Misi #KelilingKAJ kembali lagi pekan ini. Sesudah Blok Q dan Bidara Cina serta diselingi oleh Kolese Kanisius, saya pengen sesuatu yang berbeda kali ini. Blok Q kan masuk Dekenat Selatan, Bidara Cina ikut Timur, Pusat ya tinggal Jalan Malang yang belum pernah saya injak. Kayaknya seru juga kalau beranjak ke sisi Barat, namun tidak mencari kitab suci bersama OOM ALFA. Sesudah mencari angin yang berhembus, maka keputusan dibuat. Sasaran berikutnya adalah Paroki Bunda Hati Kudus atau yang sering dikenal juga sebagai Paroki Kemakmuran.
Ada beberapa alasan saya memilih dan menetapkan Paroki Kemakmuran sebagai TKP #KelilingKAJ. Pertama adalah karena kaki kiri saya cedera kecil pas futsal kemaren, sehingga harus mencari yang dekat-dekat dengan sarana transportasi umum. Kedua, gereja ini berlokasi di Jalan Hasyim Ashari. Siapapun tahu bahwa KH Hasyim Ashari adalah pendiri Nahdlatul Ulama yang juga adalah ayah dari KH Wahid Hasyim, ulama terkemuka Indonesia. KH Wahid Hasyim sendiri adalah ayah dari Presiden paling nyentrik Republik Indonesia versi saya, Gus Dur. Bukankah hal menarik bahwa di Jalan Hasyim Ashari berdiri sebuah Gereja? Apalagi ketika saya masuk, di layar tertera ucapan selamat datang, berikut alamat jelas yang notabene adalah nama tokoh Islam besar di Indonesia. Sesungguhnya saya terharu, bahwa sebenarnya Indonesia bisa kok saling menyayangi satu sama lain.
Mengacu pada sejarah paroki di parokibhk.com, disebutkan bahwa Gereja Kemakmuran ini merupakan Gereja generasi kedua di Keuskupan Agung Jakarta, bersama Kramat, Matraman, Theresia, Kampung Sawah, Mangga Besar, Tangerang, dan Priok. Pelayanan di Paroki ini dipelopori oleh para Pastor MSC sejak tahun 1931. Tahun 1935, Pastor Anton Brocker, MSC membeli rumah di Gang Chaulan No. 21-23 untuk berdirinya Gereja pembantu Paroki Katedral yang dinamakan “Onze Lieve Vrouw van het Heilig Hart” alias “Bunda Hati Kudus”. Tempat ini kemudian bernama Jalan Kemakmuran, dan lalu menjadi Jalan Hasyim Ashari. Jadi, Kemakmuran itu bukan soal Gerejanya makmur ya. Toh, di sebelahnya sedikit ada GOR Kemakmuran. Mungkin yang berolahraga di tempat tersebut makmur semua.
Untuk menjadi Paroki Bunda Hati Kudus sendiri, rintisannya dilakukan ketika Mgr. Willekens, SJ menyerahkan reksa pastoral satu bagian dari wilayah Gereja Katedral seluas wilayah Paroki Kemakmuran kepada Tarekat MSC pada tanggal 19 Mei 1938. Sesudah Indonesia merdeka, tepatnya 1964 dibangunlah Gereja yang sekarang ini dan diresmikan pada tanggal 30 Juli 1967 oleh Mgr. A. Djajasaputra, SJ.
Dari Halte Harmoni, cukup berjalan kaki ke arah Kota, atau lihat gedung Lion Air–dengan tulisan NULion besar sekali. Jangan lurus, karena itu Jalan Gajah Mada. Belok kiri dan seketika akan terlihat salib besar menjulang. Susuri jalan tersebut hingga ketemu jembatan penyeberangan. Jangan menyeberang sembarangan karena itu dilarang oleh Bang Rhoma, eh, karena jalan itu dipagari tengah-tengahnya. Begitu ketemu jembatan penyeberangan, menyeberanglah, karena persis di seberang akan tambah Sekolah Tarsisius 1. Gereja Kemakmuran berada persis di sebelah sekolahan ini. Di sebelah sananya persis berbatasan dengan saluran air. Well, itu mungkin sebabnya ketika saya masuk ke Gereja ini, yang mengerubungi terlebih dahulu bukanlah gadis-gadis, tapi nyamuk. Patokan lain, kira-kira di depan hotel paling menjulang sejalanan ini, Merlynn Park. Saya kok khawatir kalau hotel ini ketiup ya. Pipih pisan.
Karena datang kepagian, seperti juga #KelilingKAJ lainnya, saya mampir dulu ke Patung Bunda Maria yang terletak agak nyempil. Kenapa begitu? Jadi, pintu masuknya sebutlah ada di pintu sisi kiri Gereja. Pintu tengah ditutup, entah kenapa. Nah, di sebelah kananlah Gua Maria di Gereja Kemakmuran ini berada. Atau persis di bawah menara salib nan menjulang itu.
Ketika waktu menunjukkan 45 menit sebelum misa, saya masuk ke gedung Gerejanya. Kesan tua jelas tampak, tapi tidak setua ketika kita masuk ke Bidara Cina. Mungkin karena aspek kayu yang mendominasi di bagian plafon, dan pas pula plafonnya lumayan rendah. Kayu juga menjadi latar dari altarnya. Unik, ada bentuk segitiga yang tidak sekadar segitiga dua dimensi, tapi tiga dimensi dengan menjorok ke belakang sehingga salib di altar tampak menggantung. Tentu saja tidak menggantung, karena ada kayu penyangga di belakangnya.
Sakristi berada di sisi kanan dari altar, jadi kira-kira sama dengan Gereja Santa. Adapun koor di sebelah kiri altar. Meski berkesan vintage, tapi Gereja ini sungguh hi-tech dengan dua buah infocus yang bahkan memberikan slide-slide prolog perihal puasa dan pantang. Sesungguhnya, saya berasa nonton di TwentyWan, karena diperingatkan soal mematikan HP. Eh, sudahlah demikian, masih ada lho umat yang HP-nya berdering pada saat misa. Disitu kadang saya merasa sedih.
Komentator tanpa jubah membuka misa, di mimbar bawah, jadi beda dengan Bidara Cina. Begitu rombongan nongol saya langsung jatuh cinta dengan baju lektornya. Tidak sekadar jubah putih, namun ditambahkan kain yang menutupi bagian tengah jubah, di depan dan belakang. Kalau belakang doang, mungkin kayak superman tobat. Tentunya hal itu menarik perhatian saya, selain ditunjang oleh Lektor Bacaan I-nya yang manis dan masih muda. Bacaan II-nya sih bapak-bapak, sungguh saya tiada tertarik. Adapun petugas mazmur ikut di rombongan lektor dari dalam sakristi.
Tabernakel di tengah, namun kursi Romo tidak di tengah, namun di sisi kanan altar dengan posisi miring alias menghadap ke tengah a.k.a umat. Lektornya sendiri duduk di bangku depan, bersama dengan Prodiakon dan baru maju ketika ibadat sabda dimulai. Buku sumber bacaan juga tidak dibawa, namun disimpan di mimbar bacaan. Saya membayangkan ketika yang bertugas adalah petugas-dadakan-baru-dipanggil-lima-menit-sebelum-misa-karena-nggak-ada-orang. Kapan belajarnya?
Saya angkat topi dengan petugas tata tertib yang sungguh keren. Untuk kolekte saja, mereka baris dari belakang, baru maju menyebar dua kantong beludru. Well, kayaknya dari misi #KelilingKAJ, kecuali misa di CC yang khusus, saya selalu mendapati dua kolekte. Apakah itu terkait dengan AC yang ada di dalam Gereja? Bisa jadi, sih. Kolekte sendiri menggunakan kantong beludru dengan besi yang kokoh. Mirip di Cikarang, namun lebih besar.
Oya, entah kebetulan apa memang selalu begini, misa yang saya hadiri terbilang sepi. Bagian depan praktis kosong, sebelah saya juga kosong–meski saya berharap ada gadis remaja muda belia nan cantik jelita yang ada disana. Tiga meter dari saya ada remaja muda belia nan cantik jelita, sih, tapi persis diantara kami ada neneknya. Okesip. Ini juga tren unik Gereja Katolik, sudah jelas depannya kosong, kenapa nggak diisi duluan ya?
Pembagian komuni tidak menggunakan baris tengah, namun membuat baris di masing-masing sisi. Depan satu, belakang satu. Karena kebetulan ada pilar, jadi barisan antrean komuni juga harus ketatap pilar dalam beberapa langkah. Nggak apa-apa, daripada ketatap kaki langit?
Satu terobosan paling kece dari Gereja Kemakmuran adalah pada saat pengumuman. Saya nggak berasa di Gereja, berasa lagi di kampus apa di kantor gitu karena setiap pengumuman disertai teks yang tampil di layar. Jadi, umat nggak ada alasan untuk tidak memperhatikan karena memang sebagai eks lektor saya menyadari bahwa nggak banyak orang yang menyimak pengumuman. Buktinya, sudah jelas diumumkan misa Rabu Abu, tapi yang menelepon ke pastoran buat nanya misa Rabu Abu banyaknya mengalahkan jumlah gol yang bersarang ke gawang David De Gea.
Nah, kebetulan yang hebat adalah saya datang ketika Gereja Kemakmuran sedang berbagi kemakmuran dalam rangka Imlek. Ini adalah pertama kalinya dalam hidup saya ada pemberkatan jeruk. Wow! Karena saya adalah pecinta gratisan, maka meski saya bukan Tionghoa–apalagi Tiongkok–saya tetap ngantre jeruk dan angpau yang dibagikan oleh Romo yang sudah didandani mirip Wong Fei Hung. Ciat! Jeruknya lumayan buat santapan ringan. Angpaunya ada duitnya kok, walau hanya cukup untuk bayar TransJakarta jam 5 pagi. Namun yang lebih dari itu, ada kertas berisi Sabda Tuhan. Yang saya dapat berbunyi:
“Tuhan Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela. (Mazmur 84:12)”
Sesudah misa berakhir, saya bergegas keluar karena agak takut juga pulang malam-malam, mengingat daerah yang saya datangi ini terbilang di-dalam-keramaian-aku-selalu-merasa-sepi. Hampir semua ruko yang saya lewati tutup! Saya jadi bingung, bagaimana bisa makmur kalau dagang aja nggak? Oh, iya, sesudah di Bidara Cina saya melihat umat keluar dari pintu samping meski jelas-jelas sudah ditulis untuk keluar dari pintu tengah, maka di Kemakmuran, yang saya lihat adalah profil khas Jakarta.
Bahwa P coret itu mungkin berarti pejalan kaki dilarang protes, bukan mobil dilarang parkir. Ealah. Memang, sih, sebagai Gereja lawas–ingat, ini adalah generasi kedua–maka problem parkir pasti akan ada. Ketika dibuat, siapa sangka sekarang jumlah mobil di Jakarta ini melebihi jumlah mantannya Hugh Hefner yang dikuadratkan dengan jumlah mantan Aurel Hermansyah?
Jadwal misa mingguan di Gereja Kemakmuran sendiri adalah pukul 17.00 di hari Sabtu. Untuk hari Minggunya, tersedia 3 misa yakni pukul 06.30, 08.30, dan 17.00. Misa harian dihelat pukul 06.00. Misa Jumat Pertama digelar pukul 12.00 dan18.30. Well, di luar umat yang tampak sepi, tertatanya peribadatan di Gereja Kemakmuran ini menjadi catatan tersendiri buat saya dalam misi #KelilingKAJ ini. Plus, bagi-bagi jeruk dan angpau menjadi sebuah bentuk inkulturasi yang menurut saya keren. Karena keren, mari kita makan saja jeruknya. Nyam!
14 thoughts on “Santapan Ringan dari Gereja Kemakmuran”