Tag Archives: review

[Review] Susi Susanti: Kebingungan Yang Tetap Bikin Terharu

Liburan Tipis-Tipis di Miniapolis AEON Mall BSD Bersama Traveloka Xperience (1)

Per 24 Oktober, film Susi Susanti akhirnya tayang di bioskop. Belum banyak bioskop yang menyediakan lapak, karena masih ada Maleficent yang cukup menyita tempat, plus Perempuan Tanah Jahanam yang ternyata lumayan juga. Di beberapa tempat, posisi film masih dipegang Ajari Aku Islam-nya Roger Danuarta. Di CGV FX Sudirman, Pacific Place, maupun Transmart Cempaka Putih juga belum tayang.

Ya semoga habis ini bertambah.

Film ini murni mengambil kisah Susy Susanti, sosok besar dalam dunia badminton Indonesia. Susy memegang peranan penting dalam kebangkitan badminton putri Indonesia pada masanya, sesuatu yang sampai sekarang masih belum kembali lagi.

Alurnya dibawakan urut ketika Susy masih kecil dan menang tanding badminton lawan cowok sampai berakhir ketika Susy hamil, setahun sesudah pernikahannya dengan Alan Budikusuma. Beda dengan biopik lain seperti Bohemian Rhapsody yang ada momen terbalik-baliknya.

Hasil gambar untuk bohemian rhapsody gif"

Sebagai sebuah film yang diambil dari kisah nyata dan melibatkan bahkan hingga Liang Chiu Sia asli dalam prosesnya, tentu tidak ada detail peristiwa yang begitu mengganggu. Yang agak aneh ada juga, sih. Nanti saya kisahkan.

Secara umum, sebagai Badminton Lovers, film ini cukup bikin terharu. Meski demikian, kiranya ada beberapa hal yang menjadi catatan saya.

Hasil gambar untuk susi susanti gif"

Pertama, film ini tampak bingung karena ada begitu banyak momen penting yang ingin diangkat. Dua diantaranya adalah final Sudirman 1989 dan final Olimpiade Barcelona 1992. Final Sudirman diangkat karena laga itu memang sangat dramatis dan jadi tonggak beralihnya Susy dari junior ke senior, melewati Sarwendah–seniornya. Sayangnya, final yang itu justru kebanting dengan final Olimpiade yang tampak jadi numpang lewat. Padahal di teaser, adegan Susy menangis di podium adalah yang diangkat.

Kebingungan juga terjadi karena Susy memang secara prestasi memuncak dari 1989 sampai menikah di 1997. Sementara, film ini ingin membawa konflik persoalan identitas Tionghoa sampai ke 1998 yang merupakan tahun terakhir Susy berkarir sebagai pemain. Jadi momen puncaknya tampak wagu karena di 1998 itu yang menang adalah Piala Thomas…

…yang sudah nggak ada Alan-nya, tapi di film masih ada. Itu ngapain Alan pakai baju atlet segala di Hong Kong padahal sudah era Marleve Mainaky?

Hasil gambar untuk weird gif"

Menurut saya, yang rasanya lebih cocok sebagai puncak adalah Piala Uber 1994 atau 1996. Tapi itu tentu tidak bisa ditempel dengan konflik 1998 jadinya. Masalahnya memang mengkombinasi perkara status WN Liang Chiu Sia dan Tong Sin Fu dengan SBKRI para atlet ke kerusuhan 1998 butuh effort lebih untuk kesempurnaan dan itu menjadi agak kurang di film ini.

Kedua, ada beberapa detail yang kurang pas terutama tentang karir Alan sesudah 1992. Ketika dia masih nongol di Hongkong pada 1998 malah jadi aneh karena di usia segitu Alan sudah tidak ikut timnas lagi. Tampaknya sutradara juga sadar makanya adegannya nggak yang banyak dan penting sekali.

Ada kebingungan untuk memasukkan Alan dalam kisah Susi padahal momen puncak keduanya memang berbeda. Alan cenderung berjaya dengan Olimpiade 1992 sebagai puncak, sedangkan Susi cenderung baru memulai. Ingat, Alan dan Susi itu berselisih 3 tahun. Dan pada waktu itu, usia 25 tahun untuk atlet cowok sudah bisa dibilang tua. Kita tahu di zaman now paling hanya ada Chou Tien Chen dan sekarang Shesar Hiren Rhustavito yang merangkak naik di usia 25 tahun.

Ketiga, salut kepada kru film dan kepada Laura Basuki yang di usianya pas syuting, 30 tahun mau 31, sukses memerankan Susy sejak usia belasan sampai 28 tahun! Cantik bener, sih, Mbak.

Hasil gambar untuk susi susanti film"

Keempat, ya soal teknik badminton para aktor dan atrisnya, sudahlah ya. Laura Basuki segitunya sudah langsung dilatih Liang Chiu Sia yang asli, lho. Tapi ya namanya keluwesan badminton itu butuh bertahun-tahun. Saya ingat sekali Pak Ipang, dosen saya, yang karir badmintonnya seangkatan Chandra Wijaya, itu saking luwesnya dengan badan yang sudah membesar tetap tangannya ajaib betul. Saya tanding dua lawan satu dengan beliau yang bahkan pakai raket anaknya, tetap kalah. Wagelaseh.

Kelima, film ini membuka luka lama para BL lawas tentang sosok Tong Sin Fu. Dengan segala yang sudah dia berikan ke Indonesia, status kewarganegaraannya tidak kunjung diperoleh dan akhirnya dia kembali ke Tiongkok untuk menelurkan, salah satunya, Lin Dan. Sementara Indonesia sesudah era Taufik Hidayat, mengalami kevakuman prestasi. Sekarang mulai tampak bibit unggul dalam diri Anthony Sinisuka Ginting dan Jonatan Christie, tapi ya mereka berdua masih belum konsisten. Mimpi para BL bahwa sektor tunggal putra kita seperti era 90-an dengan lebih dari 2 andalan yang saling bunuh di tiap kejuaraan pada era Pak Tong masih jauh panggang dari api.

Hasil gambar untuk tong sinfu"

Apapun, sebagai BL saya tetap terharu pada film ini. Saya menantikan sekali besok-besok ada film berjudul Dewa Hendra atau Tangan Petir Kevin. Tentunya setelah segala periode prestasi dilalui, yha.

Naik LRT Jakarta yang Menyenangkan

1

Sesudah Moda Raya Terpadu alias Mass Rapid Transit (MRT), di Jakarta sudah ada juga moda transportasi baru nan ngehits lainnya. Namanya adalah Light Rapid (atau Rail, yak?) Transit alias LRT. Katanya Ustadz Hilmi dalam status FB saya, LRT itu di-anjungan tunai mandiri-kan sebagai Lintas Raya Terpadu.

Karepmulah.

LRT Jakarta ini sejatinya baru sebagian kecil dari LRT Jakarta yang direncanakan. Letaknya juga agak ajaib yakni dari Pegangsaan Dua Kelapa Gading ke Velodrome Rawamangun. Iya, hanya sekitar 6-7 kilometer, kalau tidak salah.

NAIK OJOL JUGA NGGAK SAMPAI 10 RIBU, GAES~

Ya, tadinya LRT Jakarta–yang berbeda dengan LRT-nya BUMN besutan Adhi Karya dkk di sekitar Sentul ke Dukuh Atas–fase 1 ini direncanakan untuk menunjang Asian Games 2018.

Apa daya, nggak terkejar. Walhasil, rangkaian kereta yang sejak 1-2 bulan sebelum Asian Games 2018 sudah ada di Kelapa Gading itu belum terpakai. Jadi, rencana dia sebagai fase 1 yang dibuat untuk menunjang event besar gagal total.

Untungnya LRT di Palembang nggak gagal juga. Heuheu.

Di bawah Anies Baswedan, LRT Jakarta ini disebut tidak buru-buru, demi bisa maksimal persiapannya. Karena saya juga mengalami bahwa MRT yang sudah uji publik lama sekalipun, ketika ada gangguan KRL dan banyak yang migrasi ke MRT, banyak ketidaksiapan juga.

Saya sendiri memprediksi bahwa LRT Jakarta ini akan kurang laku, karena sebagaimana M. Taufik dari Gerindra bilang bahwa nggak jelas siapa yang akan naik jurusan ini, apalagi toh jaraknya sangat terjangkau dengan ojek online. Meski demikian, rupanya LRT Jakarta sangat mempersiapkan diri dengan baik.

7

Saya mendapat kesempatan mencoba LRT Jakarta tersebut beberapa hari yang lalu. Saya naik dari Halte Velodrome setelah terlebih dahulu mendaftar online. Stasiun Velodrome letaknya pas di depan Velodrome Rawamangun. Jadi, persis di depan Arion Rawamangun. Stasiun ini terkoneksi dengan Halte Pemuda Rawamangun. Pas saya ke lokasi, jembatan konektornya sedang dalam progress dengan tanda-tanda akan dibuat Instagram-able seperti Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di Jalan Sudirman.

8

Koneksi ini penting dan boleh jadi akan memperkuat peran jalur TU Gas/Pulo Gadung – Dukuh Atas yang selama ini termasuk jalur yang banyak dibantu rekayasanya, terutama di sekitar Jalan Proklamasi yang muacettt itu.

Operasi LRT dalam uji publik ini baru pakai 2 rangkaian saja. Bahkan lebih pendek dibandingkan operasional LRT di Palembang. Stasiun LRT Jakarta sendiri dikondisikan untuk lebih dari jumlah itu. Ya, nggak apa-apa, namanya juga uji publik.

Satu hal yang unik dan pasti disadari adalah bahwa pemandangannya pasti tidak menarik karena jalur yang dilintasi sebenarnya adalah perumahan. Jadi, isinya ya atap-atap-atap begitu saja. Lajunya juga sama pelannya dengan LRT Palembang. Mungkin memang LRT itu ya demikian kecepatannya.

5

Stasiun LRT ini menurut saya bagus-bagus, sih. Pindah jalurnya harus lewat atas, berbeda dengan MRT yang dari bawah. Ada eskalator, ada juga tangga. Continue reading Naik LRT Jakarta yang Menyenangkan

[Review] Guardians of the Galaxy Vol. 2

I am Groot!

Yes, semua orang kudu menyaksikan film ini untuk bersama-sama menjadi Groot. Pokoknya, I am Groot, We are Groot. Groot memang menjadi pesona tersendiri di dalam film ini meski di poster dia hanya muncul kecil sekali di balik kepala Star-Lord alias Peter Quill.

Review macam apa kok baru mulai sudah ‘I am Groot’?

Saya menyaksikan Guardians of the Galaxy edisi perdana di televisi kabel, kalau nggak salah di hotel waktu perjalanan dinas. Dari film yang seolah bukan apa-apa, eh, kok apik juga. Dan poin pentingnya adalah lucu. Edisi satu pelindung galaksi yang sebenarnya para kriminal ini memang menempatkan komedi-komedi secara tepat dan terdispersi merata dalam adegan.

Nah, bagaimana nggak tertarik menyaksikan Vol. 2 ini?

Continue reading [Review] Guardians of the Galaxy Vol. 2

Liburan Singkat di Tengah Jakarta

Heh? Apa? Liburan di Jakarta? Lho, se-Indonesia ngomongin Pilkada DKI Jakarta, kenapa kita nggak boleh berlibur di Jakarta? Kadangkala, Jakarta dapat menjadi tempat bagus untuk minggat sesaat, bahkan bisa minggat dalam ketenangan.

Pesona Jakarta tentu begitu besar hingga banyak orang tiba ke Jakarta tanpa modal untuk bekerja dan menempati celah-celah kosong yang bisa ditinggali. Di satu sisi tampak begitu bronx, namun di sisi lain kadang seru juga melewati gang-gang di tengah kota Jakarta. Jalan Sudirman misalnya, tampak megah dengan gedung-gedung tinggi. Demikian pula Jalan Rasuna Said. Namun di balik gedung-gedung tinggi itu yang bisa kita temukan adalah begitu banyak jalan kecil hingga gang yang bisa kita sebut sebagai gang senggol.

Lantas apa saja yang bisa kita lakukan dalam berlibur singkat di tengah Jakarta? Berikut beberapa diantaranya.

Tanah Abang

sumber: tempo.co

Ini adalah pasar paling legendaris di Jakarta. Tidak hanya menyebut tentang fenomena Haji Lulung yang begitu terkemuka sebagai produk Tanah Abang. Pasar ini juga dikenal sebagai pusat perdagangan tekstil paling besar. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Asia Tenggara. Lucunya, Tanah Abang yang dahulu adalah tempat dagang kambing. Disebut dulu ya karena memang usia Tanah Abang itu memang tua benar. Sampai ratusan tahun. Salah satu versi sejarah mencatat bahwa sampai akhir abad ke-19, Tanah Abang aslinya bernama Nabang yang berasal dari jenis pohon yang tumbuh di daerah tersebut. Nah, karena berada dalam zaman Hindia Belanda, maka gaya londo terpakai. Salah satunya adalah dengan penambahan partikel ‘De’. Maka, Nabang menjadi De Nabang, dan lama-lama menjadi Tenabang. Versi kisah yang dimuat dalah buku ‘212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe’ karya Zaenuddin HM kemudian melanjutkan bahwa perusahaan jawatan kereta api bermaksud memperjelas si ‘Tenabang’ itu dan kemudian muncul nama ‘Tanah Abang’.

Continue reading Liburan Singkat di Tengah Jakarta

[Review] Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1

warkop

“Jangan kau ulang-ulang.”

Mari kita mulai review ini dengan quote paling sip versi saya dari karya besutan Anggy Umbara nan paling hits. Saking hits-nya, di Setiabudi XXI, isinya boleh dibilang hanya film ini saja. Keren, sih, sampai-sampai cerita pesawat mendarat di sungai terlewatkan. Seandainya film Indonesia selalu demikian. Heuheu.

Kenapa quote itu yang saya pilih? Tentu saja karena di film ini kita akan menemukan banyak hal yang berulang. Dari apa? Jelas, dari film legendaris Indonesia yang dimainkan oleh Drs. H. Wahyu Sardono (Dono), Drs. Kasino Hadiwibowo (Kasino), dan Drs. H. Indrodjojo Kusumonegoro (Indro). Kita akan menemukan kisah CHIPS, kebodohan klasik ala Warkop DKI, komedi yang terbilang kasar dan sesekali ditunjang komedi menggunakan perempuan seksi. Tentunya dengan aspek kebaruan yang dicoba untuk diangkat.

Bagi penggemar film pasti tahu tiga aktor yang memerankan Dono, Kasino, dan Indro dalam kisah ini. Bukan apa-apa, soalnya cuplikan film ini telah muncul berkali-kali dalam pembuka tayangan bioskop lainnya. Waktu saya nonton Sabtu Bersama Bapak, bahkan trailer itu diputar dua kali. Mungkin biar hapal.

Sejak awal, film ini menggunakan pola lama, terutama memotret keanehan-keanehan ibu kota. Mulai dari orang naik motor sambil bawa kardus, bawa ember, termasuk juga typo-typo kecil di sekitar kita.

Selengkapnya, Klik di Sini!

20 Hal Tentang Ada Apa Dengan Cinta 2

aadc22

Bahkan perlu bantuan dari negara hingga akhirnya saya bisa nonton film yang so mainstream: Ada Apa Dengan Cinta 2. Iya, bantuan berupa uang harian sungguh mampu membuat saya membayar tiket bioskop plus tiket parkir di Taman Ismail Marzuki. Ah, duit dari negara, saya kembalikan Rp6.000 dalam bentuk uang parkir ke negara juga. Hidup Indonesia!

Sebagai penonton ke dua atau tiga atau malah empat juta sekian, tentu kurang pas jika saya harus menulis review tentang AADC 2 ini. Namun sebagai blogger nyaris bubrah, saya juga harus menulis karena WordAds saya menurun secara hore. Maka, saya mencoba menyajikan beberapa fakta unik yang mungkin baru kamu sadari, atau tidak kamu yakini kalau itu benar-benar ada sehingga kamu lantas mau nonton lagi, atau bahkan kamu yakini tidak ada dan saya hanya ngarang belaka.

Jadi, apa saja fakta-fakta unik itu? Monggo disimak hasil pengamatan saya sembari menahan cenut-cenut dampak kolesterol ketinggian hasil tujuh hari berturut-turut makan nasi Padang.

Selengkapnya tentang AADC2!

Menginap Asyik di Allium Batam

Batam, sebuah pulau yang punya spesialisasi di Indonesia. Dahulu, kalau masuk dari Batam, kita bisa main-main ke Singapura dengan mudah. Batam juga ternama sebagai tempat barang-barang murah–khususnya elektronik–hingga barang-barang duty free alias bebas pajak. Batam juga tetap menjadi akses yang memadai untuk pergi ke Singapura lewat laut. Batam juga menjadi pulau andalan di provinsi Kepulauan Riau, meskipun bukan ibukota. Polda Kepri saja adanya di Batam, bukan Tanjung Pinang. Heuheu.

Salah satu hotel legendaris yang ada di Batam adalah Hotel Allium. Hmmm, yang legendaris sebenarnya bukan Allium, tapi nama lamanya Hotel Panorama. Nama Allium digunakan saat pergantian kepemilikan, seperti biasa hotel-hotel lainnya. Umur hotel dengan nama Allium ini belum lama, namun wujud ‘lama’ itu jelas tampak ketika kita masuk ke kamar-kamarnya.

sumber: agoda.com

Lokasi Hotel Allium ini berada dekat sekali dengan Nagoya Hills nan legendaris itu. Kalau dari hotel, Nagoya ada di sisi kiri. Jadi belok kirilah, dan jangan belok kanan karena jika belok kanan yang ada adalah pasar kelas menengah ke bawah dengan harga yang juga miring. Jadi boleh dibilang, Hotel Allium ini tidak jauh juga dari tempat-tempat makan yang murah meriah namun tetap enak.

Selengkapnyah klik disinih!

[Review] Inside Out

Hari Minggu kala diklat adalah hari penting, tentu saja karena hari Sabtu sudah terenggut keperjakaan untuk pembelajaran. Nah, kebetulan diajak sama anak remah-remah rempeyek untuk nonton di Botani Square, sebuah emol yang sering disingkat… boker.. –“. Maka, sepulang dari misa di Katedral Bogor, segera saya berangkot ke emol paling happening bagi para peserta diklat di bilangan Ciawi tersebut.

Inside Out adalah film yang dituju. Pesona rating IMDb-nya yang sampai 8,6 tentu tiada bisa dilewatkan. Bandingkan dengan Battleship yang pernah direview disini dengan rating 5,9. Pun dengan film sejenis yang tersedia di XXI, Fantastic Four cuma punya rating 3,9! Belum lagi tipenya yang kartun, lumayan untuk menyegarkan otak. Meski jelas akan tiada adegan cium-ciuman, saya tetap turut serta dalam antrean lumayan panjang memperebutkan kursi untuk film ini. Apalagi, rasanya saya nonton terakhir itu bareng Mbak Pacar yang notabene sudah hampir setahun melancong ke London. Beuh.

Woke, mari kita mulai.

Kalau menyaksikan film besutan Pete Docter dan Ronaldo Del Carmen ini jangan keslamur dengan film ‘Lava’ tentang gunung yang kasmaran. Filmnya bukan itu, kok. Mengacu pada pembuatan plot drama tiga babak, bagian dunia tidak sempurna diawali dengan kelahiran Riley Andersen dan munculnya Joy. Pada bagian ini kita akhirnya tahu bahwa maksud dari Inside Out itu adalah adanya personifikasi terhadap suasana hati yang dimiliki manusia. Joy (suara oleh Amy Pochler) muncul dan menjadi pengendali dalam hidup Riley. Sesuai namanya, Joy mewakili perasaan senang. Joy tampak gembira hingga 33 detik kemudian, Riley mulai menangis dan lantas muncul sosok biru-mungil-bantet-tidak-unyu bernama Sadness (suara oleh Phyliss Smith).

wpid-screenshot_2015-08-23-16-48-57_1.jpgPerkenalan demi perkenalan terus dilakukan termasuk pengkondisian latar dari cerita. Selain Joy dan Sadness, tersebutlah Fear, Disgust, dan Anger. Jadi, kelima tokoh tersebut berkuasa menyetir Riley. Ruang kontrol berikut ‘dunia’ yang ada di dalam film ini boleh jadi menggambarkan otak manusia. Setiap peristiwa selalu mengandung satu perasaan dan dalam posisi tertentu akan muncul menjadi ingatan inti. Namanya juga anak-anak, Riley selalu tampak gembira karena Joy memang menguasai ruang kontrol. Joy bahkan sangat mengontrol keberadaan Sadness. Si pembawa sedih itu selalu dilarang macam-macam, termasuk terlibat dalam butiran memori yang dimiliki oleh Riley.

Continue reading [Review] Inside Out

Konsep Beda Belanja Online via Shopious

Sejujurnya, saya mengenal belanja online itu sudah lama, setidaknya waktu itu masih periode pacar kedua–sekarang tentu saja sudah jadi mantan. Nah, sejak saat itu, yang namanya belanja online sudah menjadi kegiatan kekinian yang harus dilakukan untuk mempertahankan eksistensi. Beberapa benda yang pernah saya beli adalah DVD game, mouse, sampai backpack andalan yang sudah dibawa ke Kendari, Manado, sampai Kupang dan kemungkinan menyusul kota-kota lainnya. Yah, walaupun memang baru belakangan saya bertualang ke ITC Cempaka Mas dan menemukan banyak vendor online shop disana, tapi saya mah orangnya gitu, malas repot. Ke depan ya bakalan ngonline lagi.

shopious.com

NAH! Salah satu jenis belanja kekinian yang digandrungi oleh teman-teman kantor yang rerata adalah mahmud alias mamah-mamah muda adalah belanja via Instagram. Konsepnya sih di Instagram ada lapak, ada kontak WhatsApp atau BBM, berkomunikasi kemudian transaksi. Agak beda dengan pelapak besar yang sering saya sambangi di internet. Beberapa toko bahkan sempat nongol di reply-an Instagram saya karena perkara hashtag yang kebetulan sejalan dengan dagangan.

Eh, ternyata hidup itu selalu berkembang seiring dengan banyaknya manusia yang berkembang biak. Salah satu perkembangan itu tampak dari perbedaan. Dan salah satu yang berbeda itu bernama Shopious, yang punya tagline ‘Media Iklan Toko Online’.

Bedanya dimana?

Shopious, sesuai taglinenya adalah media iklan, bukan toko. Jadi Shopious melakukan seleksi ketat terhadap toko-toko yang masuk ke mereka. Nggak asal toko juga bisa masuk karena harus mendaftar, membayar membership, plus Shopious juga melakukan review dan mengajak bicara (…terus ditembak, cieee…) para pemilik toko untuk mengetahui apakah online shop itu terpercaya atau tidak.

Di Shopious kita akan melakukan klik pada foto barang atau nama toko untuk membuka halaman barang atau toko, dan kemudian nanti ada kontaknya. Disitulah kita bisa menghubungi langsung. So, intinya Shopious cuma mengiklankan.

Loh? Terus apa untungnya?

Dengan skema ala Shopious ini tentu kita nggak usah berlelah-lelah cek aneka IG. Selama ini kalau di IG kan carinya via username atau hashtag tertentu. Iya, kalau ketemu. Kalau nggak? Galau sambil garuk-garuk aspal, gitu? Dengan skema seperti ini, maka tersedia barang yang banyak, bervariasi, dan tentu saja berkualitas tinggi. Soal selera juga diperhatikan karena barang banyak dan pengunjung juga banyak. Shopious mengembangkan software atau program yang bikin mereka mampu memahami selera beradasarkan barang yang di-vote up atau down. Dengan demikian, bisa lebih banyak pilihan yang kekinian untuk dipilih kemudian di-BBM untuk membelinya.

Itulah sebabnya saya menyebut bahwa belanja online via Shopious ini adalah konsep yang berbeda, karena memang bukan dia yang jual, lebih kepada etalase. So, model begini juga boleh jadi cara dan motivasi para pemilik online shop untuk tumbuh dan berkembang dalam usahanya meningkatkan jumlah wirausahawan-wirausahawati di Indonesia. Begitu? Begitu!

[Review] Tetangga Masa Gitu?

Satu nama ini memang selalu mampu ‘mengubah’ pertelevisian Indonesia. Ya, namanya Wishnutama. Sesudah menggebrak dengan Trans TV–kemudian menyusul Trans 7–dia kemudian hengkang dan tahu-tahu tiba di sebuah stasiun TV baru yang tampak aneh karena mencoba merebut ceruk iklan di kompetisi pertelevisian yang padat. Namun ,belum apa-apa, stasiun TV itu sudah bikin launching yang LUAR BIASA MEWAH. Saya mencoba menonton televisi itu beberapa kali, tapi mungkin hanya Sarah Sechan yang bisa mencuri perhatian. Ya, stasiun TV itu adalah NET.

Tunggu punya tunggu, akhirnya NET punya juga sebuah masterpiece. Diusung M. Ikhsan di Production Head, Yenni Pujiastuti di Produser, Nunung Kusuma Wardhani di bagian Creative, dan Fatur Rachman di Production Assistant, muncullah sebuah tayangan andalan setiap jam 7 malam. Sebuah jam yang sangat berani untuk melawan stasiun TV lain ketika kemudian ada hewan ganteng. Yup, liat NET jam 7 malam, setiap Senin sampai Jumat, maka kita akan berkenalan dengan Angel, Adi, Bintang, dan Bastian di Tetangga Masa Gitu?

dOUi2zFn_400x400

Garis besar ceritanya ada pada empat orang dan dua rumah tangga. Angelica Schweinsteiger (diperankan oleh Sophia Muller), seorang pengacara kaya, yang sudah menikah selama 10 tahun dengan pria bernama Adi Putranto (diperankan oleh Adi Dwi Sasono), seorang pelukis yang cenderung pengangguran. Lihat saja, dua nama kondang ini ada di skenario, bagaimana tidak menarik?

Selanjutnya, Mbohae!