Menjalani Hidup Itu Seperti Lewat Batu Lubang

Teman-teman tahu Batu Lubang?

Kalau nggak tahu, saya kasih tahu, soalnya saya juga baru tahu. Hehehe.. Batu lubang ini adalah sebuah tempat di jalan Tarutung-Sibolga, Sumatera Utara. Ini khas Sumatera banget karena bisa dibilang menjadi penanda berakhirnya jalan kelok-kelok setengah mati dari Tarutung ke Sibolga. Yah, jalan Tarutung ke Sibolga itu kayaknya nggak ada yang lurus. Berkelok melulu.

Batu lubang ini konon adalah batu yang dilubangi oleh pemerintah kolonial dengan “bantuan” warga lokal secara rodi. Bayangkan ngeruk batu? Waw… Pasti melelahkan. Dan kabarnya banyak yang tewas selama proses pembuatan. Mayatnya dibuang dimana? Di jurang, persis di sebelah jalan. Dan ada 2 lho. Jadi ada 2 batu yang dilubangi, dan posisinya pas BELOKAN. Ngeri sak pole mbahe pokoknya.

Untung waktu itu yang bawa mobil Bapak Uda yang sudah fasih luar dalam jalanan situ.

Konon, kalau mau masuk lewat Batu Lubang kudu klakson dulu. Kalau nggak klakson bisa berhenti mendadak di tengah jalan dan mesin akan nyala dengan rokok yang dinyalakan sebagai penolak sial. Nggak percaya? Silahkan, tapi banyak buktinya. Logikanya sih sederhana, klakson dan lampu diperlukan. Ya iyalah, ini gelap pas tikungan pula, klakson jadi penanda bahwa mau lewat, jadi yang di seberang sana hati-hati. Itu kok.

Oke, kembali ke perspektif hidup ala lewat Batu Lubang.

Mau tahu jalannya? Ini dia.


Di depan itu adalah lubang yang pertama dari arah Tarutung ya. Hidup ini yang seperti itu. Maksudnya? Kita itu udah nyaman loh di jalanan sebelum lubang. Tapi kita harus maju untuk tujuan hidup kita. Kalau nggak maju? Diam aja deh di tengah hutan situ. Hehehe.. Klakson dan lampu perlu, kenapa? Dalam PERJALANAN HIDUP kita kan perlu PERSIAPAN.


Foto berikutnya adalah setelah keluar lubang pertama dan menuju lubang kedua. Dalam hidup? Yah, nggak selalu cahaya terang akan bermakna terang sebelum kita melaju. Bahwa mungkin masih ada gelap di depan. Cara menghadapinya? TERUSKAN perjalanan. So Simple! Kalau nggak, mau terjebak diantara dua lubang?


Foto diatas adalah pemandangan sungguh indah. Kenapa? Cercah cahaya itulah ujungnya. Gelap berakhir, dan terbit terang. Terang yang besar. Yang bisa dilalui pasca gelap. Dan ini gelap nggak enak loh. Di dalam lubang yang panjangnya sekitar 8 meter itu jalannya jelek karena kena tetesan air terus menerus.

Ya caranya harus begitu, teruskan perjalanan. Mau tahu yang kita peroleh kemudian?


Cahaya terang saudara-saudara! Foto di atas adalah lubang dilihat dari arah Sibolga. Ini akhir dari dua Batu Lubang. Dan jangan salah, di sebelah kanan ada AIR TERJUN yang sangat indah, tapi agak berbahaya karena langsung jurang. Hiii.. Ngeriiii….

Sedikit pelajaran yang saya dapat bahwa dalam HIDUP itu ada PERJALANAN, dan kita perlu PERSIAPAN, serta yang utama adalah MAJU TERUS, namun terkadang kita perlu BERHENTI untuk MENIKMATI capaian indah yang sudah kita peroleh.

Bukan begitu?

hehehe..

 

 

Makan Siang

Apa yang dirindukan orang kantoran ketika makan siang?

Makannya?
Siangnya?
Tidak kerjanya?

Atau apa?

Buat saya, kerinduan ketika makan siang adalah membahas banyak hal sambil tertawa bersama.

Terkadang kerinduan itu muncul lagi.

Saya pernah makan siang di beberapa perusahaan. Sebuah perusahaan di Jalan Raya Bogor punya nuansa yang asyik karena outdoor. Selain itu, juga asyik karena ada Plant Manager yang hobi cerita.

Saya pernah juga makan siang di sebuah pabrik di Bandung. Maaf kata, yang ini nggak banget. Kondisi tertutup dan sama sekali tidak hangat. Entahlah, itu kan menurut saya.

Nah, suasana paling enak saat makan siang adalah di sebuah perusahaan lain lagi, bukan di dua yang saya sebut pertama. Istirahat diplot 1 jam, dan nyaris dari 1 jam itu topiknya adalah menghibur diri. Mulai dari 12.15, ketika muka buthek karena kerjaan, sapaan hangat mengajak makan adalah poin penting.

“Ayo makan…”

Sebuah ucapan sederhana, tapi bermakna besar. Ini soal keakraban dan kekeluargaan.

Ketika makan, makannya sih biasa. Yang lebih penting adalah sesudah itu. Ketika makan habis, maka kelakar dimulai. Tergantung topik, kalau lagi ngomong bola semalam, ya lanjut itu topiknya. Kalau Real Madrid kalah, korban kelakarnya jelas. Kalau Inter kalah, korban kelakarnya banyak, apalagi kalau Liverpool yang kalah, korbannya jelas dan kelakarnya dalam. Hahaha..

Nggak cuma itu, semata diskusi hangat perpolitikan kadang muncul. Diskusi panas soal sepakbola juga ada. Sedikit-sedikit membahas kantor juga iya. Dan saya mengamati, personel-personel yang ada di meja makan itu, adalah pemegang posisi strategis. Artinya? Ini bukan sembarang orang, tapi dengan sembarang kelakar.

Obrolan akan diselingi oleh agenda rebutan koran. Ada 2 koran, yang sudah diintip dari sejak makan. Kalau ketika masuk kantin, itu koran nganggur, segera saja koran itu musnah dari atas meja, sudah sembunyi di kursi.

Obrolan juga bisa soal hasil main PS hari minggu, atau hasil pertandingan liga kantor sebelumnya, atau pembahasan rencana soal kedua event itu.

Selama 45 menit melupakan pekerjaan mungkin adalah poin yang menarik untuk refreshing, tapi sungguh saya PERNAH mengalami itu. Tidak selalu memang. Kadang meja juga sepi, tapi kebanyakan ramai.

Dan ramai itu yang menjadi kerinduan.

Yah, okelah, saya juga sering jadi korban. Tapi no issue, tersinggung akan dilibas oleh tersunggingnya senyum. Sesederhana itu kok. Toh dalam beberapa menit ke depan, kita bisa menertawakan orang lain.

Inilah makan siang. Bukan soal menu memang, tapi soal suasana.

Biarlah, hidup itu soal pilihan kan? Dan pilihan selalu menggandeng konsekuensi.

🙂

Perspektif Wanita Menikah

“Kamu harus belajar masak, baru pantes nikah,” kata Ibu.

Dan kalimat yang sama selalu berulang setiap kali Nora pergi ke dapur dan mengambil makanan. Selalu berulang, saking seringnya, kadang Nora sudah membaca kalimat itu sendiri sebelum Ibu mengutarakannya.

“Memangnya kalau nggak bisa masak, nggak pantes nikah?”

“Ya nggak to nduk. Wanita itu hakikatnya memasak itu.”

“Lha, mamang nasi goreng?”

“Jangan pandang secara sempit nduk. Coba deh kamu pahami filosofi memasak,” jawab Ibu, bijak.

Bahhh.. apa pula ini?

Nora membawa kalimat Ibu ke kantor. Diantara wanita-wanita galau, Nora mencurahkan isu yang dibawanya dari dapur rumah itu.

“Temans, memangnya cewek kalau mau nikah kudu bisa masak ya?” tanya Nora, dengan mata tetap di layar komputer.

“Nggak bener itu. Aku nggak bisa masak, terbukti bisa nikah,” sahut Dini dengan bersemangat.

“Lha ini yang bisa masak, nggak nikah-nikah,” timpal Fiona dengan muka bertambah galau.

“Terus kok nyokap bilang begitu ya?” gumam Nora setelah mendapat input-input yang tidak tervalidasi dari teman-temannya.

Sepulang kantor, Nora berjalan kaki ke warung sea food depan kantor. Yah, depan sih, tapi kudu nyebrang. Dan ini JAKARTA bung. Penyebrangan jalan saja ada sertifikatnya, saking susahnya nyebrang.

Nora menyaksikan dengan mata kepala sendiri proses memasak dari awal. Mulai dari memanaskan wajan, memasukkan bahan-bahan, mengaduk dan mencampur dengan sepenuh hati, menata makanan yang dipesan ke dalam piring, hingga menyajikannya ke pelanggan.

“Filosofi? Apa ya?”

Nora berjalan terus sambil merenung. Entah kenapa sekali ini dia serius berpikir soal filosofi, biasanya mendengar kata itu saja dia sudah pingsan. Maklum, otaknya agak kurang sampai kalau yang berat-berat begini.

Dan benarlah memang otaknya nggak sampai. Tangannya kemudian menggapai BBnya dan masuk ke twitter.

@M_A RT @Filosofi: hidup itu seperti memasak, mencampur berbagai hal dan membuatnya nikmat.

Ups?

Memasak itu mencampur berbagai hal dan membuatnya nikmat? Sepele sekali?

“Ibu bener juga,” gumam Nora lagi, “Memasak itu soal mencampur berbagai hal dalam hidup dan membuatnya nikmat. Yupp.. menikah kan soal percampuran berbagai hal. Hahahaha…”

Nora tertawa di jalan, seorang gembel berlari, takut orang gila lewat katanya.

“Baiklah..,” bisik Nora lagi, “Filosofi sudah ditemukan. Sekarang bagian paling penting, mari mencari calonnya..”

Dan Nora masih tersenyum. Karena senyum bisa bermakna sebuah awal.

Seulas Senyum

pablo (2)

NSP! Wah, masih musim nggak tuh? Sejak pencurian pulsa yang marak dilakukan sama provider kaya raya, NSP mendadak distop! Ah, ini mah menggalaukan saja. Bagaimana mungkin NSP dihilangkan? Bagaimana pula nanti aku akan digunakan kalau NSP mati. Bayangkanlah, kalah NSP ditiadakan, maka aku akan jarang-jarang ditelepon. Dan aku juga akan jarang-jarang membunyikan nada dering.

Yah, NSP yang ada padaku dan nada dering yang tertanam padaku, sama persis.

Awalnya aku menganggap ini hanya praktek mellow seorang pemilik handphone. Tapi ternyata lama-kelamaan aku memaknai lagu itu. So sweet lah untuk didengarkan dan so sulit untuk dinyanyikan.

Aku hanyalah seonggok handphone yang so jadul alias cukup jadul. Jangan panggil aku tua. Aku memang masih candy bar, tapi jangan salah, kekuatanku lebih dahsyat daripada pegangan generasi terbaru. Apa itu? Ah, BB.. Coba celup dalam kopi, habis itu BB. Sama apalagi itu? Android? Sama aja.

Mana ada handphone sepertiku, tahan jatuh dari ketinggian 5 meter, pernah masuk gelas teh, pernah dipakai melempar anjing waktu pemilikku ketakutan.

Aku hanya seonggok handphone yang diam pada zaman. Dulu aku adalah handphone paling tipis yang pernah ada. Ingat, paling tipis! Tolong jangan keras-keras waktu bilang DULU. Agak menyakitkan hati.

Tapi karena aku berasal dari masa lalu, aku sangat paham tentang masa. Akulah saksi ketika pacar pertama pemilikku mentransfer fotonya dengan bluetooth. Yak, fitur paling canggih padaku, memang bluetooth, gigi biru. Belum ada BBM atau Whatsapp tertanam padaku. Waktu itu? Pasti kalian juga belum mikir. Waktu itu akulah yang terhebat.

Aku juga saksi ketika pesan singkat masih merajalela. Aku terlalu panas untuk selalu meladeni pesan singkat yang bertubi-tubi masuk. Tapi aku kuat, mana pernah aku hang? Ah, nggak mungkin itu. Aku handphone kuat.

Aku juga saksi ditindih oleh pemilikku ketika dia baru putus dengan pacarnya. Orang sinting! Ketika sakit dan sedang nggak perlu handphone aku dibiarkannya terselip diantara dua belah springbed. Ketika butuh, sambil nangis-nangis dia mohon aku tiba-tiba muncul di permukaan.

Tapi tak apa. Aku menikmati detail peristiwa pemilikku. Tidak ada yang mengenalnya sedalam aku.

Karena aku pula yang menyimpan semua pesan singkat tentang cintanya yang sebenarnya. Selama bertahun-tahun. Handphone-handphone terkini, ayo sini, memangnya di memorimu ada pesan singkat dari 5 tahun silam? Mana ada! Hanya aku yang punya.

Akulah saksi ketika pemilikku dengan seulas senyum, sesekali membaca kembali pesan-pesan singkat yang masih ada di handphoneku. Baginya, lebih baik beli handphone baru alih-alih menghapus pesan-pesan itu. No! Itulah pesan cinta yang sebenarnya.

Pesan cinta yang tidak terungkap.
Pesan cinta yang terus menerus terlampaui masa.
Pesan cinta yang tidak eksplisit.
Pesan cinta yang hanya dimaknai dengan seulas senyum.
Pesan cinta yang meninggalkan luka, bahwa cinta tak harus dimiliki.
Pesan cinta yang terwujud dengan bebas.

Dan hanya aku yang mengerti makna senyum itu.

Karena senyumpun dapat bermakna tangis.

 

Di Ujung Horison

Bahwa hidup itu seperti memandang horison, aku sungguh paham itu.
Sesuatu bisa dengan mudah kamu lihat.
Tapi tak seluruhnya.
Siapa yang tahu ada apa di balik horison itu?
Sampai Colombus dianggap orang gila karena hendak mencari tahu.

Dan jangan kamu pungkiri, bahwa kamulah ujung horison itu.
Aku masih bisa melihatmu, menikmati keindahanmu.
Sedikit menikmati sisa ombakmu yang sampai ke tempat aku berdiri.
Tapi kamu akan tetap disana, di tempat itu.

Aku tidak bisa kesana.
Aku tidak bisa berenang, dan lebih lagi, aku tak tahu ada apa dibalik horison itu.
Dan aku bukan Colombus.

Aku hanya berharap bisa seperti Colombus.
Berani dibilang gila, berani dianggap aneh.
Untuk membuktikan kebenaran yang dia percayai.

Lantas aku?
Apakah kebenaran yang aku percaya?

Satu-satunya kebenaran itu adalah bahwa hatiku hanyut, menuju ujung horison, tersimpan nyaman disana.

Tahukah kamu soal itu?

Tak perlu.

Simpan saja hatiku.
Sepenuhnya itu milikmu.

 

 

Tampannya Mantanmu

Pendekatan adalah bagian cukup sulit dalam mencari jodoh, bagian yang agak sulit itu melakukan rekonfirmasi alias nembak, dan bagian paling sulit adalah mempertahankannya. Nah, karena sama-sama SULIT, maka mencari jodoh itu tampak penuh warna. Apalagi untuk Rio yang dikejar target kudu punya cewek.

Siapa yang kasih target?

Nggak ada sih. Cuma, menurut Rio, nggak wajar kalau kemudian memperkenalkan diri begini:
Nama: Rio Adam
Status: Jomblo sejak lahir

Astaga! Ini sudah mendekati usia 25. Dan dalam waktu dekat, Rio akan merayakan PESTA PERAK JOMBLO, alias 25 tahun menjomblo pada usia 25 tahun. Artinya lagi, Rio akan diketahui sebagai cowok yang belum pernah pacaran seumur hidupnya.

Mengganggu, ya tidak juga. Tapi ketika hormon lagi tinggi, melihat pasangan pacaran peluk-pelukan di atas motor waktu lampu merah sudah cukup meningkatkan tensi. Entahlah, apakah punya itu suatu keharusan?

Rio punya standar yang tinggi. Kalau Rio mau, pasti dengan mudah dia memperoleh cewek. Ya tinggal bilang sama bude-budenya, pasti bisa dikenalin sama kembang desa. Bayangkan, kembang desa loh ini. Fisik? Pasti oke. Otak? Bagaimanapun, manusia itu punya otak, dan itu bisa diisi dengan belajar.

Masalah paling mendasar adalah spesifikasi material eh pasangan hidup Rio itu rada ribet. Harus dari suku tertentu, nggak enak ngomongnya, nanti dikira saru eh SARA. Harus usia sekian, harus tampang demikian. Dan spesifikasi lain yang ketinggian untuk dipasangkan dengan muka pas-pasan ala Rio.

Yah, pas-pasan pokoknya. Pas orang mau gampar, ya bisa, saking mukanya Rio itu MARMOS alias marai emosi alias melihat aja sudah bisa bikin emosi. Belum lagi kalau pas di mall, karena mukanya itu, paling mentok Rio hanya ditawarin es krim, padahal pernah 2 jam ngubek-ubek pameran mobil, ditawarin brosur saja nggak. Malah satpam mengikuti sepanjang waktu. Yah,PALING alias tampang maling. Bayangkan seorang cowok dengan tampilan PALING MARMOS, tampang maling marai emosi. Kayak gitu aja spesifikasi minta tinggi. Ngawur! Dari sisi tampang, Rio ini ibarat bumi dan langit sama cowok paling tampan sekantornya, Sammy. Meski tidak pakai marga Simorangkir, tapi Sammy yang ini tampannya memadai. Saking memadainya, ketika melihat Sammy dan kemudian melihat Rio, 80% orang akan muntah dengan segera, 10% lain akan masuk UGD, dan 10% lainnya kehabisan napas. Shock.

Hasil penelusuran Rio, dengan bantuan rombongannya yang rata-rata sudah berpacar, rekomendasi mengarah pada staf di kantor seberang, namanya Dina. Nama klasik, kayak Dina Rahman. Ada ya?

Pengalaman sebagai cowok dengan riwayat pendekatan memadai, membuat naluri detektif Rio cukup terasah. Maka dengan mudah, Rio bisa mengetahui tentang Dina. Tanggal lahir, nomor telepon, alamat rumah, pekerjaan orang tua, hingga riwayat percintaan orang tua Dina. Sungguh sesuatu, begitu kata Syahroni.

Cuma ya itu tadi, namanya juga pengalaman pendekatan, berhubung belum ada yang berhasil, jadi tidak ada yang paham guna data-data itu tadi.

Menunggu bus adalah pekerjaan paling menarik bagi Rio beberapa hari belakangan. Kupingnya bagaikan penangkap sensor. Harap maklum karena kantor seberangpun kalau nunggu bus di halte yang sama dengan anak-anak kantor Rio, dan tentunya Rio juga. Makanya, sedikit diksi Dian terlontar, telinga Rio akan mendekat ke arah pembicaraan lalu kembali lagi setelah pembicaraan usai. Pernah sekali telinganya kebawa bus karena pembicaraan belum selesai.

“Iya tuh.. Si Dina kan masih single. Kebanyakan milih dia mah…” kata cewek yang tampan.

Single? Wah, peluang!

“Padahal ya cyinnnn… mantannya gantenggg boooo…” timpal cowok yang kemayu.

Yah, dunia memang mudah berotasi. Bahkan jenis kelamin kadang ikut berotasi juga.

“Setampan apa sih?” gumam Rio. Apakah cukup tampan atau pas tampan, atau pas-pasan dan tidak tampan macam dia?

Maka informasi ini kemudian dibawanya sampai jauh, akhirnya ke laut. Pelan-pelan komunikasinya dengan Dina mulai dijalin. BBM mulai dilancarkan, meski terkadang tanpa balasan. Itu biasa dalam pendekatan. Tapi tidak biasa dalam hubungan.

“Soreeeee.. Mendung nih.. Pulang?”

Send. Sebuah pesan Whatsapp disampaikan, paket BBM lagi habis. Harap maklum. Ini tanggal tua, saking tuanya, si tanggal sampai ubanan.

“Belum ah.. Nanti aja..”

Pesan-pesan mulai saling berbalas antara Rio dan Dina. Terus menerus, sampai mentari terbenam, sampai OB mengantarkan makanan ke meja masing-masing, sampai keduanya makan bersama. Ya sama-sama makan, di kantor yang berbeda. Anggaplah penjajakan untuk makan bersama.

Pesan berjalan sampai yang agak pribadi.

“Sudah berapa kali pacaran sih?” tanya Rio iseng.

“Sekali doang. Kamu?”

“Saya sih sudah sering. Sering ditolak.”

“Wah, kasihan. Mukanya nggak memadai ya?”

Asem. Pikir Rio. “Mantannya anak mana Din?”

“Nggak jauh-jauh. Itu ada di kantor kamu.”

Lho? Taring kepo mulai keluar. Kepo adalah penyakit berbahaya yang kadang-kadang perlu digunakan, sesekali.

“Siapa?”

“Yakin mau tahu?”

“Yakin! Siapa sih? Mau ngetes aja, siapa tahu saya menang ganteng.”

“Sammy.”

Upssss…. Dina ini mantannya si Sammy? Dan dia baru sekali pacaran? Artinya, kalau nanti Rio jadian sama Dina, maka pertanyaan dari teman-teman yang mungkin terjadi adalah, “Kok nggak seganteng yang kemarin?” atau “Ini dapat peliharaan darimana?”

“Mantanmu terlalu tampan Din. Aku tak cari yang lain sajalah,” gumam Rio, sambil menutup laptopnya dan bergegas pulang.

Beringsut

Sekadar komentar, diksi saya memang agak aneh, mohon dimaklumi.

Kalau di posting sebelumnya ada istilah beringsut, ini dia. Dikutip dari sini.

ing·sut v, ber·ing·sut v bergeser sedikit-sedikit; beralih perlahan-lahan: dia ~ ke kiri dan ke kanan; meng·ing·sut v beringsut; bergeser; meng·ing·sut·kan v menggeserkan (memindahkan) perlahan-lahan: anak itu ~ duduknya ke samping ibunya; ing·sut·an n hasil mengingsut; ~ fase Fis sudut fase antara sinyal masukan dan keluaran pd suatu gejala atau sistem

Mohon dipahami ya.. 😀

Damri Cikarang – Bandara

Untuk akses ke bandara dari Cikarang sebenarnya mudah, tapi khusus penghuni Jababeka II.. hehehe.. Pool bus Damri arah Bandara ada di Plaza Jababeka. Jadi dekat patung kuda. Mungkin boleh tanya si kuda kalau kesasar, dari posisinya, sang kuda melihat terus itu halte. Hehehe..

Tarif mendasar, kalau nggak salah bulan Desember kemarin 30 apa 35 ribu begitu. Busnya lumayan, karena memberikan tempat untuk tas. Cuma ya sempit sih kalau duduk.

Bus ini berangkat dari jam 04.00, 05.00, 06.00, 07.00, 08.00, 09.00, 10.00, 11.00, 12.00, 13.00, 14.00, 15.00, 16.00, 17.00, 18.00 alias setiap jam dimulai dari jam 4.

Ya nggak tepat-tepat amat sih.. Normalnya, bus akan lewat patung kuda, lalu masuk ke jalan Cikarang-Cibarusah, lalu masuk tol. Jadi, bisa juga nunggu di tepi-tepi jalan itu daripada capek ke Plaza JB. Berharap saja tidak penuh. Bus juga akan masuk di Grand Wisata, putar sekali lalu masuk tol lagi.

Kalau berangkat jam 5, belum sampai jam 7 sudah sampai Bandara. Selainnya, saya nggak pernah naik, jadi mohon maaf lahir batin kalau infonya kurang memadai.

Untuk pulangnya, alias dari Bandara ke Cikarang, tertulis sih ada dari jam 6.00 sampai 21.00

Masalahnya, leadtimenya kadang lama. Dulu pernah nunggu 3 jam. Itu ditambah bus putar-putar cari penumpang 3 kali, baru berangkat. Tapi yang pasti sih ada. Makanya, kalau hendak ke Cikarang usahakan sampai jam siang, sehingga waktu menunggu bisa lama dan pasti ada kendaraan ke Cikarang dengan harga terjangkau.

🙂