Sesiangan tidur siang dalam kondisi hujan deras, saya lantas terbangun dan melihat via jendela bahwa matahari bersinar begitu teriknya macam knalpot OOM ALFA. Tetiba saya bingung, tadi itu hujan-hujanan mimpi apa bukan ya?
Karena matahari masih baik hati untuk bersinar, saya kemudian membulatkan perut, eh, tekat untuk menuju ke pengelanaan berikutnya. Mengingat sudah Minggu sore, maka berkelananya nggak usah jauh-jauh banget, yang penting terjangkau. Maka, tujuan yang ditetapkan adalah Gereja Santo Antonius Padua Bidara Cina, dengan jadwal yang saya incar adalah 17.45.
Berhubung saya itu anaknya rajin menggalau, akhirnya saya sampai TKP malah pukul 16.30, terlalu cepat. Gereja ini boleh dibilang sangat strategis karena bisa dicapai dengan mudah via TransJakarta jalur gemuk, Harmoni-PGC. Meski namanya Bidara Cina, namun jangan turun di Halte Bidara Cina. Gereja ini bisa dicapai secara lebih mudah dengan turun di Halte Gelanggang Dewasa, eh, Gelanggang Remaja. Hayo, nggak pada bayangin aktivitas dewasa yang dilakukan di gelanggang kan? Dari Halte Gelanggang Remaja, tempat tujuan bahkan sudah bisa dilihat–setidaknya dari parkiran mobil di jalan.
Karena datang terlalu cepat, saya kemudian beli Hidup (oke, ini korelatif nggak ya?). Agak kaget begitu tahu bahwa Bapak FHB Soelistyo, Kepala Basarnas yang keren habis itu adalah umat Paroki Bidara Cina juga, namun Stasi Halim. Pas jadi model sampul beliaunya, pas pula saya punya duit buat beli. Biasanya kan kagak. *SK mana, SK?*
Masih sambil menanti, saya mampir ke Patung Bunda Maria yang tanda saya duga nyempil di pojokan dekat toko alat-alat rohani. Ini kalau saya kasih nama adalah Bunda Maria di Keramaian. Di balik patung, itu sudah trotoar. Dan jalan Otto Iskandardinata ini kan termasuk jalur ramai di Jakarta. Bedakan dengan Bunda Maria di Gereja Santa yang tertutup pintu.
Satu hal yang cukup menarik di Gereja Bidara Cina ini adalah banyaknya tong sampah di parkiran, tinggal bagaimana benda penting itu bisa dimanfaatkan. Perkara sampah menjadi penting di Bidara Cina ini. Bukan apa-apa, lihat saja petanya. Kali Ciliwung nan kesohor itu nggak jauh dari Gereja Bidara Cina ini. So, potensi banjirnya lumayan tinggi. Maka, kebiasaan baik menjadi sesuatu yang harus ditekankan bagi masyarakatnya.
Masih sambil menanti saya kemudian melihat bahwa di Gedung Serbaguna ada CU Bina Seroja. Wah, jadi ingat jasa-jasa CU. Kalau tidak ada CU maka tidak ada uang yang bisa dihutang untuk membayar uang kuliah saya, kalau tidak ada CU maka tidak ada “gaji” per Februari plus SHU yang diterima Bapak, yang pas banget keluar ketika deadline pembayaran SKS. Mungkin saya akan datang lagi ke Bidara Cina untuk CU ini. Menarik, soalnya.
Oh, iya, misa di Bidara Cina ini lumayan banyak. Hariannya ada 2, 05.45 dan 17.30. Sabtu sore cuma sekali yakni 17.30. Sedangkan Minggunya bertebaran dari 05.45, 07.15, 09.00, dilanjutkan 16.00, 17.45, dan 19.30. Kalau sampai nggak beribadah karena kekurangan jadwal, sungguh terlalu, kata Bang Rhoma.
Karena banyak dan mepet, maka sirkulasi harus diatur. Begitu saya masuk via pintu samping, saya melihat ada pintu tengah yang besar dan mirip pintu istana di dongeng-dongeng. Pas di pintu samping itu ada tulisan DIHARAP KELUAR LEWAT PINTU TENGAH. Sontak saya kaget, soalnya tadi pas masuk saya harus berebut jalan dengan umat lainnya. Ehm, pada bisa membaca kan ya?
Gereja ini bersebelahan dengan Panti Asuhan Putri St. Vincentius. Kalau Putra-nya ada di Kramat. Usia gereja ini terbilang tua, karena diresmikannya saja tahun 1955 saat Pater P. J. Janssen, SJ menjadi Pastor Paroki. Gereja ini diawali oleh Fransiskan (Pater H.J van der Veldt, OFM) dan diteruskan oleh Jesuit (Pater Wubbe, SJ). Hingga kemudian pada tahun 1973, pengelolaan diserahkan ke Imam SCJ. Demikianlah yang tertulis di antoniuspadua.or.id.
Begitu masuk, kesan mirip Kotabaru Jogja terasa di bagian altar. Kotabaru yang lama, ya. Kalau yang baru, saya nggak tahu, sudah lama nggak misa di tempat itu. Satu hal yang unik, Tabernakelnya berada di sisi kiri altar, tentu saja menempel di tembok. Jadi bukan di belakang, seperti umumnya Tabernakel. Kursi Romo-nya wah, mirip kursi raja. Yeah, kayak saya tahu kursi raja kayak apa. Soal suhu, tenang saja, AC tersedia dalam jumlah mumpuni.
Secara umum Gereja ini kecil. Saya hitung, baris ke belakang untuk jumlah bangku umat hanya 15. Ya, hampir mirip sama Kapel di Kolese Kanisius kalau dipikir-pikir. Kalau mendongakkan kepala, sarang laba-laba kelihatan juga. Lantainya menggunakan tegel jadul nan monumental, serta dinding dengan ornamen batu warna hitam. Patung Santo Antonius Padua sebagai pelindung ada di pojok kanan belakang.
Koornya berada di posisi yang agak tinggi, jadi dirigennya kelihatan jelas bagi umat. Posisinya juga pas untuk peserta koor, dan untuk dirigen. Jumlah kursi juga tidak terlalu banyak, jadi nyaris tidak dimungkinkan peserta koor yang tidak latihan untuk nyempil dan merusak tatanan. Posisi sakristi ada di sebelah kiri–sisi yang sama dengan Tabernakel. Mirip dengan yang ada di Bukittinggi, sih. Yang uniknya lagi, begitu misa dimulai, Prodiakon dan Lektor duduk di tempat yang nggak terlalu kelihatan. Di balik tembok, euy. Bedakan dengan di Cikarang yang menghadap umat dan cuma ketutupan tiang. Balkon juga tersedia di Gereja ini, namun ukurannya juga tidak besar, hanya beberapa baris ke belakang, namun juga penuh oleh umat. Memang pada dasarnya jumlah orang Katolik itu nggak sedikit-sedikit amat kok, meski kalau ditotal paling sekitar 3-4 persen dari populasi Indonesia Raya Merdeka-Merdeka.
Komuni dilayani oleh empat Prodiakon, dan jalurnya juga nggak ribet-ribet amat karena memang tidak ada jalur tengah. Jadi umat di belakang, silakan pegel maju buat komuni. Makanya, kalau misa di Bidara Cina, duduknya di depan ya.
Salah satu hal yang unik di Bidara Cina ini adalah panduan kolekte. Saya melihat tulisan START warna hijau dan STOP warna merah di beberapa bangku yang menandakan alur kantong rotan yang beredar. Yang begini ini terobosan menarik juga mengingat tidak semua tatib melakukan perhitungan awal untuk memastikan alur kolekte benar.
Di Warta Paroki, tampak berita soal Seksi Kesehatan. Ini agak menarik perhatian karena tertulis “Menghimbau bagi seluruh tenaga Dokter, Bidan, dan Perawat yang berada di Wilayah Paroki Santo Antonius Padua agar menghadiri acara ‘Malam Keakraban Tenaga Medis & Paramedis’ pada hari…dst…”. Kenapa menarik? Karena nggak ada Apoteker-nya. Heuheu. Hal ini juga saya lihat di jadwal jaga di Gereja Santa, jadwal dokter dan dokter gigi ada, namun tidak ada jadwal apoteker. Sejauh keliling KAJ, cuma Paroki Ibu Teresa yang memasukkan jadwal jaga apoteker di Warta Paroki (atau sejenisnya).
Misa berakhir jam tujuh lewat, dan saya bergegas jalan kaki dengan mudah ke Halte Gelanggang Remaja lagi. Bis TransJakarta yang membawa saya ke arah Matraman pas dihuni oleh kondektur yang keren. Informasi yang disampaikan tidak sekadarnya seperti kondektur kebanyakan, namun sangat komprehensif, sampai menyebut, “dari Kampung Melayu, ada tiga…”, dan “ada dua hal yang harus anda perhatikan, yakni…”. Sayang, suaranya kurang keras, dan bisnya buluk. Suaranya kalah sama deru hantaman mesin buluk. Tapi, good job, Mas!
Demikian hasil berkelana sampai ke Bidara Cina. Masih banyak bagian dari KAJ yang bisa dijelajahi dengan aneka ria catatan yang menyertainya. Sampai ketemu di petualangan berikutnya đŸ™‚
salam kenal ya bro. nanti jangan lupa mampir…
LikeLike