Masih lanjut dengan #KelilingKAJ, mumpung masih niat. Seperti biasa, rute ditentukan oleh arah angin. Kali ini angin mengarah ke selatan, dan dalam rangka persiapan bangun pagi minggu depan (tugas balkes ke Cikarang-red), maka Gereja yang dituju mesti dekat dengan jalur kereta api. Dan pilihan jatuh kepada Gereja Keluarga Kudus Pasar Minggu. Sebagai catatan, di Keuskupan Agung Jakarta, nama Keluarga Kudus juga dimiliki oleh Rawamangun. Memang nama idola.
Perjalanan saya mulai dengan keluar dari kos jam 4.30 pagi, kemungkinan bersamaan dengan maling-maling yang pulang dari perjalanan dinas. Saya naik bajaj ke Stasiun Manggarai. Kenapa naik bajaj? Supaya kelihatan merakyat. Tsah. Di Manggarai, pukul 04.50 pagi, saya naik KRL ke arah Bogor. Ini kan ceritanya subuh aja belum kali ya, tapi KRL menuju Bogor itu sudah penuh, saudara-saudari. Saya harus berjalan beberapa gerbong untuk menemukan kursi yang kosong. Ini penduduk Jakarta kagak ada tidurnya apa ya?
Namanya juga KRL, pasti cepat. Eh, yang tadi itu ya, begitu sampai Tebet, udah pada berdiri. Beneran saya salut sama warga Jakarta yang memang nggak ada matinya. Pukul 05.20 saya sudah duduk manis di Stasiun Pasar Minggu. Ini kalau nggak karena misi #KelilingKAJ jelas saya masih terkapar manja di kasur kosan. Fiuh. Namanya sudah jelas, kan, Pasar Minggu. Maka tempat yang saya tuju ini adalah sebenarnya pasar. Stasiunnya sendiri berseberangan dengan Terminal Pasar Minggu.
Dari Stasiun Pasar Minggu, sebaiknya menyeberang via dua jembatan penyeberangan yang tersedia. Kalau mau lewat jalan langsung ya nggak apa-apa juga. Kalau jam lima pagi mah semuanya masih terkendali dengan mudah. Sesudah menyeberang, yang dilakukan tinggal mlipir sepanjang jalan itu hingga ketemu sebuah menara salib lumayan menjulang di sebelah kanan, atau tepatnya di samping SMK 57. Sebagai informasi, SMK 57 sendiri sebelahan dengan saluran air. So, Gereja Pasar Minggu ini mirip Gereja Kemakmuran juga letaknya, di sebelah saluran air.
Dari luar, apalagi karena pagarnya kayaknya kecil, maka Gereja ini tampaknya kecil. Begitu masuk, langsung tampak Gua Maria. Ada banyak kursi di depan bangunan Gua. Adapun Patung Bunda Maria berada di tempat yang agak tinggi. Ketika saya datang, langit masih gelap, pun Gereja masih dipel. Sungguhpun saya memang terlalu rajin–sekali-kalinya. Saya lalu agak lama di depan Patung Bunda Maria yang sebenarnya tidak terlalu besar itu. Hanya bangunan Guanya memang besar. Ngomong-ngomong, sudah lama saya tidak bersyahdu ria di depan Bunda Maria pada pagi buta. Cukuplah sebagai pelepas rindu.
Begitu selesai, saya segera masuk ke dalam gedung Gereja yang ternyata besar juga. Seperti halnya Gereja Katolik masa kini, Gereja Pasar Minggu sudah dilengkapi AC. Area balkonnya lumayan luas, namun tidak terisi–mungkin karena ini misa pagi. Saya duduk di tengah dan secara ironis tidak ada yang mau menyebelahi saya. Hiks, disitu saya kadang merasa sedih. Gitu.
Berada di Jalan Pertanian III nomor 26, Gereja ini mulai dibangun dengan peletakan batu pertama oleh Pastor Martinus Soenarwijaja, SJ pada 8 Juli 1973. Pemberkatan dilakukan oleh Mgr. Leo Soekoto, SJ, tanggal 2 Juni 1974. Mgr Leo memang berada pada masa berkembangnya Gereja. Dari kemaren, sejarah Gereja-Gereja yang jadi TKP #KelilingKAJ juga nggak lepas dari Mgr. Leo. Perihal nama, menurut infokatolik.com, nama Keluarga Kudus diusulkan oleh Bapak E. Wisnu Djatikusumo, salah satu umat. Tentu semangatnya adalah mampu meneladan Keluarga Kudus Nazareth. Sebagai buktinya, di bagian kiri pintu masuk ada Patung Keluarga Kudus. Gedung Gereja yang tadi itu kemudian direnovasi dan diberkati kembali pada 13 April 1996.
Misa dimulai dengan Komentator yang berjubah dan menggunakan mimbar di altar. Mimbarnya memang cuma dua, sih. Jadi mirip dengan Cikarang, di kiri altar adalah milik Romo, di kanan milik bacaan. Perarakan dimulai dari sakristi yang terletak di sebelah kanan dari altar. Altarnya mewah sangat kalau saya bilang. Selain tampak mewah, juga tampak megah, meski secara luas sebenarnya nggak luas-luas banget. Efek ketinggian, plus tirai besar kiranya menjadi penyebab kesan mewah dan megah muncul dalam pandangan saya.
Sesudah misa berjalan dan memasuki Ibadat Sabda, saya melihat ada yang aneh. Mbaknya Komentator tadi maju bersama seorang wanita dengan jubah berbeda. Jubah berbeda, berarti mazmur. Nah, mbaknya tadi membacakan Bacaan 1 dan 2. Saya lalu melihat teks Warta Minggu dan disitu tertulis Lektor I, Lektor II, dan Pemazmur. Aha! Berarti ini yang satunya nggak datang! Penyakit Lektor dimana-mana sama, sih. Mungkin hanya di Bukittinggi yang rada parah karena lektornya nggak datang dan nggak bilang-bilang sehingga Pastor Jonas harus memanggil siapa saja yang sukarela untuk jadi lektor hanya 5 menit sebelum misa dimulai.
Koor untuk misa pagi ini penuh! Salutlah pokoknya. Semoga bukan termasuk kalangan Koor Katolik yang obesitas. Satu lagi yang agak menggelitik adalah misdinarnya ada 7, 6 adalah Putri Sakristi dan 1 saja Putra Altar. Yang lain kemana? Jeng! Jeng!
Kolekte menggunakan kantong kain dengan gagang, mirip banyak gereja lainnya yang pernah saya datangi. Sedangkan komuni dilakukan di pinggir, bukan di tengah. Ya, mirip sama yang di Kemakmuran kemarenlah.
Satu hal yang kece adalah di Warta Minggu ada transparansi hasil kolekte, hingga sampai nilai stipendium intensi misa, lilin, dan persembahan. Menarik, karena dari hasil perjalanan dalam #KelilingKAJ, baru kali ini ada transparansi hasil kolekte dengan model tertulis. Waktu saya di Palembang, hal semacam ini sempat dikhawatirkan oleh Pastor Paroki karena kebiasaan umat bahwa teks apapun sesudah misa tidak lebih baik dari bungkus kacang. Angka-angka itu dikhawatirkan disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak berkepentingan. Paroki Pasar Minggu mestinya sudah memperhitungkan perihal transparansi ini.
Di Gereja Pasar Minggu saya menemukan istilah baru. Benar-benar baru tahu dengan istilah TAPERKOL. Saya duga, TAPERKOL adalah Tata Tertib, Persembahan, dan Kolekte. Plus disini lingkungan dan wilayahnya ada kondifikasi macam 301 dan 305. Pasti ada maksudnya, namun saya belum menemukan sumber untuk mengkonfirmasi maksud penomoran itu. Heu.
Ditunjang dengan homili yang singkat, misa pun diselesaikan via perarakan melewati jalur tengah. Berbeda dengan jalur masuknya tadi. Menarik juga. Nah, bagi yang ingin misa di Gereja Pasar Minggu, aksesnya tidak cuma jalur kereta tadi, masih ada aneka angkot yang melewati jalur utama Pasar Minggu-Tanjung Barat. Terbilang mudah dijangkau, cuma memang ini pasar. Ya, dengan segala konsekuensinya deh. Jadwal misanya sendiri di hari Sabtu adalah pukul 17.00. Untuk hari Minggu ada tiga misa, yakni 06.30, 08.30, dan 18.00.
By the way, tulisan ini mungkin kurang mendalam ya. Karena memang sumbernya nggak banyak. Sebagai misal untuk Gereja Santa itu ada websitenya walau nggak update, Bidara Cina pun demikian, termasuk pula Kemakmuran. Nah, yang satu ini saya nggak ketemu websitenya. Hiks.
Kode Lingkungan Paroki Psr. Minggu 5.01 (Wilayah Lima Lingk. 01 St. Paulus)…
Lahir dan besar serta tinggal slm 25 thn di Paroki ini… sekarang nomaden (walaupun officially masih terdaftar di Paroki ini..)
LikeLike
Sip (y)
LikeLike