Memotret Tomodachi Photography

“Jadi, kapan?”

Pertanyaan itu adalah jenis nan paling krusial dan sering ditanyakan kepada saya nan tampan tapi belum nikah ini. Untuk sekarang, menjawabanya gampang sekali karena calon saya masih berkelana di luar negeri mencari ilmu, dan semoga tidak mencari bule sekalian. Walau begitu, tidak berarti saya nggak ingin nikah, yang namanya persiapan-persiapan tentu sudah perlu untuk dihelat dan dipersiapkan sebaik-baiknya.

Salah satu yang mulai menjadi hobi saya adalah menyaksikan foto-foto pre-wedding. Sebenarnya hobi semacam ini dulu tidak perlu usaha karena akan bertebaran dengan sendirinya di newsfeed Facebook. Namun apa daya, teman-teman saya nikah kan cuma sekali, dan di dalam kurun 5 tahun belakangan, jumlah teman yang menikah dan mengunggah foto prewed tentunya akan semakin berkurang. Lagipula, wawasan baru tentu diperlukan untuk mendapatkan hasil yang optimal, plus relevan di bagian terpenting: duwit.

Nah, melayang-layang di linimasa, akhirnya saya malah sampai di laman milik Tomodachi Photography.

wpid-photogrid_1435506112298.jpgBegitu masuk ke laman pertama, saya langsung disuguhi tampilan foto yang silih berganti setiap lima detik, menampilkan tujuh foto. Kalau jeli, akan tampak kemiripan di foto-foto tersebut karena kecuali foto dengan lokasi kolam, Tentu saja terlihat kece dan menawan. Cuma, pas saya mau coba balik ke gambar sebelumnya, coba-coba nggak bisa. Harus nunggu balik lagi ke siklus awal. Untung gambarnya cuma tujuh ya, kalau tujuh puluh, kan lama nunggunya. Selain itu, lima detik kok rasanya kelamaan, terlebih sebenarnya banyak koleksi foto yang bisa digunakan. Mungkin pemilik website bisa mempertimbangkan nih untuk menampangkan beberapa foto sekaligus, uhm, maksud saya langsung saja tujuh album diletakkan di laman pertama dengan thumbnail, jadi yang berniat bisa klik-klik dan sampai tujuan.

Foto-foto nan kece menawan itu tadi juga agak bikin saya kikuk karena nggak ada bordernya sama sekali. Mungkin memang jadinya tampak simpel, namun dalam pendapat saya elegansi sebagai sebuah gallery kok agak kurang. Pendapat pribadi, sih. Termasuk juga dalam hal ini adalah tiadanya border yang sip untuk empat kotak di bagian ‘member of’. Ketika saya buka di tablet, bentuknya jadi semacam empat kotak belaka, padahal keempat kotak itu pasti besar maknanya sehingga perlu ditampilkan di laman pertama.

wpid-photogrid_1435505988703.jpgBagian menu memuat Home, Gallery, Contact Us, FAQ, dan About Us. Nah, disitu dijelaskan tentang gaya fotografi yang dianut oleh Tamadochi yakni naturalistik, jurnalistik, artistik, dan story telling. Usul nih, mungkin thumbnail yang saya usul tadi bisa dicarikan dari masing-masing style. Jadi kalau mau mencari yang story telling, bisa langsung ke lokasi tanpa lebih dahulu bingung melihat yang naturalistik.

wpid-photogrid_1435506023841.jpgTerus pas masih ke About Us, saya jadi bingung, yang ngambil foto siapa. Kalau ada profilnya dan lengkap dengan fotonya–kalau perlu foto sedang beraksi, pasti lebih menawan dan lebih memberikan kedekatan dengan calon klien. Memang niat awalnya adalah membuat simpel, tapi mungkin kalau dimasukkan video semacam behind the scene di bagian sini bisa jadi nilai tambah. Tapi ya itu tadi, dipertimbangkan supaya nggak berat, karena yang sekarang ini saya buka di laptop dan di tablet santai damai lancar jaya mantap sekali.

Oh, plus satu saja lagi yang agak mengganggu saya adalah alignment text yang tidak justified. Semacam kurang krusial, memang, namun sejak nyaris 2 tahun terakhir saya mulai menerapkan postingan blog dengan alignment justified dan tampaknya lebih rapi dan sedap dipandang. Rasanya yang semacam ini nggak susah untuk dikelola oleh pemilik website.

wpid-photogrid_1435506081464.jpgUntuk konektivitas ke media sosial sudah tepat untuk ditampilkan di depan. Blog saya malah kalah, karena memang yang dijual tulisan, sih. Demikian juga dengan bagian Contact Us yang sudah menampilkan alamat, nomor telepon, serta form isian dan alamat email. Eh, tapi kayaknya keren kalau ditambahkan map kali ya. Saya memang kebanyakan maunya kalau di website. Hehe. Kira-kira demikian saja upaya memotret Tomodachi Photography, kali ini melalui websitenya. Tulisan ini diikutkan di lomba review Tomodachi Photography di sini.

Advertisement

Berefleksi ke Museum Sumpah Pemuda

Salah satu hal yang sering menggoda mata saya ketika dalam perjalanan TransJakarta pasca halte Pal Putih adalah sebuah bangunan kecil di jalan Kramat Raya yang tidak jauh dari halte itu dan tidak jauh pula dari Mie Babat Senen nan haram itu. Bangunan itu adalah Museum Sumpah Pemuda. Nah, di panas terik nan sunyi sepi sendiri, saya kemudian memutuskan untuk mampir. Tentu saja turun di Halte Pal Putih, bukan Pal Merah. Kalau itu jauh dan nggak ada TransJakarta, gitu.

wpid-photogrid_1435412846212.jpgMuseum Sumpah Pemuda ini, menurut sumber dari Dikbud, sebenarnya adalah bekas rumah Sie Kong Liong yang dulu disewa dan dijadikan asrama oleh pelajar sekolah dokter pribumi STOVIA (School Tot Opleiding van Indische Artsen). Namanya asrama, tentu dipakai untuk ngobrol penuh idealisme sehingga lantas disebut sebagai Indonesische Clubgebouw alias rumah perkumpulan Indonesia, plus juga menjadi tempat latihan kesenian yang dikenal dengan nama Langen Siswo. Sesuai namanya, tempat ini dikenal dengan Gedung Kramat Raya 106 yang lantas menjadi Gedung Sumpah Pemuda karena merupakan tempat terikrarkannya Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Sudah lama sekali. Di tempat inilah banyak diskusi dilakukan, pun karya-karya sastra diciptakan.

Selengkapnya!

Enam Senja di Papua

Hidup ini memang selalu ada konsekuensinya, bisa baik, pun bisa buruk. Nah, salah satu hal yang bahkan hingga 1 tahun yang lalu tidak terbayangkan oleh saya, justru terwujud ketika saya nyemplung di pekerjaan sekarang ini. Jika saya tetap berada di pabrik, jadi PPIC nan berjaya dan membahana membelah angkasa, maka sampai metode perencanaan Johnson beranak pinak jadi Johnson Simamora dan Johnson Simorangkir pun saya nggak bakal bisa menulis cerita ini. Ya, ada beberapa keinginan sederhana di dalam hidup ini dan sejujurnya salah satu yang masuk list itu adalah…

…menginjak tanah Papua!

wpid-photogrid_1435162319419.jpg

Kenapa? Entah, saya bahkan tidak tahu sama sekali alasan yang tepat. Namun saya mungkin mau mengira-ngira bahwa saya sudah pernah berada di Nias Selatan, maka saya ingin berada di sudut lain negeri nan indah bernama Indonesia ini. Tempat itu, ya, Papua. Maka, ketika tanggal 3 Juni silam dapat kabar bahwa akan ditugaskan ke Jayapura, harapan saya sungguh sangat sederhana. Jangan batal. Untunglah pada akhirnya tidak batal. Walau memang harus begebug sangat karena baru ditinggal pergi satu pekan, masuk sehari, lalu pergi lagi, saya lantas rela-rela saja. Ya, karena memang harus rela. Menurut ngana, pegawai-biasa-nan-agak-merana macam saya ini bisa apa? Heuheu.

Selengkapnya!

Kisah Cinta Segitiga Tauke Karet di RS Charitas

Kurang lebih lima tahun yang lalu saya menjalani opname. Opname kesekian, sebenarnya, namun terhitung yang pertama bagi saya–dan semoga itu satu-satunya–ketika dewasa. Kalau waktu kecil, nggak usah dihitung, lha wong saya sudah sampai pada tataran matanya-putih-semua. Sebab musabab saya opname itu sungguh tidak elit. Vertigo. Tapi memang sangat memusingkan, bahkan untuk berjalan sudah tidak sanggup. Di otak saya isinya hanya Cefradoxil ratusan kilogram yang bikin saya ditelepon Pak Eko dengan pertanyaan klasik, “Itu kok datang lagi? Ini masih banyak lho.”

Ya, baiklah, ini bukan tentang vertigonya saya, tapi tentang kisah pada hari keempat saya dirawat. Kebetulan dengan asuransi InHealth, saya mendapatkan perawatan di kelas II–kalau tidak salah, dengan fasilitas satu ruangan berisi dua orang dengan satu televisi di tengah-tengahnya. Kebetulan juga saya kan tidak kabar-kabar ke rumah kalau sedang diopname, jadi benar-benar tidak ada yang menunggui. Hanya Mas Sigit, Boni, atau Jack yang datang, itu juga by request karena kehabisan sempak.

Nah, makhluk yang sama-sama terkapar di kamar yang sama dengan saya itu adalah seorang lelaki buncit, gondrong dengan tato di tangannya. Super sekali. Dia ditunggui oleh seseorang yang sama sekali berbeda dengan dia, dan selalu memanggil dengan, “bos”. Sudah jelas bahwa dia adalah orang upahan. Saya juga orang upahan sih, yang diupah untuk vertigo karena gudang penuh.

Pada hari keempat itu, kondisi sepi-sepi saja. Seperti Rumah Sakit pada umumnya. Kalau ajep-ajep itu namanya Alexis, bukan RS. Pada jam kunjungan tiba, muncullah seorang perempuan datang berkunjung. Semuanya lantas berjalan biasa-biasa saja. Saya pikir, ah, dia paling juga istrinya, atau cem-cemannya, atau mungkin mantan terindahnya. Saya? Ah, ditelepon sama pacar saja tidak kala itu, apalagi dibesuk. Untung sekarang sudah jadi mantan. HAHAHAHAHA

Saya tidak melihat ngapain aja si cewek itu di balik tirai. Yang saya tahu, penunggu si gendut ini pergi ke teras. Jadi berdua saja mereka di tempat itu. Bertiga sama saya, sih, di balik tirai. Siang-siang, panas pula.

Nah, tiba-tiba masuklah sesosok wanita ke dalam ruangan, dan bergegas menuju balik tirai sebelah saya. Syukurlah bukan ke tirai saya. HEUHEU. Saya pikir ini juga temannya, atau apanyalah. Ternyata itu cuma pikiran saya belaka, karena sejurus kemudian muncul dialog yang bikin saya trenyuh.

“Oh, jadi ini ya Koh, perempuan itu.” ujar perempuan yang baru datang tadi.

“Napo kau kesini?”

Terlontar dengan suara berat, sudah jelas si lelaki buncit itu.

“Aku nak jingok suami lah, Koh. Dio ni, nak jingok sapo disini?”

“Alah kau ni.”

“Koh, kalu dak karna anak kito, aku dak nak jingok kokoh. Eh, ado dio disini. Jadi gitu, Koh?”

Si lelaki diam.

“Sudahlah, Koh. Kalo memang nak samo dio ni, cerai kito dulu. Uruslah dulu. Jangan digantung cak ini.”

“Iyo. Iyo,” suara mengiyakan secara males terdengar.

“Capek badanku Koh ngurus anak kito. Kemaren dio sakit, ado Kokoh jingok? Idak. Idak, Koh.”

“Iyo. Aku lah tau.”

“Anak kito kemaren juara di sekolah, Koh. Kokoh idak tau jugo kan?”

Hening.

“Jadi sudahlah, Koh. Kalau lah memang nak samo dio ni. Atur, urus dulu cerai kito. Biar samo-samo lemak kito ni.”

“Iyolah. Iyo.”

“Kamu jugo. Tahu kan kalau Kokoh ini lah bebini?”

Hening (lagi).

“Ah, sudah. Pegi galo. Pegi,” usir lelaki yang sedang tidak bisa apa-apa itu.

Kedua wanita itu pergi. Benar-benar berlalu di depan mata saya. Meninggalkan sisa kehebohan yang bikin saya nggak jadi tidur siang itu. Sorenya, saya ngobrol dengan penunggunya, dan baru tahu kalau si Kokoh ini adalah Tauke karet, sebuah profesi yang jamak di Palembang dan sekitarnya. Pantas saja dia kaya, dan pantas saya dia kemudian ngelaba. Entahlah, itu urusan dia juga. Masalahnya, kenapa dia ribut-ribut rumah tangga ketika dia satu ruangan dengan saya?

Waktu beranjak sore, ketika saya hendak tidur sore, dan kemudian sang istri datang lagi.

*buru-buru pingsan*

NB: mohon maaf kalau Bahasa Palembangnya sudah kacau, maklum kejadiannya sudah lama. Ehehehe. Sudah lama juga nggak ke Palembang. Heuheuheu.

Forum Diskusi KKMK: How To Sell Yourself

Jadi begini, sejak pindah ke Jakarta saya memang agak kehilangan sesuatu yang bernama komunitas berbau agama. Sesuatu yang kalau di Cikarang bisa saya peroleh bahkan hanya dari 1 bidang pelayanan saja. Saya mencoba-coba stalking dan mencicipi beberapa komunitas tapi, mboh ki, belum ada yang cukup menyamai 1 bidang itu.

Nah, seperti pernah saya bilang di aneka kegiatan pribadi #KelilingKAJ, bahwa sebenarnya di Jakarta itu enak bagi orang Katolik untuk beribadah dan berkomunitas karena dalam radius yang terhitung dekat, rumah ibadah bisa diakses dengan cepat, dan, ya walaupun macetos hore. Dalam prinsip itu, kemudian saya stalking sebuah komunitas bernama Komunitas Karyawan Muda Katolik alias KKMK Keuskupan Agung Jakarta. Kebetulan ada event begitu di laman FB-nya.

10410652_950253465016639_965639814791734498_n

Selengkapnya…