Hari-hari ini ramai sekali soal Lion Air. Sebuah maskapai yang begitu super power. Kenapa super power? Bahkan Emirsyah Satar sekalipun tidak pernah menandatangani perjanjian jual beli di depan Francois Hollande dan Barrack Obama. Bos Lion Air? Pernah. Bahkan saking super power-nya, maskapai yang sudah amat sangat dikenal dengan delay-nya–sampai orang YLKI bilang di tivi perihal jargon Late Is Our Nature–ini tetap laku, tetap laris, tetap digemari.
Kenapa saya bilang begitu? Karena saya adalah pengguna setia maskapai lokal ini. Ibarat orang pacaran, saya ini sudah setia minta ampun. Disakiti, diselingkuhi, dipermalukan, tapi tetap balik-balik juga. Yup, sampai tulisan ini ditulis, saya sudah naik Lion Air sebanyak 44 kali dari total 92 penerbangan yang telah saya jalani. Nyaris 50% kan? Dari 44 kali penerbangan itu, aneka problematika khas Lion Air tentu sudah saya alami.
Pertama kali saya naik Lion Air adalah Desember 2006, dilanjutkan Januari 2007. Sampai penerbangan keempat di tahun 2008, masih selamat dari cerita orang soal Lion Air. Demikian seterusnya sampai penerbangan ke-16 di tahun 2010 pun saya masih bebas dari cerita delay dan aneka bunyi-bunyi nggak enak tentang Lion Air. Saya baru kena di Mei 2010, delay nyaris 2 jam saat hendak ke Jogja dari Jakarta. Menjadi cukup krusial karena waktu itu mau ketemu pacar LDR yang sudah 9 bulan nggak ketemu. Cieh.
Delay tidak selalu merugikan, setidaknya bagi orang yang telat datang ke bandara. Tiga hari di Jogja, ketika saya hendak balik ke Palembang, situasi chaos ketika si Cici ternyata kena DBD, dan penerbangan saya jam 2, sementara jam 1 saya masih berhujan ria di Jalan Gejayan. Delay 1 jam lantas malah menjadi berkah. Setidaknya saya tidak kudu ketinggalan pesawat, dan bisa menambah durasi pacaran. Cieh (lagi).
Kena delay di penerbangan ke-17, saya kapok? Nggak dong. Hingga kemudian saya sampai di penerbangan ke-21 bersama Lion Air, masih dalam rangkaian rute klasik, Palembang-Jakarta-Jogja. Sekitar jam 12 siang, saya sudah masuk ke dalam pesawat Lion Air menuju Jogja, hingga kemudian muncul seorang penumpang dengan nomor seat sama persis dengan saya. Tidak lama kemudian saya dipanggil oleh kru darat, kemudian DISURUH KELUAR, dan dinyatakan salah penerbangan. Fak! Double seat, dan saya yang jadi salah sehingga kemudian dipermalukan di depan ratusan penumpang lainnya. Walau sudah dibegitukan, toh saya tetap melakoni penerbangan ke-22 dan 23 karena memang tiketnya sudah beli.
Di penerbangan ke-23, saya mengalami kasus lagi dengan Lion Air. Kali ini bagasi saya ketinggalan di Jakarta. Sungguh hore, bukan? Ketika saya seharusnya sudah bobok manis di mess, eh, saya harus lontang lantung di bandara SMB II karena menanti bagasi saya–yang memang cuma brownies empat kotak–dibawa oleh penerbangan terakhir. Sebagai catatan, bersama saya juga ada seorang lelaki yang hendak pengajian buat nikahan. Dan tertunda karena baju buat itu, ketinggalan di Jakarta. Yeah! Kita tidak tahu sebuah benda itu bernilai seberapa penting untuk seseorang kan?
Kapok? Ya jelas tidak. Empat bulan kemudian saya naik Lion Air lagi. Di penerbangan ke-25, masih Jakarta-Jogja, saya kena delay 4 jam–tanpa roti, tanpa air mineral, tanpa nasi bungkus. Peraturan Menteri nomor 77 belum ada kayaknya, itu kan tahun 2010. Gegara delay kampretos itu saya nyaris tidak bisa menyaksikan adek saya konser. Untuk cuma nyaris.
Pengalaman paling seru bersama Lion Air–semoga yang ini tetap jadi yang paling seru selamanya–adalah pada penerbangan yang seharusnya jadi kali ke-29, 30, dan 31 bersama Lion Air. Pengen tahu ceritanya?
Nggak? Hem, mbok pengen to?
Baiklah saya lanjutkan kalau begitu. November 2010 terjadi erupsi Merapi. Siapapun tahu itu. Erupsi terbesar terjadi tengah malam, hari Jumat. Ketika berita erupsi terjadi, saya tengah asyik mandi pagi buta untuk penerbangan jam 5 dari Palembang ke Jakarta. Begitu sampai di Jakarta dan menanti penerbangan ke-29 saya bersama Lion Air, tetiba muncul pemberitahuan bahwa penerbangan dibatalkan karena memang bandara Adisucipto ditutup total. Saya berada dalam kegalauan massal bersama ratusan penumpang yang ada di terminal 1A bandara Soekarno-Hatta. Ada yang hendak melayat, ada yang hendak mengunjungi saudaranya yang kena erupsi Merapi di akhir Oktober, ada yang hendak nyervis OOM ALFA, dan saya sendiri waktu itu hendak menghadiri wisuda pacar (sekarang tentu saja sudah mantan-red).
Suasana menjadi agak chaos. Penumpang digiring untuk keluar dan pada akhirnya terjadi penumpukan massa di depan counter Lion Air di terminal 1A, semuanya berharap refund. Apa daya, refund itu tidak sesederhana nembak cewek. Wong, nembak cewek aja sebenarnya nggak sederhana. Satu-satunya yang sederhana adalah restoran Padang, yang sesudah kita makan di sana, maka hidup kita menjadi sederhana.
Lion Air tidak punya duit cash dalam jumlah besar untuk melakukan refund. Antrean, tunggu-tungguan, tumpukan orang, teriakan sana-sini, amarah, semuanya campur aduk jadi satu. Stasiun televisi pun mulai berdatangan satu demi satu. Reporter cantik dari Metro TV, SCTV, RCTI, dan TV-TV lainnya berseliweran di depan kerumunan orang yang bertumpuk di depan loket. Tidak ada orang selevel manager disana, semua yang ada hanyalah remah-remah kerupuk yang nggak tahu apa-apa dan hanya menjalankan perintah, yang entah dari mana. Sebagian yang marah mungkin nggak paham bahwa pembatalan ini semata-mata karena bandara tujuan memang ditutup, saya jadi kasihan sama yang dimarahi. Tapi yang mengesalkan ya itu tadi, semilimeterpun hidung orang berkategori pimpinan nggak ada disana. Hidungnya aja nggak ada, apalagi perutnya. Bah, memangnya PNS, buncit? Hih!

Nyaris tiga jam hingga kemudian saya berhasil mendapatkan uang refund penerbangan Jakarta-Jogja hari itu. Saya kemudian meninggalkan loket dengan ketidakpastian mengingat saya punya tiket Jogja-Jakarta-Palembang dua hari lagi, yang nasibnya masih antah berantah. Sembari mau beralih ke Plan B di bandara Pasar Senen, saya akhirnya dicegat oleh reporter dari Bali TV, yang tidak cantik, karena cowok. Yaelah, broh, yang mau mendekati saya memang yang macam ini saja. Saya kemudian diwawancarai sebentar perihal kejadian cancel flight hingga proses refund yang padat merayap pahit meresap ini. Lumayan, masuk TV. Sampai detik ini, itu adalah kali pertama dan terakhir saya diwawancarai televisi. Kasihan.
Tiket Jogja-Jakarta-Palembang kemudian batal dan disebutkan bahwa bisa di-refund, itu sesudah saya datang ke bandara Adisucipto nan sepi nyeyet berselimut abu Merapi. Tapi, apakah refund-nya semudah merayu wanita? Aha! Tentu tidak! Saya semacam jadi bola pingpong sana sini antara kantor Lion, travel agent, hingga ke loket di bandara SMB II. Sesudah pengurusan yang membutuhkan waktu hingga saya lupa pernah punya tiket itu, akhirnya duit 800-an ribu itu cair juga. Cair ketika saya sudah gajian, sementara beberapa pekan sebelumnya saya kere bangkrut habis demi cinta.
Tsah.
Terus, diperlakukan demikian, apakah saya masih setia? Jelas dong. Penerbangan yang ke-29, 30, dan 31 itu akhirnya terjadi di bulan Desember 2010 dan Januari 2011. Meski memang saya mulai menerapkan prinsip, selagi bisa dan memungkinkan untuk bukan Lion Air, ya saya akan pilih jalur tersebut. Memang, 2010 itu tahun Lion Air saya banget, diawali dengan penerbangan ke-16, diakhiri dengan penerbangan ke-30. Lima belas dari delapan belas penerbangan saya di tahun 2010, dilakukan bersama Lion Air. Keren, bukan? Jadi sepertiga kisah saya bersama Lion Air memang terjadi tahun 2010 saja. Sebagai catatan, tumpukan tiket pesawat LDR itu kemudian menjelma menjadi sekadar cerita belaka. Beuh.
Masih 31 kan? Saya tetap kok menggunakan maskapai yang usianya sama saya masih tuaan saya ini. Bahkan dengan tololnya saya menaruh koper tanpa digembok, dan tidak hilang satu apapun, ya naik Lion Air juga. Makanya saya agak merasa hoki begitu membaca kasus bagasi di Lion Air yang diobrak-abrik. Mungkin tas saya tidak diobrak-abrik karena isinya memang hanya cawet belaka. Itu terjadi ketika saya pindah dari Palembang ke Cikarang. Sesudah di Cikarang, saya memang mengalihkan pilihan ke maskapai lokal semacam Rosalia Indah dan Kramat Djati. Jadi, bye-bye bandara untuk sementara. Walau demikian, ketika mudik Desember 2011 saya tetap naik Lion Air dan menjadi penerbangan ke-38. Pun ketika dolan ke Palembang di tahun 2012, saya juga masih pakai Lion Air. Tahun 2013 adalah tahun saya semakin jarang naik Lion Air, dibuktikan dengan hanya 1 kali penerbangan, namun itu juga karena frekuensi saya naik pesawat terbilang sedikit, hanya 6 kali dalam 1 tahun tersebut.
Yah, ketika refund yang agak berproblema atau bagasi yang hilang dulu, banyak yang teriak, “saya nggak mau naik Lion lagi!”. Bagi saya, pertanyaannya justru, “so what?”. Iya, pada akhirnya orang-orang yang bilang nggak mau naik Lion Air lagi, juga akan naik Lion Air lagi pada waktunya. Bukan apa-apa, Lion Air adalah penerbangan dengan rute paling banyak dan beragam di Indonesia ini. Cek saja Traveloka, atau Tiket, saya bisa pastikan bahwa logo merah itu akan menguasai pilihan yang tersedia. Atau soal terminal di Soekarno-Hatta sajalah, paling gampang melihatnya. 2006, Lion Air masih di 1A saja. Ketika saya masih rutin Palembang-Jakarta-Jogja, rute Sumatera mulai beralih ke 1B. Sekarang? Sudah merambah sampai ke terminal 3–tempat kasus delay parah periode Imlek terjadi. Artinya? Penerbangan mereka memang sebanyak itu. Pilihan yang tersedia ya sejumlah itu.
Soal harga, bagi saya tidak cukup signifikan lagi, karena dengan service yang berbeda bermakna, toh harga tiket Lion Air dengan Batik Air, pun Garuda, kadang malah mahalan Lion Air. Saya, meski sudah pernah diusir keluar dari pesawat, dipaksa menunggu di SMB II hingga taksi Balido nyaris habis, disuruh delay tanpa kompensasi berarti, nyatanya tetap saja naik Lion Air lagi. Bahkan, kalau pengamat mau menyuruh Pak Jonan menutup Lion Air, yang kelabakan bukan Rusdi Kirana, kok. Tapi pertama-tama justru penumpang, karena mereka kehilangan pilihan. Memboikot atau tobat naik Lion Air sesudah pengalaman buruk, boleh-boleh saja, selagi mampu untuk mencari opsi lainnya. Begitulah. Pada penerbangan ke-42 misalnya, ketika saya harus ke Jogja Jumat malam, dadakan. Secari-carinya, akhirnya yang ketemu ya cuma Lion Air. Mau nggak mau berangkat kan? Saya memang tidak memboikot, tapi sekadar berusaha mencari dahulu alternatif yang menurut saya lebih baik. Toh, siapalah saya yang sampai umur 28 tahun ini belum 100 kali naik pesawat. Cuma memang saya agak kuat berdoa saja kalau pas dapat flight Lion Air. Terpujilah para PNS Kementerian Anu yang nggak boleh naik Garuda, dan karena rute menyeluruh ke seluruh Indonesia itu hanya dipunyai oleh Lion Air, jadi harus naik Lion Air. Memang ada Citilink, ada Sriwijaya, tapi keduanya masih kalah coverage dan frekuensi. Dengan kondisi sekarang, dengan service separah apapun, dua hal itu akan membuat penumpang tetap memilih Lion Air.
Apapun, saya tentu berharap Pak Jonan nggak takut sama siapapun dalam kasus ini, walaupun yang dihadapi jelas-jelas gede. Pak Jonan tentu tidak serta merta menutup rute yang delay. Menurut ngana, penumpang yang sudah beli tiket untuk 1-2 bulan ke depan apa nggak ngamuk itu? Saya hanya memohon upaya baik pemerintah untuk tidak sekadar memberi sanksi normatif berupa tidak menerima izin rute baru sampai ada komitmen. Ya, apalah, reviu kek, audit kek, audit tujuan tertentu kalau perlu, terus dilanjutkan dengan monitoring dan evaluasi. Saya sudah merasakan pegel dan pedihnya bodi dan hati, dan kini saya menyaksikan orang lain berjumlah ribuan mengalami hal yang sama, dan bahkan lebih parah. Saya mengalami itu sudah tahun 2010, nyaris 5 tahun yang lalu. Ini nggak bisa disebut perubahan kan?
Tahun 2010 itu, sesudah memperoleh duit refund, saya bergegas ke Pasar Senen untuk mencari kereta api ke Jogja. Gini-gini saya cowok berkomitmen, tetap akan datang ke wisuda pacar (sekarang sudah mantan, ingat ya?-red) bagaimanapun caranya. Senja Utama tambahan itu adalah kali terakhir saya naik Kereta Api dalam kondisi umpek-umpekan, ketika hendak pipis saja harus melompati selangkangan puluhan orang yang terkapar bobok tampan di lorong. Beberapa waktu kemudian, naik KA sudah lebih enak. Ada Pak Jonan di balik perubahan itu, dan kini, saya berharap orang yang sama bisa memberikan perubahan juga. Karena, toh, sepandai-pandainya saya mencari opsi penerbangan, nantinya pasti akan naik Lion Air juga.
Wah mas arie sering banget naik pesawat ya… Udah keliling Indonesia dong.. 😁
Sampai sekarang belom jelas alasan Lion Air selalu delay.. Bahkan kasus yg sekarang aja jawabannya hanya mempersilahkan penumpang untuk mengajukan gugatan. Sepertinya mereka sudah terbiasa dengan ini. Hahaha… Mungkin ini masalahnya jika hewan darat beraksi di udara. Kalo saja Lion mau beralih jadi angkutan umum pasti mereka bakal jadi perusahaan paling cepet nganterin penumpang.. 😂
LikeLike
Belum kok.. Itu banyakan juga karena LDR Palembang Jogja.. Hahaha.. Kalimantan, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara belum. Masih jauh dari keliling.
Dari jaman Cita Citata belum kenal sama Ijonk, alasan Lion Air ya selalu ‘alasan operasional’. Digugat pun sudah berkali-kali, kok. Tapi ya tetap saja. Mereka tahu, seburuk apapun servis mereka, nggak akan deh penumpang meninggalkan mereka. Ya, masalahnya, siapa dulu yang membiarkan Lion jadi sebesar ini dengan pelayanan yang tetap seperti lima tahun lalu?
LikeLike
Mungkin yg diperlukan sekarang ketegasan dari pemerintah kali ya… Tapi kayaknya bakal banyak kompromi mengingat pimpinan maskapai Lion juga orang partai. Yang ikut dukung Jokowi… Bahkan kalo gak salah dulu ada berita tentang tim Kampanye Jokowi-JK yg masih punya hutang sama lion. Haha
LikeLike
Yap. Klo liat pesawat kampanye PDIP, Indonesia Hebat, itu kan 737-900-ER-nya Lion. Tp kayak tak tulis, Lion Air itu pangsanya besar–nyaris 70%–klo beneran di banned, penumpang yg bubar.
Etapi ada loh wawancara dgn yg pny singa, dan ya dia nggak peduli dicap buruk, wong penumpangnya tetap aje datang.. 😀
LikeLike
Hahaha iya kasusnya seperti acara TV yang tidak berbobot, bukan acaranya yang di banned tapi pilihannya yang ditambah.
Eh tapi susah juga sih, dari beberapa maskapai penerbangan yang murah hanya lion yang aksesnya ke seluruh Indonesia. 😁
LikeLike
wah aku juga nulis tentang itu disini mas arie, monggo mas dibaca 😛
http://www.anekahotelmurah.com/5-pengalaman-buruk-naik-pesawat-lion-air-indonesia/
LikeLike
(y)
LikeLike
Baca sambil senyum2 … soalnya dikantor sy yg ngurusin beli tiket pesawat buat karyawan yg keluar kota … memang… ujung2nya lion air… mereka punya rute yang banyak n sehari bisa banyak pilihan jam. karyawan sempat protes lion air sering delay.. tapi pas d sodorin jadwal penerbangan beberapa maskapai.. akhirnya mereka jg milih lion air lagi … lion air lagi … ha..ha..
LikeLike
Yes, jadi Lion Air itu ibarat kata mau nggak mau. Sepengalaman saya naik Lion Air sih begitu, karena memangnya jadwalnya yang tersedia hanya yang satu itu 😀
LikeLike
Atau gini, ibarat wanita. Jujur saja bilang tetap suka dengan lion air. Gqruda pun sering telat juga kok nggak lantas sempurna ( ups )
LikeLike
Tapi perlakuannya tetep beda. Hehe. Termasuk konsumen yang marah-marah, lebih garang di Lion.
LikeLike