Braga, I’m In Love

Iya, ini nyontek judul salah satu novel teenlit pertama yang pernah saya beli. Nggak apa-apa, Braga kan bukan Eiffel dan Eiffel juga bukan Braga. Lagipula kan nggak ada Eiffel Culinary Night karena adanya Braga Culinary Night.

BCN1

Perihal nama Braga, saya justru teringat ketika saya masih hobi mendengarkan pertandingan sepakbola. Tenang, itu bukan typo. Saya benar-benar mendengarkan pertandingan sepakbola melalui Radio Republik Indonesia. Dan karena saya menghabiskan masa muda menjelang dewasa, maka pertandingan yang saya dengarkan adalah PSIM dan PSS. Kalau di RRI itu, pertandingan biasa aja bisa jadi seru banget.

“Yak, bola ditendang, melewati garis tengah… Berbahayaaaaa.. Dannnn… Mereka jadian saudara-saudara…”

Begitu kira-kira.

Nah, salah satu yang sering jadi objek pendengaran saya adalah Marcelo Braga, striker PSS pada zaman pujangga baru. Disitulah saya pertama kali mendengar kata ‘Braga’. Berikutnya, muncul Euro 2004 yang menghelat beberapa pertandingan di sebuah kota yang bernama Braga. Jadilah saya tahu kalau ada kota bernama Braga di Portugal sana. Kenapa saya ingat, lebih karena stadionnya yang punya desain kece.

Hingga ketika waktu bergulir dan saya sudah berkali-kali ke Bandung, sama sekali nggak pernah terlintas untuk berkunjung ke sebuah jalan bernama Braga yang terletak di pusat kota Bandung. Untung saja kemudian ada yang ngajakin saya ke Braga, dalam rangka Braga Culinary Night yang digagas oleh Pak Walikota, Ridwan Kamil.

Jalan Braga sendiri mulai ada di akhir era 1800-an, dalam era penjajahan Belanda. Dipastikan bahwa waktu itu Bandung masih sepi, dan nggak ada mobil-mobil plat B berkeliaran kala weekend. Bukan apa-apa, mobil aja belum masuk Indonesia. Ah, jangankan itu, Indonesia saja belum merdeka! Katanya sih, dulu jalan ini buat lewat pedati dari gudang penyimpanan hasil tanah paksa.

Ke-happening-an jalan ini mulai mengemuka di era politik balas budi. Ini kayak belajar bahasa Indonesia versi jadul ya.

“Ini Bapak Budi.”
“Ini Ibu Budi.”
“ini Balas Budi.”

Nama Braga disebutkan muncul dari nama seorang penulis naskah drama. Namun ada juga yang bilang bahwa Braga muncul dari penyesuaian bahasa Sunda “ngabaraga”. Ya, entahlah mana yang benar. Kalaulah ada saksi yang masih hidup baru kita bisa bertanya soal itu. Sayangnya, kan, nggak. Jadi mari menikmati jalan Braga saja.

Namanya juga berasal dari jalan pintas, Jalan Braga ini tidak cukup panjang. Tidak sepanjang Malioboro, pun tidak sepanjang mutar-mutar di Kota Lama Semarang. Dengan panjang ‘hanya’ 500 meter, agaknya mengitari Polder Tawang-pun nggak sesingkat itu jaraknya. Nah, sisi historis muncul karena banyak bangunan model lama di sepanjang Jalan Braga ini. Sekilas memang menjadi semacam Kota Tua kalau di ibukota, karena kita tahu bahwa di Bandung memang tidak ada kompleks khusus semacam Kota Tua Jakarta atau Kota Lama Semarang.

Nah, Jalan Braga ini kemudian disulap menjadi Braga Culinary Night. Sepanjang 500 meter jalanan akan ditutup dan diisi dengan para pedagang aneka makanan yang sudah teregistrasi. Jadi, kalau lapar, silakan hampiri tempat ini, banyak model-model makanan yang cukup mengundang selera.

Saya berangkat dari Cimahi sekitar jam 6 kurang 10. Padahal janjinya mau berangkat jam 5 lebih. Ehm, iya juga, 5 lebih 50. Ini juga kali pertama saya naik sepeda motor di Bandung. Lumayan buat nambah koleksi kota, mengingat next step adalah Jakarta. Jalanan Bandung di kala weekend masih cukup acceptable bagi saya yang lumayan terbiasa dengan hancur dan macetnya jalanan di Cikarang.

Beberapa spot yang saya mengerti adalah bandara Husein Sastranegara, daerah Pandu, hingga IP dan Kimia Farma. Hingga akhirnya sampai di Braga sekitar 6 lebih 20. Masih terhitung sepi, ternyata.

Ada tiga spanduk dengan masing-masing huruf B, C, dan N yang nampang di ujung jalan Braga. Tentu saja BCN itu tidak bermakna Bunga Citra Nestari, tapi Braga Culinary Night. Sejauh mata memandang, Jalan Braga sudah menjelma menjadi mirip pasar tapi dengan penataan yang cukup menarik.

Lalu, ada apa di Braga?

BCN3

Menyusur sisi kanan, saya dan mbak-mbak yang mengajak saya kesini kemudian berhenti di jajanan penuh memori. Dia sih beli onde-onde, alias klepon. Ketika saya melihat benda coklat bertabur kepala, langsung deh saya tanya, “ini apa?”

“Ongol-ongol.”

HUAAAA… ONGOL-ONGOL! Really miss it!

Ini panganan yang dulu jamak saya makan waktu kecil, dan entah kenapa hilang ditelan bumi dalam aneka petualangan saya tinggal di berbagai kota. Ya sudah, beli deh. Sampai seperempat jalan, kondisi Jalan Braga masih cukup oke dan menarik untuk dijelajahi. Eh, ternyata dari sisi Jalan Braga sebelah sana juga banyak massa berdatangan. Jadi ketemu deh di tengah-tengah. Dan Jalan Braga ini mulai menjadi mirip Malioboro di kala musim liburan.

Aneka jenis panganan tampak, mulai dari burger, hotdog, tutut, olahan durian, sampai di ujung ada sebuah mobil berjudul “SUSU PEUYEUMPUAN”.

*tepok jidat*

BCN2

Perjalanan lalu dilanjutkan kembali dengan menyusur sisi kiri. Dua sisi ini penting untuk dijabani karena satu jalan kira-kira akan memuat 2 penjual, dengan satu di masing-masing sisi. Jadi, berpunggungan dengan penjual ongol-ongol tercinta itu tadi, ada penjual makanan lainnya.

Dan dasar mbak-mbak ini sukanya sushi, pada akhirnya saya mengalah untuk ikut juga makan sushi. Sepanjang mata memandang memang hanya ada satu bakul sushi di BCN kali ini. Oh, dan tentu saja ini bukan Sushi Tei, apalagi Sushi Similikiti Weleh-Weleh.

Makan sushi ini ternyata nggak beda jauh dibandingkan makan angkringan. Kecil, sih, tapi ngambilnya banyak dan sering. Ujung-ujungnya ya wareg juga. Saya naksir sama Crispy Roll yang nendang banget rasanya. Semoga dia nggak pakai pengawet dan penguat rasa, ya.

Bersamaan dengan itu, jumlah manusia yang tumplek blek di Jalan Braga ini menjadi semakin banyak. Kalau perjalanan di sisi kanan tadi terbilang manusiawi, ketika mengarah balik ke sisi kiri malah berasa naik busway. Orang dimana-mana, bro! Banyak yang sambil menjulurkan kamera SLR, tablet, atau juga sekadar Nokia 3315-nya.

Perhentian berikutnya adalah bajigur dan bandrek. Entah apa yang dibeli sama dia, saya sih ikut nyicip aja. Sekalian beli permen susu kuno yang enak. Permennya mahal banget, masak sebiji seribu. Permen nggak kalah sama parkir ternyata. Nah, sambil minum bajigur, sambil foto-foto dikitlah. Biar kayak anak alay.

BCN4

Suasana yang ditawarkan di BCN cukup asyik, apalagi banyak anak muda disini. Kalau buat ngeceng, cocok banget. Asal jangan kayak Riyan yang bisanya Cuma bilang, “eh, itu tadi cantik”, tapi kemudian nggak kenalan. Apalagi, seperti kita ketahui bersama, cewek Bandung itu nggak ada yang jelek. Kalaulah ada cewek di Bandung yang jelek, kemungkinan besar dia habis naik Primajasa dari suatu tempat dan kemudian mendarat di Bandung.

Sebagai penutup, saya kemudian membeli risoles dan pisang caramel guna biaya penginapan. Maklum, saya kan mau nebeng di rumahnya Paktua di Pharmindo. Nggak enak dong kalau nggak bawa apa-apa. Jadi, risolespun bisa untuk pelican boleh menginap. Walaupun pada akhirnya saya juga yang makan. Okesip.

Sekadar saran untuk perbaikan kepada pengelola BCN, tempat sampah masih menjadi masalah besar. Saya beberapa kali mengantongi makanan yang dibeli untuk kemudian menaruhnya di tempat sampah yang jumlahnya sejarang jumlah lelaki di fakultas farmasi. Padahal tempatnya ada, tapi kantongnya nggak ada. Kan sayang, apalagi ini agenda kuliner yang sangat membutuhkan tempat sampah. Soal hiburan juga semacam terlalu banyak distraksi. Apalagi selain panggung yang ada di tengah-tengah jalan, hotel dan restoran di kiri-kanan Jalan Braga juga menampilkan aneka hiburan yang berbeda. Telinga saya kan jadi agak bingung mencernanya.

Sama mungkin satu lagi, saya nggak melihat ada keamanan di bagian tengah. Kalau di bagian depan sih ada, utamanya terkait pengalihan jalur. Ya, siapa tahu terjadi apa-apa di bagian tengah kan nggak usah repot berlari menembus lautan manusia yang tumplek di Jalan Braga.

Saya pulang sekitar jam 8 lewat, ketika Jalan Braga sudah sedemikian penuhnya. Sebuah catatan baru bagi diri saya, bahwa sudah pernah nongkrong di Braga Culinary Night. Lumayan sebagai pengakuan bahwa saya bisa tergolong sebagai Anak Gaul Bandung. Uhuy!

13 thoughts on “Braga, I’m In Love”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.