Saya memang absurd. Tapi saya tidak hendak membahas soal absurd itu karena absurd sudah dipakai oleh banyak orang. Salah satu contoh ke-absurd-an saya adalah rela-relanya melakukan perjalanan spiritual ke toko-toko buku semata hendak melihat buku saya Oom Alfa nangkring di toko buku.
Di Jakarta sendiri saya sudah bertualang mulai dari Plaza Semanggi sampai Pluit Village, mulai Central Park sampai Pejaten Village, semata untuk melihat buku dengan judul Oom Alfa di rak toko buku. Yeah. Begitulah saya.
Nah, berhubung konten Oom Alfa itu memuat tentang Jogja. Nggak afdol kalau saya tidak melakukan perjalanan spiritual ke kota asal kisah Oom Alfa ini. Termasuk juga pasar di sekitarnya, setidaknya Klaten dan Magelang. Dan dengan latar belakang yang juga absurd, akhirnya saya sampai juga ke Jogja dan sekitarnya, untuk kemudian bersama Bang Revo bertualang ke tempat-tempat yang kira-kira ada Oom Alfa disana.
Saking absurdnya saya, selalu ada kelakuan aneh. Semisal waktu mudik, saya berangkat ke Rumah Sakit Stroke Nasional hanya untuk bertanya apakah produk dari perusahaan tempat saya bekerja dijual disana atau tidak. Mungkin ini terkait dengan latar belakang profesional saya sebagai orang Supply Chain. Nah, hal yang sama saya lakoni di konteks Oom Alfa. Seperti saya bilang, Oom Alfa ini semacam anak saya. Dan saya ingin melihatnya berprestasi. Salah satunya tentu melihatnya nangkring, untuk dibeli orang.
Apa hasilnya dua hari, ratusan kilometer, bersama Bang Revo?
Jauh-jauh ke dua kota di sekitar Jogja itu, tidak ada Oom Alfa. Hehehe.
Nggak apa-apa, namanya juga perjalanan spiritual, tidak selalu kehendak yang diperoleh. Justru saya harus berpikir bagaimana usaha yang bisa saya kerahkan untuk memperluas cakupan si Oom Alfa ini. Dalam konteks yang sama saya bersyukur ada di penerbit dan jaringan yang ini, karena dari sekian perjalanan, saya lebih banyak menemukan Oom Alfa daripada tidak. Sementara di toko buku yang tidak ada Oom Alfa-nya, saya menemukan beberapa buku yang tidak saya temukan di toko yang ada Oom Alfa-nya. Ribet dah. Maksud saya, toh saya jauh lebih beruntung daripada beberapa penulis yang saya kenal, yang harus mengurus sendiri promosi bukunya.
Saya? Bahkan Oom Alfa hari ini masih jadi ava akun Twitter penerbit. Masih nggak bersyukur? Berarti saya gila beneran.
Sekarang saya hendak menyudahi tahapan perjalanan spiritual kali ini, dengan posting ini, di hari Blogger ini. Di saat yang sama, saya jadi nostalgia bareng Bang Revo, sebuah sepeda motor yang menjadi teman ketika saya sukses lulus sarjana 3,5 tahun dan menjadi benda yang paling berjasa dalam rampungnya skripsi saya.
Ah, sentimentil kali. 😀
Kita sama, sama-sama ke Gramed dan pengin ngeliat (baca: jejerin) buku sendiri berprestasi untuk dibeli. Hahah.
LikeLike
Ssstttt.. Yang dalam kurungnya itu jangan diumbar, nanti ketahuan.. HAHAHAHA…
LikeLike
ooooooh… jadi itu alasan saudara datang ke jogja tempo hari, yang “Jangan bilang Mamak” itu ya?
LikeLike
Benar ki sanak..
LikeLike