Hari libur, Mama Isto lagi pengen makan sushi, katanya. Kebetulan, kontrakan kami nggak jauh-jauh benar dari mal yang begitu hits dengan hal-hal berbau Jepang, AEON. Jadilah kami memutuskan untuk dolan ke mal yang pada jam sibuknya itu bahkan lebih tidak manusiawi daripada sekadar ITC tersebut. Dolan membawa anak bayi. Yiha.
Benar saja, begitu sampai dan mengarah ke tempat makan AEON, kami gagal mendapatkan bangku. Banyak bangku kosong, sih, tapi diakui oleh bapak atau ibu di sebelahnya sebagai ‘ada orangnya’, meskipun saya pantau 10 menit ya nggak ada orang sama sekali yang menduduki kursi tersebut. Yha, mungkin tuyul mereka yang ikutan makan sushi.
Jadilah kami minggir ke sisi lain AEON yang boleh disebut sebagai food court-nya. Tempat diperoleh, makanan dipesan, hidup bahagia. Lebih bahagia lagi karena Istoyama makannya lahap sekali. Sampai ramen yang notabene buat bapaknya diembat juga. Padahal ramennya spicy sekali, tapi dia tampak tidak gentar sama sekali.

Kalau lagi bertiga saja, saya dan Mama Isto memang makan bergantian. Salah satunya akan fokus pada Isto. Entah menyuapi, entah sekadar mengajak main. Ketika jatah ramen saya tandas, tentu gantian dengan mamanya. Saya lalu membawa Isto ke sebuah kereta dorong milik seorang bayi lainnya yang sedang terlelap di meja sebelah. Dalam hal ini, AEON memang termasuk salah satu mal paling ramah. Masalahnya, pengunjungnya warbiyasak banyaknya. Jadilah, baik stroller maupun kereta dorong yang banyak itu habis juga.
Baru dua langkah Isto napak di AEON, saya mencium bau yang cukup familiar. Sigap, saya mengangkat pantatnya dan mencium aroma yang memang familiar.
Yeah, bayi ini pup, saudara-saudari.
Bagi saya, tempat-tempat yang dipilih Istoyama untuk pup memang mengagumkan. Sebelumnya, kami pernah lari-lari di Living World karena dia juga pup dan bocor. Tentu juga termasuk di langit sebagaimana kisah sebelumnya. Masih ada juga di Gereja ketika momen paling sakral. makanya, ini mah biasa saja.
Karena mama Isto masih makan dan cari bangku di AEON itu susahnya kayak cari politisi jujur, jadilah saya putuskan untuk mengeksekusi pup ini seorang diri. Dalam bayangan saya, toilet difabel pasti sepi dan sebagaimana di bandara, saya bisa menguasai keadaan dengan cepat dan menuntaskan pup ini dengan bahagia.
Kuwi kan karepmu, Cuk.
Begitu ditemukan, ternyata toilet difabel–apa toilet family kali, yha–antre! Ada 2 bayi yang tampaknya juga pup sedang diantrekan oleh orangtuanya. Pada saat yang sama, polah Isto yang sudah tyda nyaman semakin menjadi. Saya tidak akan bisa menanti 3 bayi kelar cebok dengan bayi di tangan kelakuannya mirip Demian. Melepaskan diri wae kerjanya.
Nah, saya kemudian memilih membawa Isto ke toilet cowok. Sepengalaman saya, jarang ada bapak-bapak bawa bayi ke toilet cowok, jadi mestinya tidak akan ngantre.
Untunglah ini AEON, toiletnya ternyata ciamik. Di sudut, toiletnya dua kali lipat luas sebelahnya, dengan sebuah bangku anak. Toilet semacam ini sungguh saya apresiasi karena mendukung bapak millennial kayak saya.
Begitu mendapat ladang perang yang terang, segera Isto saya eksekusi. Bocornya sudah lumayan menyebar dan baunya juga asyik. Bau asyik? Hmmm.
Masalahnya adalah karena dia benar-benar bertingkah dengan gerakan yang tiada kunjung berhenti. Apalagi ternyata di toilet bagus ini, semprotannya bukan yang pakai selang, melainkan pipa kecil bawah s*lit. BAGAIMANA COBA SAYA MAU NYEMPROT EEK YANG BERTEBARAN DI SEANTERO PANTAT?

Ini gunanya jadi orangtua, banyak-banyak belajar! Dengan sedikit pemahaman dan pemaksaan, saya bisa membuat Isto diam di kloset untuk kemudian saya semprot pelan-pelan pakai semprotan bawah sil*t itu. Ngucur hanya sedikit, pula. Heu.
Jadi, akhirnya tangan juga yang bermain. Ya nggak apa-apa, memang eek anak sendiri bukan dosa, cuma jorok aja. Akan tetapi daripada ampas-ampas feces itu berceceran ke lantai, jadi ya sudah. Kerjakan!
Selesai membersihkan pantatnya, PR lanjutan adalah mengenakan pampers dan pakaian pada bayi yang menemukan WC luas ini sebagai arena merangkak yang tepat. Dua pria, satu tua satu muda, saling berkejaran di dalam toilet. Itu kalau bapak/ibu yang saya audit sehari-hari tahu, citra saya sebagai auditor kejam bisa luntur seketika.
Begitulah, bayi belum setahun itu tangguhnya minta ampun. Jadi malah bapaknya yang lelah. Sesudah bertarung setengah mati, diapers dan celana akhirnya terpasang sempurna. Pada saat yang sama, WC AEON ini jadi berantakan tiada terkira. Untuk itu, biarkan saja dia mainan terlebih dahulu. Bapaknya yang uzur ini tarik nafas dulu:
BAPAK MACAM APA MEMBIARKAN ANAKNYA DUDUK DI TOILET? LAPOR KAK SETO! Yowes, karepmu. Yang jelas, daripada dia malah merambah diapers penuh pup? Daripada dia masuk ke kloset? Daripada dia tidak mengakui saya bapaknya?
Asli, pengalaman ini seru sekali. Keliling Indonesia, ketemu Sekretaris Daerah beberapa Provinsi, menemukan kekurangan volume pekerjaan, dll tiba-tiba nggak ada apa-apanya dibandingkan sebuah aktivitas sederhana: menangani bocah yang pup di mal. Punya anak dan kemudian menjadi orangtua memang hal yang luar biasa.
Untuk menutup momen indah itu, akhirnya kami mengambil pose wefie dengan bahagia seraya berkata, “Sampai jumpa, wahai Netizen, pada kisah-kisah bapak millennial selanjutnya.”
One thought on “Pertarungan Cebok di AEON”