Kembali Bersama Pelangi

“Bagi yang pernah tinggal di Jogja, setiap titik adalah romantis.”

Rio tersungging membaca sebait kalimat yang tertulis di urutan 123 Fakta Unik Mahasiswa Jogja itu. Sebuah bacaan yang menarik sebelum menaiki penerbangan pagi menuju sebuah kota yang setiap titiknya adalah romantis. Rio sepakat dengan kalimat itu, tentu saja karena dia menghabiskan 7 tahun penuh cerita di Jogja. Kisah yang akan segera disambutnya seiring panggilan boarding yang paralel disertai flight mode untuk ponselnya. Tentu saja Rio tidak dapat membaca ariesadhar.com dari dalam pesawat.

Tidak butuh waktu yang cukup lama untuk mencapai Jogja. Bahkan jika penerbangannya adalah malam hari, waktu menanti terbang karena antrian pesawat justru lebih lama daripada terbang itu sendiri. Untungnya Rio menaiki penerbangan pagi yang masih lancar. Lima puluh menit lamanya waktu sejak roda pesawat beranjak dari landasan Soekarno Hatta hingga kemudian mata Rio bisa menyaksikan Stadion Mandala Krida dari jarak yang tidak jauh.

Mandala Krida
Mandala Krida

Selamat datang, kenangan!

Pesawat tampak mengerem kencang karena landasan di bandara Jogja memang terbilang pendek, sependek sumbu memori Rio pada kenangan yang ada di Jogja. Tampaknya bagi Rio memang ada yang tertinggal di Jogja. Entah apa, tapi agaknya alasan itu yang membawa Rio untuk kembali ke Jogja, sesudah bertahun-tahun lamanya melarikan diri dari kenangan.

Udara Jogja menyelinap masuk ditarik oleh paru-paru Rio. Tidak sesegar dulu, pikirnya. Mungkin memang begitu, tapi mestinya masih lebih segar dibandingkan udara yang ada di Sudirman-Thamrin. Ah, agaknya cuma masih lebih segar dibandingkan dengan udara berbaur keringat di dalam Commuter Line. Udara yang bikin jutaan orang marah ketika seorang Florence mengutuknya. Ini Jogja, bukan yang lain.

Taksi bandara nan mahal itu menjadi alat bantu mengenang Rio berikutnya. Hidupnya memang cukup sentimentil untuk menjadikannya tidak pernah kembali ke Jogja hingga bertahun-tahun, meski akses ke Jogja sudah sebegitu mudahnya.

“Deresan, Mas?”

“Nggih, Pak. Dekat Kanisius, yang jual soto.”

“Nggih, siap, Mas.”

Ya, memang mahal dan terkesan semena-mena harganya, tapi apalah arti uang bagi seorang Planning Manajer di Bexia Pharma? Ongkos taksi ini bahkan hanya senilai serbuk amlodipine yang tumpah di gudangnya. Lagipula, nilai uang dan nilai kenangan bagi sosok melankolis seperti Rio, tentu tidak bisa dikorelasikan secara langsung.

Ring Road tampak kecil, mungkin karena Rio terlalu terbiasa melihat Tol Cikampek. Jalan Gejayan begitu sumpek karena sudah terlalu banyak sepeda motor di Jogja, yang dulunya adalah kota sepeda tanpa motor. Taksi mahal yang bukan Silver Bird itu berhenti di lampu merah perempatan Condong Catur, sehingga Rio bisa meresapi semua itu. Termasuk melihat sepasang muda-mudi yang berhenti tepat di dekat jendela.

“Va, kalau aku lulus duluan, berarti kita LDR dong?”

“Ya, mungkin, Mas. Kecuali kalau kamu mau nunggu aku, atau cari kerja di Jogja.”

“Bisa, sih. Cuma kok kayaknya duitnya banyak kalau di Jakarta.”

“Gimana nanti aja, deh, Mas. Eh, lagian tumben amat ngomongin LDR? Kan ini di… Eh, udah hijau, tuh. Jalan, Mas.”

Rio terlempar hingga masa bertahun silam, pada sebuah obrolan tiba-tiba di lampu merah perempatan Condong Catur. Percakapan kecil, yang tidak ada sambungannya, tapi masih saja dikenang oleh si sentimentil itu.

Taksi mulai masuk ke gang-gang kecil di area Deresan. Soto daging menjadi tujuan Rio. Bukan semata karena perut lapar, tetapi lebih karena lapar kenangan. Bahwa di tempat rebutan tempat duduk ini, Rio berhasil menambatkan hatinya pada seorang Nikita Savana Putri. Sungguhpun hati itu tetap tertambat hingga bertahun-tahun kemudian, meski dilibas aneka peristiwa yang tidak enak.

Mungkin semangkok soto campur dapat menjadikannya enak. Yah, mengenang yang enak adalah mengenang sambil makan soto campur, pakai gorengan!

Tidak lagi ada taksi, Rio memilih untuk berjalan kaki sembari bersimbah peluh karena warung soto yang memang panas, bercampur cuaca Jogja yang juga panas. Komplet, bahkan untuk memanaskan hati sekalipun. Rio menghela napasnya, berharap soto daging dapat meredakan itu semua, meskipun jelas tidak ada korelasinya.

Langkah Rio akhirnya sampai ke sebuah penginapan. Tidak bisa disebut sederhana karena ini adalah kos-kosan eksklusif. Ketika Rio dan Sava menghabiskan masa muda, kos-kosan jenis ini tidak ada. Bahwa perkembangan Jogja memang sudah begitu luar biasa. Terkadang menjadi luar biasa mengerikan, terutama bagi yang pernah tinggal di Jogja. Mengerikan untuk melibas semua kenangan kesederhanaan yang pernah terpatri bertahun-tahun di benak mereka.

Membaringkan diri sejenak mungkin adalah ide bagus. Tanpa melepas pakaiannya, Rio meluruskan badannya di atas kasur. Sayup-sayup terulang rekaman percakapan dari masa silam.

“Mas, maaf. Aku nggak bisa meneruskan hubungan ini,” ujar Sava sambil tertunduk lesu, “Tapi kita tetap bisa menjadi sahabat yang baik. Kamu tetap bisa jadi Mas untuk aku.”

“Maksudmu, Va? Mas? Aku sudah jadi Mas untuk dua adik. Buat aku itu cukup.”

“Ya, terserah kamu memandangnya, deh, Mas. Tapi sudah jelas, kita nggak bisa bersama lagi.”

“Sesudah bertahun-tahun yang kita habiskan bersama?” tanya Rio dengan mata berkaca-kaca.

“Menurutmu apakah hubungan kita ini benar?”

“Iya. Memangnya apa yang salah?”

Sava terdiam begitu Rio bertanya. Bibirnya mulai membentuk simpul dan sekilas terdengar isakan tangis, dari hati yang paling dalam.

“Baiklah, Mas. Memang tidak ada yang salah. Kecuali satu, hati aku. Di hati aku tidak ada kamu, Mas. Ada lelaki lain yang sejak dulu berusaha aku abaikan, tapi nyatanya memang dia yang ada disini,” kata Sava sambil memegang dadanya.

Gantian Rio yang diam, tanpa melontarkan argumen tambahan. Suasana menjadi hening. Bahkan cicak mengunyah nyamukpun terdengar dalam keheningan yang tidak biasa itu.

* * *

Mengenang mungkin adalah pekerjaan pensiunan belaka. Makanya, ketika Manajer sibuk macam Rio melakukannya, yang terjadi justru ketiduran. Untungnya–atau mungkin sialnya–ada telepon dari supplier yang mengirim bahan baku di hari Sabtu. Sisi sialnya, Rio harus belibet meminta anak buahnya masuk. Sisi baiknya, Rio terbangun. Sisi buruk tambahan, ternyata hawa panas tadi adalah pengantar hujan.

Rio keluar dari taksi sambil berlari kecil, menuju lobi gedung pertemuan. Sebuah paras yang sangat dikenal oleh Rio tampak tersenyum di sebuah foto yang dipasang di lobi gedung pertemuan. Rio mengambil napas dalam-dalam, seakan itu napas terakhir yang dimilikinya. Langkahnya kemudian tegap untuk masuk ke dalam gedung pertemuan, bahkan lebih tegap dibandingkan langkahnya dalam Demand Supply Meeting nan mengerikan itu.

Rio maju, menemui pria tampan dengan setelan jas keren yang ada di panggung, sambil berkata, “Selamat, ya! Semoga langgeng sama Sava.”

Bergeser satu langkah, Rio dan Sava berhadapan. Keduanya bersamalan–tentu saja tidak berciuman. Ketika itu hujan berhenti dan dari celah-celah gedung tampaklah pelangi.

Advertisement

One thought on “Kembali Bersama Pelangi”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.