Indonesia, A Tropical Paradise

Perkara branding ini seharusnya bukan pekerjaan seorang apoteker merangkap penulis galau kayak saya. Tapi #10daysforASEAN hari ketiga ini memberi tantangan unik kepada blogger-blogger ASEAN yang kece-kece ini.

Yup, tantangan soal branding nation.

Sejujurnya, saya bisa bilang kita kalah awu dari tetangga soal branding ini. Malaysia sudah menampilkan sebuah brand yang sangat pas dalam diri “Truly Asia”. Pas yang pertama adalah kesamaan konsonan Y pada “Truly” dengan “Malay” serta akhirnya “-sia” yang juga sama. Tentu saja soal konten adalah urusan yang terpisah. Ini saya bahas soal kata-kata saja ya.

Kalau akhiran “-sia” sudah menjadi milik Malaysia dengan asyiknya. Maka awalan “In-” sudah jadi milik Incredible India.

Dua slogan ini–Malaysia Truly Asia dan Incredible India–menurut saya adalah slogan yang cukup catchy dan oke punya. Tentu masih ada sederet slogan lain yang ada di dunia.

Ada Austria dengan “Arrive and Revive”, Slovenia dengan “I Feel Love” (dengan “love” diambil dari konten huruf yang ada di “Slovenia”), Mesir cukup jago memainkan sejarah dengan “Where It All Begins”, Uganda memakai bahan tambangnya dengan “Pearl of Africa”, Bangladesh mengambil “Beauitiful”, Nepal dengan manis memainkan “Naturally Nepal – Once Is Not Enough”, Filipina sendiri mencoba anti mainstream dengan menggunakan “It’s More Fun in The Philippines”, serta New Zealand dengan “100% Pure New Zealand”.

Terus kalau slogan sudah bagus-bagus gitu, kita kejatahan apa?

Indonesia pernah punya “Ultimate in Diversity” yang lalu diganti dengan “Wonderful Indonesia”. Ya, bagaimanapun slogan ini adalah hasil dari konsultan yang tentunya sudah mempertimbangkan dengan keren.

Cuma kok, bunyinya kurang yah?

Saya sih menyimpulkan hanya dari beberapa turis yang saya temui dalam beberapa perjalanan, utamanya ya waktu Cikarang-Jogja 18 Jam, si Andreas.

Jadi apa?

Ditanyakan dengan bunyi seperti suara Andhika eks Kangen Band pas bilang, “tapi apaaa…”

Salah satu kekayaan kita, dan sebenarnya juga kekurangan kita adalah negara kita yang tropis. Tidak akan ada turis datang ke Indonesia buat main ski. Kalau mau main ski ya mereka pergi ke Swiss.

Juga tidak akan ada turis datang ke Indonesia buat main boneka salju. Tapi banyak turis datang ke Indonesia untuk melihat pantai-pantai yang indah, merasakan udara tropis yang menyengat kalbu.

Nah, kenapa nggak mencoba jualan si tropis itu tadi?

Sepenglihatan saya sih, segala budaya yang ada di kita amat identik dengan si tropis ini. Semisal ada upacara adat melarung sesuatu ke laut, ya kalau nggak ada lautnya nggak akan ada upacara itu. Atau kalau ada lautnya tapi cuma es doang, ya nggak akan begitu juga.

Atau juga soal makanan. Saya sih yakin di Austria yang jelas-jelas nggak ada lautnya itu nggak akan ada menu ikan laut bakar. Karena disana peternakan sapi, jadi banyaknya sapi. Kalau di kita sapi itu…

…ah, sudahlah.

Nah, sisi tropis apa yang hendak ditonjolkan? Buat saya sih, sekalian saja hiperbola sedikit. Namanya juga branding.

Dan salah satu kata hiperbola yang bisa dipakai adalah…

…surga.

YA MESKIPUN SAYA NGGAK YAKIN HIDUP DI INDONESIA INI SEPERTI DI SURGA.

Kalem ah.

Tapi pernahkah kita mendengar cerita-cerita indah tentang surga, dan korelasinya dengan tanggapan orang ketika melihat Pantai Caroline di Padang, melihat Lembah Harau di Payakumbuh, hingga melihat laut di Raja Ampat? Sebagian orang akan menyebut surga. Jadi, nggak salah-salah amat.

Maka, surga tropis bisa kita jadikan brand. Yang kalau dialihbahasakan ke Inggris menjadi a tropical paradise.

“Indonesia, a Tropical Paradise”

Cuma, menjadi PR besar bagi negeri ini jika hendak mengambil slogan di atas. Apalagi untuk mengimplementasikan konsep PATH dalam branding surga.

Apakah kita yakin hendak menjanjikan (Promise) surga?
Apakah pengunjung akan menerima (Acceptance) bahwa yang kita janjikan itu benar-benar surga?
Apakah pengunjung percaya (Trust) bahwa yang dikunjunginya adalah surga?
Dan, apakah harapan (Hope) mereka melihat surga bisa terwujud?

Itu dia PR besarnya.

Saya memang bukan konsultan marketing soal brand. Bahkan saya kelimpungan waktu menentukan judul naskah kumpulan cerita saya tentang Alfa, yang beberapa waktu lagi akan terbit. Tapi ada hal yang menarik dari obrolan saya dengan Andreas di atas bis Lorena, 20-21 Juni silam.

Andreas memang tidak mengatakan bahwa negeri kita seperti surga. Tapi Andreas melihat bahwa rakyat kita punya kecenderungan komplain yang rendah, yang menerima segala ketidakadilan dan ketidakenakan, dan kemudian mengadaptasi itu semua untuk bisa bertahan hidup.

Apa hubungannya dengan surga?

Saya buka kamus Cambridge guna mencari makna dari “paradise” dan yang saya temukan adalah:

a place or condition of great happiness where everything is exactly as you would like it to be

Plus, a tropical paradise, ada di contoh penggunaan frasa untuk kata “paradise”. Tanda jodoh kan ya?

Andreas bilang bahwa orang-orang Indonesia itu selalu mampu menciptakan kesenangannya sendiri, di balik segala keadaan yang menurutnya tidak enak. Kalau yang nggak enak saja kita masih bisa happy, bagaimana kalau kondisinya enak? Kita benar-benar sudah di surga kalau begitu.

Dengan kondisi negara yang sangat luas, apalagi dibandingkan sesama ASEAN, kita sebenarnya masih bisa mengeksplorasi surga-surga lainnya yang ada di negeri ini. Biarlah yang lain mengklaim diri sebagai yang dicintai, yang luar biasa, yang asli, atau apapun, toh kita sudah menempatkan diri sebagai surga.

Waktu kecil saya pernah dapat cerita, tentunya berangkat dari cerita yang ada di kitab suci agama yang saya anut. Jadi katanya yang cerita, di surga itu semua orang akan berbicara dengan bahasanya sendiri-sendiri dan kemudian yang lainnya bisa mengerti. Sekarang, negara mana di ASEAN ini yang bahasanya segambreng? Orang kayak saya ini aja termasuknya langka, yang bisa ngobrol dengan bahasa Minang, Palembang, dan Jawa. Bahasa masing-masing itu artinya bahasa yang banyak, sedikit cerita anonim untuk menambah nuansa surga.

Lagipula, definisi surga ala anak Indonesia sebenarnya sepele banget kan ya. Soalnya, surga ada di bawah telapak kaki ibu. Saya nggak menemukan kalimat sejenis ini di tempat lain.

Salam surga!

Advertisement

5 thoughts on “Indonesia, A Tropical Paradise”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.