Category Archives: Hanya Mau Menulis

Seperti judulnya, it’s just a script..

Miskin

Sepertinya sudah 2 pekan ini hujan terus di Jabodetabek. Tapi hujan yang terbilang lucu karena gerimis tipis-tipis namun lama sekali. Model gini pengen disyukuri tapi ya kehujanan, tapi pengen dikutuk kok ya masih bisa beraktivitas.

Tadi pagi saya mengantar Kristof kunjungan SD. Kebetulan di kantor status saya dinas fullday meeting jadi masih cocoklah untuk hadir di lokasi tepat waktu. Terlebih lokasi meeting dekat dengan Stasiun.

Jarak dari rumah ke SD itu sekitar 7 kilometer. Dan separonya macet parah. Untungnya, kami naik sepeda motor. Bukan untungnya juga sih, tapi ya adanya itu. Jadi walaupun kebasahan karena gerimis tapi motornya masih melaju dengan gembira.

Sambil nyelip-nyelip di antara mobil-mobil bagus, saya merenung, kenapa sih saya miskin begini, padahal kalau dibilang gaji ya nggak bisa dibilang sedikit juga. Gaji saya sama istri itu kalau ditotal sebenarnya lumayan, tapi kok ya urip tetap nelangsa. Yah, sesederhana mobil saja nggak punya.

Dalam renungan itu saya akhirnya tiba ke SD yang dituju. Eh, begitu saya mengantarkan Kristof ternyata di belakangnya muncul 2 orang teman sekolah yang anak artis. Anak pertama adalah putra kedua seorang gitaris dari band yang cukup kondang. Tidak berselang lama muncul putra tunggal pasangan komika dan selebgram. Yang unik, keduanya sama-sama naik motor.

Memang sih, si anak vokalis itu diantar emaknya pakai Vespa. Tapi ya tetap saja roda doa. Tetap saja hujan-hujanan. Sama saja dengan anak saya.

Demikianlah kiranya saya sebagai adik kelas jauh dari Rafael Alun Trisambodo menjalani refleksi dalam bermiskin-miskin ria sambil membandingkan kok bisa-bisanya ada kejadian 2 pekan belakangan.

Embuhla~

Mantan Gebetan: Refleksi Tentang Kematian Cinta

Cinta adalah hal yang indah, menyenangkan, dan membawa harapan. Namun, pada suatu saat, cinta tersebut bisa berakhir dan kadang-kadang berakhir dengan sakit hati. Sama seperti halnya dengan mantan gebetan. Mantan gebetan adalah seseorang yang pernah kita cintai, namun kita harus merelakan mereka pergi.

Banyak orang yang merasa sedih atau kesal ketika harus merelakan mantan gebetan pergi. Mereka bisa merasa ditinggalkan atau tidak memahami mengapa cinta yang pernah ada harus berakhir. Namun, pada kenyataannya, relasi cinta yang kandas memiliki beberapa manfaat bagi kita.

Pertama, mengalami putus cinta membuat kita memahami arti sebuah cinta yang sejati. Kita belajar bagaimana untuk mencintai orang yang tepat, bukan hanya orang yang ada di depan mata. Kita juga belajar bagaimana untuk menghargai orang yang kita cintai dan tidak membiarkan mereka pergi.

Photo by Isabella Mariana on Pexels.com

Kedua, putus cinta juga membuat kita menjadi pribadi yang lebih kuat. Kita harus mengatasi sakit hati dan menemukan cara untuk bangkit dan melanjutkan hidup. Kita menjadi lebih dewasa dan memahami bahwa hidup tidak selalu indah, namun kita harus terus bergerak maju.

Ketiga, relasi cinta yang berakhir membantu kita memfokuskan pada hal-hal yang lebih penting dalam hidup. Kita belajar bahwa cinta adalah bagian dari hidup, bukan segalanya. Kita menjadi lebih fokus pada keluarga, karir, dan hobi.

Dalam kesimpulan, mantan gebetan adalah bagian dari proses belajar dan tumbuh dalam hidup. Kita harus menerima kenyataan bahwa cinta bisa berakhir dan memahami bahwa hal ini memiliki manfaat bagi kita. Kita harus terus bergerak maju dan mencari cinta yang sejati. Cinta yang sejati akan datang pada waktunya dan kita harus siap untuk menerimanya.”

Catatan: postingan ini sepenuhnya dibuat sama ChatGPT~

Bagaimana Jika Kita Berjumpa Anak Ber-DNA Dajjal di Playground?

Sedang meluncur di Twitter, saya bertemu twit lucu yang satu ini. Lucu karena sangat relate dengan kehidupan saya.

Saya termasuk rajin menemani anak main ke playground. Sebut sajalah nama-nama playground zaman sekarang, mulai dari Kidzilla, Zoomov, Kidzoona, dan sejenisnya. Nyaris semua sudah. Walaupun harga tiketnya seharga sekali fullday meeting, tapi apa sih yang nggak kalau buat anak semata wayang?

Tentu ada masa vakum saat Isto tidak playground. Kurang lebih 2 tahun lamanya. Sebab sejak Maret 2020 dia benar-benar dikunci dari dunia luar. Baru main lagi sekitar pasca Gelombang Delta karena memang sayanya juga sudah mau masuk kerja lagi. Tapi itu juga ke Jakarta Aquarium. Kalau ke Kidzilla sih sekitar November. Bermula dari apartemen yang pemadaman listrik dan saya tidak punya pilihan lagi untuk menjaga anak sembari Zoom, maka saya bawalah ke Kidzilla.

Dan memanglah akan selalu ada saja anak ber-DNA seperti yang disebut di twit tersebut. Dan sejujurnya saya tidak pernah menyalahkan anaknya. Anak mah tergantung pendidikannya. Dan model begitulah yang terjadi. Biasanya, orangtua dari anak semacam ini yang akan selalu berkata, “namanya juga anak-anak” ketika anaknya menyakiti anak saya dan anak-anak lain di sekitarnya.

Padahal, kalau lagi di playground, saya selalu berada di jarak aman dengan Isto. Sekurang-kurangnya, untuk memastikan bahwa dia akan bisa diamankan jika cari perkara. Tapi sejauh ini, cenderung aman-aman saja. Ketika kemudian suasana sudah tidak baik dengan kehadiran anak-anak yang tentunya berpendidikan baik karena masuk playground itu jelas nggak murah, saya langsung menarik anak saya sudah tidak kenapa-kenapa.

Paling enak sih sebenarnya kalau ada bapaknya. Bapack-bapack pada dasarnya enggan untuk konfrontasi. Secuek-cueknya bapack-bapack menemani anak sambil lihat hape, biasanya selalu tanggap kalau anaknya mengganggu anak lainnya. Itu dia kalau seorang anak sedang bertanya sama bapaknya, saya masih bisa menahan Isto senakal apapun anak itu. Cuma kalau sebaliknya, mending saya bawa jauh-jauh.

Tapi ya nggak selalu demikian, sih.

Kemarin dari Jakarta ke Medan, saya sebelahan persis sama ada lah gitu anak semacam ber-DNA demikian. Sudahlah nggak pakai masker, ini anak juga petakilan nggak karuan di dalam pesawat. Pakai tidur segala dengan kaki mengusik kaki saya. Eh, begitu saya lihat, bapaknya malah turu. Ini salah satu contoh Bapak Dajjal memang~

Saya sebalnya adalah sudah tahu bawa anak, ya mbok preparasi. Saya pas sama Isto dari Solo itu benar-benar berusaha menaruh Isto antara jendela dan saya. Biar nggak mengusik orang lain kalau dia petakilan. Caranya? Ya kalau memang harus beli add-on saat pesan tiket ya lakukanlah. Jangan terus bikin anak jadi pengganggu orang lain.

Bulan Tanpa Posting

Dari dulu, blog ini selalu ada 1 posting minimal sebulannya. Dan ini baru sadar sudah 31 Agustus 2022 tapi belum ada post. Saya sungguh mikir-mikir untuk mempertahankan blog pakai dot com begini ketika mengisinya saja sudah tidak sempat. Dulu dia bisa menghidupi diri sendiri, sekarang sudah tidak. Ya bagaimana orang tertarik pasang konten berbayar kalau diisi saja tidak~

Jadi ya sudah, ini post memang sengaja dibuat biar sekurang-kurangnya ada konten di bulan Agustus 2022. Semoga sih ke depan nggak seperti bulan ini. Heuheu.

WIB-Sentris Era Zoom Meeting yang Menggemaskan

Beberapa waktu yang lalu, saya dinas ke Ambon. Itu adalah kali pertama saya sejak 2015 berdinas di zona waktu +2. Tahun 2015 itu saya dinas ke Jayapura. Yah, memang nasibnya jarang-jarang ke WIT. Masanya tentu beda banget. Hari-hari ini adalah era Zoom Meeting dan tentu saja dinas ke luar kota tidak menghalangi agenda untuk disuruh Zoom Meeting.

Kala itu bulan puasa, jadi seharusnya kantor selesai jam 15.00 WIT. Saya baru sadar bahwa 15.00 WIT itu adalah 13.00 WIB. Jam favorit orang WIB untuk mengundang rapat. Ah, jangankan itu. Undangan rapat jam 15.00 WIB pun sering, kan? Hal itu berarti rapatnya adalah 17.00 WIT. Itu jamnya orang pulang kantor.

Photo by Anna Shvets on Pexels.com

Nah, kebetulan banget, beberapa hari lalu saya mendapat tugas untuk nge-desk salah satu kantor di WIT. Karena satu dan lain hal terjadi perubahan jadwal yang menggemaskan (karena makin jadi tren di era Zoom, seolah-olah semua orang itu jadwalnya kosong jadi jadwal bisa digeser seenaknya). Walhasil, daripada pening, saya sebagai Ketua Tim memutuskan untuk sesekali orang WIB di kantor pusat mengikuti jadwalnya orang WIT.

Yha, saya mengajukan jadwal desk itu jam ENAM PAGI WAKTU INDONESIA BARAT. Saya belajar dari upacara Hari Lahir Pancasila yang berpusat di Ende (WITA) dan kemudian memaksa para pejabat di Jakarta bisa upacara pukul 06.30 pagi. Dalam skala yang lebih kecil, desk yang saya lakukan dapatlah berupa penyesuaian itu.

Kalau teman-teman yang di WIT itu bisa Zoom Meeting nyaris tiap sore ke malam, masak sih orang-orang WIB yang katanya orang Pusat itu nggak bisa bikin Zoom Meeting mengikuti jadwal kantor di WIT. Ketika saya mulai jam 6, itu di Papua kan sudah jam 8. Sudah jam kantor. Sebuah penyesuaian yang menarik.

Begitulah rapat-rapat Zoom ini dalam satu sisi memudahkan, sih. Banyak orang bisa berkumpul dan bisa merapat dengan cepat. Cuma masalahnya saking mudahnya, jadi bikin keenakan. Dikit-dikit rapat. Rapat-rapat dikit. Teman-teman di daerah itu paling ngerasain, lah, sebab teman-teman di unit vertikal di daerah maupun juga Pemda berhadapan dengan begitu banyak program dari Pusat. Kalau Pusatnya sembrono bikin rapat karena begitu mudahnya langganan Zoom, korbannya ya daerah. Paling gawat adalah kalau lupa atau nggak bisa mengikuti, yang salah bukan yang mengundang, tapi yang nggak mengikuti.

Sejujurnya, saya berpikir harus ada pembatasan. Tidak lagi setiap unit kerja bisa punya 4-5 akun Zoom yang bisa digunakan seenaknya. Harus ada keterbatasan ruang rapat yang kemudian membuat pengaturan pertemuan menjadi realistis bagi yang diundang untuk menghadiri. Zoom 2, 3, atau 4 itu nggak akan ada faedahnya. Serius, deh. Otak ini nggak bisa melakoni lebih dari satu pekerjaan yang sama persis dalam satu waktu.

Saya nggak tahu dan nggak peduli tentang apapun yang akan dipikirkan orang tentang keputusan saya kemarin bikin desk jam 6 pagi yang kemudian bikin repot banyak orang WIB. Mulai dari yang buka Zoom, mengawal room, dan lain-lain. Saya sih lebih fokus pada upaya memberi pengalaman baru sekaligus sesekali menciptakan kondisi terbalik. Nggak harus WIT selalu mengikuti WIB. Sesekali, WIB bisa mengikuti jadwalnya WIT.

Realistisnya sih rapat itu mulai dari 8 WIB (10 WIT) dan bisa diakhiri rentangnya pada 14 WIB (16 WIT). Sebenarnya bisa, kalau yang Pusat itu nggak egois. Wk.

Perjalanan Sentimentil di Bandung

Beberapa hari yang lalu saya dinas ke Bandung. Karena satu dan lain hal, saya naik travel dari TangSel ke Bandung kurang lebih pukul 9 malam. Walhasil, baru sampai ke Bandung ya sekitar pukul 00.00. Saya cukup tenang karena kota tujuannya cukup familar. Jadi ya masih beranilah untuk order ojol ke hotel tempat dinas. Lha wong dulu pernah saking gebleknya saya naik Argo Parahyangan paling malam ke Cimahi, eh ketiduran dan berakhir di Stasiun Bandung sehingga pukul 2 atau 3 pagi harus naik ojol plus taxol ke tempat mertua.

Ndilalah karena saya naik Cititrans, maka tujuan akhirnya adalah Dipati Ukur sehingga dari keluar tol di Pasteur menuju lokasi harus lewat RS Borromeus. Tengah malam lewat di depan RS Borromeus itu sungguh menjadi sesuatu yang sentimentil buat saya.

Saya ingat sekali 5 tahun yang lalu berjalan kaki dari penginapan di sekitar RS Borromeus untuk mengantarkan ASIP ke anak saya yang harus ngekos ekstra di RS karena kuning. Jumlah ASI yang saya antarkan itu nggak banyak. Tipis sekali lah plastiknya. Hanya saja, buat kami, ASI itu sangat berharga. Hari itu posisinya saya sempat pulang ke Jakarta untuk kerja karena cutinya habis dan balik lagi karena weekend.

Saya mengantarkan ASIP itu sekitar pukul 2 pagi. Satu hal yang saya ingat, sesudah mengantarkan ASIP itu, saya terlelap di lobi RS Borromeus selama sekitar 1 jam dalam posisi duduk si sofa. Kuesel biyanget, bos! Hal-hal semacam ini kadang-kadang bikin rindu untuk punya anak lagi. Namun saya mencoba berkaca, apakah jika nanti ada bayi lagi saya akan sekuat itu? Belum lagi ada Isto yang tentu juga harus diperhatikan.

Naik ojol melewati jalanan tempat saya dulu tengah malam mengantarkan ASIP menjadi perjalanan yang cukup sentimentil apalagi ketika melihat bahwa anak bayi yang dianterin ASIP itu sekarang sudah mau ulang tahun yang ke-5, sudah memberikan begitu banyak kegembiraan, terlepas dari begitu banyak amarah saya yang tercurah padanya.

Mudah Lelah Saat Perjalanan Kereta Api? Coba Atasi dengan Tips Berikut!

Untuk area pulau Jawa, kereta api merupakan alat transportasi yang paling diminati. Sebagian besar penduduk pulau Jawa memilih untuk naik kereta api jika ingin berpindah dari satu provinsi ke provinsi lain. Selain karena aman dan nyaman, harga tiket kereta api juga lebih murah dari harga tiket pesawat.

Satu lagi, tidak ada kata macet ketika bepergian dengan kereta api. Jadi, kita bisa nyampe ke tujuan dengan tepat waktu. Sekarang ini, kamu bisa membeli tiket kereta api lewat aplikasi digital, seperti Traveloka. Misalnya, kamu ingin membeli tiket kereta api Bandung – Jakarta. Kamu tinggal buka Traveloka dan bisa cek harga tiket kereta Bandung Jakarta.

Namun, saat bepergian dengan kereta api, satu hal yang sering kali mengganggu perjalanan adalah rasa lelah. Ya, karena perjalanan jauh, wajar kiranya rasa lelah datang. Akan tetapi rasa lelah itu bisa di manage dengan baik supaya kondisi tubuh tetap fit hingga sampai tujuan. Berikut ini ada beberapa tips untuk mengatasi rasa lelah ketika perjalanan menggunakan kereta api:

Ngobrol dengan Orang Sebelah Bangku

Guna menghilangkan rasa lelah di perjalanan, kamu bisa mengisi waktu dengan ngobrol bersama orang sebelah bangku. Banyak hal yang bisa jadi bahan obrolan, apalagi sama-sama baru kenal.

Photo by veerasak Piyawatanakul on Pexels.com

Ngobrol bersama penumpang lain tidak hanya menghilangkan rasa lelah, tapi juga sebagai ajang untuk memperbanyak teman. Akan menyenangkan apabila ada ilmu yang didapat dari pembicaraan tersebut.

Untuk memulai pembicaraan, banyak hal yang bisa kamu lakukan, seperti menanyakan kemana tujuannya, asalnya dari mana, atau hal lain yang membuat dia nyaman dan mau ngobrol bersama kamu.

Menikmati Pemandangan Sekitar

Jalur kereta api sering kali berada di daerah sekitar pedesaan, daerah perbukitan, dan sawah. Makanya jangan heran kalau naik kereta api, kita pasti akan disuguhkan dengan pemandangan alam yang indah.

Menikmati pemandangan tersebut tentu akan membuat kamu merasa lebih nyaman, rileks, dan jauh dari rasa lelah. Selain sebagai alat untuk melepas rasa lelah, ini juga bisa menjadi cerita seru bagi sanak saudara di kampung halaman.

Menonton dan Mendengarkan Musik

Kemajuan teknologi membuat orang lebih mudah untuk mendapatkan hiburan. Hanya dengan menggunakan smartphone kita sudah bisa menikmati hiburan seperti menonton, membaca, dan mendengarkan musik. Ini bisa dimanfaatkan untuk mengatasi rasa lelah saat kamu di dalam kereta api.

Main Game

Selain menonton, membaca, dan mendengarkan musik, hiburan lain yang bisa kamu nikmati di kereta api adalah main game. Ya, saat ini ada banyak jenis game yang bisa dimainkan lewat smartphone baik yang harus menggunakan konektivitas atau pun tidak. Jika kamu bepergian dengan teman atau keluarga, kamu bisa mengajak mereka untuk main game bersama.

Tidur

Jika sudah bosan ngobrol, nonton, dan mendengarkan musik, berarti sudah saatnya kamu menghilangkan rasa lelah dengan tidur. Tidur sejenak juga akan menghilangkan rasa bosan dan membuat kamu menjadi lebih segar. Satu hal yang perlu diingat ketika tidur di transportasi umum, jangan untuk meletakkan barang berharga di tempat yang tidak bisa disentuh oleh orang lain.

Meregangkan Otot Kaki, Tangan, dan Leher

Duduk terus menerus selama perjalanan di kereta api tentunya akan membuat tubuh merasa lelah. Oleh karena itu kamu perlu meregangkan otot-otot kaki, tangan, dan leher.

Peregangan ini bisa kamu lakukan dengan cara memijat sendiri kaki dan tangan kamu. Sementara di bagian leher, kamu bisa melakukan stretching secara perlahan, seperti tengok kanan kiri secara bergantian.

Jalan-Jalan di Dalam Kereta

Selain bikin lelah, duduk terus menerus selama perjalanan juga akan membuat tubuh terasa kaku. Hal ini tentu sangat tidak mengenakkan. Kamu butuh melakukan aktivitas yang menggerakkan semua anggota tubuh, misalnya berjalan. Kamu bisa berjalan menuju ke toilet atau berjalan di lorong kereta api sambil menikmati pemandangan di sekitar. Meskipun jarak tempuhnya tidak jauh, tapi jika sering dilakukan, ini akan membuat tubuh menjadi lebih rileks dan segar.

Menjaga Pola Makan

Untuk menjalani perjalanan jauh dengan kereta api butuh kondisi tubuh fit. Karena kamu akan duduk terus menerus selama di perjalanan. Meskipun hanya duduk, tapi jika dilakukan dalam waktu yang lama itu akan berdampak buruk ke tubuh.

Di luar bulan puasa, sangat disarankan untuk banyak minum ketika duduk lama di perjalanan. Namun, jika kamu melakukan perjalanan di bulan puasa, kamu tetap butuh cairan yang banyak. Oleh karena itu, kamu harus banyak minum saat berbuka puasa dan sahur.

Selain kebutuhan cairan, suplai nutrisi ke tubuh juga harus dijaga selama di perjalanan. Kamu harus pintar-pintar menjaga makan supaya kondisi tubuh tetap fit.

Itulah beberapa tips mengatasi lelah selama perjalanan kereta api. Kamu bisa menerapkan tips ini untuk menjaga tubuh tetap fit selama di perjalanan. Untuk informasi terkait tiket kereta Bandung-Jakarta, kamu dapat mengaksesnya melalui laman resmi Traveloka atau langsung mengunduh aplikasinya, baik melalui Play Store atau pun App Store.

Batal Nikah

Sejujurnya, setelah menikah, saya suka menganggap bahwa dinamika yang ada di level anak muda yang belum menikah itu remeh. Hal yang dulu bisa bikin saya galau seharian itu ternyata begitu dipaparkan dengan peliknya hidup rumah tangga di tengah himpitan kebutuhan itu ternyata nggak ada apa-apanya.

Nah, sampai kemudian saya mendapati bahwa ada salah seorang bilang ke saya bahwa dia batal menikah. Seseorang yang saya ketahui sudah sempat cuti beberapa hari untuk mengurus pernikahannya. Biasalah, pekerja Jakarta tapi kampungnya di salah satu kota di Jawa. Sudah tunangan, sudah ada fotonya. Dan lain-lain begitulah. Intinya sih batal menikah.

Pada titik ini saya tentu tidak lagi bisa menganggap sepele. Ini soal pembatalan vendor, pembatalan ke KUA, dll. Bayangkan sudah mengurus ina-inu ke KUA, repot minta ampun, lalu datang lagi untuk membatalkannya. Tentu saja saya tidak pernah menghadapi permasalahan semacam itu. Level keparahan pada persiapan pernikahan saya adalah berantem sampai nangis di depan gereja persis sesudah mengurus buku panduan misa.

Lebih mengesalkan lagi adalah bahwa penyebab batal itu berasal dari orang ketiga. Orang ketiga yang tentunya muncul belakangan di akhir proses separo LDR dengan total jenderal hubungan 5 tahun. Wow. Percayalah, sebagai laki-laki, saya malu sendiri mendengar kelakuan orang itu sampai kemudian membuat orang yang saya kenal tadi harus balik ke rumah lagi guna mengurus pembatalan hanya 1 bulan sesudah mengurus pernikahan.

Cuma, kalau saya pikir-pikir lagi, mendinglah batalnya sekarang. Kalau sempat bablas sampai nikah perkaranya tentu berlipat lebih sulit. Apalagi kalau yang menikah itu PNS. Pertama, misalkan mau cerai saja prosedurnya panjang dan ribet serta nggak cocok untuk suasana batin orang yang mau cerai, yang tentu saja pengen semuanya cepat kelar. Kedua, bisa sempat ada anak, maka akan ada hal lain yang tentu akan menjadi bahan pikiran. Dan banyak hal lainnya.

Batal sekarang mungkin bikin galau sampai nangis. Tapi batal sekarang boleh jadi adalah kunci kebaikan di masa depan. Untuk tidak terjebak di hubungan pernikahan yang boleh jadi tidak akan seindah yang dibayangkan. Bagaimanapun, pernikahan itu akan menghadirkan begitu banyak keindahan tapi juga pada saat yang sama menghadirkan begitu banyak masalah yang boleh jadi tidak akan ada ketika tidak menikah.

Sambat vs Reformasi Birokrasi

Alkisah saya lagi ikutan suatu rangkaian acara berfaedah bernama ASN Academy. Sejujurnya saja, saya ikut acara begitu bukan untuk belajar system thinking atau apalah berbagai pengetahuan-pengetahuan penting yang terkait dengan inovasi, dll. Oh, bukan berarti nggak mau belajar juga lho ya. Hanya saja, kantor saya sebenarnya sudah cukup baik hati dalam membekali pegawainya pada ilmu-ilmu. Training itu walaupun standarnya 20 JP, tapi realitanya hampir semua bisa dapat lebih dan lebihnya itu berkali-kali lipat. Jadi, mau sekarang atau nanti, saya yakin pasti akan dapat pengetahuan-pengetahuan tersebut.

Nah, lantas apa dong?

Saya terngiang kali pertama diklat prajabatan di PPMKP Ciawi bersama teman-teman dari Kementerian Koperasi dan UMKM, Badan Informasi Geospasial, PPATK, dan beberapa instansi lainnya. Saya lalu ingat pengalaman yang lebih seru di Pusdiklat lain di Ciawi ketika diklat Jabatan Fungsional. Saya bilang lebih seru karena mayoritas teman di kamar itu adalah bapack-bapack dari Pemerintah Daerah. Dari Aceh Singkil sampai Pegunungan Bintang. Dan percayalah, ceritanya itu betul-betul banyak dan sebagian diantaranya bikin speechless.

Sampai kemudian saya kuliah S2, saya juga hadir di kelas dengan teman-teman dari BPKP, Kementerian PAN dan RB, Kementerian Dalam Negeri, hingga Pemprov DKI Jakarta. Lagi-lagi, yang saya peroleh adalah insight. Cerita yang rupanya penting untuk menguatkan diri sendiri dalam menghadapi beratnya hidup di birokrasi.

Ya tentu saja itu termasuk mengetahui betapa besarnya Tunjangan Kinerja (atau nama lain yang setara di pemda) dari teman yang level Jabatan Fungsionalnya sama persis dengan saya. Yes, pedih tapi tidak berdarah sebab nominalnya itu benar-benar 4 kali lipat. Bukan sekadar 4 juta lebih banyak lho ya. Tapi memang tunjangan saya dikali 4, nah itulah tunjangan dia. Sekali lagi: dengan level JF yang sama. Tapi ya sudahlah~

Nah, kemarin ini dalam kerangka persiapan menuju kegiatan utama, ASN Academy menggelar sebuah sesi yang cenderung menjadi SAMBAT TERSTRUKTUR. Saya perlu menyebut demikian karena memang topik yang dipilih memang sangat SAMBAT-ABLE. Dan entahlah kalau dari dulu itu setahu saya dalam urusan sambat, para pekerja birokrasi itu banyak betul bahannya. Isu-isu seperti benturan kepentingan, generation gap, dan juga pengembangan pegawai diangkat dan terjadi diskusi yang 60%-nya adalah sambat itu.

Sejak jadi Magister Ilmu Administrasi, saya suka overthinking. Bukan apa-apa, sih. Dengan belajar paradigma ilmu administrasi, riwayat, serta praktik baik di negoro lain, saya sebenarnya mulai terbuka perihal ‘hal yang benar’. Cuma begitu melihat ke lapangan dan tampak ada hal-hal yang sebenarnya sangat bisa untuk diubah, saya nggak bisa apa-apa karena memang tidak punya kuasa dan lagipula kerjaan saya sudah banyak.

Harus diakui, dibandingkan 8 tahun lalu ketika saya baru masuk, sebenarnya sudah ada begitu banyak perbaikan di birokrasi negoro ini. Sayangnya, mengutip pendapat dari penulis buku ASN Sontoloyo, birokrasi di negoro ini berasa senam poco-poco. Maju dua langkah, sih. Tapi nanti mundur lagi. Geser sih ke kanan, tapi nanti ke kiri lagi. Ujungnya? Ora maju-maju. Parameter saya sederhana, sih. Ketika di akun ini masih banyak pegawhy yang sambat pada sistem, maka sebenarnya sistem itu masih banyak bolongnya.

Sejujurnya, kemarin itu saya mendengar beberapa kisah yang membuat saya terkesiap. Bahkan ada cerita gawat dari K/L yang sebenarnya dari luar tampak bagus, karena toh saya memang pernah ikutan study tour ke K/L itu. Rupanya, banyak yang dikisahkan di study tour itu ternyata berbeza dengan cerita orang dalam.

Di sisi lain, saya sih menangkap optimisme tinggi. Soalnya, banyak sambat kemarin itu sebenarnya positif dalam artian kelihatan kok niat baiknya, tapi ganjalan sistem yang jadi perkara. Cuma memang gimana sih agar api semangat tetap berkobar dan tidak lantas padam oleh perkara sistem, itulah PR-nya.

Oya, ngomong-ngomong, saya pernah baca sebuah artikel tentang pegawhy ngeri di Singapore. Sebuah negeri yang katanya adalah role model untuk urusan civil servant. Agak terkejut, sih, karena rupanya menurut orang dalam, pengaturannya nggak bagus-bagus amat juga. Lebih lanjut bisa dibaca di ARTIKEL INI.

Saya tentu masih menantikan sesi-sesi lanjutan dari agenda utama ASN Academy. Semoga ilmu dan cerita-cerita yang akan saya dapatkan bisa memberikan faedah bagi akal dan pikiran saya, sekurang-kurangnya untuk bisa tetap waras menjalani hidup. Haha.

Ke Bali di Masa Pandemi

Selepas kelar kuliah, salah satu hal yang cukup bikin saya deg-degan setiap waktu adalah kalau disuruh perjalanan dinas luar kota. Bukan apa-apa, sejak Maret 2020 sampai September 2021 saya itu benar-benar hanya di Tangerang Selatan. Nggak kemana-mana sama sekali. Ke Jakarta sekalipun bisa dihitung dengan jari. Bahkan dalam kurun waktu 12 bulan dari Maret 2020 sampai Maret 2021, saya ke Jakarta (yang notabene normalnya saya lakoni tiap hari) hanya 3 kali dan semuanya untuk keperluan COVID-19. Pertama, swab massal di kantor. Kedua dan ketiga adalah vaksinasi dosis 1 dan 2. Sudah gitu doang saking tertibnya.

Nah, begitu sudah aktif lagi bekerja, maka saya tidak punya privilese untuk selalu #DiRumahAja, apalagi kerja beginian walaupun masih sangat memungkinkan untuk WFH tapi ada saja elemen kerja lintas kotanya. Hal itulah yang terjadi kemudian. Sesudah kemarin ke Surabaya, kali ini saya ke Bali. Dinas ke Bali itu bagi saya cukup menyebalkan karena ingat tahun 2017 pernah ke Bali, nginep di Hotel The Stones yang notabene cuma seberangan pantai Kuta tapi baru bisa melihat sunset itu di hari kelima. Kerjo po ngopo to sakjane~

Nah, saya ke Bali itu 20 Oktober ketika pariwisata baru dibuka untuk turis mancanegara dengan catatan karantina. Sekali lagi, terakhir kali saya ke Bali itu 2018, jadi yang saya lihat benar-benar sesuatu yang berbeda.

Karena acara yang hendak saya ikuti ada di sekitar Kuta, maka saya menginapnya di sekitar situ juga. Pada malam hari, saya yang kehabisan Rosuvastatin kemudian mengorder ojol untuk pergi ke apotek terdekat. Itu sekitar jam 8 malam. Dulu, jam 8 malam di Kuta itu justru awal mula aktivitas tiada henti sampai pagi.

Apa yang saya lihat?

Jalanan sepi. Tempat-tempat hiburan yang tutup. Demikian pula toko-toko. Termasuk sebagian diantaranya sudah diberi tulisan ‘DIKONTRAKKAN’. Belum lagi jika ditambahkan dengan curhat driver taksi dari bandara soal mobilnya yang sudah ditarik leasing dan mobil yang dipakainya adalah punya teman.

Itu tanggal 20.

Ketika saya pulang tanggal 22, ada nuansa yang berbeda. Di hari Jumat, sudah mulai banyak yang check in. Pada umumnya adalah rombongan dengan naik mobil sendiri. Hotel di sekitar Legian mulai menggeliat. Jika di hari Kamis saya sarapan dalam suasana sepi, maka makan siang di hari Jumat sudah mulai banyak orang. Kehidupan Bali mulai menggeliat.

Pada satu sisi, saya tetap takut soal potensi varian baru dan potensi penularan COVID-19. Apalagi, yang dikontrol kan perjalanan udara yang notabene sudah pakai HEPA Filter. Bagaimana dengan bis atau bahkan mobil pribadi? Wabah ini jelas belum selesai, tetapi bagaimanapun saya sangat paham bahwa banyak orang tergantung pada mobilisasi orang-orang. Termasuk saya pun demikian. Dari bujangan pengen banget ngajak anak istri ke Bali. Mana anak saya sudah suka ngomong pengen ke beach tapi naik airplane. Artinya, sekadar ke Ancol sudah nggak cocok buat dia dan Bali mestinya pas.

Ah, semoga wabah ini cepat hilang ya~