Mama Isto sudah berlibur dengan Isto ke rumah Eyang. Walhasil, bapaknya jadi bujang dadakan. Nah, bertepatan dengan malam kedua saya jadi bujang lokal, nongol film layak nonton yang memulai periode tayangnya. Nama lengkap film ini adalah “Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga)” dan merupakan spin off dari film legendaris Indonesia “Ada Apa Dengan Cinta”. Sederhananya kita sebut sebagai Milly dan Mamet saja, yha~
Well, saya bisa katakan bahwa pilihan Mira Lesmana dan Riri Riza menyerahkan sosok Milly dan Mamet ke Ernest Prakasa adalah sebuah perjudian. Pertama-tama karena Ernest sendiri baru menggarap 3 film sebelumnya, meski sudah jadi pemain di banyak film. Tiga film Ernest-pun boleh dibilang ceritanya dekat dengan pribadi Ernest.
Pertama, Ngenest, yang jelas-jelas tokohnya ya Ernest. Kedua, Cek Toko Sebelah, yang tampaknya adalah pengalaman keluarga Ernest. Agak jauh sedikit ya Susah Sinyal, tapi itu juga menurut saya terlalu banyak komika yang main. Sebagai netizen yang selalu benar, saya kan memang hanya bisa berkomentar. Heuheu~
Cerita diawali dengan latar tahun 2013 kala reuni SMA. Pada saat itu, Mamet (Dennis Adhiswara) bertemu kembali dengan Geng Cinta yang sudah kehilangan Alya. Momen reuni ini kemudian memberikan percikan momen kebersamaan antara Milly (Sissy Priscillia) dengan Mamet. Ada upaya recall dengan informasi yang kita ketahui pada AADC bahwa Mamet sebenarnya naksir Cinta.
Penggemar AADC pasti nggak asing karena di AADC2 mereka dikisahkan sudah menikah, bahkan pada ending film yang reviewnya bisa dibaca disini, mereka malah sudah punya anak. Boleh dibilang, sebagian kecil awal film adalah prekuel AADC2, sedangkan sisanya bisa dibilan sekuel, meskipun diakui sebagai spin off.
Milly dan Mamet kemudian hidup berumah tangga sebagai pasangan milenial. Mamet bekerja di pabrik konveksi milik Pak Sony (Roy Marten), mertuanya. Sedangkan Milly di rumah saja mengurus anak, bersama ART-nya yang bernama Sari (Arafah Rianti). Dalam perspektif drama tiga babak, bagian ini merupakan part-nya Dunia Tak Sempurna untuk babak pertama.
Dari sisi plot, agak sumir bagi saya untuk mendefinisikan dua part berikutnya, namun kira-kiranya sih Point of Attack dan Penolakan dalam kisah ini agak nyerempet dan berkejar-kejaran. Diawali oleh pesan singkat dari Alexandra kepada Mamet untuk bersua dan berujung pada tawaran untuk mendirikan restoran bersama, Mamet kemudian mendapati penolakan dari mertuanya sendiri terhadap pilihan yang dia ambil untuk pabrik. Sesuatu yang jelas bikin bete.
Di sela-sela dua momen penting itu, penonton disuguhi dialog-dialog khas rumah tangga muda, termasuk adegan-adegan khas rumah tangga muda beranak 1 masih bayi. Saya sendiri agak menyayangkan pola pikir Mamet soal keberadaan Sakti di antara dirinya dan Milly. Wong, ada anak di tempat tidur itu menurut saya justru kebahagiaan, je.
Dalam babak pertama ini, sekali lagi, part-part pentingnya memang tampak agak berkejar-kejaran. Akan tetapi kita perlu pahami bahwa aspek-aspek kecil rumah tangga muda seperti Milly yang ingin rebahan tapi gagal karena bayinya nangis, Milly yang susah payah menidurkan Sakti, hingga eksplorasi peran Sari sebagai ART merupakan bagian penting dari bangunan skenario.
Pada akhrinya, rentang waktu antara tawaran Alex, diskusi dengan Milly sambil sikat gigi, hingga pilihan Mamet untuk resign dari pabrik tampak begitu cepat. Yha nggak apa-apa juga, durasi dan plot memang harus diseimbangkan, walaupun kadang ada yang dikalahkan.
Milly kemudian memberikan support kepada Mamet pada usaha barunya. Namun tentu saja, ada risiko yang harus ditanggung. Ada adegan ketika Milly menanti Mamet pulang hingga pukul 20.30. Ada juga adegan Mamet pulang malam dengan anak istri sudah tidur. Kalau adegan gitu doang, mah, saya pas musim RDK juga sering banget begitu. Segitunya malah saya kudu cuci piring segala. Begitu kok nggak ada yang memfilmkan, yak?
Bagian tadi dalam konstelasi babak kedua pada konsep drama tiga babak dapatlah disebut sebagai Usaha Awal yang dilanjutkan dengan Kemenangan Palsu berupa diresmiannya restoran ‘Chef Mamet’. Persis ketika Kemenangan Palsu terjadi, ancaman diam-diam langsung dimunculkan juga secara diam-diam.
Munculnya sosok terdakwa kasus hukum yang divonis bebas dan ternyata investor restoran menjadi pemicu sebelum kemudian Milly tampak tidak dianggap oleh Mamet pada saat peresmian itu. Muatan curhat Milly kepada Maura juga menjadi kunci.
Part Kejatuhan dan Masa Yang Kelam dalam rangkaian cerita Milly dan Mamet ini juga lagi-lagi terasa berlangsung begitu cepat. Entah karena saya terbawa cerita, atau memang rentangnya diset begitu.
Milly kemudian mencari kesibukan demi mewaraskan diri dengan memegang pabrik konveksi Pak Sony menggantikan Mamet, sementara sang suami sibuk di restoran. Anak? Dititipkan ke Sari, seperti halnya para orangtua milenial lainnya. Peran baru Milly inilah yang menggiring cerita pada klimaks film ini. Khusus bagian ini, bagi saya film Milly dan Mamet menjadi bukan film komedi, melainkan drama keluarga.
Saya bisa pastikan bahwa konflik yang dibangun sejak awal hingga part Kejatuhan dalam Babak Kedua merupakan sebagian masalah sehari-hari pasangan muda. Sehingga, kisah ini juga bisa menjadi profil kehidupan masa depan bagi orang-orang yang belum menikah dan ngebet pengen nikah.
Saya sebut sebagian karena ada begitu banyak konflik lain yang ada dalam rumah tangga. Seperti bibik yang 2 minggu nggak betah, bibik yang minggat karena mau dikawini orang, tetangga biadab yang renovasi rumah tapi ngerusak rumah orang, dll. Menurut ngana kawin itu enaknya doang, ha?
Solusi yang muncul di akhir cerita bagi saya terlalu sederhana, walaupun ya memang itulah solusinya. Namun dengan konflik yang dibangun sudah lumayan ciamik, pamungkasnya jadi agak kurang nendang. Mungkin bisa ditambah adegan minggat atau marah-marahnya lebih ganas atau lain lagi. Mamet dan Milly dalam film ini menjadi sosok yang sama-sama sabar dan ini juga yang bikin konflik jadi tidak jeder-jeder, melainkan kayak naik Gajah Bledug.

Film ini menawarkan komedi dan drama dalam porsi yang seimbang. Dalam komedi ada drama, dan dalam drama terselip pula komedi. Peran para komika yang sudah diwanti-wanti netizen untuk tidak berlebihan juga sudah disesuaikan serta tidak ada peran yang dipaksakan. Arafah sendiri menurut saya sukses menjadi profil pembantu masa kini. Dia hanya kurang main HP saja.
Saya perlu angkat jempol pada akting dari Dinda Kanyadewi sebagai Lela dan Melly Goeslaw sebagai Mamah Itje dengan akting ciamik yang tidak disangka-sangka. Padahal dulu akting Dinda tampak biasa aja. Atau karena kebanyakan zoom in-zoom out ala sinetron, yak? Bintang lain yang juga wajib diberi pujian adalah Isyana Sarasvati. Sosok cantik yang bikin kita dengan sukses terjebak pada kebingungan soal si anjing, kucing, dan monyet.
Sekali lagi, terlepas dari plot yang sebenarnya bisa lebih di-jeder-jeder-in lagi, saya tetap menaruh hormat pada cara Ernest menempatkan detail. Saat main hewan-hewanan serupa Zoomov misalnya, promo koin itu ya memang begitu adanya. Macannya diganti muka jadi macan yang dulu terkenal di Indonesia sehingga jadi lucu.
Intinya, film ini layak tonton untuk keluarga muda dan milenial. Segmen ini sekaligus balada bagi Milly dan Mamet, lha wong saya saja bisa nonton tertolong fakta bahwa anak saya sedang berlibur dan sayapun nonton kayak jomblo. Semoga para keluarga muda non ART seperti saya bisa mencari solusi untuk menitipkan anaknya agar bisa nonton dan belajar sedikit-sedikit dari film ini.
Paling penting, tentu saja para penggebet nikah muda yang sangat saya sarankan nonton film ini untuk sekadar tahu bahwa menikah itu berat karena menikah itu bukan solusi. Menikah itu adalah sebuah misi kehidupan yang harus dijalani dengan kesiapan jiwa raga~
One thought on “[Review] Milly dan Mamet: Sebuah Drama Keluarga”