali cerita perjalanan macam ini, sudah bisa bikin novel lho.

Saya masih seorang loser, dan mungkin anggap saja saya gila. Tapi sejatinya saya adalah orang gila yang berusaha untuk menjadi waras dan tidak loser. Itu saja sih poinnya.

Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Semoga memberi kesan yang baik ya. Karena tiada kesan tanpa kehadiranmu.

*iki blog opo pesta ulang tahun?*

😀

Wisma Hasanah, Semarang 250713
Stasiun Tawang, Semarang 260713
Stasiun Hall, Bandung 270713
Kedasih, Cikarang 28290713

@ariesadhar

5 Hal Yang Akan Saya Lakukan Jika Boleh Mengulang Masa Kuliah

Sudah lama ya nggak nge-blog soal lima-lima ini. Gara-gara lihat Twitter-nya Alumni USD, jadi malah mengenang masa silam, apalagi untuk sebuah pertanyaan, “apa yang akan kamu lakukan jika boleh mengulang masa kuliah?”

Saya sih sebenarnya punya masa kuliah yang sangat indah. Jelek-jelek begini, saya kurang laku pas kuliah lho.

*sik-sik, itu termasuk indah ya?*

Ya, dalam rangka mencari makan gratis, saya termasuk mahasiswa yang mendapat banyak kesempatan melakoni hal-hal yang jarang dilakoni mahasiswa pada umumnya. Saya pernah ikut wawancara akreditasi fakultas, langsung dari BAN, dan diberi pertanyaan, “kenapa kamu suka Inter Milan?”. Karena itu fakultas saya kemudian dapat akreditasi A. Kalau gila, boleh percaya kalimat terakhir tadi.

Dalam berbagai posisi di organisasi kemahasiswaan, saya juga pernah ikut rapat ini dan itu di fakultas dan universitas. Tentunya beberapa puluh ribu uang workshop dan rapat-rapat itu sangat berguna untuk mahasiswa kere macam saya. Belum lagi kesempatan untuk mengetahui data-data yang kebanyakan mahasiswa lain tidak tahu.

Masih mendapat kesempatan mewakili kampus 2 kali dalam semester terakhir kuliah saya untuk lomba paduan suara juga adalah bonus besar. Belum lagi beasiswa sejak semester 4, berawal dari 200 ribu sampai gratis total.

Apa lagi sih yang akan saya lakukan kalau mau diulang? Tetap ada. Ini dia.

1. Tetap Kuliah Farmasi

Oke, saya memang bisa dibilang salah jurusan. Tapi saya nggak pernah menyesal menyandang gelar ini 🙂 Punya ilmu di bidang kesehatan itu harganya sangat mahal. Jadi, kalau memang boleh mengulang masa-masa kuliah yang indah itu, saya akan tetap kuliah di Farmasi.

Alasan yang utama adalah karena di Farmasi banyak ceweknya. Ya, walaupun cewek yang banyak itu belum tentu bermakna bakal mau sama saya. Tapi kalau punya teman cewek, kan setidaknya kita nggak perlu mencatat. Sebelum ujian tinggal merapat ke fotokopian terdekat. Tidak perlu khawatir pula kekurangan bahan, karena teman-teman cewek pasti punya list yang lengkap. Kalau praktikum, cukup modal cuci alat gelas, dan laporan bisa selesai dengan baik dan benar.

Nggak kebayang aja kalau saya kuliah teknik, dengan ketergantungan pada teman cewek sebesar tersebut di atas.

2. Mewakili Kampus Ikut Lomba Bidang Farmasi

Ketika temu alumni, yang akan dikenal adalah “siapa gubernur BEM dulu” dan “siapa yang juara ini dan itu dulu”. Orang nggak akan kenal siapa yang diwawancarai BAN dengan baju Inter Milan.

Dulu waktu SMA, saya pernah mewakili sekolah dalam lomba tulis menulis, dan syukurlah masuk koran dan disebut juara 1, padahal juara 3. Kalau lagi begitu, rasanya bangga nian. Dan rasa bangga itu yang nggak sempat saya rasakan waktu kuliah. Secara yah, IP cuma jongkok, mau mewakili fakultas di lomba bidang apa?

Sastra Farmasi?

3. Jadi Pengawas Ujian

Nah ini. Sebagai anak guru, saya itu sangat pengen banget sekali menjadi pengawas ujian. Asli pengen banget, terutama kalau lagi lihat Bapak saya mengawasi ujian. Tapi apa daya, hal yang bisa saya gapai itu hanya jadi pengawas pengisian KRS online, itu juga pas saya sudah lulus -___-”

Iya, dulu itu selalu saja nggak bisa kalau ada lowongan pengawas ujian dibuka. Mulai dari ujian yang juga banyak, karena SKS-nya banyak, sampai karena memang jadwalnya bertumpuk padat dengan persyaratan ujian.

Dan nomor 3 ini adalah penyesalan terbesar saya, yang harus dilakoni kalau saya boleh mengulang masa-masa kuliah.

4. Jadi Asdos Praktikum Mikro Senin Pagi

Senin pagi semester 6 itu saya ada kuliah. Soal kuliahnya apa saya lupa. Tapi yang jelas saya kuliah bareng Robert, yang juga partner  jaga di Senin siang. Ehm, kalau nggak salah Metodologi Penelitian, soalnya kalau sampai sekelas Robert, ya berarti kuliah campur, bukan kuliah minat.

Sejak awal, saya sudah menggebet jadwal jaga di Senin pagi itu. Apa daya, kuliah Metopen adalah syarat untuk anak-anak yang hendak lulus cepat, jadi ya gimana. Jadwal jaga yang itu terpaksa dilewatkan. Lagipula, sesudah cocok-cocokin jadwal, ya pada akhirnya saya hanya bisa jaga Senin siang itu.

Pulang tinggal tepar.

Ada apa di Senin pagi? 🙂 🙂

5. Jadi Anak Kos

Saya mulai jadi anak kos itu Januari 2006. Enam bulan sesudah Mbah Kakung wafat. Dan beberapa hari sesudah nilai Biologi Molekuler saya E. Saya bisa pastikan, kalau saya ngekos waktu itu, maka nilai E itu nggak akan ada. Yakin habis. Nanti kalau buka tentang Alfa keluar, pasti bisa baca apa hubungan bukan anak kos dengan nilai E itu.

Nilai E itu adalah noda besar. Ya walaupun jumlah nilai saya yang C lebih besar daripada A, tapi punya satu E itu kan bikin saya harus ngulang. Ngulangnya ya nggak bener juga. Hari Kamis jadi asdos Farmasi Fisika, hari Sabtu kuliah bareng Biologi Molekuler.

Maluw. Mau ditaruh dimana muka ini?

Eh, emang keliatan?

Hehehe.

Begitulah. Bagaimana dengan kalian?

Kumpul Bocah

Kemarin habis kumpul bocah, di rumahnya Robert. Yak! Betapa indahnya dunia ketika orang yang tahun 2008 silam masih sama-sama dengan saya garap makalah Ekonomi Farmasi tentang PT. Ferron, sekarang sudah punya rumah dan punya istri. Waktu itu saya garapnya sama Yoyo. Yang ini malah sudah punya rumah, punya istri, dan punya anak.

Saya? Pacar aja belum.

Banyak hal yang bisa diperbincangkan memang. Apalagi saya juga ketemu Rosa, teman yang bekerja di posisi dan perusahaan yang bulan Maret 2011 silam saya tolak karena berbagai pertimbangan. Setengah menyesal juga sih. Tapi hidup kan harus terus berjalan kan?

Di kumpul bocah ini juga ketemu Sisil, yang sudah hamil 6 bulan. Sukses sekali programnya karena dia nikah juga baru akhir Desember lho. Dan segera akan ada keponakan dolan-dolan #2 sesudah dedek Karin.

Juga ketemu dengan Blangkon yang akan segera memasuki usia 29.. (wkwkwkwkwk…), kali ini bersama pacarnya, Mbak Dinta.

Kumpul bocah juga menghadirkan Ayu dalam teleconference alias sepik-sepik pakai telepon.

Lengkap sekali, menurut saya.

Teman-teman saya sudah sukses. Tapi tidak banyak perubahan yang terjadi dalam cara ngomong, dari cara menghina, dan dalam segala keakraban.

Dalam konteks ini, kami masih orang yang sama dengan tujuh hingga delapan tahun yang lalu 🙂

Sumber: tintusfar.wordpress.com
Sumber: tintusfar.wordpress.com

Juga dibahas soal tahun depan yang bakal menjadi tahun kondangan massal untuk anak Dolanz-Dolanz.. -_____-”

Yah, semoga berkat melimpah ada pada kita semua. Amin. 😀

Gadis di Dalam Hati

“Penumpang yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat….”

Aku masih menatap jauh ke awan yang menggumpal di sebelah kiriku. Kepalaku masih melekat pada jendela pesawat sekaligus menutupi hak penumpang di kursi B dan C untuk menikmati langit. Biarlah, salahnya sendiri mereka nggak cek in duluan. Aku memang selalu meminta kursi di A atau F, sehingga bisa menikmati langit, awan, dengan segala cerah dan mendungnya. Aku selalu merasa bisa memaknai betapa kecilnya aku dalam dunia ini ketika melihat itu semua.

Roda pesawat menapak mulus di bandara, sekaligus menambah koleksi bandara tempatku pernah mendarat. Aku sudah pernah mendarat di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, hingga Gunungsitoli, tapi belum pernah di kota ini. Meski memang aku sudah pernah menjejakkan kaki di kota ini dengan moda transportasi lainnya.

Kamera DSLR-ku segera keluar dari tas tempatnya berdiam sedari tadi. Kuarahkan ke nama bandara yang baru pertama kali kujejak ini, berikut lingkungan sekitar. Ah, kamera ini, aku masih ingat seorang gadis pernah berkata, “Kak, beli kamera DSLR gih. Nanti aku rela deh jadi modelnya.”

Gadis yang ada di dalam hatiku. Yang menjadi alasan aku mendarat di kota ini.

Aku melangkah keluar bandar udara dan segera mencari si taksi burung biru. Yah, semua berasa semacam dinas saja. Naik pesawat, ambil taksi burung biru, dan mungkin nanti hotel yang akan aku inapi. Tapi tentu saja tidak. Hari ini hari kerja, dan aku tidak dalam posisi dinas. Aku cuti, untuk menyelesaikan sebuah masalah yang mengerak di dalam hati.

Kalau saja aku pernah cuti 1 hari untuk memberikan inspirasi kepada anak-anak SD, masak sih aku tidak merelakan cuti untuk menyelesaikan masalah hati ini?

“Selamat pagi, Mas. Mau diantarkan kemana?”

Aku menyebut nama sebuah tempat di selatan kota, dan supir taksi burung biru ini segera melajukan kendaraan yang akan membawaku mendekat pada penyelesaian masalah hati ini.

Kemacetan ternyata sudah menyapaku begitu lepas sebuah bundaran di pintu bandara. Ah, kota ini tidak jauh beda dengan tempatku mengeruk rupiah. Sama saja macet! Kendaraan ini berhenti dan segera pikiranku membuat kilas balik rentetan peristiwa sepekan terakhir.

“Pak, tahu kan kalau saya suka sama seseorang, sudah dari lama. Gimana ya enaknya? Saya perlu diam aja, atau perlu saya ungkapkan?”

Aku berhadapan penuh ketakutan kepada Bapak Pelatih. Bukan hal mudah bagiku untuk curhat, apalagi ke orang sepenting beliau. Tapi aku sungguh sudah kehabisan akal dan semakin penuh kebingungan karena masalah ini.

Tujuh tahun mencintai satu orang yang sama, dan sama sekali tidak punya nyali untuk mengungkapkan. How loser I am!

“Untuk masalah hati, Dek, saya sarankan dengan sangat, perasaan itu harus kamu ungkapkan,” ujar beliau dengan penekanan pada kata ‘harus’, “kalau memang sudah sangat terlambat, yang penting kan sudah diungkapkan. Minimal bisa bikin lega hati.”

Aku tertunduk lesu, tapi lega juga. Menyimpan rasa suka sendirian selama bertahun-tahun itu benar-benar menderita. Ketika kemudian aku bisa mengungkapkan ini–minimal pada Pak Pelatih–maka ada sekian persen beban yang lepas.

Ya. ‘Harus’ yang dibilang oleh beliau menjadi penuntunku untuk kemudian melakukan tindakan antik ini. Aku segera membeli tiket pesawat ke kota ini, berikut memesan tiket hotel, dan langsung mengajukan cuti dalam waktu yang singkat. Dan entah kenapa, semesta semacam mendukungku. Harga tiket terbilang terjangkau, dan kebetulan juga cuti bisa diperoleh dengan mudah, tanpa harus dikira sedang interview di perusahaan lain.

Hanya satu hal yang aku ragukan dari misiku hari ini. Apa iya semua biaya yang aku keluarkan ini akan memberikan hasil? Aku punya satu masalah: keberanian. Aku pernah menjalani misi ini, dengan naik bis, dan berujung ketidakberanian dengan hanya berdiri berdiam di depan kediaman gadis di dalam hati itu.

Tidak terasa, burung biru sudah membawaku ke jalan lurus yang tidak jauh dari kampus ternama di negeri ini, yang berarti aku sudah hendak sampai ke tempat yang aku minta sebelumnya.

“Hotel Indah ya, Pak. Yang warna hijau itu.”

Sedan biru mulus itu segera mendekat ke arah yang aku tunjukkan. Aku sampai di tempat menginap. Hotel yang berbeda dari perjalananku sebelumnya, yang gagal itu tadi. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00. Persis waktunya untuk cek ini di hotel ini.

Proses cek in berlangsung dengan cepat, dan aku akhirnya sampai di kamar.

“Mau ngapain nih?” gumamku begitu tasku mendarat di kasur.

Aku sudah berjalan sejauh ini, dan aku masih punya ganjalan yang bernama keberanian. Kalau selama 7 tahun dan dalam konteks yang lebih mungkin untuk mengungkapkan perasaan ini, dan aku kemudian tidak berani menyampaikan apapun. Bagaimana dengan sekarang?

Aku punya lebih banyak alasan untuk menyimpan semua perasaan ini sampai mati, meskipun aku sudah sejauh ini.

Dan dengan segenap diam yang aku dapati dari gadis itu selama 1 tahun terakhir, maka mengetik sebuah pesan singkat bukanlah menjadi perkara yang mudah.

Siang, Kinar. Maaf mengganggu. Aku mau ngasih buku, sambil mau ngomong sebentar. Bisa minta waktunya 1 jam aja hari ini? Di Mekdi atau di kosmu atau dimana terserah deh. Minta tolong ya. Soalnya besok aku udah pulang.”

Bahkan jariku masih ragu untuk menekan ‘Send’, pada layar sentuhku. Tentu saja, kalau saja SMS barusan aku kirim ke gadis itu empat tahun yang lalu, semuanya akan berjalan berbeda. Aku tidak perlu takut tidak dibalas. Sekarang? Belum tentu.

Aku menggumamkan doa sejenak sebelum telunjukku menekan ‘Send’ pada layar sentuh.

Aku hanya berharap ada jawaban, bahkan hanya sebuah jawaban tanpa kesanggupan atas permintaanku adalah sebuah harapan yang sederhana.

Dan sejak aku menekan ‘Send’ tadi, waktu berjalan begitu lambat sekali. Serasa jenggotku dapat tumbuh dalam 30 menit berlalu. Tanpa balasan selama 30 menit ini sungguh perlahan memadamkan bara keberanian yang sebelumnya aku tiup pelan-pelan untuk bisa menyala kecil.

Bahkan aku tidak berminat membalas pesan-pesan whatsapp dari seorang gadis yang aku ketahui jatuh cinta kepadaku. Ya begitulah cinta. Bahwa konsep jatuh cinta itu baru akan baik adanya kalau dicintai dan mencintai mengacu pada objek yang sama. Kalau beda? Ya begini deh. Dia galau karenaku, aku galau karenamu. Nggak berujung ini.

Rrrrrtttttt…

Handphone bergetar.

Sbb Kak. Aku baru pulang kerja. Kakak dimana emang? Buku apa?

Lumayan. DIBALAS! Itu saja sudah bikin senang.

Aku nginep di Hotel Indah. Jadi bisa? Mau dimana? Bukuku. Ceritanya mau promo. Hehehe.

Dan, lagi-lagi, aku harus menunggu.

Rrrrrttttttt….

Bukumu? Hmmm, terserah, mau di kosku juga boleh. Emang tau?

Syukurlah. Jawaban ini semakin mengarah. Dan kali ini aku harus mengipas bara keberanianku untuk menuntaskan perasaan yang sudah 7 tahun terpendam di dalam hati sini.

Ya semoga tahu. Jam berapa bisanya?

Sekarang juga nggak apa-apa, kalau cuma 1 jam sih.”

Wow! Sekarang! Ini beneran ya?

Dan aku malah menampar pipiku sendiri, berkali-kali, hanya hendak memastikan bahwa ini nyata.

Aku segera keluar dari hotel, dan sudah sore rupanya. Aku masih ingat, tidak jauh dari sini ada markas tentara dengan 4 pohon tinggi dan pemandangan unik berupa angsa yang berterbangan diantara keempat pohon itu. Asli keren.

Maka, aku tidak lupa membawa kameraku. Meski memang lensanya kurang optimal, tapi sudah janjiku untuk kembali lagi kesini ketika aku sudah memiliki kamera DSLR. Cukup banyak jepretan yang aku ambil dari empat pohon itu. Sambil berlatih menggunakan kamera DSLR yang baru saja aku beli dan kreditnya masih lima kali lagi ini.

Dan aku segera melangkah mendekat ke tujuanku, kediaman Kinar.

Bahkan aku masih bertanya-tanya, apa sih yang hendak aku ucapkan nanti ketika aku bertemu? Yang aku ingat adalah hari-hari ketika aku dan Kinar curhat dalam waktu yang panjang, hari-hari saat Kinar memberiku bunga, tapi juga waktu-waktu ketika Kinar bahkan tampak tidak sudi untuk berpaling sekadar memandangku.

Dan langkahku kemudian sampai juga ke Jalan Tanjung. Seharusnya disini tempatnya. Di deretan jalan bernama bunga, mulai Mawar, Melati, hingga Tanjung, ada tempat kediaman Kinar. Dan kalau Kinar belum pindah, maka kos yang menjadi kediamannya ada di….

…ujung jalan ini.

Kosmu bener Jalan Tanjung Nomor 2?

Iya Kak.”

Kalau gitu, aku sudah di depan.”

Glek!

Perlahan pintu coklat membuka, dan sosok cantik yang 7 tahun silam merasuk ke dalam hatiku, dan tidak keluar-keluar, ada disana. Iya, Kinar sekarang ada 4 meter dari tempatku berdiri.

“Hai, Kak.”

“Hai, Kinar.”

Sebuah percakapan yang beku, penuh kekakuan. Kalau ini terjadi 4 tahun silam, yang ada tentu saja sapaan manis disertai salaman penuh kehangatan. Ah, waktu memang suka mempermainkan keadaan.

“Apa kabar?” tanyaku sambil menjulurkan tanganku.

“Baik, Kak. Duduk gih.”

Di teras kos, dengan 2 bangku plastik dan 1 meja yang juga dari plastik, aku dan Kinar, berdua saja. Tapi aku bahkan masih ingat kapan terakhir kali aku berdua saja bersama Kinar. 14 April dua tahun yang lalu, di teras kosnya yang lama, kos sewaktu kuliah.

Aku dapat mengingat semuanya dengan mudah. Sepertinya aku menganut prinsip Data Logger. Duduk, diam dan tenang sambil merekam segalanya. Entah untuk apa.

“Pertama, maaf mengganggu. Kamu pasti capek habis kerja,” ujarku membuka pembicaraan, sambil tanganku merogoh tas ranselku untuk mengeluarkan tiga buah buku.

Kinar tidak berkata-kata sedikitpun. Aku memandang wajahnya sekilas, dan masih menatap raut yang sama, yang dari pertama kali aku melihat wajah itu langsung diberi kesimpulan jatuh cinta.

“Ini, mau ngasih ini. Kalau yang ini, barengan sama yang pernah aku kasih sebenarnya. Waktu itu aku minta dua tanda tangan penulis buku ini, dua-duanya atas nama kamu.”

Dulu sekali, aku pernah memberikan sebuah buku bertanda tangan asli penulisnya kepada Kinar. Dan aku ingat sekali pesan singkatnya begitu menerima paket itu, “Apa coba artinya kamu ngasih buku ini, Kak?”

Kala itu, aku hanya menjawabnya dengan canda. Tidak ada sedikitpun keberanian untuk bilang bahwa aku berburu tanda tangan itu atas dasar cintaku pada Kinar.

“Kalau yang ini, sekalian ucapan terima kasih. Walaupun cuma 1 cerpen disini, tapi aku pakai nama kamu sebagai tokohnya. Dan percaya nggak percaya, tiga perempat cerita ini adalah kejadian nyata yang aku alami. Aku tokoh utamanya, dan kamu tokoh ceweknya. Ini yang aku SMS waktu itu. Udah pernah baca?”

Kinar menggeleng.

Ya sudah.

“Dan terakhir, yang ini, judulnya ALFA. Ini bukuku sendiri. Akhirnya aku punya buku sendiri juga. Dan harus aku kasih sendiri ke kamu, karena ada banyak kalimat di buku ini yang asalnya dari obrolan ngaco kita di SMS jaman dulu. Waktu nulis buku ini, sebagian waktu kita masih intensif SMS-an.”

“Wow. Selamat, Kak. Akhirnya punya buku juga.”

“Sebenarnya, kalau kamu nggak selalu bilang nggak pede, kamu lebih layak punya buku daripada aku.”

Kinar menerima tiga buku yang aku angsurkan kepadanya. Buku orang lain, buku antologi cerpen yang salah satu isinya adalah cerpenku, dan buku yang aku tulis sendiri. Tiga buku yang semuanya sebenarnya sangat lekat dengan Kinar, bersama segala prosesnya.

“Dan, satu lagi, mungkin ini akan mengganggu kamu, jadi aku mohon maaf dulu.”

“Mengganggu? Kenapa?”

Aku masih tidak yakin kalau aku punya cukup keberanian untuk ini. Sampai kemudian sebaris kenangan membawaku pada kata ‘harus’ yang dilontarkan oleh Pak Pelatih.

Maka aku mengela nafas sejenak, dan mulai berkata, “Ehm, maaf ya sebelumnya. Seharusnya mungkin aku nggak bilang ini, tapi karena aku sudah nggak kuat menyimpan sendirian, dan kata Pak Aji juga aku harus bilang, maka itu aku datang kesini.”

Kinar diam, dari raut mukanya tampak mengerti arah pembicaraan ini. Ketika aku menyebut nama Pak Aji, mukanya sedikit terkejut. Tentu saja, aku dan Kinar sama-sama dilatih oleh Pak Aji.

“Hari ini, tanggal 26, tepat 7 tahun aku pertama kali mendengar nama kamu, dan tepat 7 tahun juga aku jatuh cinta sama kamu. Iya, aku… cinta sama kamu, Kinar. Mungkin memang akan lebih mudah kalau aku bilang ini dulu. Waktu ketemu kamu di depan lab kelinci, atau waktu kita lagi malam keakraban dan kamu pakai baju hijau gambar kodok, atau mungkin waktu kamu curhat sama aku sambil kita duduk di atas batu.”

Dan Kinar masih saja terdiam.

“Ini mungkin terlambat, Kinar. Tapi pastinya akan buat aku lega. Menyimpan perasaan ini selama 7 tahun bukanlah hal yang baik dalam mencintai. Kayak kata Pak Aji, syukur-syukur ada respon. Hehehehe.”

“Hahaha. Kamu ini, Kak.”

“Kenapa?”

“Ya, kenapa nggak dari dulu?”

“Nggak tahu deh. Kalau urusannya sudah tentang kamu, aku jadi loser sejati. Kalau kamu ngaku kamu loser, maka aku loser yang merindukan dan mencintai loser kalau gitu. Hehehe.”

Kinar diam lagi, sambil menggengam tiga buku yang aku berikan padanya. Aku menatap bibirnya lekat-lekat sambil menantikan kata yang akan keluar dari sana.

“Iya. Kenapa nggak dari dulu. Kalau sekarang, kamu terlambat, Kak.”

Aku mendengar kata itu, kata yang jelas sudah aku sadari sebelumnya. Aku terlambat. Di usianya yang sekarang sudah 25 tahun, tentulah gadis secantik Kinar sudah punya pacar.

“Nggak apa-apa kok. Yang penting aku sudah lega. Kalaupun terlambat, ya mending daripada nggak sama sekali.”

Kinar tersenyum dengan binar termanis yang pernah aku lihat. Tangannya menimang bukuku yang judulnya “ALFA”, dan seketika membuka halaman-halamannya.

“Ini kan kata-kataku, Kak?”

“Yang mana?”

“Yang ‘selalu keren’ ini?”

“Ya emang iya.”

Aku sudah mengutarakan semuanya pada gadis yang ada di dalam hatiku ini. Dan aku sudah tahu kalau Kinar bilang aku terlambat. Ya sudahlah. Memang sudah saatnya melanjutkan hidup.

* * *

“Iya, Kak. Kamu terlambat. Kalau kamu bilang dari dulu, bisa jadi kita sedang kursus persiapan pernikahan sekarang,” gumam Kinar, tanpa bisa didengar oleh Ranu, lelaki yang ada di hadapannya.

* * *

Habis Curhat

Saya habis curhat. Ini sebuah kemalangan besar sebenarnya bagi saya yang selama ini lebih sering menerima curhat daripada melakukan curhat. Saya ini orangnya penuh rahasia, dan hanya bisa ditangkap oleh orang-orang yang bisa menganalisa keadaan, utamanya di blog ini. Sebenarnya pasti banget ketahuan.

Dan kenapa saya curhat?

Karena saya sudah benar-benar nggak punya jalan. Gimana sih rasanya hidup tapi nggak hidup? Gimana sih rasanya mau bernapas tapi napas itu nggak punya value, nggak punya isi, hanya sekadar mengisi oksigen ke jantung? Gimana sih rasanya hidup tapi (kasarannya) nggak guna?

Apa yang saya pikirkan ini sudah panjang, dan memang demikian. Ada poin utama yang kemudian saya curhatkan. Dan balasannya pun sungguh mengejutkan saya.

Iya. Mengejutkan. Karena sebenarnya, apa yang dibilang ke saya, ya sama persis dengan isi hati dan kemauan saya yang sebenarnya. Jadi sebenarnya saya nggak perlu curhat dong?

Nggak. Ini curhat yang benar. Saya hanya akan curhat pada tempat yang tepat, dan ini juga tepat. Sesungguhnya, tempat curhat yang ini memang belum pernah keliru. Maka, karena saya sudah mendapatkan pembenaran, yang kita perlukan berikutnya adalahhhhh… EKSEKUSI.

Yuk. Mari kita persiapkan 🙂

Thanks a lot Mas atas advice-nya 😀

12 Tahun Merantau

Selalu begini deh. Selalu seminggu sebelumnya diingat-ingat, tapi pas hari H-nya lupa. Dulu juga begitu. Dasar manusia. Ya begitulah, saya masih manusia, bukan manusia milenium.

Lagian yang diingat sebenarnya nggak penting dan krusial sih, cuma merupakan tanggal menarik bagi manusia melankolis macam saya.

Iya, kemarin, 2 Juli 2013, adalah genap 12 tahun saya jadi anak rantau. :)))

Perkara 2 Juli ini sebenarnya baru saya temukan ketika saya packing-packing mau pindah dari Palembang. Tanggal itu adalah tanggal saya mendaftar SMA Kolese De Britto Jogja. Dan saya ingat benar bahwa pagi harinya saya baru menjejak Jogja dengan kereta Senja Utama Jogja. Jadi fix bahwa tanggal itulah pertama kali saya jadi anak rantau.

Well, 12 tahun.

Sebuah bilangan yang gila. Dan nyatanya saya bisa melakoni itu semua. Nyatanya saya bisa ‘hidup sendiri’ untuk rentang waktu yang sepanjang itu. Melihat orang-orang lain masih dengan mudah dan indahnya pulang kampung setiap minggu, sedangkan saya ya beginilah.

Saya jadi anak rantau di usia saya yang ke-14. *ketahuan deh umurnya… hedeh..*

Jadi, dua tahun lagi, setengah usia saya genap habis untuk merantau. Tiga tahun lagi, lebih dari setengah umur saya juga terhitung sebagai perantauan. Jadi mari menikmati 2 tahun lagi, ketika usia jadi anak rantau belum sampai setengah usia saya.

🙂

Cikarang-Jogja 18 Jam

Ini kisahnya sebagian besar sudah ditulis dalam Ada Yang Tertinggal di Jogja dan Ketika Mimpi Itu Jadi Nyata. Tapi rasanya ada yang kurang kalau saya nggak menceritakan detail khusus dari perjalanan ini.

Saya mengambil merk bis yang terkenal, Lorena. Satu-satunya alasan saya menggunakan armada itu adalah karena itu adalah jadwal termalam untuk eksekutif yang saya tahu. Bagaimanapun besoknya saya harus Gladi Bersih, dan itu pasti sangat melelahkan, maka saya perlu istirahat yang cukup di jalan.

Lagipula, dua trip terakhir saya ke Jogja yakni  Desember dan April juga menggunakan Lorena paling malam, dan hasilnya baik-baik saja. Okelah, yang Desember sebenarnya kurang baik, tapi itu karena macetnya Semarang-Magelang-Jogja gegara plat B pada mau liburan *sigh*

Perjalanan nyatanya dimulai jam 9 lewat, telat 1 jam dari jadwal. Saya masuk bis dan segera duduk di bangku nomor 1A, persis dekat pintu. Yah, saya belum pernah ambil seat 1A lagi semenjak kaki ketekuk sepanjang Bukittinggi-Palembang dengan armada Yoanda Prima.

Keluar Tol Cikarang Barat masih seperti biasanya, lanjut sampai ke Cikampek juga biasa saja. Ya, biasanya kan juga macet. Masih masuk akal. Tentunya selepas Cikampek saya nggak melepaskan pandangan dari sisi kiri (sisi utara). Terutama ketika melewati Indramayu.

Intinya sih, banyak yang mulus-mulus di sepanjang jalan itu.

Sekitar jam 11-an, bis akhirnya sampai di Pamanukan. Waktunya makan. Walaupun sebelumnya saya sudah makan mie, tapi bolehlah kalau diisi lagi. Sedikit keluhan sempat muncul di jalan karena bis itu kok rasanya panas sekali. Tapi namanya orang Indonesia, apa iya mau komplain?

Hampir jam 12 ketika kemudian Pak Supir dapat kabar bahwa HARUS menunggu 2 penumpang lagi, yang sedang dibawa sama Bis Purwokerto-an. Ini nih yang paling saya nggak suka dari Lorena, sistem oper-opernya. Di satu sisi itu keunggulan mereka, karena armada yang banyak. Dulu pernah dari Jogja ke Cikarang isi bisnya cuma 3, iya TIGA! Satu Cikarang, satu Cikampek, satunya Lampung. Si Lampung ini ya oper-operan dong. Hehehe.

Selama menunggu, servis AC dilakukan, dan saya malah berkenalan dengan Andreas, si bule dari Salzburg yang sampai sekarang masih nggak masuk akal buat saya kalau dia naik bis.

Sesudah AC beres, Pak Supir dapat kabar bahwa daerah Patrol macet 5-6 Km. Mak! Kilometer macetnya, panjang amat. Awalnya Pak Supir ngikut ke jalur macet itu, tapi kemudian belum 1 Km, udah mandek.

“Ngene tok iki?”

“Mbalek wae.”

Dan pada akhirnya bis besar itu berputar arah, kemudian menuju Subang dan seterusnya sampai saya bangun, sudah di Tol Kanci-Pejagan.

Bis akhirnya sampai di sekitar Brebes, dan ini berarti akan menuju Selatan. Niat awal saya, kalau dia turun di utara, saya kan turun di Jombor, jadi saya bisa langsung beli tiket pulang baru deh capcus ke Taman Budaya.

Tapi kalau lihat jalanan begini, kudu nyari alternatif solusi.

Dan percayalah, saya malah bersyukur bisa naik di bis yang supirnya enak begini. Punya inisiatif, nggak tampak ngantuk, dan ngajak ngomong penumpang. Keren.

Begitu mau ke arah Purwokerto, tahu-tahu ada aroma tidak menyenangkan. Dan nggak lama diikuti asap mengepul dari kotak yang berada PERSIS DI DEPAN SAYA. HUAAAAA!!!

“Mas.. Mas.. Iki kok ketoke kemebul yo..,” kata saya rada gemetar.

Bis lalu berhenti, copot aki, dan ternyata kotak itu isinya panel pengendali sistem elektrik. Syukurlah nggak kenapa-kenapa.

Saya belum pernah ngebis di masa jelang puasa. Kalau jelang lebaran, pernah. Dan jelang lebaran itu jalanannya mulus habis.

Ternyata… yang mulus itu dikerjakan jelang puasa.. -___-

Kena deh saya.

Banyak jalanan yang sedang digarap, dan itulah sumber kemacetannya. Jelas sekali, dan di beberapa tempat panjang sekali. Karena memang sudah kadung jalan, ya mau gimana lagi?

Sampailah kemudian di Karanganyar, dan saya melihat ATM BRI. Segera saya colok HP yang nyaris mati ke Powerbank, lalu telepon 021-121. Yah, jam 11 siang menelepon ke nomor itu jelas banget butuh perjuangan. Dan pada akhirnya ya memang butuh, ada kali 14 kesempatan panggilan sebelum kemudian sampai ke Mbak Sukma.

Transaksi terjadi. Jalanan ini terlalu kejam untuk saya pulang besok Minggu sesuai rencana awal, jadi keberangkatan dari Jogja digeser ke pagi saja.

Dan perjalanan dilanjutkan, disertai obrolan hangat Pak Supir dengan Andreas, yang saya terjemahkan.

Seperti waktu lihat poster “Piye Kabare Le? Penak Jamanku To?”

“Mister, do you know that?”

“Oh yeah. Soeharto.”

Atau ketika Andreas memuji Pak Supir.

“He is a good driver.”

“Mas, jarene kowe supir sik apik.”

“Tenane?”

“Tenan!”

“Weh. Thank you mister.”

Saya ngakak aja di jalanan ini, menemui Pak Supir yang lucu, dan bule Austria yang membumi.

“Ketoke umur e podo aku, Mas,” kata Pak Supir pada saya.

Saya lalu nanya umurnya Andreas.

“Almost fifty.”

“Arep seket, Mas.”

“Actually, fourty eight.”

“Papat wolu, Mas.”

Saya jadi kayak penerjemah presiden di kancah per-PBB-an.

Syukurlah, akhirnya sampai juga di Jogja, tepatnya di Giwangan, nyaris jam 3, dan itu berarti ada sekitar 18 jam saya ada di atas bis Lorena ini.

Saya turun, lalu mengucap terima kasih kepada Pak Supir, dan kerennya, kepada setiap penumpang dia selalu pesan untuk hati-hati. Asli, ini supir keren abis.

Sayangnya saya lupa namanya 😦

Andreas saya ajak ngojek, setelah sebelumnya saya nawar ojek. Mentang-mentang saya bawa bule, mau dimahalin.

“Jalane macet lho Mas.”

“Mas.. Mas.. Aku ki wong kene.. Aku ki yo ngerti dalan e..”

Mungkin dia belum tahu definisi macet versi anak Cikarang.

Akhirnya dengan 20 ribu, saya bisa berangkat ke TBY. Ehm, di Cikarang, ojek 20 ribu itu nggak ada apa-apanya, dan di Jogja saya bisa dapat Terminal Giwangan ke Taman Budaya Yogyakarta. Sebagai konsumen, saya iri. Titik.

Begitulah sekilas perjalanan saya. Meski bukan durasi terlama saya naik bis, karena ke Sumatera saya satuannya bukan jam tapi hari, tapi ini adalah paling lama yang saya tempuh untuk rute Cikarang-Jogja, atau sebaliknya. Cukup layak untuk jadi kisah tambahan di blog ini.

Setidaknya saya jadi tahu, bahwa perjalanan darat menjelang bulan puasa, ada perjalanan yang sebaiknya dihindari. Hehehe..

🙂

Cerita Farmasi: Farmasetika (2)

Sesudah berkenalan dengan Pulvis, Pulveres, dan Capsulae, maka setiap Rabu selalu ada bentuk sediaan obat lain yang saya temui. Dan semuanya masih mengacu pada buku formula jaman sepakbola belum mengenal offside.

Berturut-turut sesudah trio maut tadi, saya menemui Pilulae-Granulae dan Suppositoria. Pilulae ini gampangannya adalah pil. Walaupun ini tentu beda dengan pil yang kita kenal sekarang. Kalau dibilang pil koplo, itu sebenarnya beda dengan bentuk pil yang saya bikin. Kemarin sempat lihat cara pembuatan pilus, dan… ya mirip cara membuat Pilulae.

Jadi adonan bahan obat dibuat sedemikian rupa sehingga panjang-panjang, lalu tinggal dipotong dan dibulatkan. Asli udah kayak main lilin-lilinan jaman kecil dulu. Bedanya yang dipegang adalah campuran daun Digitalis, obat jantung jaman dulu. Adapun Granulae hampir sama dengan Pilulae, tapi bentuknya saja yang jauh lebih kecil.

Sedangkan suppositoria adalah jenis sediaan yang penggunaannya dimasukkan ke lubang anus. Bentuknya seperti peluru, dengan ukuran kira-kira sepanjang dua buku jari kelingking. Ah, anak farmasi kok bikin ukuran kayak wartawan menyampaikan berita banjir.

“Pemirsa, banjir sudah setinggi kepala orang dewasa yang lagi push up..”

“Pemirsa yang budiman, air sudah menggenang setinggi pinggang orang dewasa. Kebetulan dia lagi boker..”

Dan sejenisnya.

Di praktikum pembuatan suppositoria ini, kekompakan sudah mulai terbentuk diantara anggota kelompok praktikum F. Dan karena saya ada di meja 1, maka jadilah kelompok ini dinamakan F1. Ini adalah kelompok praktikum paling keren, kalau ada mata kuliah ‘Teknik Praktikum Yang Berantakan’.

Sediaan suppositoria yang dibuat ini menggunakan basis Oleum Cacao, alias minyak kakao, yang tentu saja aromanya menggugah selera. Coklat men! Ya, menggugah untuk menit pertama, dan memuakkan untuk menit berikutnya mengingat obat ini digunakan dengan cara dimasukkan ke dubur.

Sumber: siskhana.blogspot.com
Sumber: siskhana.blogspot.com

Dari bahan-bahan penyusun suppositoria ini ada sebuah pewarna yang sangat keren, namanya Karmin. Ini pasti saudaranya Karmin Elektra dan Paimin. Kenapa keren? Karena cukup dengan sedikiiiittttt saja menuang serbuk ini, warna merah sudah bisa diperoleh. Dan di formularium juga ditulis penggunaannya yang sedikit. Sepertinya sih agar suppositoria yang didapat tidak coklat-coklat amat, alasan estetika.

Oya, di meja F1, selain saya, Tintus dan Andrew, ada Budiaji, Finza, Maria, dan Ita. Sejauh mata memandang, nggak ada yang agak benar dikit, selain Andrew. Bahkan mejanya BA–begitu Budiaji biasa disapa–dan Finza nggak kalah berserakan dibandingkan meja saya dan Tintus. Syukurlah, ada temannya untuk bagian kerapian dapat C.

Jam demi jam berlalu, campuran suppositoria tadi sudah dibekukan dalam cetakan dan sudah siap untuk diambil. Fiuh, akhirnya bisa juga saya praktikum agak bener. Setidaknya waktu diskusi, saya bisa membawa dua bentuk sediaan sesuai tugas yang diberikan di panduan praktikum. Dan bentuknya, setelah saya bandingkan dengan punya Andrew, nggak bubrah-bubrah amat.

Saatnya diskusi!

Diskusi dihelat bersama kakak kelas yang sudah tua, yang menjadi asisten praktikum. Kalau di kuliahan lain dikenal adanya asisten dosen, kalau di tempat saya kuliah adanya asisten praktikum doang sih. Apapun namanya, yang pasti mereka sudah tua.

Waktu diskusi ini, setiap mahasiswa harus mengeluarkan bentuk sediaan yang dihasilkan untuk kemudian dibahas bersama dan dituliskan di laporan untuk dikumpulkan pekan depannya. Begitu saja terus, sampai ujian praktikum alias responsi.

Ita, Maria, Andrew, Tintus, dan saya melewati bagian ini dengan cukup baik, yah ada masalah sedikit karena suppositoria punya saya agak retak-retak. Mungkin kurang benar waktu proses sebelum mendinginkan dan mengeraskan.

Tibalah giliran BA mengeluarkan suppositorianya.

……

….

“Hahahahahaha.”

Dan satu F1 ngakak melihat suppositoria buatan BA. Soalnya warnanya merah banget, persis lipstik!

Sumber: ceriwis.com
Sumber: ceriwis.com
Sumber: intanjait.blogspot.com
Sumber: intanjait.blogspot.com

“Kamu pakai karmin berapa banyak?” tanya Kakak Asisten.

“Satu sendok.”

* * *

Setelah praktikum suppositoria, kelompok F1 harus bertemu dengan Unguenta-Cremoris, serta Solutio-Mixtura.

Namanya aneh-aneh ya? Tapi itu semua familiar banget kok dengan kita. Unguenta itu nama tenarnya adalah salep, sedangkan Cremoris itu nama populernya adalah krim. Kalau sering pakai obat oles luar, ya pastinya dari kedua jenis ini.

Solutio dan Mixtura, apalagi itu? Keduanya adalah bentuk sediaan obat bertipe larutan. Katanya sih, kalau solutio diberikan kepada sediaan yang hanya mengandung 1 bahan terlarut, kalau banyak namanya mixtura.

Nah, di praktikum Solutio-Mixtura ini, anak F1 diberikan dua resep yakni obat batuk hitam dan larutan penyegar. Ditunjang oleh skill praktikum yang mulai terasah, maka praktikum bisa dimulai dengan riang gembira.

Saya dan Tintus kemudian asyik bercumbu dengan timbangan, yang masih saja belum ganti jadi timbangan digital. Kali ini rada seru karena yang ditimbang adalah bahan berbentuk cairan. Yeah, menimbang cairan dengan menggunakan timbangan logo pengadilan.

Di sebelah kanan, saya melihat Andrew dengan cekatan dan lugas mencampur-campur segala bahan tanpa sedikitpun menyentuh timbangan logo pengadilan itu.

Kok bisa ya?

“Udah kelar lo?” tanya Tintus.

“Udah dong.”

“Kok bisa? Gue aja baru nimbang.”

“Ngapain juga ditimbang?”

Saya dan Tintus lantas keheranan. Terus kalau nggak ditimbang, diapain dong?

Andrew kemudian membuka lemari kaca di bawah meja kerja dan mengambil sebuah benda yang belum pernah saya sentuh selama kami praktikum: gelas ukur.

“Disitu suruh timbang berapa?”

“100 mililiter,” jawab saya sambil ngecek ke formula standar.

“Tinggal tuang disini kan? Ada garisnya 100 mL,” terang Andrew sambil menunjuk ke garis yang ada di badan gelas ukur.

Sumber: nurindasarii.blogspot.com
Sumber: nurindasarii.blogspot.com

Iya juga ya? Di panduan dan di formula kan cuma disuruh timbang sekian, dan nggak dibilang nimbangnya pakai apaan. Dan mungkin ini efek praktikum-praktikum sebelumnya yang menggunakan bahan dasar padat, yang memang harus menggunakan timbangan neraca.

Kadang orang kalau terlalu biasa, jadi nggak kepikiran out of the box yah?

Segera sesudah dapat ilmu dari Andrew soal ‘menimbang’ dengan menggunakan gelas ukur, pekerjaan saya dan Tintus menjadi lebih cepat. Ya karena memang bagian yang paling makan waktu sebenarnya adalah menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Eh, salah. Menyeimbangkan timbangan kiri dan kanan.

Obat batuk hitam jadi dengan aroma Succus Liquiritiae yang manis-manis gimana gitu. Sekarang saatnya membuat mixtura, berupa larutan penyegar. Mas penunggu lab alias laboran sudah menyediakan botol soda bekas, sekaligus penutup dan talinya, karena sediaan ini akan mengeluarkan CO2 sehingga kalau nggak ditutup dan ditali, maka tutupnya akan terbang dan lepas bebas ke angkasa.

Campur, campur dan campur. Akhirnya sampai juga pada tahap menutup botol dan mengikatnya. Beres deh. Sediaan berwarna putih bening kayak soda itu sudah bisa dibawa ke diskusi.

“Boleh diminum, Mbak?” tanya saya kepada Mbak Asisten sesudah diskusi berakhir.

“Boleh aja kalau mau.”

Yah, kelihatannya enak. Padahal siapa yang tahu tanggal kadaluarsa bahan-bahan yang ada di lab itu? Bahkan air yang digunakan untuk bahan utama, meskipun namanya aquades, tapi diambil juga dari jerigen. Cuma kok nggak kepikiran aja sampai disitu. Yang terlintas cuma kelihatannya enak, dan boleh dong sekali-sekali nyicip hasil kerja sendiri. Kalau kemarin-kemarin, yang dibuat Pilulae obat jantung sama Suppositoria. Males banget kalau mau nyobain.

Anak-anak F1 segera memposisikan botol menghadap ke taman di depan lab. Menurut teori, isi botol ini akan banyak CO2, jadi begitu tali pengikat dilepas, tutup botol akan terbang dengan tekanan tertentu.

“Plup. Plup. Plup.”

Benar saja, tutup botol berterbangan dengan radius beberapa meter dari tempat kami berdiri. Andrew, Maria, dan Ita segera membuang isi botol tersebut ke wastafel.

Saya malah mendekatkan mulut botol itu ke mulut sendiri.

Cicip.

“Enak juga.”

Rasanya memang mirip larutan penyegar serbuk yang sekarang ramai dijual, dan iklannya mulai saling merendahkan satu sama lain. Karena juga sudah siang dan haus, maka satu botol mixtura itu habis juga. Lumayan ngirit nggak usah beli es teh.

Sementara itu di wastafel lab…

BA berdiri dengan mulut botol masih menutup, dan menghadapkannya ke dalam wastafel. Jadi jarak tutup botol dengan dinding wastafel bahkan kurang dari 30 cm.

Kalau tadi tutup botol saya bisa terbang 5 meter. Berarti yang ini kalau dilepas….

“Plup.”

“Budi!”

Suara tutup botol lepas, diiringi gemercik air di lantai, diakhiri suara marah Bu Agatha.

“Kamu bersihkan sekarang!” lanjut Bu Agatha, masih marah.

Ya iyalah, Bud. Kalau di luar tadi tutup botol bisa terbang 5 meter. Gimana di wastafel? Kalau di luar tadi saja, air di botol masih nyiprat dikit meskipun posisi botol sudah 45 derajat miring mengadap ke atas, gimana kalau botol 45 derajat menghadap ke bawah?

Air di dalam botol soda itu akhirnya ya nyiprat kemana-mana. Lab yang sudah dibersihkan oleh masing-masing praktikan menjelang berakhirnya praktikum kini basah karena mixtura punya BA.

“Iya Bu.”

Saya dan Tintus ngakak habis sambil meninggalkan lab untuk makan siang, karena jam 1 ada praktikum lagi, Kimia Dasar. Bukannya senang karena teman menderita loh, tapi yang dilakukan BA itu benar-benar lucu, apalagi kalau lihat tampangnya yang mirip tampang pengantin bom unyu, sesaat sebelum menarik detonator, eh… menarik tali penutup, sampai kemudian terdengar suara, “plup.”

Satu jam kemudian, kelompok F sudah berkumpul kembali di lab bersiap praktikum Kimia Dasar. Dan ada yang aneh dengan BA.

“Bud, jas lo kok kotor?” tanya Tintus.

“Iya tadi ngepel.”

“Lo ngepel pakai jas lab?”

“Iya.”

“Hahahahahaha.”

Bukannya belajar buat pre-test–tes sebelum memulai praktikum–seantero kelompok F malah ngakak nggak berhenti-berhenti mengetahui kalau BA baru saja mengepel lab Farmasetika dengan jas labnya yang putih bersih itu.

* * *

Malam Hari

Badan saya mendadak panas, pusing melanda, dan pada akhirnya tidak bisa tidur sepanjang malam. Awal mula mimpi Halle Berry, terus kemudian Halle Berry-nya menjelma menjadi Berry Prima. Gimana saya bisa tidur kalau gitu?

Baiklah. Mencicipi sediaan buatan sendiri cukup kali ini saja.