Tag Archives: bandung

Rindu Bandung, Mal Populer, dan Akses Termudah dari Jakarta

Photo by Dinul hidayat on Pexels.com

Bagi saya, Bandung itu bukan sembarang kota yang pernah dituju. Istri saya lahir di Bandung dan mertua tentu masih di kota tersebut. Lebih lanjut lagi, anak saya juga lahir di Bandung. Maka wajar kalau rindu Bandung adalah sesuatu yang muncul di era pandemi begini, mengingat sudah lebih dari setahun saya dan keluarga tidak pulang ke Bandung. Dulu mah tiap beberapa bulan sekali pasti. Malah pas menjelang pernikahan dan kelahiran anak, kami juga wira-wiri Bandung-Jakarta.

Selain tempat-tempat wisata di sekitar Lembang, Bandung juga terkenal sebagai kota belanja dan sudah pasti ada banyak mal populer yang ada di Bandung. Sebagai tempat kunjungan andalan, mal juga menjadi salah satu tempat yang paling dipelototin pemerintah dalam penegakan protokol kesehatan di masa pandemi.

Nah, berikut ini sejumlah mal populer di Bandung yang biasanya saya dan keluarga sambangi kalau pas di Bandung.

  • Paris van Java

Tahun 2007 saya pernah lomba paduan suara di Bandung. Nah, sesudah lomba dan menuju edisi jalan-jalan, kontingen sempat terjebak dalam adu pendapat. Sejumlah orang ingin ke Pasar Baru, sisanya ke Paris van Java yang memang baru buka. Saya sendiri waktu itu memang ikut ke Pasar Baru. Saya baru ke Paris van Java waktu PKL di Depok dan jalan-jalan ke Bandung. Benar-benar dari terminal itu kami langsung ke PVJ.

Salah satu kekhasan PVJ adalah konsep open air. Jangankan tempat jalan-jalannya, WC cowoknya pun open air. Haha. PVJ agak berbeda dengan mal di Jakarta yang dioptimalisasi ke atas. Jumlah lantai di PvJ nggak banyak, jadi kalau memang mau jalan-jalan ya ke samping kiri-kanan sudah cukup melelahkan.

Oiya, salah satu yang menarik, sehari sebelum kelahiran Kristof, kami masih sempat ke PVJ untuk kulineran sekalian memperlancar jalan kelahiran—yang ternyata ya tetap saja pakai induksi. Wkwk.

  • Trans Studio Mall

Dahulu tempat ini namanya Bandung Super Mall. Saya pernah ke BSM pada masanya, naik angkot dan panas. Sejak 2011, mal ini menjelma menjadi TSM seiring penambahan Trans Studio Bandung yang satu kawasan. Lokasinya juga cukup strategis di Jalan Gatot Subroto.

Selain Trans Studio, di TSM ini juga ada kawasan Trans Luxury Hotel, salah satu hotel terbaik di Bandung. Jadi, bisa berbagai kepentingan dalam satu kali kedatangan.

  • Cihampelas Walk

Kembali ke tipe outdoor dan ramah pejalan kaki, ada Cihampelas Walk alias Ciwalk. Lokasinya tentu saja bukan di Ujung Berung, kan namanya Cihampelas. Dinginnya Bandung masih berasa lah kalau di Ciwalk ini.

Lokasi Ciwalk berdekatan dengan sejumlah factory outlet di Jalan Cihampelas. Kita juga masih bisa wisata kuliner di Skywalk Cihampelas.

  • Istana Plaza

Saya tidak bisa bilang ini mal tertua di Bandung, tapi termasuk yang juga pernah saya datangi pada periode 2006-an. Salah satu alasannya karena lokasinya yang sangat strategis, dekat dengan Bandara Husein Sastranegara dan tidak jauh pula dari Stasiun Bandung. Pas mau interview di Padalarang tahun 2009 awal, kami juga menyempatkan diri nongkrong di IP sejenak begitu sampai ke Bandung dan masih bingung mau ngapain~

Salah satu yang menarik di IP ini memang kalau bawa bocah. Tempatnya luas dan cukup banyak mainan anaknya. Jadi nggak bikin bete lah kalau bawa anak ke IP.

  • Paskal 23

Berdiri tahun 2017, Paskal termasuk mal paling baru dan otomatis karena baru dan hadir di era media sosial jadi cepat populer juga. Sesuai namanya Paskal, lokasinya sudah pasti di Pasir Koja. Yak! Salah! Tentu di Pasir Kaliki dong.

Paskal 23 juga cukup ramah anak dan lebih ramai lagi untuk pecinta film karena bioskopnya kalau saya nggak keliru adalah salah satu yang terbesar di antara mal-mal yang ada di Bandung.

Salah satu akses yang biasa saya gunakan kalau mau ke Bandung adalah dengan DayTrans. DayTrans memang sudah dikenal sebagai travel andalan untuk rute Jakarta-Bandung pp. Dan karena sudah biasa dengan DayTrans Jakarta-Bandung pp, maka pas saya turun dari Denpasar di Solo dan hendak menuju Salatiga, saya akhirnya ya naik DayTrans Solo-Semarang. Pas di Jogja dan mau ke Semarang, jadinya ya naik DayTrans juga deh.

Salah satu yang menarik dari DayTrans adalah pilihan mobilnya yang memang oke punya seperti Isuzu Elf dan Toyota Hiace Commuter. Jadwal berangkat juga tepat waktu, bahkan saya pernah ketinggalan karena memang terlambat sampai ke pool. Lokasi-lokasi pool DayTrans juga strategis di setiap kota tempat berada.

Di Bandung misalnya, DayTrans tersedia di Dipatiukur, Pasteur, dan Cihampelas. Benar-benar nggak jauh dari mal-mal yang ada. Di Jakarta dan sekitarnya, poolnya tersebar di lokasi strategis seperti Slipi, Binus, Tebet, Atrium Senen, fX Senayan, hingga Tangerang City.

Lebih keren lagi karena sekarang kita juga bisa memesan tiketnya dari aplikasi Traveloka. Sudah seperti beli tiket pesawat dan kereta api, kan? Jadi, benar-benar bisa pesan sambil rebahan dan nggak perlu juga harus keluar pulsa untuk menelepon serta nggak perlu takut untuk kehabisan tiket karena semua bisa dipantau melalui aplikasi.

Cakupan vaksinasi di Jakarta dan Bandung terbilang keren. Jakarta sudah 100 persen bahkan lebih, sedangkan di Bandung sudah menuju 50 persen. Semoga sebentar lagi saya bisa ke Bandung dan anak saya jadi bisa mengingat kembali tempat kelahirannya nan indah permai itu.

Yang Nikmat di Bandung, Martabak Nikmat Andir

martabak-nikmat-andir

Sewaktu menulis tentang Markobar–yang sejak masuk Mata Najwa, ramainya makin hore, tapi kemudian mulai disaingi oleh Sang Pisang, saya juga mengutip sedikit perihal sejarah martabak. Nah, dari sejarah yang saya kutip tampak korelasi dengan martabak di Bangka dan Bandung hingga muncul nama martabak San Fransisco.

Maka, ketika kebetulan lewat di daerah Buah Batu, saya dan pacar (iya, tulisan ini adalah draft ketika masih pacaran–sekarang anaknya sudah bisa manjat) mampir ke martabak San Fransisco yang bercampur dengan food court lain. Apa daya, si pacar yang lagi ulang tahun itu sedang nggak pengen martabak yang premium.

Mungkin dia tahu pacarnya hanyalah PNS kere, atau memang kebetulan sedang ingin kembali ke selera asal. Martabak nan sederhana, sebelum coklat premium menyerang. Ketika ditanya pisang keju dan di San Fransisco Buah Batu itu pisang keju nggak ada, maka tujuan berikutnya langsung ditetapkan. Menurut mbak pacar, martabak paling enak di Bandung itu adanya di Andir. Saya yang nggak tahu apa-apa tentang martabak di Bandung langsung melajukan sepeda motor disertai cubitan. Hedeh.

Berlokasi di Jalan Sudirman yang satu arah, menemukan martabak dengan nama lengkap Martabak Nikmat Andir ini bukan hal sulit. Letaknya di kiri jalan dengan papan nama terkini alias neon box yang cukup besar dan mencolok. Jalan satu arah ini cukup ramai dan cukup bikin pusing kalau parkir apalagi di malam minggu. Sepeda motor yang saya pakai digesar-geser sana sini demi kepentingan kapasitas parkir. Tenang saja, persaingan di martabak ini sehat. Yang naik motor dan naik mobil seimbang bin setara. Kaya dan kere sama-sama antre martabak. Maka, selain parameter ekonomi seperti saya jelaskan di posting tentang martabak 65A, martabak juga menjadi simbol kesetaraan. Luar biasa! Continue reading Yang Nikmat di Bandung, Martabak Nikmat Andir

Selamat Jalan, Paktuo!

Halo Paktuo, bagaimana perjalanan menuju surga? Lancar, kan? Pastinya lancar, dong. Semua orang yang kenal Paktuo pasti meyakini itu. Saya sedang antre BPJS di PGI Cikini kala Cici memberi kabar bahwa Paktuo sudah nggak ada. Sumpah, ingin menangis di tempat rasanya. Kita baru ketemu tanggal 11 Juli yang lalu, lho. Kita juga saling berkata, “Nanti kan ketemu lagi…”

Tapi kok jadinya begini, Paktuo?

Ada banyak hal yang tidak saya ketahui tentang Paktuo, sebagaimana abang-abang, kakak, dan terutama Petra mengetahuinya. Ya bagaimana, kita ketemu tidak cukup intensif dalam durasi yang begitu lama, tapi perjalanan waktu membawa kita kepada diskusi-diskusi hangat. Ah, paling senang saya melayani diskusi dengan seorang old man yang penuh ide-ide perubahan. Setidak-tidaknya bisa jadi bahan untuk nakal dalam tulisan.

Sebelum semuanya seperti sekarang ini, Paktuo ada kala saya kecil. Yha, dari 1987 sampai 1993, jelas sekali memori itu dalam kepala saya. Paktuo adalah wali baptis saya. Tentu memilih wali baptis tidaklah sembarangan. Sebagaimana saya memilih Paklek Beny sebagai wali baptis Kristofer juga sangat dipertimbangkan. Sebagai sosok kakak yang tersedia di Bukittinggi kala itu, maka pilihannya ya pasti Paktuo.

Continue reading Selamat Jalan, Paktuo!

Cerita Suami: Mendampingi Istri Melahirkan (1)

Gile, blog saya ini semakin abal-abal saja. Posting per bulannya tinggal sisa satu. Itu juga iklan. Yah, memang akhir-akhir ini saya terlalu bergelut dengan UCNews demi dolarnya meski kemudian ternyata mencari dolar tidaklah semudah itu karena masih lebih mudah RDK. Selain itu, saya juga sibuk satu hal: mendampingi istri melahirkan.

Yup, saya sudah jadi bapak sekarang ini. Nah, perkara saya jadi bapaknya siapa, itu nanti kapan-kapan saya jelaskan. Saya justru hendak sharing sedikit mengenai proses panjang kelahiran anak saya ke dunia persilatan ini.

Sejak 7 bulan, saya dan istri memang sudah membuat ketetapan untuk melahirkan di Bandung. Pertimbangan utama adalah karena saya kerjanya kayak Bang Toyib. Ada suatu waktu saat 2 minggu sekali saya minggat dari rumah selama 3-7 hari. Hal itu tidak baik kalau tiba-tiba istri saya memperlihatkan tanda-tanda hendak melahirkan.

Selain itu, faktor eyangnya si bocah di Bandung tentu akan membantu selama proses persalinan yang tidak mudah tersebut. Ketiga, jelas faktor biaya. Kami memang tidak ditanggung siapa-siapa. Alasan utama adalah karena sebagai pegawe ngeri jaminan kesehatan saya adalah BPJS dan saya kok nggak tega istri saya lahiran pakai BPJS. Bukan apa-apa, istri saya kerja di RS dan untuk hal-hal tertentu BPJS belum terlalu nyaman bagi pasien. Dari kantor istri juga belum bisa karena belum memenuhi durasi kerja di RS tersebut untuk bisa ditanggung. Seandainya kehamilan bisa ditambah 3 bulan lagi, kelahiran anak saya bisa gratis ditanggung kantor istri. Ya kali hamil 12 bulan, broh. Nah, karena faktor finansial ini kami survei-survei dan untuk melahirkan di RS semacam Hermina dan Pondok Indah kok ya tidak terjangkau. Jadi ya sudah, hitung-hitung ketetapannya adalah lahiran di Bandung.

Namanya di Bandung, tidak berarti kami pilih-pilih dulu, entah Santo Yusuf, Santosa, Limijati, Cibabat, atau Borromeus. Pilihannya langsung Borromeus dengan segala kelemahan dan keunggulannya. Alasan ke Borromeus, ada beberapa juga.

Pertama, istri saya lahir di Borromeus. Ada hubungannya? Nggak. Tapi jadi alasan aja, sih. Kan seru kalau ibu sama anaknya satu tempat lahir? Nggak seru? Ah, masak?

Continue reading Cerita Suami: Mendampingi Istri Melahirkan (1)

Melihat-Lihat Cibadak Culinary Night (CCN)

Terima kasih kepada Pak Ridwan Kamil dan upayanya untuk meningkatkan Index of Happiness dari warga Bandung. Dan salah satunya adalah memperbanyak jumlah event yang berbau happy-happy. Nah, salah satunya adalah Cibadak Culinary Night alias CCN. Ya begitulah, belakangan saya–si penulis Oom Alfa–memang jadi sering ke Bandung dan mulai lebih akrab dengan Primajasa alih-alih Mayasari, makanya bisa ikut-ikutan proyek Pak Ridwan untuk happy-happy.

Sesudah mencicipi Braga Culinary Night (BCN) yang kisahnya bisa dibaca secara lengkap disini, tentu saja saya penasaran dengan tipe serupa yang mestinya berbeda. Lha kok gitu? Sejauh saya dengar, Cibadak adalah salah satu area Pecinan di Bandung. Jadi, mestinya saya bisa memperoleh varian kuliner yang berbeda dengan yang saya temui di Braga sebelumnya. Dan baru ngeh juga, ternyata di tanggal 22 Februari silam, di Bandung ada 2 event yang sama-sama Culinary Night. Cikarang? Tetap setiap dengan Taman-Seribu-Janji-Culinary-Night-Yang-Bikin-Macet-Tiada-Tara.

IMG_4487

Nah, berbekal ekspektasi yang kadung tinggi gegara puas dengan BCN, maka berangkatlah saya ke Cibadak. Dan berhubung saya nggak akrab sama Bandung, tentu saja saya berangkat ke CCN  bareng mbak-mbak yang paham Bandung dan paham hati saya. #tsahhh

Mari jalan-jalan!

Braga, I’m In Love

Iya, ini nyontek judul salah satu novel teenlit pertama yang pernah saya beli. Nggak apa-apa, Braga kan bukan Eiffel dan Eiffel juga bukan Braga. Lagipula kan nggak ada Eiffel Culinary Night karena adanya Braga Culinary Night.

BCN1

Perihal nama Braga, saya justru teringat ketika saya masih hobi mendengarkan pertandingan sepakbola. Tenang, itu bukan typo. Saya benar-benar mendengarkan pertandingan sepakbola melalui Radio Republik Indonesia. Dan karena saya menghabiskan masa muda menjelang dewasa, maka pertandingan yang saya dengarkan adalah PSIM dan PSS. Kalau di RRI itu, pertandingan biasa aja bisa jadi seru banget.

“Yak, bola ditendang, melewati garis tengah… Berbahayaaaaa.. Dannnn… Mereka jadian saudara-saudara…”

Begitu kira-kira.

Selanjutnya!

[Interv123] Blessed Survivor

Interv123 baru nongol bersama Bu Bidan, tanggal 20 kemaren. Seharusnya akan nongol lagi tanggal 10. Tapi hari ini saya terpaksa melanggar ketentuan saya sendiri karena tamu Interv123 hari ini buat saya sungguh luar biasa. Dan adalah kerugian besar bagi saya kalau harus egois menahan isi wawancara ini sampai tanggal 10. Lagipula, wawancara dilakukan tanggal 1. Mengetiknya antara tanggal 1 sampai tanggal 2, bulan 12, di tahun 2013. Baca lagi, 1-12-13 ke 2-12-13. Semuanya masih beraroma 123. Jadi pelanggaran masih diperkenankan. Seperti yang saya tulis di salah satu halaman skripsi: setiap hal ada pengecualiannya.

Semuanya bermula dari sesorean tadi–sepulang jadi apoteker beneran, sekali dalam sebulan–saya iseng mengecek TL Twitter. Sebagai penulis yang followernya nambah 3 tapi kurang 5, saya harus eksis bercicitcuit. Saya lalu mendarat di posting Derita Mahasiswa berjudul Tuhan Punya Rencana Lain. Awalnya sih biasa saja, sampai kemudian saya membaca hingga akhir posting itu. Begitu selesai? Saya terhenyak, karena ternyata saya pernah membaca nama di dalam posting itu sebelumnya.

Penulis favorit saya, beberapa bulan yang lalu menulis cerpen berjudul Anak Lelaki di Samping Jendela. Di akhir cerita, ada tulisan begini:

Caramel Macchiato

Ya, tokoh di dalam posting Derma dan tokoh di dalam salah satu cerpen dari penulis favorit saya itu merujuk pada 1 orang yang sama: @shiromdhona.

:)
🙂

Mbohae!

Loser Trip: Full Story of Journey

Apaan Sih?
Apaan Sih?

Pertama-tama saya ucapkan selamat datang di posting ini. Intinya sih, posting ini akan panjang sekali. Jadi kalau kuota anda bermasalah lebih baik segera klik tanda silang yang ada di kanan atas, lalu beli kuota baru, terus buka lagi posting ini. Kalau nggak mau ya nggak apa-apa juga sih. Yang penting jangan minta pulsa atau kuota sama saya. Itu saja.

Kita mulai dari judul? Kenapa judulnya begini? William Shakespeare saja bilang “apalah arti sebuah nama?”. Itu sudah penulis legendaris lho. Makanya, saya yang penulis cupuistis juga hendak menyitir Pak William dengan menyebut “apalah arti sebuah judul?” Hanya orang-orang tertentu yang tahu makna kata pertama dari judul posting ini.

Sudah ini? Mulai? Yakin? Baiklah! INI DIA!

Ini kompilasi keren sebenarnya. Keren karena sebenarnya duit saya lagi mendekati tandas, tapi niat saya malah menyerbu kuat. Akhirnya kantong ngalah. Untung pula ada pengumuman penyesuaian gaji karena kenaikan BBM, jadi urusan kantong bisa dipikirkan belakangan. *buru-buru beli mie instan yang banyak*

Trip ini dirancang dalam rangka membuat diri saya tidak menjadi loser sejati. Sebagai perencana produksi yang ulung dengan angka order fulfillment selalu 100% sejak 2011–silakan cari Supply Chain lain sedunia yang dalam dua tahun berturut-turut bisa segitu angka order fulfillmentnya–maka saya nggak perlu perencana trip. Saya tinggal mengandalkan Mbah Google dalam merencanakan trip ini.

Dan tujuan dari trip kali ini adalah….

Selamat Datang di Semarang
Selamat Datang di Semarang

SEMARANG!

Saya ambil cuti dua hari, Kamis dan Jumat untuk perjalanan ini. Agak aneh ya? Intinya sih saya mau sebelum lebaran. Saya juga nggak menggunakan jalur darat Pantura alias bis. Ada dua pertimbangan utama. Pertama karena saya membawa Tristan dan Eos, yang total nilai keduanya melebihi harga diri saya, soalnya masih utang. Kedua, karena saya masih tobat soal Cikarang-Jogja 18 jam. CAPEK!

Lalu naik apa? Karena tujuan lain dari trip ini adalah untuk memberdayakan si Eos, maka saya memutuskan untuk naik pesawat.

Biasanya Kramat Djati, sekarang beralih sedikit ke Garuda. Sekali-kali nggak apa-apa. Harganya “cuma” selisih 100 ribu dengan si Merah. Dan Garuda kan nggak pakai pajak bandara lagi, jadi total hanya selisih 50-60 ribu saja. Anggaplah selisih itu sebagai harga roti dan segelas susu ultra, plus buat nambah-nambah kilometer terbang saya sebagai Frequent Flyer Garuda. Iya. Setahun dua kali naik Garuda aja nggaya punya Frequent Flyer. Penumpang macam apa saya ini? Memalukan.

Semua urusan pertiketan saya bereskan 24 jam sebelum berangkat. Tiket Garuda saya beli online menggunakan website Garuda. Dan sebagai Frequent Flyer, saya login, lalu beli. Kemudian bayar pakai e-commerce BCA. Dunia makin gila ya. Saya bahkan nggak perlu mengucap sepatah katapun untuk membeli tiket ini. 512.500 terdebet dari rekening payroll saya untuk sebuah tiket Garuda Indonesia dari CGK ke SRG. Karena sebelumnya saya hanya pernah ke Semarang naik sepeda motor dan bis, maka artinya ini adalah penerbangan pertama saya ke Semarang. Artinya lagi, ini menambah koleksi bandara yang saya darati. Tercatat sebagai penerbangan ke-76 saya seumur hidup. *melankolis kampret yang menghitung dan mencatat jumlah penerbangan yang dilakoni*

Sedangkan untuk pulangnya, lagi-lagi untuk memberdayakan si Eos, saya order online via layanan 121-nya Kereta Api. Dan ini juga pertama kalinya saya akan naik kereta dari Stasiun Semarang Tawang (SMT). Dan biar lebih seru–sekaligus lebih murah–saya ordernya bukan kereta api jurusan Jakarta, apalagi Cikarang. Saya beli tiket Semarang – Bandung, lalu lanjut Bandung – Jakarta. 😀

Dan karena saya sudah akrab dengan 121, maka bukan merupakan issue utama soal order ini. Cuma kok ya yang ngeladenin cowok, biasanya kan cewek. -____-” Transaksi saya tuntaskan via ATM Mandiri, seperti biasanya.

Dan sampailah hari Kamis, harinya perjalanan. Saya cabut dari kos-kosan jam 6 kurang 15. Pikir saya, jam 6 gitu kan, jalanan masih sepi. Tapi saya lupa kalau ini Cikarang. Bahkan ayam saja kalah agresif daripada Cikarang. Jam 6 itu segala macam bis, mobil, dan sepeda motor sudah berkeliaran di jalanan, dan nggak kalah macet dari jam 7, 8, dan seterusnya. Ini Cikarang, Bung!

Saya kemudian parkir si BG di tempat penitipan langganan, yang ada CCTV dan tempatnya terlokalisasi. Beda sama tetangganya, yang sekali-kalinya saya parkir, si BG pindah sejauh 100 meter. Kampret bener. Saya lalu menunggu Damri Jababeka – Bandara di depan penitipan motor itu. Tentunya berharap tidak ada orang kantor yang lewat. Dikiranya saya mau interview, jam 6 udah nangkring aja di tol. Selalu saja ada orang yang berprasangka buruk dengan mudah. Bahkan waktu saya Kelas Inspirasi aja dikira interview! Sinting.

30 menit saya menunggu, persis selama Jamrud menunggu tanpa suara dan resah harus menunggu lama kata darimu. Sesudah 30 menit itu, Damri yang dimaksud lewat. Saya naik, dan bertemu dengan…

Oma Cwi Mie.

Penting ya? Nggak juga sih.

Dua jam lebih saya digoyang di atas Damri ini. Ya namanya juga jam berangkat kerja. Tol Halim itu macetnya minta ampun. Saya bayangin Pak Anang yang SETIAP HARI menempuh kemacetan itu. Kuat-kuat saja dia. Kalau saya? Mungkin sudah resign dengan sukses. Sukses resign itu prestasi bukan ya?

Kira-kira jam 8 lewat 20 saya sampai di terminal 2F. Saya termasuk rombongan terakhir yang turun dari bis. Oma Cwi Mie bilang, “sukses ya”, waktu dia mau turun. Saya anggap itu adalah doa agar Loser Trip saya sukses menjadikan saya tidak loser.

Hasilnya? *ting tung ting tung*

Saya lalu kabur ke AW. Sudah lama saya tidak mencicipi makanan favorit dulu kalau di bandara, jaman masih LDR: Fish Sandwich. Di AW saya ketemu dengan dua karyawati berhijab, dan meladeni makanan. Ada tirai memang di depan AW. Ehm, ini semacam menghormati ya mestinya. Tapi saya kok tetap makan sambil ngelirik supaya mbak-mbak-nya nggak ngelihat. Kebiasaan di Bukittinggi masih kebawa banget.

Tapi saya nggak minum rootbeer, air putih saja. Sakit gigi ini begitu perih, sehingga saya harus berganti selera. Kalau lagi begini, saya baru menyadari bahwa sakit hati itu lebih mendingan. Ya nanti kalau lagi sakit hati, maka sakit gigi akan menjadi tampak lebih indah. Apa-apaan ini?

Terminal 2F lama-lama nggak asing memang dalam hidup saya, sejak saya mencoba menaikkan derajat dengan berprinsip, kalau bisa Garuda, ya Garuda. Kalau pulang misalnya, saya akan cari salah satu penerbangan Garuda. Dengan kompensasi penerbangan sisanya yang murah. Mudik terakhir saya “hanya” habis 1,2 juta pp, separo dari lebaran tahun lalu. Kenapa? Karena berangkatnya pakai Tiger Mandala, pulangnya Garuda. Bersakit-sakit dahulu, nggaya kemudian.

Penerbangan 11.50, dan saya sudah cek in jam setengah 10. Alangkah kurang kerjaannya saya ini. -____-

Lalu saya sudah mau masuk ke ruang tunggu. Nggaya naik conveyor. Begitu nyampe, ternyata antriannya sudah sepanjang seperempat akhir benda yang bikin malas itu. Walhasil belok kiri, jalan lagi seperempat conveyor, lalu antre. Eh buset. Sempat ditolak (hiks) masuk ruang tunggu karena kepagian, saya kemudian ngemper sambil online di luar ruang tunggu. Syukurlah saya sudah punya Tristan. Kalau nggak? Saya hanya akan repot nyari colokan si Lappy karena dia hanya mau hidup dengan colokan. Prinsip hidup yang cukup menyusahkan kalau lagi di bandara.

Begitu saya masuk ruang tunggu. Rada kaget juga. Iya kaget karena memang terakhir kali saya berangkat naik Garuda dari 2F memang sudah agak lama, kalau mendarat lebih sering sih. Kalau nggak salah pas nikahannya Boris. Eh pas ngurus SKCK ding. Kagetnya karena di ruang tunggu sekarang ada yang namanya pojok baca, disponsori sebuah asuransi. Ada sofa, ada majalah, ada buku, dan NYAMAN ABIS. That’s why i love Garuda 😀

Dan ruang tunggu menjadi semakin ramai. Saya selalu mengamati bahwa rupa-rupa penumpang Garuda itu banyakan songong-nya. Kalau penumpang Lion Air atau Sriwijaya itu banyakan katro-nya. Maaf ini kesimpulan sepihak. Memang saya ini sudah songong, katro pula. Lagipula dari 76 penerbangan saya, yang pakai Garuda baru belasan kok. Jadi memang saya ini banyak katro-nya. *bahkan saya sendiri kurang paham makna tulisan barusan*

Oke. Siap. Berangkat.

Sesudah panggilan boarding, saya segera naik bis. Ealah. Mahal-mahal beli tiket, jadinya ya bis juga. Dan tahu bukti songong-nya? Kursi ada, tapi semua pada mau berdiri. Songong karena mikirnya deket. Ternyata? Jauh abis! Soalnya pesawatnya parkir di keberangkatan luar negeri. Nyempil di dekat-dekat pesawat-pesawat besar. Mungkin nggak dapat tempat mendarat saking padatnya bandara terbesar di Indonesia Raya Merdeka Merdeka itu.

Saya sengaja milih tempat di jendela, jadi bisa dengan lebih mudah beraksi galau dan tidak terselamatkan. Cukup menatap jendela, bertemankan awan, setel playlist galau. Beres deh.

Tempat yang saya ambil adalah 21F. Yang mana daripada itu sedikit di belakang sayap. Maka tidak heran kalau separo hasil karya si Eos akan selalu berhiaskan sayap menekup ke atasnya si Garuda GA 236 ini. Okelah. Yang jelas mimpi saya bisa motret pakai DSLR lewat langit terlaksana. Terakhir kali saya motret dari langit itu ya pakai Brica Ambon. Sebelumnya malah pakai kamera pocket yang blitz-nya dimatiin. Mimpi itu bisa terwujud ya kalau diusahakan. Usaha ngutang buat beli si Eos, usaha cuti, usaha buat beli tiket pesawat. Simpel kan?

Hasil Karya Eos
Hasil Karya Eos

Sayangnya saya dapat 737-800 yang bukan NG. Jadi tidak dapat LCD pribadi kayak biasanya. Hanya ada layar nekuk di atas, dan kebetulan tepat di atas saya.

Njuk piye le nonton? *asem*

Dan ternyata penerbangan ini sebentar sekali, plus mlipir pantura. Jadi pemandangannya nggak jauh-jauh dari laut. Hiks lagi. Beda sama penerbangan dari Padang yang full of green, atau dari Palembang yang berhiaskan sungai plus Kepulauan Seribu. Cenderung lebih asyik untuk difoto.

Mlipir Pantura
Mlipir Pantura

Plus, ternyata penerbangan ini sebentar sekali. Cenderung nggak kerasa. Hedew.

Duduk Pas Sayap
Duduk Pas Sayap

Harapan saya untuk motret Kota Semarang dari langit kandas karena ternyata bandara Ahmad Yani ini langsung mlipir laut. Beda banget sama Jogja yang memperlihatkan profil kota sebelum mendarat. Ini laut, laut, sawah, lalu landasan. Rasanya bandara ini lebih besar dari Jogja, karena ngerem-nya nggak sekeras di Jogja, kalau menurut saya.

Sebelum Mendarat
Sebelum Mendarat Apa Sesudah Mengudara ya? *lupa*

Sampai di landasan, turunnya tanpa belalai. Benda yang hanya ada di bandara nggak minjem kayak Minangkabau atau SMB II. Kalau minjem kayak Jogja atau Semarang atau Medan yang Polonia, ya nggak ada. Tanda minjem? Lihat aja kalau ada menaranya tentara, itu tandanya bandara masih minjem. Minjem sejarah setidaknya.

Setelah mimpi motret dari langit terlaksana, sekarang mimpi motret pesawat dari landasan juga terlaksana. Kalau pakai HP, biasanya kan nunggu HP on dulu baru bisa motret. Sedangkan saya itu orangnya tertib, menyalakan HP yang kalau sudah sampai gedung terminal. Keburu nggak kelihatan pesawatnya.

GA 236
GA 236

Ada juga bapak-bapak yang motret pakai tablet-nya. Next target adalah tablet. Meski saya meragukan untuk apa juga saya punya tablet kalau semua aktivitas online masih bisa dicover sama si Young, ya meskipun dia harus tersambung selalu ke powerbank.

Sampai Semarang dan kesimpulannya adalah bandara ini kecil sekali. Lha kecil kalau begitu keluar LANGSUNG kelihatan parkiran mobil, dan ujungnya parkiran mobil juga kelihatan. Ealah. Plus akses keluar satu-satunya, selain dijemput dan ngesot, adalah taksi bandara. Dan layaknya taksi bandara manapun, tarifnya sungguh tiada masuk akal. Buat saya taksi bandara paling fair itu tetap Palembang. Bayar beberapa ribu di tempat, sisanya argo. Di Jogja? Tahun 2008, bandara ke Paingan yang cuma sakcrit itu bayarnya 35 ribu. Edan!

Mana yang ngelayanin karcis taksi itu udah tua pula. Kalau lambat kan logis. Tapi kalau lambat gitu kan saya emosi jiwa. Tapi ini kan perjalanan, masak saya emosi. Tak patut, kata Upin atau Ipin.

Hasil googling, saya memutuskan untuk naik taksi ke Katedral. Sebagai mantan warga Keuskupan Agung Semarang, saya kan pengen lihat juga Keuskupan Semarang dan katedralnya kayak apa. Sekaligus koleksi tambahan sesudah melihat Katedral Padang, Palembang, dan Jakarta.

Letak Katedral itu dekat Tugu Muda. Supir taksinya malah nanya, “Katedral mana ya Mas?”

Untung sudah googling. Hahahaha. Tinggal jawab, “dekat Tugu Muda.”

Dan ya memang Katedral itu seputar-putar Tugu Muda. Dan malah sebrang-sebrangan sama Lawang Sewu yang legendaris itu. Sayangnya nih, saya nggak bisa masuk Katedral itu. Agak miris juga ya, umat Katolik, nggak bisa masuk Katedral. Padahal di saat yang sama orang lain bisa masuk Watugong dan Gereja Blenduk, walaupun bayar. *tanya kenapa*

Di Katedral, tujuan saya yang utama sebenarnya cari halte Bus Rapid Trans-nya Semarang koridor 2. Cara irit kan? Sesudah tarif kampet 40 ribu bandara ke Katedral, maka perlu penetralisir dompet. Tentu saja 🙂

Di sebelah Katedral ternyata ada sekolah Dom Savio. Satu hal yang selalu saya ingat dari nama sekolah ini adalah dulu waktu di JB kelas I-5, ada anak nomor absen 5, namanya Alexander Ivan berasal dari sekolah ini, dan tidak pernah nongol sebagai siswa JB. Ini kan sebuah misteri, yang harus diungkap setajam silet. Silet pitik.

Sebenarnya pengen mampir dulu ke Lawang Sewu, wong cuma nyeberang. Tapi kok tiba-tiba mendung menggantung dan hujan melanda. Ya sudah, memandang Lawang Sewu-nya dari kejauhan saja deh. Saya akhirnya umpek-umpekan sama anak-anak sekolahan di dalam BRT warna merah jurusan Terminal Sisemut itu. Ini jam padat.

Agak unik BRT ini menurut saya. Mekanismenya lebih mirip Trans Musi mungkin. Ya secara saya belum pernah naik Trans Musi sih. Soalnya Halte-nya kosongan. Halte kosong ini tentu beda dengan Trans Jogja, apalagi Trans Jakarta. Jadi begitu umpek-umpekan, si penarik bayaran niscaya akan bingung, mana yang sudah dan mana yang belum. Untung bisnya kecil. Oya, bis-nya keren. Mungkin karena masih baru. Setahun yang lalu waktu saya ke Semarang demi naik Bejeu, belum ada BRT koridor 2 ini.

Intermezo sedikit, saya ketemu anak SMP cantik namanya Sabrina Taleetha, turun di Pasar Jatingaleh. *Iklan Layanan Masyarakat*

Satu hal lagi yang membedakan BRT ini dengan Trans Jogja, apalagi Trans Jakarta, adalah berhenti-nya. Selalu ditanya dulu. “Pasar Jatingaleh?”, kalau ada yang bilang ada, baru berhenti. Lah kan aneh. Jadi nggak selalu mandek di setiap halte. Dan yang unik berikutnya adalah di hujan yang deras itu ada Honda Tiger yang parkir PERSIS di tempat BRT harusnya mandek. Dan begitu BRT datang ke halte itu, yang punya motor diam saja, berasa halte ini punya Mbah Kakung-nya.

Itu kalau di Jakarta mungkin sudah dihajar massa.

Plus, ada satu halte yang saya lupa, yang di depannya persis terparkir mobil Carry jadul warna hijau. Dan khusus disini penumpang akan turun lewat pintu depan. Mungkinkah pemilik Carry itu adalah penunggu halte, sehingga BRT nggak berani menggusur. Suasana semakin mistis karena ada taburan bunga di atas Carry hijau itu. Hiiii… wagu.

Saya turun sejurus sesudah patung Pangeran Diponegoro. Masih hujan, tapi sudah tidak sederas waktu di Katedral. Mengulang kejadian yang sama setahun silam. Ya sudah, wong tas saya sudah punya pelindung parasut dua biji, jadi perjalanan diteruskan saja. Entah kenapa, sejak Heavy 13, saya memang cenderung takut hujan, Takut yang aneh.

Hari hujan ini justru bikin galau. Halah, nggak hujan juga galau. Sambil hujan-hujan ini, saya mengirim sebuah pesan singkat, yang kemudian sampai kepada nomor yang dituju. Iya, udah gitu doang sih.

TERUS KENAPA?

Nggak ada apa-apa sih. Sejak masuk penginapan sekitar jam 3, sampai kemudian Romelu Lukaku menorehkan luka ke gawang Kurnia Meiga, saya nggak keluar-keluar kamar lagi. Dengan kata lain, molor sampai pagi.

Bangun-bangun kok sudah Jumat. Coba kalau bangun-bangun masih Kamis, kan saya nggak harus nambah biaya penginapan. Di hari Jumat ini, tujuan saya adalah sebuah tempat yang katanya namanya Pagoda, beberapa kilometer dari tempat saya menginap. Ini aksesnya jauh lebih mudah daripada saya harus ke Sam Poo Kong. Dan katanya, yang akan saya tuju ini lebih gede. Ya benar atau tidaknya kan harus dibuktikan.

Pohon dan Angsa (Kelihatan Nggak?)
Pohon dan Angsa Di Depan Penginapan (Kelihatan Nggak?)

Hasil blogwalking bilang kalau saya cukup naik BRT arah Sisemut untuk bisa sampai ke tempat yang hendak saya tuju ini. Jadilah saya kembali ke Halte Srondol. Mikirnya kan logis ya, ada halte, ada BRT, ada penumpang, maka bis berhenti. Iya kan?

Iya apanya. Nggak! Saya nangkring di Halte Srondol dan cuma dilewatin doang sama bis nomor 39 dan 40. Setelah saya analisis, ternyata halte ini ketutup pohon, jadi nggak kelihatan kalau ada orang. Selain itu, saya-nya memang pada dasarnya juga sudah untuk dilihat. Maka lengkap sudah.

Jadi, saya turun dari Halte Srondol dan menuju Halte Tembalang. Dari tadi, dua BRT mampir di halte ini. Dan benar saja, bis nomor 41 mampir dan saya segera naik. Begitu ketemu kondektur-nya, saya berpesan kepada kondektur, layaknya orang tua pada anaknya.

*uopoooo*

“Mas, Watugong medun ngendi?”

“Mega.”

“Sip.”

Halte demi halte dilewati, dan akhirnya saya sampai juga di halte yang disebut Mega itu. Pas turun saya juga kurang paham Mbak-Mbak yang namanya Mega itu nunggu dimana. Pas pulang baru tahu kalau itu nama perumahan.

Pas turun dari Mega, pucuknya pagoda sudah kelihatan. Jadi saya berjalan terus ke selatan guna mencari kitab suci. Yang unik, dari Mega sampai ke Pagoda itu, berjejer penjual ubi cilembu rasa madu. Lah, ini Semarang apa Bandung?

Untung bulan puasa, jadi saya nggak beli. Ya meskipun kata-kata sebelum dan sesudah koma itu sama sekali tidak berhubungan sih.

Terus berjalan ke selatan sambil disabet udara kencang tronton yang lewat ke arah Ungaran, saya akhirnya sampai juga di Pagoda yang dimaksud. Izin dulu sama satpam, nulis di buku tamu, dan memberikan duit seikhlasnya. Paling suka kalau sudah seikhlasnya gini. Kalau saya nggak ikhlas, nggak apa-apa dong?

Hanya karena saya kasihan kepada Pak Satpam yang menonton sinetron, buat saya sih nggak sesuai sama profesi, jadi saya tetap ikhlas ngasih.

Sesudah izin untuk mengambil gambar, akhirnya saya jeprat-jepret sana-sini di Pagoda ini. Asyik! 😀

Pagoda
Pagoda

Sempat ngobrol dengan Bapak-Bapak yang menunggui tempat beribadah ini. Juga cerita kalau hari Sabtu Minggu biasanya ramai, dan dikunjungi umat dari berbagai agama. Dia juga cerita kalau istrinya satu agama dengan saya. Dia juga cerita soal rombongan-rombongan yang datang kesana. Hingga bagian paling mengenaskan adalah ketika dia bertanya pada saya, “punya pacar nggak Mas?”

Mengheningkan cipta, mulai!

Semut Aja Nggak Sendirian
Semut Aja Nggak Sendirian

Kebetulan masih pagi dan masih sepi, jadi saya menyempatkan diri untuk keliling-keliling, dan ketemu dengan tukang sapu yang juga bertanya kenapa saya sendirian.

Emangnya salah ya ke Pagoda sendirian? Nggak apa-apa, tinggal diberikan senyum termanis saja deh. Perjalanan ini juga saya lakukan dalam rangka membersihkan pikiran dari keinginan punya pacar, tapi nggak cinta. Ya to? Mending juga nggak punya pacar, daripada punya tapi kayak memaksa perasaan. Sudah pernah, dan sudah nggak mau mengulanginya lagi. Begitu sih.

Patung Budha dan Pagoda
Patung Budha dan Pagoda

Disini saya ketemu sama 1 keluarga dari Belanda. Ngobrolnya pas lagi foto-foto. Ternyata si Eos ada kembaran punya bule Belanda. Hore.

*senang yang tidak fundamental*

Menjulang Tenang
Menjulang Tenang

Sesudah capek dan sesudah minum teh kotak, saya akhirnya cabut dari Pagoda Watugong ini, untuk kembali ke utara. Kalau ke selatan lagi, saya takut kebablasan ke Jogja. Padahal cawet saya masih ada di penginapan. Masak saya mau ke Jogja tanpa cadangan cawet?

Angkot kuning menjadi pilihan. Ini hasil tanya-tanya sama teman Twitter soal akses ke Watugong, sehari sebelumnya. Nggak jauh saya naik angkot ini, dan tarifnya juga nggak se-kurang ajar angkot masuk ke kawasan Jababeka 2. Saya turun di Terminal Banyumanik, untuk lanjut BRT. Niat awalnya sih pulang ke penginapan, tapi karena kemarin belum sempat lewat Lawang Sewu, akhirnya saya memutuskan untuk bablas lagi ke Tugu Muda, sekadar mau lewat Lawang Sewu. Ogah masuk, soalnya hasil blogwalking perlu 30 ribu rupiah untuk biaya guide. Kalau guide-nya cewek nggak apa-apa, kalau guide-nya cowok? Bisa-bisa saya kayak homo nanti jalan berduaan sama cowok.

Ternyata BRT itu mandeg-nya agak jauh dari Lawang Sewu, di depan SMA 5 yang depan-depanan sama Balai Kota. Ehm, bagian Semarang yang ini asli keren. Area pedestriannya sungguh lapang, selapang dada Mbak Julia. Berharap ini ada di Cikarang, tapi–ah–yang penting kan industri yang dibangun, jalanan nggak usah, apalagi buat pedestrian. Buat apa?

*iri hati dot com*

Jalan ke Lawang Sewu sudah, lalu nyeberang lagi ke Katedral. Kayak kemarin sih. Tapi saya coba berhenti dulu beli Leker. Biar ada cerita kuliner Semarang. Padahal ya ini cuma Leker di depan Dom Savio. Dan anehnya, yang beli Leker bareng saya malah anak Don Bosco.

*tuing tuing*

Singkat cerita, Leker-nya habis. Ya karena emang cuma tipis gitu. Sama saya mah cepet banget habisnya. Plus saya beli juga Kopiko 78 derajat buat minumnya. Intinya sih biar ngepas belanja 20 ribu rupiah, mengingat tujuan utama jajan sebenarnya adalah mecah duit biru bung WR Supratman.

Saya kembali ke penginapan sekitar jam 12. Tidak ketemu Sabrina Taleetha yang pasti. Mungkin dia masih menuntut ilmu demi masa depan Semarang. Masih ada 1 jam sebelum cek out, saya manfaatkan untuk ngecas laptop dan leyeh-leyeh.

Jam 1 kemudian segera cek out dari penginapan, daripada disuruh bayar ekstra kalau molor. Padahal sih di hotel besar aja selisih 10-20 menit telat cek out ya nggak masalah. Ini memang semata karena saya tertib.

Untungnya Semarang lagi nggak hujan kayak pas saya datang sehari sebelumnya. Jadi saya bisa jalan sedikit ke Halte BRT Tembalang, tapi yang arah utara. Iya, sedikit. Sedikit jauh.

Pengen juga mencicipi jembatan penyeberangan yang ada persis dekat Halte Srondol. Soalnya Jalan Setiabudi ini agak ramai. Ah, tapi sebagai lulusan penyeberangan Gang Mesjid Jalan Raya Bogor, malu sih kalau nggak bisa nyeberang jalanan manapun di dunia. Tempat yang saya sebut barusan adalah tempat penyeberangan tersulit sedunia versi On G Spot.

Jadi, saya pakai jembatan penyeberangan itu sebatas pengen nyoba.

Dan…

ngeri. -___-

Bukan apa-apa, itu jembatan penyeberangan menggunakan kayu sebagai alasnya. Kayu yang di beberapa bagian goyang, dan di beberapa bagian lain bolong. Pantes nggak ada yang berminat naik jembatan ini. Juga nggak ada yang berminat nongkrong jualan sprei layaknya jembatan penyeberangan di ibukota negara sana.

BRT yang dinanti tiba tidak lama sesudah saya turun dari jembatan penyeberangan. Artinya? Iya, saya ketinggalan BRT itu. Soalnya halte Tembalang masih rada jauh dari jembatan maut ini. Nggak apa-apa, 10 menit lagi juga lewat. Mobil merah itu benar-benar membantu saya dalam perjalanan ke Semarang kali ini. Dan di BRT menuju Terboyo ini saya duduk dekat Bapak-Bapak yang mengeluh kok BRT ini lama.

“Keokehan mandek.”

-____-

Namanya juga BRT, ya pasti akan berhenti dari halte ke halte. Dia lalu membandingkan dengan bis Solo. Saya cuma membatin, “Kok yo tadi nggak naik bis Solo aja. Sekarang muring-muring begini.”

Dasar manusia.

Saya lewat lagi Katedral dan Lawang Sewu, tapi ya cuma lewat, karena saya memutuskan untuk langsung turun di Stasiun Tawang.

Ini jam 2, dan kereta saya jam setengah 9. Orang gila.

Kota lama segera dimasuki, ditandai dengan bangunannya yang tua-tua dan tampak penuh beban hidup. Saya turun di Halte Tawang, sedikit berjalan kaki dari pintu masuk Stasiun Tawang. Kesan pertama, halaman parkirnya luas. Dan kesan berikutnya adalah betapa besarnya polder Tawang yang ada di depan stasiun yang katanya tertua di Indonesia itu.

Saya masuk hendak menukarkan struk ATM dengan tiket. Dan ternyata online KAI benar-benar sudah canggih. Termasuk tiket Bandung-Jakarta bisa saya cetak di Semarang. Hmmm, berarti besok-besok kalau beliin tiket buat orang tua, sekalian aja saya cetak di Bekasi atau di Senen kali ya. Daripada ngirim struk doang.

Sebuah perubahan signifikan di bawah asuhan Pak Jonan dan Pak Dahlan. Ini signifikan banget lho, dibandingkan tahun 2010. Nggak sampai 5 tahun, dan perubahan menjadi amat sangat jelas.

Angkat jempol deh.

Tawang
Tawang

Saya kemudian cari makan, guna persiapan minum Amoxicillin terakhir yang saya konsumsi gegara sakit gigi. Cari makannya ini rada males, karena bau polder rada amis, kalau mau makan di dekat polder kok bikin nggak nafsu.

Akhirnya saya asal jalan aja. Dari stasiun ke kiri, sampai nemu mesjid, dan sebuah hamparan air yang cukup luas. Mungkin ini laut? Ah, apa iya?

Sesudah ke Katedral, lalu ke Watugong, saya kemudian ngemper 15 menit di mesjid dekat hamparan air itu 😀 Nggak aneh, karena yang numpang terkapar ada banyak. Kalau yang sholat beneran sih hanya dua orang. Mesjidnya bagus, terbuka, dan mulus.

Nah, di depan mesjid itu ada tukang becak. Saya segera mendekat, dalam rangka hendak ke Gereja Blenduk. Sudah sampai Tawang kok ya nggak ke Blenduk kan rugi. Jadi saya mendekat, dengan estimasi budget 10 ribu rupiah. Karena saya tahu itu dekat.

“Blenduk piro, Pak?”

“Delapan ribu.”

Berhubung di bawah budget, langsung naik. Dan namanya becak, hedeh, ini transportasi paling tidak fair. Penumpang akan disodok truk lebih dulu dalam posisi adu kambing. Dan mendekati polder, becak yang saya tumpangi hanya selisih 30 cm dengan BRT dari arah Tawang.

Ealah.

Menjulang Teguh
Menjulang Teguh

Sampai di Blenduk, saya kasih 10 ribu, dan bonus 2 ribu tentu saja karena saya nggak minta kembalian. Langsung kabur saja. Mengingat untuk jarak ini, ojek-ojek di kawasan industri sudah pasang tarif 7 ribu, maka tarif 10 ribu untuk becak, bagi saya sangat masuk akal.

Akhirnya melihat juga Blenduk ini, sesudah sering lihat di blog orang. Ketemu satpamnya, katanya kalau masuk 10 ribu per orang. Ada yang unik sih, waktu saya masuk, di tempat duitnya itu ada menggantung duit 20 ribu, si satpam nggak mendorong masuk uang itu, tapi menariknya keluar pelan-pelan dengan tangan kanan, lalu masuk ke kantong.

Hehehe. Sebagai mantan anak gereja yang ngerti sela-nya kotak sumbangan, apa yang dilakukan oleh satpam tadi begitu kasar, seharusnya dia bisa berlaku lebih mulus lagi kalau mau memiliki duit 20 ribu itu.

Ya sudahlah. Urusan dia sama Tuhan 🙂

Blenduk di Langit Biru
Blenduk di Langit Biru

Ada organ yang menetap di gereja itu. Mirip Katedral Jakarta, tapi lebih kecil. Dan Blenduk sendiri ternyata gereja kecil. Bayangan saya aja yang berlebihan, ternyata.

Hanya 5 menit dan beberapa foto dengan Eos, saya cabut. Kalau tadi 10 ribu buat becak berguna, 10 ribu yang ini kok semacam wagu. Jadi, saya menuju penghabisan 10 ribu berikutnya di warung dekat Blenduk situ.

Saya pesan indomie goreng, plus es teh manis. Lumayan untuk persiapan ngantibiotik.

Sambil menanti, saya melirik ke taman di dekat Blenduk. Taman yang asri dan bagus, tapi sayangnya, di sudut-sudutnya ada orang kumuh, dengan tatapan mengerikan. Sebagai orang yang punya trauma mendalam pada orang gila, yang menyebabkan saya ogah jadi orang gila, maka saya buru-buru makan dan buru-buru kabur.

Saya ditendang orang gila itu tahun 2000, sampai 2013 masih aja takut sama orang gila.

*melankolis yang trauma mendalam*

Kabur dengan berjalan kaki ternyata membuat saya mendapati beberapa objek menarik diantara Blenduk dengan polder Tawang. Semisal, pemukiman tentara, atau semacam asrama. Mirip dengan yang ada di Bukittinggi dulu.

Sampai di polder Tawang, saya sempat takut begitu hendak mengeluarkan Eos. Ya secara ini tempat terbuka, dan tentu saja ada kemungkinan kriminalitas. Bukan apa-apa, masalahnya ya belum lunas itu tadi.

Lihat Blenduk Disana?
Lihat Blenduk Disana?

Hingga akhirnya saya nekat saya potrat-potret di sekitar polder Tawang. Syukurlah tidak ada masalah yang berarti. Ada beberapa gambar yang saya suka. Sebagai orang cupu di dunia fotografi, suka ini sangat relatif 😀

Biru
Biru

Menjelang gelap, saya masuk kembali ke Tawang, dan bertemu dengan seorang lelaki dengan tas besar lagi foto-foto di depan tulisan Stasiun Tawang. Dia minta tolong saya mengambil fotonya, pakai camdig kecil, lebih bagus dari Brica Ambon yang pasti.

Ternyata dia adalah Rio, orang Medan yang baru pulang dari mendaki gunung-gunung di Jawa. Ketika saya menyebut Slamet–ini nama ex calon mertua–dia lalu menyambung dengan Sumbing dan Sindoro. Keren juga ini orang. Sejak bulan Mei dia datang ke Jawa untuk mendaki, dan sekarang hendak balik Jakarta, lalu terus ke Medan.

Merah Putih Berkibar
Merah Putih Berkibar

Manusia yang mengikuti passion-nya, bagi saya adalah manusia yang seutuhnya.

*nggak kayak saya*

Sudah gelap, saya kemudian mampir ke Dunkin Donuts yang ada di dalam stasiun. Karena saya pesan teh panas, saya dapat kopi panas. Itu artinya, dalam sehari saya minum 2 gelas kopi hitam, di penginapan pas sarapan dan di Dunkin ini. Belum lagi dua botol 78 degree yang saya hajar di jalanan.

Dijamin nggak ngantuk ini mah.

Sebagian dari tulisan ini saya garap sambil menyantap donat di Dunkin Donuts Stasiun Tawang Semarang. 🙂

Kereta Harina yang akan mengantar saya ke Bandung, terlambat 15 menit. Saya dapat posisi 4A, dekat jendela, tapi nggak bisa foto-foto soalnya sudah gelap. Dan efek kopi begitu terasa karena sampai jam 2 saya nggak tidur-tidur. Biasanya sih kopi nggak ngaruh ke saya, tapi mungkin ini kebanyakan kopi kali ya.

Tidak ada perbedaan signifikan kalau naik kereta api. Merk apapun ya sama saja. Kereta ya gitu-gitu aja kan? Beda sama pesawat yang interior berbeda, dan beberapa perlakuan juga berbeda. Jadi, nggak banyak cerita di dalam Harina ini.

Paling 1 doang, yakni kereta ini jalan sampai (mungkin) Purwakarta dengan arah ke depan. Dari (mungkin) Purwakarta itu, kereta jalannya mundur. Kayaknya sih semacam jalur segitiga. Dengan orientasi yang berbeda.

*iki ngomong opo sih*

Dan… sampailah di BANDUNG. St. Hall tercinta. Saya akrab dengan stasiun ini sekitar 2008-2009. Dimulai dari liburan ke Bandung medio 2008, lalu interview Medion awal 2009, diakhiri panggilan wawancara Sanbe beberapa pekan kemudian. Hanya 3 kali kalau nggak salah, tapi saya serasa paham banget tempat ini.

Entah kenapa.

Bandung :)
Bandung 🙂

Sembari menunggu kereta berikutnya, saya melanjutkan tulisan ini di Hoka Hoka Bento. Jadi ini tulisan bakal keren habis karena dikerjakan di berbagai kota yang berbeda. Hehehe.

Jam 06.45, kereta Argo Parahyangan sudah stand by di jalur 5. Padahal berangkat jam 07.15. Saya masuk saja, supaya bisa menikmati fasilitas berupa bantal. Sambil persiapan nge-charge si Young yang mendadak gundah dalam perjalanan musafiriah saya ini.

07.15, kereta melaju, dan tidak lama kemudian, saya mendapati sesuatu yang saya cari khusus di perjalanan ini.

Ijo Royo-Royo
Ijo Royo-Royo

Pemandangan yang indah.

Tsakep Abis
Tsakep Abis

Jakarta-Bandung, bahkan via Tol Cipularang saja sudah memberikan pemandangan yang keren. Kalau naik kereta, si Tol Cipularang itu saja bisa saja foto. Hanya saja, saran nih, kalau mau naik Argo Parahyangan Bandung-Jakarta, pilih bangku A atau B. Jangan C dan D kayak saya. Ketemunya cuma tebing doang. Untungnya bangku A kosong, jadi saya bisa pindah-pindah jeprat-jepret sana-sini. Well, sampai kemudian kehabisan memori.

Tol Cipularang :)
Tol Cipularang 🙂

Mendapatkan yang dicari dari sebuah perjalanan, adalah sebuah kepuasan batin yang tidak tertinggi. Bukan begitu?

*padahal ini perjalanan cari pacar*

*dan nggak dapat*

*sigh*

Masih tsakep abis
Masih tsakep abis

Hanya setengah jalan yang indah. Sisanya? Ya namanya sudah Cikampek-Karawang-Cikarang-Bekasi-Jakarta. Mau lihat apa lagi di kota-kota itu? Saya malah ngerasain lewat Lemah Abang, dan berhasil mengambil foto disana. Iya, jalanan yang bikin saya membatalkan niat punya rumah di Cikarang, meskipun sebenarnya saya sudah punya.

Ulah Orang Gila
Ulah Orang Gila

Hingga akhirnya…

JAKARTA.

Stasiun Gambir ya masih begini saja. Saya foto sedikit si Mbah Monas sebagai oleh-oleh terakhir Loser Trip ini. Lanjut ke Trans Jakarta arah Harmoni, kemudian turun di Gelora Bung Karno. Dan keberuntungan petualang adalah, begitu turun jembatan, ada bis Lippo Cikarang lewat. Kosong pula. Saya bisa tidur dengan nyenyak.

Dan memang nyenyak. Hanya saja, entah kenapa, saya sudah tiga kali ini, tidur di bis Lippo, dan bangun PAS di pintu tol Cikarang Barat. Kebiasaan petualang? Mungkin. 😀

Si BG saya tebus sesudah saya tinggal dari Kamis. Jalanan Cikarang ya begini ini. Macet. Untungnya sudah biasa. Saya kemudian melengkapi hari penuh junkfood dengan mampir ke McD Jababeka. Dunkin, Hokben, McD. Betapa kapitalisnya hidup saya.

Siang hari yang terik. Saya sampai kembali di kos. Perjalanan berakhir dengan kantong bolong meski nggak overbudget.

Pertanyaan besarnya adalah:

Apakah saya masih loser sesudah perjalanan ini?

Jawaban besarnya adalah:

Iya. Tapi setidaknya saya adalah loser yang berusaha untuk tidak menjadi loser lagi. Meskipun memang belum mendapat kesempatan menghilangkan predikat yang saya buat sendiri itu.

Mungkin memang perlu cara lain. Ya sudah. Yang penting, saya sudah mencatat bandara baru dan stasiun baru untuk dikunjungi. Saya sudah berhasil mengambil foto pakai DSLR dari langit, juga dari kereta api. Saya juga sudah mengabadikan berbagai gambar bagus dengan si Eos.

Tapi yang paling menarik dari perjalanan ini adalah obrolan saya dengan seorang Bapak di Watugong, juga percakapan saya dengan Rio si anak Medan. Sebagai seorang introvert, bisa bercakap-cakap dengan orang baru sepanjang perjalanan adalah sebuah kemajuan yang luar biasa. Untuk konten, tentu ada yang bisa ditarik 🙂

Demikian laporan perjalanan saya. Ada sekitar 5000 kata, alias 12,5% dari sebuah naskah novel. Delapan kali cerita perjalanan macam ini, sudah bisa bikin novel lho.

Saya masih seorang loser, dan mungkin anggap saja saya gila. Tapi sejatinya saya adalah orang gila yang berusaha untuk menjadi waras dan tidak loser. Itu saja sih poinnya.

Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Semoga memberi kesan yang baik ya. Karena tiada kesan tanpa kehadiranmu.

*iki blog opo pesta ulang tahun?*

😀

Wisma Hasanah, Semarang 250713
Stasiun Tawang, Semarang 260713
Stasiun Hall, Bandung 270713
Kedasih, Cikarang 28290713

@ariesadhar