Jakarta alias Batavia adalah sentral perkembangan Gereja pada zaman dahulu kala. Selain Katedral, generasi awal Gereja Katolik di Jakarta ada di tempat #KelilingKAJ yang saya bahas kali ini. Yup, kali ini kaki saya melangkah ke tempat yang nggak jauh-jauh benar dari kos yakni Gereja Santo Yoseph Matraman. Gereja ini, menurut saya, punya nilai spesial. Selain tergolong dalam generasi awal perkembangan Agama Katolik di Jakarta, juga termasuk dalam sebuah peristiwa titik balik. Jika belum pada lupa, Gereja Santo Yoseph Matraman merupakan salah satu sasaran bom malam natal tahun 2000, dan membawa korban jiwa.
Gereja Santo Yoseph berlokasi di Jalan Matraman Raya nomor 127 Jakarta Timur. Letaknya sebenarnya terbilang dekat dengan Gereja lainnya. Untuk ke Gereja Kramat, tinggal lurus–atau naik TransJakarta via Slamet Riyadi – Tegalan – Matraman- Salemba Carolus – Salemba UI – Kramat Sentiong – Pal Putih–turun dah. Kalau mau diterusin lagi, juga sampai ke Bidara Cina.
Aksesnya juga mudah, semudah ke Wisma Kemhan. Selain halte Slamet Riyadi, Gereja ini tidak jauh dari Stasiun Pondok Jati. Pun bisa dijangkau dengan angkot biru M.01. Benar-benar sangat dimudahkan. Plus bukan titik macet karena lumayan jauh dari perempatan Matraman yang durasi lampu merah (plus macetnya) setara durasi menanak nasi lalu kemudian menggorengnya.
Pembangunan Gereja ini berawal mula dari dibelinya sebidang tanah di tepi Matramanweg. Itu tahun 1906, tepatnya tanggal 13 Desember. Dua pekan kemudian di lokasi itu dibentuk stasi dari Gereja Katedral. Nah, tiga tahun kemudian barulah dilaksanakan baptis pertama di Gereja ini atas nama Christina Wilhelmina Cornelia, tepatnya 22 Juni 1909, sebuah tanggal yang lantas ditetapkan sebagai lahirnya Paroki Matraman.
Eh, tadi itu Matramanweg apaan? Sejarah mengatakan bahwa Matramanweg adalah Jalan Matraman dan terkait dengan adanya pasukan Mataram yang membangun parit pertahanan untuk pasukan ketika sedang berada di sekitar Batavia (1628-1629). Ketika Daendels ada di Batavia, pusat pertahanan digeser ke Meester Cornelis alias Jatinegara dan otomatis Matramanweg menjadi bagian kota militernya. Matramanweg sendiri berperan sebagai jalan raya penghubung untuk pengangkutan militer dari Meester Cornelis ke pusat kota di Pelabuhan Sunda Kelapa. Disebutkan pula bahwa sampai akhir 1800-an, jalan raya Matraman masih macam pedesaan terpencil. Belum ada Gramedia. Lah, menurut ngana?
Walau sudah resmi paroki, tapi fisik gedung Gereja sendiri baru direncanakan tahun 1923. Nilai bangunannya 70 ribu gulden banyaknya. Peletakan batu pertama dilakukan pada 9 September 1923 dengan pembangunan fisik 7 bulan. Berhubung dibangun tahun 1923, kelihatan deh bahwa Gereja ini memang bangunan tua. Pemenang tender (wow, sudah ada pengadaan sejak zaman dahulu kala) adalah Algemeen Ingenieurs Architecten Bureau (Biro AIA). Arsiteknya adalah Ir. Frans Johan Lauwrens Ghijsels, kelahiran Tulung Agung tahun 1882. Tidak hanya Gereja Matraman, Bapak ini juga menggarap Stasiun Kota dan Gedung Bappenas. Pemberkatan gedung ini dilakukan oleh Mgr. Van Velsen, SJ pada 6 April 1924.
Kalau melihat dari luar, Gereja ini mungkin tampak kecil. Begitu masuk, juga ada yang tampak aneh karena semacam ada dua muka. Heh? Dua muka? Nanti saja jelaskan. Yang jelas, Gereja ini awalnya hanya untuk menampung 400 umat, namun pada akhirnya kan berkembang terus sampai lebih dari 1000. Maka, tahun 1970, Gereja diperluas ke bagian kiri dan menyatu dengan rumah para pastor SVD, dan disebut sebagai “gereja samping”.
Gedung Gereja Matraman kembali direnovasi pada tahun 2001 setelah melalui konsultasi dengan Dinas Museum dan Pemugaran DKI. Plus yang terbaru, 17 Januari 2015 akhirnya gedung Gereja Matraman digunakan lagi sesudah renovasi yang dilakukan. Melihat perkembangannya, sungguh-sungguh melintas masa ya?
Tampak dari jembatan penyeberangan bahwa bangunan Gereja Matraman jadul. Tapi berbeda dengan Bidara Cina yang luar dalam vintage, Gereja Matraman beda. Semacam ada penipuan karena bagian dalamnya sangat wah. Dengar-dengar–sama dengan beberapa Gereja lain di Indonesia Raya–kalau cagar budaya atau what so ever apalah namanya itu tidak boleh diubah tampak luarnya. Dalamnya pun kalau mau diubah harus dengan banyak pertimbangan.
Kalau dilihat lagi, ada persamaan Gereja Matraman dengan Katedral, yakni patung pelindung di atas pintu. Kalau di depan pintu, gimana masuknya, tong? Kabarnya, memang rancangan awalnya adalah sebagai katedral mini. Gitu. Ada pilar-pilar yang menempati 60% ruangan. Plus, desain interior yang nuansanya ke atas. Altarnya itu tinggi beud. Kalau masuk dari pintu yang ada patung Santo Yoseph kelihatan ada jejak bahwa dirancang mirip basilika. Well, jejak akustik ruangan memang sudah mulai berkurang. Kalau dulu saya yakin nggak usah pakai sound system saja sudah bisa terdengar karena bangunan lama akustiknya memang keren. Di Gereja lain di Indonesia juga begitu. Lha, dulu mana ada Fender. Untuk bangunan baru hasil pemugaran, mulai menambahkan aksen kayu dan kalau di hasil pemugaran tahun 2002 dirancang oleh tim Kolese PIKA, Semarang. Tahun 2001 ada gitu siswanya yang cantik dan cuma 1 itu yang cewek. Senangnya, ada yang cantik, satu pula. De Britto satu aja nggak ada.
Di altar tampak tulisan Te Invocamus, Te Laudamus, Te Adoramus, O Beata Trinitas yang artinya Ya Allah Tritunggal yang Maha Kudus, kami berseru kepadaMu, kami memuji Dikau, kami bersembah sujud di hadiratMu. Plus, patungnya gede-gede. Jadi ada altar yang sudah gede, ditunjang patung Yesus dan Bunda Maria yang tidak kalah gede. AC juga adem, dan tempat banyak. Beberapa kali misa, belum pernah mengalami yang penuh benar.
Sakristi ada di basement, ditandai dengan masuknya rombongan dari kiri altar yang nongol satu-satu. Altarnya–seperti saya bilang tadi–menghadap miring untuk bisa mengakomodasi umat di bangunan baru. Komentator dapat mimbar di kanan, Lektor dan Pastor di kiri. Dan mengingat altarnya yang gede banget, tentu saja semuanya tampak lapang. Beda banget ketika saya ke Matraman 11 Januari silam, di sekolahan dan semuanya serba sempit. Namanya juga darurat.
Pas saya datang, komentatornya pas keren, termasuk yang saya jadikan catatan apresiasi dan bisa dilihat di laman Keliling KAJ. Adapun lektornya, semoga nggak seret, tapi ketika saya ke Matraman beberapa kali, saya menemukan orang yang sama. Mungkin jodoh kali ya sama saya? Tsah.
Kendala parkiran jelas ada di Gereja Matraman, namun diatasi dengan sekolah. Yup, namanya Gereja lama hampir pasti ada sekolahan. Kemakmuran dekat Tarsisius, Kidul Loji dekat Pangudi Luhur, Bintaran dekat Marsudi Luhur, dan Matraman ini dekat Fons Vitae. Sekolahnya Pak Paulus, dan menurut pengakuannya, dulu pas muda dia bagi-bagi contekan di Gereja. Kudus banget ya kelakuannya. Bisa dimaklumi, namanya juga masih muda.
Gua Maria di Matraman terletak di depan gereja samping. Bisa diakses kapanpun asal menyapa satpam. Ketika acara di Wisma Kemhan, saya sering mampir buat sekadar doa dan curhat kok, kapan cobaan ini berakhir. Iya, gitu. Meski memang status Bunda Maria-nya mirip dengan Bidara Cina, Bunda Maria di keramaian. Mau bagaimana? Kalau ditutup macam di Gereja Santa, umat yang galau juga rada terkendala. Doa dengan kendaraan sliwar-sliwer memang harus dilakukan di Jakarta. Kalau mau tenang, ya, di Cisantana. Dijamin sepi dan tenang, paling yang lewat Kalajengking.
Jadwal misa di Matraman adalah 05.45 untuk harian. Sabtu sore pukul 18.00. Adapun Minggu ada tiga, 06.30, 08.00, dan 18.00. Monggo untuk dipilih yang paling relevan. Yup, sekian ulasan dan sedikit kutipan yang saya ambil dari Kompas dan Liputan 6. Lumayan enak nih kalau ada sejarah yang bisa dikutip, walau saya malah nggak menemukan website Gereja Matraman itu sendiri.
Sampai ketemu di #KelilingKAJ berikutnya!
13 thoughts on “Melintas Masa di Matraman”