3 Langkah Mendisiplinkan Anak

3 Langkah Mendisiplinkan Anak – Ini blog judulnya Bapak Millennial, tapi jarang ngepost tentang parenting. Ya, namanya juga pernah beberapa tahun di birokrasi dan lagi off, mentalitas birokratnya kentara. Jadi, kebanyakan janji, minim aksi. Heuheu. Nah, mumpung lagi off, saya mencoba menulis sedikit tentang parenting. Kali ini tentang langkah-langkah mendisiplinkan anak.

Ehm, tapi apakah Isto sudah cukup disiplin sampai saya berani-beraninya nulis begini? Heuheu, tentu saja belum. Ide utama posting ini saya ambil dari situsweb All Pro Dad, salah satu pijakan saya untuk jadi bapak-bapak pro. Tentunya ditambahkan kisah Isto supaya relate.

Kita sering melihat anak yang tampak ‘nakal’. Khusus bapak-bapak bermuka seram, dapat bonus lagi karena sering jadi antagonis nggak jelas dalam pernyataan, “eh, kamu nakal ya, nanti dimarahin Om itu, lho.”

Padahal Om-nya baik-baik saja. Kan afu, yak.

Isto sendiri tentu masih banyak bolongnya, lha bapaknya juga demikian. Akan tetapi, ada beberapa poin yang menurut saya positif dalam proses tumbuh kembangnya sampai saat itu terkait dengan kedisiplinan.

Berikan batasan dan konsekuensi yang jelas

Sejak dini, Isto selalu ditekankan soal batas-batas. Paling mudah memang bilang, “jangan…” akan tetapi bagi anak seusia dia berkata ‘jangan’ itu cenderung jadi berasa menyuruh, karena setiap benda yang disertai kata ‘jangan’ malah didekati sama dia.

Seorang anak tentu tidak tahu soal benar dan salah, kalau tidak diajari. Jadi, pertama-tama tentu urusan orangtua untuk mengajarinya. Dalam kasus Isto mungkin yang paling enak adalah soal listrik dan kamper di kamar mandi.

Ketika banyak orangtua ketakutan dengan colokan di bawah dan mudah diakses batita, maka saya sudah mulai tenang. Ketika Isto melihat colokan, dia hanya akan stop 1-2 langkah dari colokan, menunjuk colokan itu sembari berkata, “listrik…”

Lha ya gimana, awak tinggal di kontrakan, nggak punya daya upaya untuk mindahin colokan ke atas. Jadi pilihannya ya mengajari anak deh.

Kenapa bisa seperti itu? Ya tentu saja karena sejak dini sudah dikasih tahu bahwa listrik ini berbahaya jika dipegang olehnya. Sejak belum bisa jalan, bahkan. Memang terasa pekok ya ngajari bocah yang belum tahu hal sekompleks colokan listrik, tapi begitu sampai ke usia 1,5 tahun kok ya terasa faedahnya.

Sederhananya adalah ketika kita memang tidak bisa menahan kata ‘jangan’, maka tambahkanlah bahwa ketika ‘jangan’ itu dilanggar, akan ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang buruk pula. Tanamkan itu berulang-ulang.

Isto mungkin sudah berhasil di listrik dan kamper–kalau yang ini, kami menyebutnya ‘racun’, jadi Isto juga hanya akan berhenti dan bilang ‘racun… racun…’ kadang bahkan sambil nyanyi ala Changcutters. Tapi, ya, masih banyak aspek lain yang terus berusaha saya dan emaknya tanamkan.

Laksanakan konsekuensi, seperih apapun ini

Agak berbeda konteks dengan listrik dan kamper, sih, tapi ini lebih ke sikap. Misal, kemarin saya membelikan Isto batu taman sekarung. Begitu dapat, itu batu dia lempar-lempar. Saya langsung kebayang bahwa dengan kemiskinan yang melanda, kalau kena tivi bisa berabe. Maka, saya langsung menanamkan batasan dan konsekuensi bahwa jika dia melempar satu batu, Papa akan marah dan batunya akan dibuang.

Yha, batu sekarung, kalau dibuang 2 biji juga bisa ambil lagi di karung. Heuheu. Nanti kalau Isto sudah bisa baca postingan ini, semoga dia bisa paham trik pekok ini~

Benar saja, baru diingatkan, dia tetap lempar-lempar batu lagi. Maka, kemudian batu itu saya buang betulan ke tempat sampah. Oya, karena dia juga paham tentang tempat sampah jadi walaupun dia bisa buka tapi nggak menggapai jeroannya.

Ini mungkin perih, tapi dalam upaya pendisiplinan ketegasan itu penting. Ya kadang kasihan juga sih lihat anaknya nangis. Tapi akan lebih kasihan lagi jika di masa depan dia menjadi orang yang tidak paham konsekuensi.

Momen diskusi dan rekonsiliasi

Satu hal yang penting dari sesi bapak galak adalah diskusi sesudah momen itu. Saya kadang juga galak sama Isto, tapi kemudian pasti ada rekonsiliasi. Untuk usia 2,5 tahun wujudnya adalah pelukan. Senang lho dipeluk anak yang habis dimarahi karena bagaimanapun perasaan sebagai bapak juga nggak enak.

Nah, sembari momen itu saya berusaha melakukan diskusi dan muaranya adalah mengulang esensi dari peristiwa sampai pada titik ketika Isto bisa mengulang sendiri konsekuensi jika dia melanggar batas. Kalau perlu momen pengulangan itu diungkit sedikit ketika anak sedang sesi main bebas biasa. Sekadar untuk tahu apakah peristiwa itu masuk ke dalam ingatannya.

Tentu saja dibutuhkan orangtua yang nggak malas dan ini saya akui sulit. Sebagai kaum rebahan, memang lebih mending rebahan daripada mendidik anak. Tapi bagaimanapun anak adalah titipan yang harus dijaga sebaik-baiknya, plus diupayakan bermanfaat setidaknya untuk sesama. Agama dan negara urusan nanti, lah. Dan untuk itu, diperlukan komitmen orangtua untuk memberikan dasar-dasar yang baik, ketika orangtuanya sendiri mungkin dasarnya belum baik.

Namanya juga jadi orangtua, tidak semudah orang bertanya, “kapan isi?” Ya, kan?

Advertisement

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.