Tag Archives: vacation

Staycation Menyenangkan di Swiss-Belhotel Pondok Indah

Staycation Menyenangkan di Swiss-Belhotel Pondok Indah

Libur lebaran dan tidak pulang kampung ke Bandung maupun Bukittinggi memang agak runyam. Saya sebagai PNS pasti libur, sedangkan istri saya hanya libur pas tanggal merah alias 5 dan 6 saja. Pengalaman berkata bahwa membawa bocah hanya untuk perjalanan 2 hari untuk kemudian balik lagi lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Jadi, ya sudah, stay saja di Jakarta.

Berhubung habis pulang dinas dari Surabaya, sesudah dipotong anggaran beli Spikoe dan beli Sei Aroma, ada sisa uang sedikit yang dikolaborasikan dengan promo besar dari online ticket agency kondang, maka saya dan istri memutuskan untuk melakukan staycation saja di Jakarta.

Salah satu target liburan kami adalah membawa Isto naik Mass Rapid Transit alias Moda Raya Terpadu alias MRT. Ya, meskipun dia juga nggak ngerasa, tapi lumayan sebagai seorang bocah kalau punya kisah naik moda transportasi paling ngehits se-Jakarta saat ini. Dengan demikian, lokasi staycation mengerucut ke tidak-jauh-jauh-dari-stasiun-MRT.

Dari beberapa pilihan, akhirnya kami memilih untuk menginap di Swiss-Belhotel Pondok Indah. Dulu, sih, pernah hampir ngereview makanan di hotel ini tapi karena hal yang saya sudah lupa, nggak jadi. Alasan utama sih karena posisinya yang dekat dengan halte TransJakarta serta kolam renang yang tampaknya paling menarik dibandingkan hotel-hotel di sekitarnya.

Lagipula, karena saya sudah cukup kenal dengan Swiss-Bel di berbagai kota–termasuk di Palangkaraya sebagai hotel terbaik di kota itu–jadi seharusnya tidak akan terlalu mengecewakan.

Apakah benar demikian? Continue reading Staycation Menyenangkan di Swiss-Belhotel Pondok Indah

5 Perjalanan Serba Pertama

Sudah cukup lama saya nggak nulis bab lain dari blog ini selain ‘hanya mau menulis’. Sekarang pengen meneruskan serial 5 perjalanan sesudah paling absurd dan jadi teman yang baik.

Kali ini saya mau menuliskan 5 perjalanan ketika saya cupu sangat jadi orang. Kecupuan itu tentu saja terjadi karena itu pertama kali saya melakukan perjalanan tersebut.

MarKiMul, mari kita mulai!

1. Batavia Air (medio 2004)

Saya pulang kampung naik ALS sesudah saya lulus SMA. Cuma, di perjalanan saya mengalami traveler diarrhea yang menyebabkan hidup saya semengenaskan jomblo ngenes sepanjang perjalanan Lampung-Bukittinggi. Walhasil sampai rumah saya jatuh kurus, yang mana daripada sebelumnya saya sudah kurus kering.

Nah, begitu kembali ke Jogja, emak saya nggak tega saya kena traveler diarrhea lagi, jadi dibeliin deh tiket pesawat ke Jogja. Dan itu adalah almarhum Batavia Air. Waktu itu berangkatnya masih dari Tabing. Dan itu adalah penerbangan koneksi.

Usia saya 17 tahun dan belum pernah naik pesawat setelah tahun 1989. Mana ngerti saya suasana bandara kayak apa? Dan lagi, saya sama sekali nggak pegang HP kala itu. Lengkap sudah.

Dengan ngenes saya sudah harus merelakan seat pinggir jendela saya kepada seorang kancut yang tega bilang kalau bangku saya yang di gang, padahal jelas-jelas A. Saya yang pengen melihat awan kan langsung garuk-garuk rok pramugari.

Bagian ngenesnya adalah waktu transit, bahwa saat itu saya asli ngenes tanpa alat komunikasi apapun di bandara itu. Waktu itu bandara Soekarno-Hatta belum digital. Ganti jadwalnya masih yang model kayak mesin ketik itu.

Ada sekitar 2 jam saya nunggu dengan gamang di ruang tunggu terminal 1, lupa A-B-C. Dan syukurlah pada akhirnya sampai juga ke Jogja dengan selamat.

2. Merpati (2008)

Bagian dari project 9 hari saya yang tahu-tahu mewarnai hidup saya dengan segera dan memusnahkan kemungkinan saya dapat penghargaan kelulusan apoteker, tapi tidak pernah saya sesali karena nilai pengalamannya LUAR BIASA.

Jadi waktu itu saya naik pesawat bareng Pak Lanto dan Pak siapa gitu saya lupa dari Jogja, transit Jakarta, lanjut Medan. Nah, sesudah dari Medan mau ke Gunungsitoli ini yang bikin deg-degan.

Ini adalah pertama kalinya saya naik pesawat kecil, isi 28 penumpang kalau nggak salah. Begitu lihat bahwa tangga naiknya itu dilipat jadi pintu, udah berasa kecilnya ini pesawat. Belum lagi lihat sepasang baling-baling di sayapnya yang tidak kalah mungil, semungil hatiku *uopoooo*

Mengingat saya cupu, jadi saya ikut saja Pak Lanto pilih di gang. Untungnya itu pilihan benar karena ternyata cukup ngenes juga di jendela. Semacam menakutkan gitu.

Tapi seru sih.

3. Taksi di Bandung (2008)

Ini sontoloyo-nya supir taksi di Bandung. Ncen asli sompret. *lah malah misuh-misuh*

Jadi kisahnya, dalam rangka liburan semester dan memberikan support penuh kepada dedek bungsu yang hendak meniup puluik pupuik dan menabuh tampelong talempong, saya dan dua adek langsung menuju Bandung Lautan Asmara.

Rencananya, mau menginap di rumah saudara yang memang ada di Bandung. Kontak kita waktu itu hanya si Petra, sepupu saya yang sepantaran sama si Cici, sekarang sudah jadi lawyer, sementara saya masih jadi officer *separuh curhat*

Terakhir kali ketemu Petra adalah tahun 1997, waktu itu dia masih SD. Dan di dalam perkembangan wanita tentu saja ada perbedaan besar.

Begitu taksi yang diorder sampai ke kompleks yang dituju, mulai deh itu supir kampret belagak nggak ngerti jalan. Berhubung saya juga nggak ngerti jalan, apalagi dua adek saya pun demikian, ya ikut manut patuh begitu supir bilang kagak ngarti. Jadilah taksi dibawa muter-muter nggak karuan.

Pada saat ini juga, Cici menelepon Petra, suruh keluar rumah. Permintaan absurd juga, lha emang kalau Petra keluar rumah kita ngerti bentuknya Petra di tahun 2008 kayak apa?

Ujungnya sih ketemu, dengan cost membengkak dan seringai jahanam ala David Luiz dari supir taksi. Yeah!

4. Solo (2005)

Ada 3 kali saya ke Solo. Eh, 4. Yang terakhir sendirian.

Nah ini yang pertama. Detailnya ada di sisi lain blog ini. Jadi kisahnya si Coco itu pengen naik sepur. Ndeso tenan nggak pernah naik sepur ya. Karena kita, teman-temannya, baik hati dan rajin menabung, maka kita temanilah dia ber-15 semata mau naik Pramex.

Kisahnya panjang banget, jadi monggo dihaturi mampir kesini ya.

5. Ngangin-Ngangin (2007)

Dari namanya saja sudah absurd, tapi itulah desa terpilih untuk melakoni skripsi. Pertama kali saya kesana adalah bonceng Pipin, dan dikasih tahu bahwa tempatnya lumayan nyelempit.

Dimulai dari melewati Kali Progo. Mengingat Ngangin-Ngangin ada di Kulonprogo, alias baratnya Progo. Terus sesudah lewat Progo dan sekian tikungan, masuklah kita ke kanan, dengan sawah membentang.

Sampai di ujung jalan ketika jalan aspal habis, dimulailah petualangan baru dengan jalan berbatu.

Demikianlah pada akhirnya saya sampai di sebuah desa, yang anehnya, jalannya mulus. *jangan-jangan ada akses lainnya ini?*

Pertama kali itu pula langsung ngider dusun, langsung ikut PKK sambil bernyanyi, “hidup gotong royong sehat sandang dan pangan…”

Ehm, begitulah, 5 perjalanan serba pertama saya yang penuh kecupuan dan kebingungan. Maaf kalau nggak lucu, kan cuma berniat ngelucu. 😀 😀

5 Perjalanan Paling Absurd

Hiyah, nggaya bener. Hidup belum lama, traveling belum kemana-mana, pake nggaya nulis beginian. Eh, tapi saya ini ya termasuk kadang-kadang jalan-jalan ya. Jadi, ada lah beberapa perjalanan yang buat saya lantas berlangsung absurd. Entah absurd jadinya, prosesnya, atau apapun itu. Tapi, meski absurd, saya harus BERSYUKUR pada Tuhan, bahwa saya masih selamat. Itu yang jauh lebih penting 🙂

1. Perjalanan Berangkat Merantau (29 Juni – 2 Juli 2001)

Ini bukan pertama kali saya melakoni perjalanan jarak jauh, tapi paket komplet perjalanan berangkat merantau ini otomatis menjadi salah satu perjalanan paling DIINGAT dalam hidup saya. Dimulai dari Jumat siang yang sedih, saya naik Gumarang Jaya dari Bukittinggi bareng Bapak. Mobil berlogo kuda ini akan membawa saya ke Jakarta. Nah, keesokan harinya sampailah di Pulau Jawa, dan hampir tengah malam ketika kemudian saya tiba di terminal Kampung Rambutan.

sumber: google maps

Dari terminal ini, saya dan Bapak naik bis entah-apa-namanya ke Cirebon, waktu itu mau mampir ke tempat Pakde sebelum lanjut ke Jogja. Bis dari Cirebon ini formasi 3-3, entah masih ada atau tidak di jaman sekarang ini. Udah kotor, buluk, banyak pengasong, banyak yang ngerokok pula. Lengkap deritanya.

Sampai Cirebon dini hari dan lantas menuju tempat Pakde.

Nah, sisi paling absurd dari perjalanan ini adalah waktu step terakhir hendak menuju Jogja. Saya dan Bapak naik kereta api entah-apa-namanya dari Stasiun Cirebon dengan tiket bisnis. Saya sih curiganya ini Senja Utama, tapi pastinya lupa.

Kelas boleh bisnis. Ketika itu kereta nyampe, sama sekali nggak ada tempat duduk! Dan inilah salah satu momen ter-ghoib dalam hidup saya. Seorang anak unyu-unyu yang hendak menempuh pendidikan, terjongkok manis di sambungan antar gerbong sambil bersandar pada tas yang berisi barang bawaan dari Cirebon sampai Jogja.

Apa saya bisa tidur kalau begitu? Nggak! Dan ini salah satu momen saya berasa kalau jam itu nggak berputar sama sekali, saking nggak nyampe-nyampe-nya. Ya memang waktu nyampe-nya molor dari estimasi.

Dan belum cukup kegilaan ini, saya disuruh langsung mendaftar sekolah! Syukurlah saya tidak dites intelegensi, karena kejadian sebelumnya akan sangat berpengaruh pada kemampuan saya yang aslinya sudah pas-pasan ini *apa coba*

Dan syukurlah, lewat proses yang “tampak” mudah (karena amat sangat lancar sekali), saya diterima di SMA Kolese De Britto Jogjakarta 🙂

2. Perjalanan Menembus Erupsi (November 2010)

Ehm, ini perlu diceritakan nggak ya? Hahahaha.. Ah, namanya juga cerita. Toh, Tuhan itu menciptakan peristiwa itu pasti ada gunanya kan?

Jadi ceritanya sejak jauh-jauh waktu saya sudah izin cuti sama Pakbos untuk menghadiri wisudanya seseorang yang waktu itu jadi pacar saya. Bulan November wisudanya, saya izin dari awal September. Saking susahnya cuti kalau sama Pakbos. Huhuhu…

Mulai galau ketika saya beli tiket Palembang-Jogja, kok rasa-rasanya berat itu pas mbayar. Eh, ternyata mulai kerasa. Dua hari sesudah saya beli tiket, ada berita kalau gunung Merapi mulai beraktivitas tinggi hingga kemudian berita Mbah Maridjan tewas dilewati wedhus gembel dan segala berita lain sesudahnya.

Saya masih mencoba biasa saja, toh penerbangan belum ada masalah.

Apa iya? Iya, setidaknya sampai sebelum saya berangkat.

sumber; tribunnews.com

Jumat pagi jam 4 saya bangun dan siap-siap karena penerbangan pertama dari Palembang. Begitu menunggu Mas Sigit bangun, eh ada berita kalau Merapi baru meletus, terbesar selama berapa ratus tahun.

“Ow ow…”

Saya tetap berangkat, lha piye meneh. Penerbangan Palembang-Jakarta mulus pastinya, hingga sampai di ruang tunggu untuk transit ke Jogja.

“Penumpang sekalian, karena bandara di Jogja ditutup maka penerbangan dibatalkan.”

MATEK! Saya akhirnya memasuki fase mantap. Saya ikutan nongkrong sabar di depan loket Lion Air di terminal 1A Cengkareng. Saya sempat diwawancarai Bali TV. Dan saya capek. *halah*

Berikutnya saya capcus ke stasiun Senen untuk berharap ada tiket ke Jogja dari kereta tambahan, tentunya bersama kakaknya yang mau wisuda. *untung ada temennya* Akhirnya saya sampai Jogja pas di hari H, molor sehari. Hotel yang sudah dibayar akhirnya sia-sia semalam. Ya sudahlah. Sesudah menghadiri wisuda, saya segera ke stasiun beli tiket kereta, dampak dari firasat masih buruk. Saya dapat Senja Solo Extra. Padahal saya masih punya tiket pesawat Jogja-Palembang loh.

Ternyata saya benar! Minggu pagi saya dapat SMS kalau penerbangan dari bandara Jogja masih ditutup. Untung udah beli tiket. Tapi masalah belum kelar, saya kudu beli tiket baru Jakarta-Palembang supaya proses refund-nya ga ribet. Maklum, tiketnya Lion Air itu kan transit. Jadilah saya nggaya, beli tiket Jakarta-Palembang Garuda, 800 ribu. Hahaha.. *sok kaya*

Dari Jogja ke Senen mulus karena keretanya eksekutif. Saya lanjut ke Gambir dan dari sana ke bandara. Hmmm, kalau sadar urutannya, maka pasti kelihatan kalau saya belum mandi. Yak, saya adalah penumpang Garuda yang nggak mandi. Heuheuheu..

Mendarat di SMB II jam 12, sampai mess jam 13, saya langsung kerja. *maklum, pegawai teladan*

Selesai? Nggak juga, karena di bulan November itu saya kudu mati-matian bertahan hidup. Lha duit’e ntek kabeh je.. 😦

3. Kondangan Ke Belitang (Februari 2011)

Jiwa persahabatan saya memang tinggi. *congkak* Saking tingginya, waktu dinas ke Jakarta, saya sempatkan untuk langsung pulang ke Palembang pada flight terakhir karena besoknya mau pergi kondangan. Sampai Palembang itu sekitar jam 11 malam dan sebelum jam 6 sudah mau berangkat ke tempat yang katanya 6 jam jauhnya dari Palembang.

Kondangan ini didukung sama kantor dengan support mobil plus supir (Zul). Saya berangkat bersama Pakbos DJ, Koko Aliem, Koko Ahen (ini koko jadi-jadian), Pakbos Zae, dan Ando69 naik Kijang yang mirip punya ortu di rumah.

koleksi pribadi pake HP LG 🙂

Perjalanan ini panjang dan saya terpaksa nggak tidur (walau capek) karena harus meladeni obrolan asyik sepanjang jalan. Hahaha..

Sisi absurd-nya adalah ketika masuk Belitang. Kita-kita pada mikir kalau start gambar di undangan itu adalah jalan masuk Belitang. Ternyata….

Bukan.

Tanya sana, tanya sini. Berhenti sana, berhenti sini. Akhirnya petunjuk didapat.

“Abis ini ada nusa… nusa… nusa… baru nusa tenggara..”

Ebuset. Jauh aja ternyata!

Dan ternyata rumahnya itu memang masih jauh. Yah, peta yang mungil ini jadi tampak menipu. Hehehe.. *piss kak kus*

Sampai di tempat, rencana awal mau ikut misa udah nggak kekejar. Malah acara syukurannya udah mau kelar. Jadilah kita langsung ganti baju batik di dalam mobil dan kemudian turun lalu muntah-muntah eh salaman. Nongkrong 1,5 jam, lantas kita pulang. Rada nggak rela sebenarnya, masak 6 jam di jalan, di tempatnya 1,5 jam, apa kata dunia?

Dan ini menjadi satu-satunya perjalanan jauh di atas 12 jam pp yang saya tidak tidur sekejappun 🙂

4. Kantor Bernas-Rumah Simbah (2001)

Ini kayaknya pernah saya tulis di blog sini (kayaknya loh), waktu nulis soal Alfa. Ini terjadi waktu saya masih pakai sepeda dan masih jadi wartawan jadi-jadian di koran Bernas. Jadi ceritanya kumpul sabtu siang ke sore untuk pembekalan. Pulangnya udah malam gitu.

Nah, asyik-asyiknya saya mengayuh sepeda di sekitar UGM, tiba-tiba itu sepeda pedalnya los. Jadi mau diputer kayak gimana juga, nggak akan bikin rantainya ikut berputar.

Fuihhh, jadilah saya menuntun itu sepeda perlahan tapi pasti *pasti capek* menuju rumah simbah. Jadi ada agak 6-7 kilometer saya menuntun sepeda dengan baju seragam (waktu itu di JB hari Sabtu masih pakai seragam), dan itu terjadi di MALAM MINGGU. APA NGGAK BIKIN GALAU ITU? *keyboard mendadak caps lock semua*

5. Jogja-Wates (pada suatu hari di tahun 2007)

Ini mungkin paling absurd bagi saya dari sisi keamanan. Kenapa? Karena di perjalanan inilah saya pernah tidur sambil nyetir motor. Jadi ceritanya karena hasil pengundian abal-abal skripsi menujukkan sampling dan wawancara harus dilakukan di daerah Wates maka saya harus kesana. Anggota tim yang cewek ngekos disana. Saya dan Fandy nglaju.

Nah, kok ya pas skripsi ini, pas saya ada persiapan KPS Unpar di Bandung. Jadi, pas pulang dari ambil data *pasti capek lah wong keliling kampung* saya ikut latihan PSM *ini jelas nggak kalah capeknya*. Sampai kos tinggal tepar. Berikutnya? Besok bangun lagi, melakukan rutinitas yang sama.

Nah, yang tak tertahankan ketika pada hari kesekian, saya membawa Bang Revo dengan Fandy bonceng di belakang. Kalau pernah lewat Jalan Wates pasti tahu lurus-lurusnya mantap kan? Nah, ketika disitu, di sekitar Rewulu saya merasakan mata saya menjadi berat… berat… berat… dan lalu merem 1-2 detik.

Lanjut melek dikit, eh berat lagi.. merem lagi sejenak. Dan itu motor masih melaju 70-80 km/jam. Sampai sekarang saya bingung soal ini. Itu kenapa kalau jalan jauh saya prefer pakai headset. Setidaknya saya bisa nyanyi-nyanyi supaya nggak merem.

Hehehe..

Sebenarnya ada banyak perjalanan lain, mulai dari mengantar teman ke tempat pacarnya, perjalanan sama anak dolan-dolan, dan lainnya. Tapi ini adalah 5 kisah terpilih untuk kategori ABSURD. Hahahahaha… 😀

Eh, Penerbangan Saya Masuk Berita

Googling bin googling eh malah ketemu nih..

LINK INI *nulis sambil marah-marah*

Jadi tertulisnya begini:

Menurut pantauan Posko Angkutan Lebaran Terpadu 2012, ada 11 jadwal penerbangan yang mengalami delay jadwal kedatangan di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, pada H+1 atau Selasa (21/8/2012) kemarin. Maskapai yang mengalami delay adalah Batavia Air, Sriwijaya Air, Lion Air, Citilink, dan Indonesia AirAsia. Keterlambatan itu terlihat sepanjang pemantauan Posko yakni dari pukul 08.00 WIB sampai 18.00 WIB.

Maskapai Batavia Air, misalnya, mengalami keterlambatan kedatangan domestik paling lama dari maskapai lainnya, yakni penerbangan Y6-0584 dari Bandar Udara Minangkabau, Padang, menuju Bandara Soekarno-Hatta selama 2 jam 39 menit.

Keterlambatan paling singkat yakni Lion Air JT-0347 dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang dengan 32 menit dari jadwal semula. Sementara Sriwijaya Air adalah maskapai yang paling banyak mengalami keterlambatan jadwal kedatangan di Bandara Soetta. Ada lima penerbangan dengan tujuan Jakarta yang telat.

Saya bingung nih, itu 2 jam 39 menit dari mana yak? Wong saya antri di pintu boarding aje tulisannya 13.10, padahal saya itu antrinya jam 17.10, itu juga 10 menit sebelumnya dibilang “pesawat akan siap 30 menit lagi..” yang langsung mengundang komplain banyak penumpang.. Jadi 13.10 ke 17.10 itu ternyata 2 jam 39 menit?

Ehm, bisa dipahami sih, kalau dihitung normal, 4 jam itu kompensasi 300 ribu. See? Bayangkan aja rugi di peak season mudik begitu. Rugi bandar cuy. Ah, ya sudahlah… Huhuhuhu…

Batak Itu Satu Keluarga

Berawal dan bermula dari mau bikin rancangan plot yang sudah jelas bab 1-nya, tapi terkendala masalah plot lanjutan berikut kejutan yang maunya ada surprise. Hmmm… malah lari ke sejarah BATAK. Hahahaha..

Eh, tapi Batak itu unik loh. Asli. Sejak kapan orang yang tidak saling kenal bisa ‘dianggap’ bersaudara semata-mata karena kesamaan marga? Ehm, ternyata dari sononya, memang sudah begitu. Nggak percaya?

Saya coba kulik-kulik dari sini dan mencoba menerjemahkannya dalam excel. Heleh, kotak lagi 🙂

Jadi Si Raja Batak punya dua anak yakni Raja Tatea Bulan dan Raja Isombaon. Nah, turunan Raja Tatea Bulan adalah sbb:

sumber: reka-reka @ariesadhar

Kalau dari Raja Isombaon, sebagai berikut:

sumber: reka-reka @ariesadhar

Jadi silahkan dicari marga masing-masing. Itu yang kuning itu sebenarnya satu rangkaian tapi bakal jadi rempong kala saya deret ke bawah, puanjanggg.. Kalau mau lebih jelas, silahkan datang ke lapo-lapo terdekat, biasanya ada TAROMBO yang bisa dilihat.

Ini mirip sebuah lagu: aku Batak, kamu juga Batak, kita Batak yang satu keluarga… *nyanyi mode on*

🙂

Asa Pada Sebuah Masa

“Gue tuh kadang iri sama lu, Win,” ujar Vienna sembari membenahi posisi duduknya. Matanya masih menerawang ke gate 3 yang belum juga menampilkan tulisan Y6-584.

“Kenapa?” tanya Windy, sambil tetap asyik pada tablet yang dipegangnya.

“Lu sama Hotman itu udah beda agama, beda suku, bisa-bisanya nikah. Lha gue?”

“Hahaha, udah gue duga. Pasti iri hati lu nggak jauh-jauh dari itu.”

“Ya iyalah. Apa lagi yang bisa gue iriin ke lu.”

“Dasar. Udah ngiri, songong juga.”

“Hahaha, ya begitulah Win. Hidup ini kadang abstrak. Giliran ada yang seiman dan sesuku, eh tukang tipu, nikung gue gitu. Giliran ada yang baik, perhatian, sabar, dan lainnya yang baik-baik, plus seiman juga, eh beda suku. Gagal maning, gagal maning.”

“Gue nggak ngerti kondisi sebenarnya, Vi. Tapi gini, lu pernah bilang kalau keluarga lu bahagia, otomatis lu juga bahagia. Right?”

“Betul sekali.”

“Lu juga kerja kayak begini, proyek ke proyek, buat bahagiain keluarga lu kan?”

“Betul juga. Kenapa sih?”

“Kalau lu mengeluh kayak barusan tadi, lu pake standar ganda dong. Kalau keluarga lu udah bilang harus seiman dan sesuku, brarti cuma syarat itu yang bikin mereka bahagia. Otomatis, cuma syarat itu yang harusnya bikin lu bahagia. Iya kan?”

Pandangan Vienna menerawang jauh ke landasan, sebuah pesawat berwarna putih dengan nuansa biru tua tampak mendarat. Ah, berarti tak lama lagi ia akan meninggalkan ruang tunggu ini.

“Iya kali, Win. Ah, entah. Bingung saya.”

“Kalau bingung pegangan, Vi. Susah bener.”

sumber: 143loveu.blogspot.com

* * *

“Lu pulang ama sapa, Vi? Bareng gue?” tanya Windy sambil menarik dan mendorong troli, sebuah aktivitas biasa kala menanti conveyor bagasi bergerak.

“Dijemput.”

“Ada gitu cowok yang jemput lu?”

“Sial. Ada lah.”

“Hmm, bentar-bentar.. Gue tebak. Paling juga Juna. Iya kan?”

Vienna terdiam, matanya sibuk memandangi BB yang nongkrong manis di tangannya.

“Iya kan, Vi? Hayo. Kapan coba gue salah nebak? Haha..”

“Iya.. Iya.. Juna yang jemput.”

Windy memiringkan badannya ke arah Vienna sambil setengah berbisik, “Emang lu masih sama dia?”

“Nggak lah. Begitu Mama bilang nggak boleh, ya langsung gue putusin.”

“Anak baik.”

“Baik apa coba?”

“Ya itu patuh pada orang tua. Hmmm, cuma kok begini ya?”

“Begini kenapa sih, Win?”

“Ya, lu pulang dinas begini, yang jemput Juna juga. Ehm, jangan-jangan lu masih berharap sama hubungan lu dengan Juna ya?”

“Entahlah. Gue sendiri juga bingung.”

“Windy Kepowati terpaksa beraksi nih. Dalam terawangan kepo gue, lu pasti masih membayangkan bakal nikah sama Juna, punya anak, terus sampai kakek-nenek bersama. Iya kan?” berondong Windy dengan kencangnya.

“Iyaaaaaa…”

“Vi, gue bilang nih ya. Gimana caranya lu mau menjadikannya masa lalu, kalau lu aja masih membayangkan masa depan sama Juna?”

“Tapi gue nggak bisa, Win.”

“Terserah sih, gue bilang tadi. Standar kebahagiaan lu jangan ganda. Pilih salah satu. Kalau nggak, lu bakal terjebak. Mau bikin bahagia diri sendiri apa keluarga lu. Percaya ama gue. Gue sama Hotman juga nggak mudah kali, Vi. Mana ada cerita beda agama, beda suku, diizinkan dengan begitu mudah?”

“Ya. Eh, itu tas lu udah nongol.”

sumber: beaut.ie

Windy dan Vienna sibuk mengangkat tas-tas besar mereka yang dibawa dari Padang tadi. Keduanya bekerja di lembaga yang menjadi rekanan proyek pemerintah. Jadilah, mereka lari-lari dari satu kota ke kota lain untuk meninjau lokasi, memberi konsultansi, hingga membuatkan rekomendasi terkait proyek yang hendak dilakoni. Sebuah pekerjaan yang menguras energi pastinya.

“Tuh, suami lu udah nangkring. Udah dari dua abad yang lalu kayaknya,” kata Vienna sambil menunjuk sosok bertopi di pintu kedatangan.

“Arjuna lu mana, Vi?”

“Entah.”

Keduanya mendorong troli hingga ke area luar kedatangan. Hotman menyambut istri tercintanya dengan pelukan hangat. Vienna mendadak dingin, seandainya ada yang berlaku demikian padanya.

“Pulang sama siapa, Vi?” tanya Hotman dengan ramah.

“Dijemput Arjuna-nya, sayang,” kata Windy menjawab pertanyaan suaminya sendiri.

“Lho, Juna mana?”

Vienna masih terdiam. BB-nya masih sunyi dari tadi. Pesan “Aku udah sampe” yang dikirimnya via Whatsapp masih berupa 1 centang hijau, dan kini ia ada di area terbuka lebar. Termasuk terbuka lebar untuk didekati orang dan ditanya, “Taksi? Mau kemana? Sama saya saja.”

“Nggak tahu nih,” jawab Vienna lemas.

“Ya ditelpon lah, Vi. Kayak orang susah aja,” ujar Windy.

Windy tentu tahu kalau soal pulsa, Vienna pasti punya banyak. Vienna hanya tidak ingin menelepon Juna, tapi anehnya tetap mengiyakan tawaran jemputan dari Juna. Bahwa satu-satunya obstruksi manis terhadap logika di dunia ini memang cinta.

“Gue tungguin aja deh. Kalau mau pulang nggak apa-apa. Duluan aja. Gue mampir ke A&W dulu. Laper cuy.”

“Oke deh, beneran ya, Vi? Gue tinggal?”

“Iya. Udah sana, silahkan honeymoon. Minggu depan kita berangkat ke Gunungsitoli loh.”

“Iya neh. Kapan gue jadi istri yang bener yak?” kata Windy sambil garuk-garuk, disambut senyum simpul Hotman.

Windy dan Hotman kemudian berjalan ke arah parkiran, sementara Vienna melajukan trolinya ke arah A&W. Mungkin rootbeer bisa sedikit membantu perasaannya yang mendadak aneh semenjak Mama menolak hubungannya dengan Juna.

Vienna terjebak dalam logika kebahagiaan yang aneh. Sejak lama, setiap kali melihat orang tuanya bahagia, Vienna otomatis merasa bahagia. Kini, orang tuanya tidak setuju pada hubungannya dengan Arjuna, padahal Vienna merasa bahagia bersamanya. Lantas apa makna kebahagiaan kalau begini?

Handphone Vienna bergetar. Sebuah pesan Whatsapp.

Dimana?

A&W. Km dmna?

Oh. Oke. Aku ksana.

Vienna meletakkan handphone-nya dan kemudian asyik dengan fish fillet plus root beer yang ada di depan matanya.

“Hey, cantik. Udah lama?”

“Udah dua minggu. Telat kamu.”

“Eh, kamu telat dua minggu?”

“Heh?”

“Lha katanya, telat. Dua minggu. Jangan-jangan kamu…”

“Udah ah. Geje kamu.”

“Hahaha.. Sorry telat, Vi. Maklum, baru bisa nyetir. Jadi pelan-pelan.”

“Kamu bawa mobil, Jun? Emang punya mobil?”

“Makanya, kalau aku whatsapp itu diladeni. Ini dicuekin melulu. Tiga bulan habis kita putus, banyak hal terjadi, Vi. Hmm, dan entahlah, kata banyak orang ini kesuksesan. Tapi buat aku, ini baru dibilang sukses kalau bisa membawaku balik lagi sama kamu.”

“Apa coba? Geje nih.”

“Jiah, masih aja dibilang geje.”

“Kan kamu geje keturunan.”

“Halah, aku geje juga sejak dekat kamu.”

“Oh, saia induktor geje memang. Siapa yang dekat-dekat, maka bakat geje-nya akan keluar.”

“Heleh. Obrolan apa nih? Nggak jelas. Tapi, ehm, I really miss this conversation. Kamu, Vi?”

“Ya, kadang. Tapi udahlah. Nggak penting juga to?”

“Huuu, jadi nggak boleh berharap nih?”

“Berharap boleh, tapi yang realistis sajalah.”

“Ya, baiklah. Ngomong-ngomong, ini aku boleh duduk nggak nih?”

“Yang nyuruh berdiri dari tadi siapa?”

* * *

“Win, nih,” bisik Vienna sambil mendatangi kubikel Windy dan menyerahkan sebuah bungkusan.

“Apaan?”

“Kira-kira apa?”

Windy dengan bakat kepo-nya tidak bisa menahan diri untuk membuka bungkusan yang diberikan Vienna. Dan matanya mendadak mendelik melihat isinya.

sumber: jamesarekion.blogspot.com

Are you sure?

“Ini undangan mahal, Neng. Kalau gue nggak sure, nggak mungkin gue cetak. Pake nanya.”

“Tapi, bagaimana bisa?”

* * *

Ibukota memang paralel dengan macet dan tentunya paralel dengan ongkos. Tapi Vienna nggak pernah resah meski argo di taksi burung biru itu sudah menunjuk bilangan enam digit. Ia pakai voucher taksi, dan itu urusan kantor. Bagi Vienna, yang penting dia bisa pulang ke rumah dengan tenang. Ongkos ini tentunya setimpal dengan yang dia berikan untuk tempat kerjanya.

“Depan kiri, Pak. Yang cat hijau.”

“Ya, Mbak.”

Vienna turun dari taksi dan berjalan menuju gerbang rumahnya, sebelum kemudian langkahnya terhenti pada sebuah mobil yang terparkir manis di depan rumahnya.

Mobil yang sama dengan yang mengantarnya pulang dua minggu yang lalu. Mobil milik Arjuna.

“Ngapain Juna kesini?” gumam Vienna, setengah geram, tapi separuh senang.

Vienna kemudian berjalan perlahan ke dalam rumah, dan berhenti di pintu yang terbuka, tercekat disana, urung untuk masuk.

sumber: photocase.com

“Jadi Tante, saya mungkin memang nggak satu suku dengan keluarga Tante. Dan mungkin Tante nggak bisa terima kalau anak Tante berhubungan dengan saya.” Suara dari dalam terdengar sangat familiar, ah, siapa lagi, pasti Juna.

“Dasar nekat,” gerutu Vienna.

“Tapi, saya mencintai Vienna.”

“Apa cinta itu cukup?”

“Mama? Waduh, Juna nekat bener, sumpah,” gumam Vienna lagi.

“Buat saya cukup, Tante. Tiga bulan yang lalu waktu Vienna memutuskan berpisah dengan saya karena katanya Tante nggak setuju dengan hubungan kami, saya berpikir tentang banyak hal. Saya pikir, Tante pasti akan bisa menerima saya kalau saya ‘sukses’, apapun suku saya,” beber Juna sambil kedua tangannya membentuk tanda kutip.

“Maksudnya?”

“Tiga bulan itu saya berusaha lebih, Tante. Saya nggak tahu arti sukses, tapi saya mengartikan sukses itu jika bisa bersatu kembali dengan Vienna. Harta memang bukan yang utama, tapi dengan harapan bisa kembali pada Vienna, saya bisa beli rumah dan mobil. Ya, walaupun kecil-kecilan.”

“Hidup kan bukan hanya soal harta. Memangnya kamu ngapain kok tiga bulan bisa begitu?”

“Entah kebetulan atau tidak, naskah-naskah saya yang masuk ke penerbit diterima. Umumnya sih naskah novel, Tante. Dan kebanyakan terinspirasi dari hubungan saya dengan Vienna. Entah kebetulan atau tidak juga, buku-buku itu laku. Saya juga sudah dapat tawaran untuk mem-film-kan buku itu.”

“Lalu?”

“Saya juga tetap bekerja, Tante. Entah kebetulan atau tidak juga, saya dapat promosi, persis sesudah putus dari Vienna,” terang Juna, “Ya satu hal yang nggak bisa saya penuhi, saya memang nggak satu suku dengan Tante dan keluarga.”

“Gila! Bocah nekat,” gumam Vienna yang mencermati pembicaraan ‘orang dewasa’ itu dari luar.

“Jadi bagaimana, Tante? Bisakah saya kembali mencintai Vienna?”

Vienna makin terperangah mendengar suara dari dalam. Dia sudah hendak melangkah ke dalam dan membungkam mulut pria itu, sebelum kemudian mendengar Mama-nya bicara.

“Buktikan sama Tante. Jangan sekali-kali kamu buat Vienna sedih.”

“Siap, Tante. Terima kasih banyak.”

Vienna bingung dengan maksud pernyataan yang barusan dia dengar. Langkahnya tak tertahankan lagi untuk masuk.

“Permisi…”

“Vi?” tanya Juna dengan wajah serba salah. Vienna selalu mewanti-wanti Juna untuk tidak datang ke rumah.

* * *

“Silahkan kalian saling berjabatan tangan kanan dan menyatakan kesepaktan kalian di hadapan Allah dan GerejaNya.”

sumber: photo.net

“Saya, Arjuna Abhiseka, memilih engkau Vienna Nilamsari menjadi istri saya. Saya berjanji untuk setia mengabdikan diri kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup saya.”

“Saya, Vienna Nilamsari, memilih engkau Arjuna Abhiseka, menjadi suami saya. Saya berjanji untuk setia mengabdikan diri kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup saya.”

“Semoga Tuhan memperteguh janji yang sudah kalian nyatakan dan berkenan melimpahkan berkatNya kepada kalian berdua. Yang telah dipersatukan Allah…”

“Janganlah diceraikan manusia.”

* * *

“Selamat ya, sayang,” seru Windy dengan sumringah ketika menyalami Vienna dan Juna di pelaminan.

“Makasih ya.”

“Jadi ternyata benar dia masa depan lu ya?” bisik Windy sambil memeluk Vienna.

“Yup. Selalu ada asa untuk setiap masa, Win. Dan yang di sebelah ini, asa gue untuk masa depan. Thanks a lot ya.”

“Nikmati indahnya, Vi.”

“Heh, udah, yang antri banyak nih. Ntar di kantor aja pelukan lagi,” goda Hotman yang disambut gelak tawa Juna.

🙂

Cerita Liburan: A330

Dimulai dari hidup yang semakin galau, tiba-tiba saya menjadi sangat intuitif dan kurang berpikir. Tapi entah kenapa, kadang intuitif itu ada gunanya. Dan tanggal 8 Agustus saya memilih untuk MUDIK karena baru ngeh kalau liburannya lumayan lama. Dasar nekat, di tanggal segitu penerbangan sudah pada habis. Jadilah, saya ambil flight tanggal 17 Agustus 2012 yang tersisa: Batavia Air Jam 10.20 dari Jakarta ke Padang. Harganya? Sejujurnya ini one flight termahal yang pernah saya lakoni karena saya harus membayar sekitar 1.420.000, sekadar perbandingan, rekor saya Palembang-Jogja PP adalah Rp. 1.100.000 untuk 4 kali naik pesawat. Tapi daripada saya mati gila di sepinya Cikarang, mending saya pulang, menikmati rumah yang pastinya akan indah.

Dan berangkatlah saya.

Dimulai dari Damri Cikarang-Bandara, saya turun di terminal 1C. Sepanjang jalan saya menyaksikan betapa Jalan Tol Jakarta-Cikampek arah Cikampek menjelma menjadi tempat parkir. Sementara arah Jakarta, menjadi jalan tol yang beneran bebas hambatan. Hanya 1 jam lebih sedikit, sudah sampai ke bandara. Waw!

Saya jarang main-main ke terminal 1C. Rasanya sih baru 1 kali terbang dari sana, ketika balik dari minta tanda tangan Pak Harimat, naik Adam Air. Jadi ketika saya masuk, berasa heran, karena beda dengan 1A dan 1B yang jelas MERAH-nya. Hehehe..

Nah, duduklah saya di ruang tunggu. Persis seperti dugaan, tidak se-kampung terminal 1A dan 1B yang jelas-jelas penumpang pesawat putih merah yang BANYAK SEKALI. Ya, ramlan lah, ramai lancar.

Saya mulai heran ketika melihat isi ruang tunggu ini cukup banyak, namun 1 tujuan. Semakin heran ketika dipanggil suruh boarding, kok BANYAK banget orang di belakang saya. Makin heran lagi karena harus naik bus dulu sebelum menuju pesawat. Dan tambah heran ketika bus itu JAUH banget, memutar sampai ke terminal 1A karena saya lihat pesawat putih merah disana.

Dan saya baru NGEH dengan boarding pass saya: 20K. Saya jelas-jelas minta jendela, yang notabene kalau nggak A ya F, ini kok dapat K? Jangan-jangan ada hubungannya?

Benar saja, saya lantas sampai di terminal CARGO dengan dua buah pesawat Airbus A330 berdiri kokoh disana. Ini pesawat yang biasa dipakai oleh Batavia untuk penerbangan luar negeri, dan dari majalah saya tahu kalau Batavia hanya punya 2.

Saya lalu masuk. Dan sususan kursi yang biasanya 3-3, kini menjelma menjadi 2-4-2. Ya, ini pesawat GEDE BANGET. Akhirnya kesampaian juga merasakan pesawat besar. Makin excited ketika disebutkan ketinggian jelajahnya 40 ribu kali. Biasanya kan 27 ribu sampai 32 ribu kaki.

Well, sejujurnya, saya merasa beruntung. Pantas saja ketika maskapai lain sudah full booked, Batavia masih buka, lha jelas pesawatnya segede gaban begini. Dan mulai nggak menyesal mengeluarkan sejumlah uang yang gede itu untuk satu penerbangan menuju RUMAH dengan pesawat BESAR pertama kali. Sebanyak 60-an kali saya terbang, baru ini pakai pesawat besar. Hore sekali rasanya.

See? Intuitif tidak serta merta keliru kan?

*nantikan cerita liburan saya lainnya di saluran ini.. hehehehe..*

Cinta Diam-Diam

Jemari kokoh dengan lengan berbulu, berbalut arloji mahal merk Alba, menari indah di atas keyboard. Tampak jelas di layar monitor bahwa waktu sudah menujukkan jam 12.07 AM alias tengah malam. Segelas kopi yang telah menjelma dari kopi panas menjadi es kopi masih tergeletak manis di sisi kiri layar monitor. Setumpuk dokumen tampak di sisi sebaliknya. Sesekali terdengar bunyi klik.

Jam yang tidak logis untuk menarikan jemari apalagi dilakukan di sebuah meja kerja, dengan seragam rapi, masih berbalut dasi, pun sepatu masih pantofel. Ini di kantor. Jam 12 malam, di kantor, sungguh sebuah perpaduan romansa cinta, wajib, dan terpaksa.

Dear Pak Wiryono,

Terlampir saya kirimkan draft Master Planning dengan perhitungan kapasitas sesuai remark meeting hari ini. Mohon dapat direview.

Terima kasih atas perhatiannya.

Best Regards,
Axel Ricardini

“Done! Hufftttt..,” teriak Axel, si pemilik jemari berbulu yang menari tadi. Tak masalah baginya berteriak-teriak jam segini. Tidak akan ada yang mendengar. Paling mentok satpam di depan, itupun paling lagi bobo juga. Yang paling logis untuk ikut mengikuti teriakan Axel adalah tikus-tikus yang nongol di malam hari. Makhluk hidup yang semacam makhluk gaib karena masih tampil eksis di sekitar kantor meski pest control sudah diterapkan di kantor.

Kantung matanya sudah semacam pemimpin terkemuka. Lama-kelamaan properti itu sudah tidak bernama kantung lagi, tapi karung. Yak, sebut saja karung mata. Kekayaannya itu jelas memperlihatkan bahwa Axel sudah sangat-sangat mengantuk.

“Ah, jumat ini. Besok libur juga,” gumam Axel di sela keheningan malam. Dalam posisi begini, Axel memang sering melakukan monolog dengan berbagai alasan. Salah satunya tentu untuk membunuh sepi karena playlist lagu-lagu di laptopnya sudah membentuk paham monotonisme. Namanya juga laptop kantor, setiap data yang masuk banyak tetek bengek yang harus dipenuhi. Walhasil, Axel menjadi malas dan menerima apa adanya file yang tersimpan di laptop turunan dari pejabat Demand Planning Supervisor sebelumnya.

Dan tampaknya DP Spv itu galau. Bisa dilihat dari pilihan lagu-lagunya.

Bila Rasaku Ini Rasamu
Demi Cinta
Harusnya Kau Pilih Aku
Tegar
Cemburu

Yah, lagu-lagu getirnya cinta. Dan entah mengapa dan bagaimana, kompilasi lagu itu menjadi pas, cocok, dan sesuai untuk kondisi kejiwaan Axel ketika masuk ke kantor barunya ini.

Axel adalah petualang cinta sejati. Tak hanya cinta dengan lawan jenis, namun cinta terhadap employer. Total, dalam 5 tahun kerja dari level bawah selepas lulus S1, Axel sudah berada di 4 perusahaan. Ya, kira-kira setiap tahun 1. Artinya lagi, sepanjang kerja, Axel belum pernah menikmati indahnya hak cuti. Ya tentu saja, ketika sudah tiba waktunya mendapat hak cuti, Axel malah minggat ke perusahaan lain dan memulai kembali dari nol.

Bagi Axel, hidup itu tidak bisa monoton. Setiap pekerjaan dilakoni sebagai proyek, karena dia terbiasa berpikir demikian ketika kuliah. Di dunia kerja yang keras, kualitas orang yang dibutuhkan, kesetiaan? Ah, itu menyesuaikan. Orang yang sudah puluhan tahun kerja di sebuah perusahaan saja bisa pindah haluan. Ada juga yang pindah kesana kemari lalu kembali lagi. Nggak ada yang salah soal itu.

Mouse yang tampaknya juga sudah mengantuk itu masih dipaksa untuk melakoni kegiatan. Kali ini yang dibuka halaman-halaman media sosial, Facebook, Twitter, dan Koprol. Axel juga membawa mouse tua sisa pendahulunya itu membuka tab-tab WordPress, Blogspot, dan Tumblr.

Satu hal yang selalu menjadi pertanyaan mendasar Axel ketika membuka akun Facebooknya. Dia punya teman FB sebanyak 1291, tapi ketika giliran membuka timeline, di bagian kanan atas tempat foto 8 orang teman yang terpilih, selalu muncul orang yang itu-itu saja. Masak sih FB tidak bisa membuat random yang sebenarnya random? Sebenarnya sih, yang lebih mengusik Axel adalah nongolnya foto dan nama akun Dara Milyana. Mengusik sesi 1 karena setiap kali refresh timeline, 7 teman lain berubah tapi Dara tetap. Mengusik sesi 2 adalah karena gadis itu sudah berusaha direfresh berkali-kali dari hati Axel, dan nggak pergi-pergi.

Hasil permenungan Axel adalah, gagal refresh merupakan manifestasi cinta diam-diam. Perihal cinta diam-diam tentu nggak bisa pakai terminologi move on, karena cinta diam-diam tidak mengenal move. Be silent, observe, and hurt. Cinta diam-diam ya sesederhana itu.

Jemari lemas Axel memandangi foto sampul Dara, lanjut ke foto profilnya, diteruskan dengan memantau posting satu demi satu. Entah wall post, entah status. Selalu semacam inilah Axel. Padahal dia sendiri tahu, bahwa Dara adalah gadis yang penuh kedalaman. Apa yang dia tulis di FB hanyalah bagian kecil dari kehidupannya. Artinya? Cek FB tidak berdampak signifikan.

Axel hanya kangen pada Dara. Dan cara itu adalah satu-satunya bentuk penghapus rindu.

Jam 1. Kantor sudah benar-benar sepi. Axel menutup laptopnya dan bergegas pergi tanpa peduli pada es kopi dan tumpukan dokumen di sekitarnya. Dia lelah.

Senin pagi.

Kata Coach Rene, kalau Senin pagi membuat anda hendak masuk sumur saja, itu berarti anda tidak menikmati pekerjaan. Untunglah, Axel tidak demikian. Dia memang ngantuk, tapi itu wajar untuk senin pagi. Ngantuk tidak relevan dengan pola pikir. Dalam kantuk-pun, Axel masih bisa bekerja.

Masalahnya, hari ini Axel bukan hendak kerja, tapi ada jadwal seminar. Uang perusahaan berjuta-juta terhampar untuk membawa Axel ke seminar, dan kemudian dibalas dengan kantuk sepanjang seminar? Sungguh bukan Axel.

Maka peraduan pagi itu adalah kopi.

Penyelenggara seminar sudah cukup biasa tampaknya. Terbukti dengan sepagi ini, coffee break sudah tersedia dengan damai. Axel membawa goodie bag berisi materi seminar plus beberapa cendera mata. Matanya sudah menagih kafein sebagai syarat untuk tetap menyala sepanjang hari.

Gelas elit sudah ada dalam genggaman Axel. Gula dalam porsi wajar sudah masuk, pun dengan sedikit krimer. Menu dasar untuk acara coffee break, yang sudah ada sebelum acara. Aneh ya, acara belum mulai, kok udah break?

Axel tertunduk sambil mengaduk kopinya. Aroma kopi di pagi hari itu sudah cukup untuk menggugah suasana tubuh untuk sirkulasi biologis yang lebih baik. Dalam kondisi tertunduk pula, mata Axel menemukan diksi yang tiada asing tertulis pada sebuah call card yang terletak di atas meja kopi.

Dara M.

Ini Dara?

Wajahnya mendongak, melihat ke sekeliling. Paras cantik itu mestinya tidak akan sulit ditemukan, apalagi di tempat semacam ini. Tapi Axel juga memposisikan diri untuk tidak berharap lebih. Terkadang, berharap lebih itu bisa sakit, apalagi dalam terminologi cinta diam-diam.

“Xel!”

Suara paling merdu sedunia itu membuat kaget. Kemerduan suaranya saja sudah bikin kaget, ditambah intonasinya memang ditujukan untuk mengagetkan. Axel sontak berbalik. Dan benarlah, keindahan diam-diam itu ada di depan mata. Dara.

“Heyyy.. Ikut ini juga to?”

“Yoilah. Kalau nggak ngapain aku kesini, Xel.”

“Haha. Iya juga. Masih di tempat lama, Ra?”

“Masihlah. Aku kan setia.”

Aku juga setia loh, pada cinta diam-diamku untukmu, batin Axel. Tentunya sebatas batin, karena kalimat itu akan tampak absurd kalau terungkap dengan jelas.

“Udah supervisor dong?”

“Ya, begitulah. Aku ya nggak terima kalau udah kerja segini lama masih gitu-gitu aja. Kamu?”

“Ya sama kalau gitu. Artinya kita sama-sama supervisor. Hehe.”

“Pastinya gajinya beda. Axel kan pakar bidang forecasting. Ini kata bosku loh.”

“Bosmu siapa?”

“Pak Alef. Katanya kemarin ketemu Axel Ricardini waktu training Manajemen Operasi.”

“Oh, Pak Alef bosmu to? Tahu gitu tak akrabin lagi kemarin. Hehehe..”

“Bisa aja kamu, Xel. Ayo sambil masuk aja deh. Udah lama nggak cerita-cerita kita.”

Udah lama aku ingin saat-saat ini, Dara. Untaian kata-kata itu masih stuck di otak Axel saja.

Axel dan cinta diam-diamnya, Dara, sudah duduk manis di dalam ruang seminar. MateriVendor Managed Inventory menjadi topik besar hari ini. Axel sendiri sejatinya malas, karena menurutnya ada banyak metode lain yang secara komunikasi lebih simpel alih-alih VMI. Tapi kalau bos sudah nyuruh, mau apa?

“Eh, bukannya kamu dulu di Jakarta, Xel?”

“Iya. Ini kan baru pindah.”

“Pindah? Udah berapa kali?”

“Hahahaha.. Aku tukang pindah kok, Ra. Terakhir di Bandung, baru pindah kesini.”

“Gila..”

“Mencari yang terbaiklah.”

“Udah nemu?”

Ini di depan mataku, batin Axel. “Ya dalam proses. Masih mencoba menemukan, ” ujar Axel dengan pilihan kata yang tidak berkoneksi relevan dengan yang sejatinya hendak keluar.

Seminar dimulai tepat pukul 9, bagus untuk ukuran Indonesia yang suka molor. Mungkin karena orang yang ikut disini adalah pesohor rantai pasokan yang jelas taat waktu. Bagaimanapun waktu dan kejar-kejaran adalah sebagian dari iman orang rantai pasokan. Diakui atau tidak.

Axel tidak fokus sempurna. Teori VMI masuk ke kepala dan berbaur dengan kisah cinta diam-diam-nya dengan teman lamanya, yang sekarang persis ada di sebelahnya. Aih, indah dan penuh dilema.

“By the way, udah married, Ra?” tanya Axel. Sebuah pertanyaan mendasar untuk memastikan. Sebenarnya di Facebook tidak tampak tendensi Dara menikah, meski statusnya disembunyikan. Pertanyaan mendasar yang butuh keberanian tingkat delapan untuk melontarkannya. Tapi masih dapat konteks ketika coffee break.

“Aih, bukannya kamu? Aku mah masih gini-gini aja, Xel. Masih mencari yang bisa dicintai sekaligus dimiliki.”

“Kayak pernah denger. Dimana ya, Ra?”

“Ah masak?”

Itu kan statusmu tiga hari yang lalu, teriak batin Axel. Kali ini hendak keluar, masih tercekat di esofagus.

“Mungkin dari tivi kali ya..” Axel akhirnya berusaha ngeles.

“Wah, setahuku, itu kata-kataku. Tivi nyontek dong.” Dara berkata-kata dalam keindahan paras, kesempurnaan senyum, dan kepenuhan cinta diam-diam Axel. Kombinasi letal penuh dilema. Apalagi ditutup dengan bubarnya break.

Materi VMI kembali masih ke otak para peserta, termasuk Axel. Teori dan contoh praktek terpapar satu per satu, termasuk bagaimana mengelola komunikasi tentang stok yang harus ada di vendor, termasuk pula problem yang mungkin terjadi dalam pelayanan material, termasuk juga soal terminologi pembayaran dan kontrol kualitas. Penuh pokoknya.

Dan karena penuh itu, mendadak Axel punya ide.

Makan siang.

Sapi lada hitam adalah menu populer di hotel tempat seminar digelar. Axel dan Dara, sebagai kawan lama, memilih makan berdua, di tepi kolam, sambil melihat bule gendut berbulu berenang. Ah, nggak ada penambah nafsu makan bentuk lain?

“Ra, kayaknya aku punya contoh model VMI yang paling gampang,” kata Axel sambil mengiris sapi lada hitamnya.

“Apaan tuh?”

“Tadi kan katanya, vendor mengetahui stok di pabrik, dan sebaliknya.”

“Iya, terus?”

“Nah, anggap kamu pabrik, aku vendor. Kamu boleh tahu stok cintaku padamu.”

“Heh?” Dara melongo.

“Terus tadi katanya, pabrik bisa melakukan permintaan sesukanya. Nah, kamu silahkan meminta cintaku sesukamu. Dan terakhir, vendor harus memastikan kalau stok nggak akan habis saat pabrik membutuhkan. Tenang saja, akan selalu ada cinta untukmu.”

Dara masih melongo.

“Ra?”

“Ehm… itu tadi apaan ya, Xel?”

“Anggap saja aplikasi training, merangkap katakan cinta.”

“Hah? Perasaan kita baru ketemu lagi?”

“Tapi perasaanku ke kamu sudah dari jaman nggak enak, Ra.”

“Ohhh.. so?”

“Ya terserah sih. Tadi kan cuma ngomong doang.”

“Tidak berharap komen kan?”

“Ya kalau ada komennya, lebih baik sih, ” kata Axel sambil nyengir.

“Hmmm.. aku pikir dulu deh komennya, harus dijawab pakai teori VMI juga nih. Hehe..”

Dara tersenyum, Axel tersenyum.Mungkin, sapi lada hitam juga ikut tersenyum.

Bagian terbaik dari cinta diam-diam adalah ketika dia diungkapkan.

 

Bolat

Jam 3 pagi, seisi bus sudah ngorok semua. Malah ada yang sampai mengalahkan suara desir AC. Mungkin sebelum berangkat tadi, bapak yang di belakang sono makan mikrofon. Abis ngoroknya kenceng banget.

Yana sebenarnya masih hendak terkantuk-kantuk. Sejak Jakarta, dia cuma tidur dari Cikarang ke Cikampek. Begitu Cikampek sampai Weleri matanya terang benderang. Meskipun dia sudah menarik selimut dan berusaha menutup mata, yang ada malah bayangan mesum. Huyyy, ngelamun jorok tidak diperkenankan dilakukan di atas bus. Dampak tidak ditanggung.

Dan sekarang Yana ngantuk pakai banget alias ngantuk banget. Dia ngantuk pada saat yang tepat, di jalan tol Semarang. Tepat sekali karena di ujung tol ini, Yana akan turun. Jadi tepat kan? Tepat ketika Yana turun, maka dia akan tertidur pulas di pinggir trotoar. Ingat, ini jam 3 pagi.

Takut akan terlelap di trotoar atau kebablasan, Yana menguat-nguatkan matanya. Mulai dari mengoles balsem, sampai dengan makan balsem. Harap dimaklumi, dia hanya punya balsem. Ehm, sebenarnya ada dua, balsem dan cinta. Yak betul, Yana hanya punya dua itu.

Tol yang baru tapi semacam tidak baru itu sudah mendekati ujung, Yana berdiri dan beranjak maju ke depan. Ya iyalah, mana ada maju ke belakang?

Bus keluar pintu tol, tak jauh dari situ, ada swalayan ADA. Ya memang ADA swalayan kok, beneran deh. Ini memang ADA, jadi nggak mengada-ada.

Di seberang swalayan itu, Yana turun.

Ini jam 3 pagi dan Semarang baru mulai menyalakan hidupnya. Aktivitas manusia menuju pasar di daerah Banyumanik mulai bergerak. Lampu-lampu menyala terang.

Masalah besar hari ini bagi Yana, hotelnya dimana yak?

Yana ini macam hendak backpacker, jadi dia sudah cari referensi macem-macem dan memilih hotel di Jalan Setiabudi. Nah, menurut googlemap dan tanya-tanya loket bus, pilihan paling oke adalah turun di ADA. Ya itu tadi, beneran ADA ini swalayannya.

Smartphone-nya lantas keluar dari sarangnya. Agak beresiko sih mengeluarkan benda yang dibeli pakai uang ikutan arisan ibu-ibu tetangga, di malam yang sesunyi ini. Padahal kan Yana sendiri, tiada yang menemani. Akhirnya Yana sadar bahwa barusan ini mirip lagu ‘Kisah Cintaku’.

Bateraipun tinggal setengah, dan Yana melupakan kebutuhan primer nomor 4 sesudah sandang, pangan, dan papan, yakni charger. Apalagi, menyalakan GPS sama saja dengan membunuh smartphone-nya lebih cepat karena pemakaian daya karena GPS sungguh sangat mempersona.

Mau tidak mau GPS dinyalakan.

2 km.
Sebuah profil yang cukup nanggung. Ya di pagi buta belum subuh, Yana harus berjalan 2 kilometer atau diam di tempat sampai ada kendaraan pengangkut. Mungkin bisa serupa truk sayur. Sungguh indah menumpang truk sayur lalu check in di hotel. Tampak bahwa ironi kehidupan itu bisa muncul pada saat yang sama.

Mengingat itu tadi, Yana hanya punya balsem dan cinta, maka dia memilih untuk berjalan kaki saja. Toh, kalau pegal, kan ada balsem. Apa susahnya?

Yana berjalan menyusuri jalan di depan ADA, terus ke utara. Gelap masih mendominasi, maklum, subuh saja belum. Yana asyik melihat bintang-bintang bercengkrama di langit, tikus-tikus berkelana dari got ke got, dan coro-coro menikmati hidup kotornya. Tentunya tetap waspada. Baik waspada kemalingan hingga waspada disangka maling. Jaket hitam, celana hitam, baju hitam, tas besar yang juga hitam plus kulit hitam tentu identik dengan maling. Mana ini jam belum subuh pula. Ngapain ada pria yang sepenuhnya hitam jalan-jalan sebelum subuh? Lebih banyak logika pembenaran bahwa Yana maling alih-alih calon menginap di hotel.

Jalannya perlahan sekali sambil menikmati dan memotret jejak-jejak malam, sehingga 1 jam hanya dapat beberapa ratus meter. Persis ketika keramaian mulai tampak, Yana mendapati penampakan lain.

“Semacam Rida..,” gumam Yana, “kenapa bisa nongol disini?”

Yana tercekat, lamunannya melayang ke masa lima tahun silam. Ehm, maksudnya, dari lima tahun yang lalu sampai beberapa waktu silam. Sebuah durasi panjang Yana untuk menjalani ketololan terbesar dalam hidup, mencintai tanpa tendensi memiliki. Dan Rida adalah gadis yang dicintainya itu.

Logika Yana mulai berjalan, berlompatan satu persatu. Di suasana pagi buta dan kantuk, namanya lamunan bisa tampak realistis, atau kalau tidak ya ini makhluk semacam jadi-jadian. Siapa yang tahu?

Batin Yana masih menolak fakta bahwa gadis yang sedang lari pagi itu adalah Rida. Nggak mungkin, katanya begitu.

Tapi fisik Yana tak peduli sama perintah otak. Soalnya, hati kali ini menang. Dia menggerakkan tubuh Yana kencang, setengah berlari, separuh melompat, dan sesekali berputar. Macam balet saja.

Pertama, pastikan dulu ini manusia. Yana mengamati langkah demi langkah gadis yang lari pagi dan yakin bahwa itu beneran manusia.

Kedua, pastikan orangnya benar. Nah ini susah. Manusia itu ada-ada aja. Dia pernah ngawur menyapa orang gara-gara mirip, Yana kenal di Bogor, nyapa orang di Palembang. Hemmmm..

Yana lantas mengejar perlahan, mengamati detail gadis pelari pagi itu. Matahari masih mengintip malu-malu sehingga tahi lalat di pipi kanan yang menjadi identitas Rida, tidak kelihatan. Sayang ya, coba tahi lalat itu bisa berflourensensi, kan jelas bercahaya.

Maka tidak akan ada orang yang berani ronda kalau begitu.

Tidak ketemu cara, Yana akhirnya nekat.

“Ridaaa…” setengah berteriak, Yana memanggil gadis pelari pagi. Kalau stop berarti bener, kalau lanjut berarti bukan. Beres.

Gadis pelari pagi tidak berhenti, masih lanjut saja.

“Oh, bukan.. hehehe..” gumam Yana sambil memuluk jidatnya.

Posisi orang mukul jidat itu biasanya melihat ke bawah, Yana juga demikian. Sambil senyum-senyum macam orang gila, pun dengan Yana. Sampai dia nggak lihat di depannya ada orang.

“Yana?” suara lembut manis yang Yana sangat hafal nada dasarnya.

Yana mengangkat pandangannya, lurus, dan ada gadis pelari pagi. Hemmm..

“Rida?”

“Ngapain nyasar kesini Yan?”

“Biasa.. Bolang, bocah ilang.. Lha ini ada gadis cantik lari pagi-pagi, maksudnya apa?”

“Nggak lihat nih kentongan maling. Uda kayak kakinya SNSD,” ujar Rida sambil memperlihatkan lengannya.

“Hahahaha.. perut pasti menyesuaikan..”

“Dasarrrrr…”

“Emang sekarang disini ya?”

“Iya, itu di seberang masuk dikit belok kiri. Masih buruh gitulah..”

“Sama kali.. Sesama kaum buruh..”

Nostalgia cinta tanpa tendensi memiliki itu pahit. Yana masih memandang dengan kekaguman yang besar dan dengan jarak yang jauh untuk dapat memiliki keindahan di depan matanya. Termasuk kentongan maling itu tadi, pasti itu kentongan terindah yang pernah ada di dunia.

Obrolan merangsek jauh. Macam Barcelona memainkan tiki taka, maka bola dan obrolannya sudah kemana-mana.

“Jadinya, sama yang itu nggak?” tanya Rida.

“Hahaha.. Bubarrr.. Bubar jajan..”

“Kok bisa?”

“Ya bisa, kan pelik pakai K.”

“Huuu.. Saru… Trus single dong Yan?”

“Ya begitulah. Kenyataan kadang pahit. Lha kamu?”

“Ya beginilah..”

“Jiahh.. tiru-tiru..”

“Hehehe.. Masih kayak biasa.”

“Pasti isu lawas. Kamu pasti terlalu memilih. Nggak berubah dari jaman batu non?”

“Dari jaman kuda gigit besi sampai besi gigit kuda. That’s me Yana..”

“Ya, ya.. bisa dipahami. Aku kan sangat paham kamu Rid. Apa sih yang aku nggak tahu soal kamu?”

“Lha itu tadi nanya?”

“Anggap saja retorika. Hehehe..”

Yana menikmati percakapan indah itu, sampai mentari menjelang naik. Kantung mata Yana sudah semacam Pak Bueye. Maklum, nggak bobok dari Cikampek sampai ke ADA.

Dan tiba-tiba, dalam obrolan sambil jalan itu, di sebuah mobil yang berhenti, Yana mendengar sebuah lagu.

“Kalau cinta ya bilang cinta
Kalau sayang bilang-bilang sayang
Jangan ditunda-tunda
Nanti diambil orang.”

Penta Boyz. Haishhh.. Kenapa nongol di saat semacam ini? Yana mendadak menggelegak hendak meledak. There is something to explode.

“Rid..”

“Hmm..”

“Kenapa kamu jatuh cinta?”

“Pada?”

“Ya, pada siapa aja..”

“Nggak tahu, kalau hatiku sreg, ya jatuh deh..”

“Pernah nggak jatuh cinta dari pendengaran pertama?”

“Apaan tuh Yan? Pandangan pertama kali..”

“Serius kali Rid, aku pernah jatuh cinta pada pendengaran pertama. Baru denger namanya, udah jatuh cinta. Klepek pokoknya,” urai Yana.

Rida tersenyum dan berkata, “Ada-ada aja.. Kapan? Dulu jaman SD?”

“Ya, beberapa waktu silam lah. Dan aku lengkapi dengan keindahan bercinta lho..”

“Apa lagi nih?”

“Jatuh cinta tanpa tendensi memiliki. Hehehe.. Seru kan?”

“Ngeri. Apaan cinta trus nggak memiliki?” protes Rida.

“Yah, sampai pada titik tertentu, itu indah Rid. Sampai pada titik tertentu lho..”

“Aku masih nggak paham. Agak absurd kamu Yan. Pasti gadisnya istimewa banget tuh..”

“Tentu. Mana ada orang berpikir dan merasa gitu kalau bukan untuk orang istimewa?”

“Sure.”

“Titik itu menjadi nggak indah, ketika tendensi memiliki itu nongol. Dari mana, dari hasil pengamatan bertahun-tahun pastinya. Jatuh cinta biasa, tapi kalau ketemu sifat dan sikap yang oke dan prinsipil, baru deh ada rasa ingin memiliki.”

“Misal?”

“Simple, Rid. Misal hobi ternyata sama. Visi hidup juga sama. Banyaklah. Kalau kamu?”

“Aku mah simpel Yan. Nggak kayak kamu. Aku mau memiliki yang aku cintai.”

“Sekarang pun aku begitu, Rid. Rasa itu udah nggak ketahan lagi.”

“Ungkapin dong. Keburu diembat orang.. Galau lagi ntar..”

“Hahaha.. Bisa aja. But, it’s serious. Bagaimana kalau orang yang aku kisahkan panjang lebar itu tadi adalah kamu?”

“Maksudnya, Yan?”

Bahwa wanita itu sukanya yang pasti-pasti aja, tapi nggak suka membuatnya pasti-pasti aja. Penyakit zaman kalau ini.

“Oke, diperjelas. Semuanya yang tadi, tentang cinta, memiliki, dan semuanya. Kamu gadis yang aku cinta sejak pertama kali mendengar namanya.”

Rida diam. Seribu satu bahasa. Seribunya diam, satunya helaan nafas.

“Hihihi.. Ngobrol pagi buta, aku malah jadi nembak orang deh..” Yana langsung garuk-garuk kepala. Kutu berserakan, coro juga. Itu rambut atau selokan?

“Sebenarnya masih sulit Yan. Sudah lebih dari setahun berjuang. Ampun-ampun dah.”

“It’s oke Rid. Aku tahu itu kok. Sesulit aku melupakanmu dan gagal. Hehe..”

“Hihihi.. Ya.. ya.. bisa dimengerti. Tapi apa kamu yakin Yan? Gimana kalau pandangan kamu selama ini tentang aku salah?”

“Heyyy Rid. Aku memantau kamu itu bukan sebulan dua bulan. Lima tahun lebih. Masak ya salah?”

“I’m deep, Yan.”

“Tentu saja. Supaya aku tahu, aku harus mencoba memilikimu dulu. Kan gitu biar tahu kamu sedalam apa. Paling juga kalah sama dalamnya cintaku padamu.”

“Malah gombal..”

“So?”

“Hmmm.. OK, let’s try. Kadang kita nggak tahu kalau nggak dicoba. Tapi, bantu aku meyakinkan jawaban ini ya..”

“Dengan senang hati tuan putriku. Aih, dari dulu aku pengen manggil kamu begini.”

“Hehehe.. Jadi kamu dulu sama si dia itu, sayang bener apa nggak?”

“Halah, malah diungkit. Bagaimana tuan putriku ini. Kan tadi aku udah bilang, aku cinta kamu tanpa tendensi memiliki. Jadinya aku nyari yang bisa dimiliki. Eh, kok ya ternyata hati ini nggak bisa dilawan. Bubar juga. Hehe..”

“Dasarrrrr…”

Semarang sudah terang. Percakapan panjang lebar di pagi hari. Aneh kalau orang lihat, bayangkan seonggok hitam yang macam maling dengan kantong mata macam Pak Bueye berjalan bersama gadis cantik dengan pose jogging. It’s about black and white. Macam Yin dan Yang, di dalam putih ada hitam, dan sebaliknya.

“Jadi aku ini bukan bolang lagi Rida,” kata Yana sambil menyambar tangan halus pacar barunya itu.

“Apaan dong?” tanya Rida sambil mengeratkan genggaman baru itu.

“Bolat. Bocah ilang mencari cinta. Hehehehe..”

“Ngawurrrr..”

Tawa lepas ke udara, sepasang keceriaan ikut menghangatkan pagi hari. Keceriaan yang bermula dan berakhir pada satu kata, cinta.