Anak itu tercipta lewat pertemuan sel telur dan sperma yang lagi iseng pengen main-main ke ovarium. Nah, anak pertama adalah sperma pertama yang kebetulan ketemu dan jodoh dengan sel telur yang ditemuinya. Anak kedua? Tentu saja adalah sperma kedua yang sukses bertemu jodohnya di dalam sana.
Nah, jadi bisa dipastikan bahwa nggak ada satupun anak di dunia yang bisa memilih pengen jadi anak nomor sekian. Jadi semisal si sperma X ini punya angka favorit 7 karena menggemari Cristiano Ronaldo, dia nggak bisa milih bakal jadi anak ke-7, soalnya orangtuanya sudah KB. Bakal susah juga kalau dia penggemar JKT48, karena di era modern ini nggak ada orangtua yang anaknya sampai 48.
Yup, menjadi anak sulung adalah sebuah fakta, kenyataan yang kudu dihadapi. Siap atau tidak siap. Saya sendiri mungkin bisa dibilang nggak siap jadi anak sulung. Salah satu yang pernah dikisahkan oleh ahli-ahli sejarah kepada saya adalah bahwa saya pernah dengan tangisan maksimal meminta orangtua membuang adik saya.
“BUANGGG!!!”
Dasar balita yang tidak berperikebayian. Hih!
Anak sulung juga memiliki aneka sisi yang sifatnya pro dan kontra untuk dijustifikasi sebagai keuntungan atau kerugian. Kalau membaca kitab suci, tulah nomor 10 bunyinya jelas: anak sulung mati. Iya, nyebutnya jelas banget kalau yang mati itu anak sulung, bukan anak tetangga. Sisi positifnya, kenapa tulahnya demikian tentu saja karena posisi anak sulung di era Kitab Kejadian itu sebegitu pentingnya.
Belum lagi kalau kita melihat ke salah satu adat, misal Batak. Seperti yang pernah juga saya tulis disini, bahwa nama anak sulung secara otomatis akan menjadi nama panggilan bagi orangtuanya. Jadi kalau nama anak sulung itu Tukirin, maka panggilan orangtuanya adalah Pak Kirin dan Mak Kirin.
Nah, berikut ini ada beberapa aspek yang dilakoni oleh anak sulung, silakan memberikan pendapat sendiri apakah aspek-aspek itu tergolong keuntungan atau kerugian jadi anak sulung.
Bebas Memulai
Kemarin saya melihat berita, seorang ibu dengan anak 10, dan 8 diantaranya adalah dokter! Jadi, ceritanya, adik-adik yang 7 itu mengikuti jejak kakak sulungnya yang masuk kedokteran. Kalau anak kedua, ketiga, dan seterusnya sampai anak tetangga cenderung akan melihat anak sulung sebagai acuan.
Pada posisi ini jadi enak dan nggak enak juga. Enak karena anak sulung nggak akan terbebani pernyataan, “udah, kayak si abang aja”. Nggak enak karena anak sulung cenderung kekurangan contoh untuk melangkah ke tahapan yang lebih tinggi. Pada banyak kasus, anak sulung akan jadi sarana coba-coba. Kalau sukses maka pernyataan yang muncul adalah:
“Nah, kayak si abang itu loh.” *Si Abang datang sambil kipas-kipas*
Kalau gagal:
“Jangan kayak si abang ya.” *Si Abang duduk di pojokan sambil garuk-garuk aspal*
Beban Moral
Sebagai seorang anak yang hampir mati karena panas tinggi ketika bayi, kemampuan fisik saya memang sangat payah. Jadi, jangan bandingkan dengan adek saya soal ini. Kalau dia bisa lari keliling lapangan 7 kali dalam 12 menit, saya hanya bisa 6 kali, itu juga dengan konsekuensi jatuh pingsan sesudah 12 menit. Kalau adek saya bisa panjat sana panjat sini, saya nggak bakal bisa disuruh manjat karena beban dosa saya sudah terlalu berat, jadi nggak kuat naik tangga.
Belum lagi kalau ngomong kepintaran, dibandingkan dengan adek saya yang cewek. Jika dia di SD rangkingnya sangat monoton–kalau nggak 1, ya 2, kalau nggak 2, ya 3–saya justru berpetualang dari rangking 1 sampai 10. Kalau adek saya itu punya setumpuk koleksi piagam juara kelas, saya hanya punya setumpuk koran bekas.
Nah, kalau sama adek yang bungsu, janganlah diperbandingkan dari sisi muka. Mukanya adek saya yang bungsu sudah cukup terlalu tampan sebagai seorang lelaki. Sayangnya dia masih sekurus pengungsi kelaparan. Kalaulah sedikit berisi, mungkin gadis-gadis sudah antre. Kalau saya? Gadis-gadis juga antre kok, untuk meludahi.
Gimana coba rasanya jadi anak sulung yang diperbandingkan dengan adek-adek yang lebih baik? Ada dua sisi juga, bangga karena adek-adeknya lebih baik, tapi juga galau karena berasa kalah gaul dibandingkan adek sendiri.
Tanggung Jawab
Di buku saya, Oom Alfa, dalam bab ‘Wali Murid Unyu’, saya sudah menceritakan bahwa di usia 18 tahun, saya sudah menjadi wali murid bagi adek saya yang cewek. BOLEH LOH DIBELI KALAU PENGEN BACA LEBIH LENGKAP.
Sebagai anak perantauan, anak sulung adalah perwakilan orangtua. Hal itulah yang saya alami ketika menjadi wali murid bagi adek saya. Bahkan enam bulan terakhir ini, saya juga ke Jogja dalam rangka mengambil raport adek saya yang bungsu. Sungguh keren si bungsu ini, walinya sudah kayak jenis bis, AKAP–Antar Kota Antar Propinsi.
Sisi tanggung jawab juga disandang kebanyakan anak sulung agar segera bisa melepaskan diri dari tanggungan orangtua. Kebetulan kalau saya belum sampai pada level membantu orangtua secara finansial karena sebenarnya orangtua saya lebih kaya dari saya. Tapi ketika masa-masa perjuangan, berhasil tidak dikirimi uang lagi oleh orangtua itu rasanya sudah merupakan kebanggaan besar seorang anak sulung.
KAPAN KAWIN?!
Nah, ini paling menyebalkan, bahkan berkontribusi menjadi salah satu alasan saya malas mudik. Kalaulah mudik sih enak, ketemu orangtua, dimasakin nasi goreng, dan nggak bayar pula. Tapi tetangga-tetangga dan rekan-rekan orangtua nan rese itu kan tahu kalau saya anak sulung. Maka, pertanyaan yang selalu muncul adalah, “KAPAN KAWIN?”
Setahu saya pertanyaan semacam itu tidak terlontar kalau mereka ketemu adek-adek saya, apalagi yang bungsu. Yah, namanya jodoh dan rezeki serta anak kan di tangan Tuhan. Orang-orang yang sering nanya “kapan kawin?” memang pantasnya ditanyai balik, “kapan mati?”
Well, kadang-kadang saya juga kepengen nggak jadi anak sulung. Momen itu biasanya pada saat adek saya minta duit dengan mudahnya. Dan entah kenapa saya kasih juga. Masalahnya, dulu saya nggak bisa minta duit selain dari orangtua. Lah, apalagi adek saya yang bungsu ini, selain dari orangtua, dia punya 3 keran yang bisa mengucurkan duit. Kayaknya sih enak, gitu.
Sebenarnya itu hanya pikiran sesaat kok. Sejatinya menjadi seorang anak sulung itu nasib. Nggak bisa ditolak juga, semisal dengan meminta adek bertukar tempat dengan kita. Satu hal yang penting adalah selalu berusaha menjadi anak yang baik, sehingga bisa berbakti kepada orangtua, bangsa, negara, dan tetangga.
Salam sulung!
bagus… bagus… huakakakakaka
LikeLike
Opo jal?
LikeLike
Bener bangetlah. Kalo yang terakhir sih belum dialami, masih kuliah soalnya 😀
LikeLike
Nanti pasti ngalamin 🙂
LikeLike
yah kayaknya kita senasib neh…
enaknya jadi anak sulung kita ga pernah pake barang second kayak adik kita, adik kita secara ga langsung pasti pake barang2 bekas kita dl kayak, baju, mainan, tempat makan 🙂
LikeLike
Oiya, lupa.. Bener banget tuh, barang baru selalu 🙂
LikeLike
Emang enak ya jadi anak bungsu. 😎
LikeLike
Yg nggak enak itu klo jd anak tetangga kok.. Hehehe..
LikeLike
Tapi enak ah. Kan rumput tetangga mah lebih hijau.
LikeLike
Hari gini rumah uda jarang yg ada rumputnya 😦
LikeLike
beneeeeeer bgt ka. gue anak sulung dan merasakn itu, kecuali yang ‘kapan nikah?’ itu malah ‘kapan tunangan?’ padahal masih SMA. paraaaah orang jaman skg. hahahaha
btw, mampir-mampir ya kak ke blog gue http://fitrawwrr.blogspot.com/ thankyouuuu
LikeLike
Buset.. Masih SMA udah ditanyain gitu.. Wah..
Uda mampir ya.. 😀
LikeLike
Jadi anak pertama tanggung jawabnya gede banget. 🙂
LikeLike
Tentu sajah.. :))
LikeLike
Kurang itu Kak setiap adek buat salah kita yg disalahin macam aku 😢😢😢😢😢😢
LikeLike
#PukPukPuk
LikeLike