Pada suatu hari Minggu pagi yang sendu karena hujan, saya bimbang perihal tujuan #KelilingKAJ berikutnya. Bukan apa-apa, siang harinya saya ada latihan paduan suara di Kolese Kanisius, jadi nggak mungkin saya pilih tujuan yang jauh. Sedangkan TKP sejenis Paskalis, Kramat, hingga Theresia saya simpan untuk terakhiran saja, karena toh dekat.
Sembari bimbang, saya lantas ingat satu-satunya Gereja di Dekenat Pusat yang sama sekali belum pernah saya datangi. Ya, yang lain beneran sudah, bahkan sampai ke Pejompongan. Dulu ke Pejompongan karena sial soalnya TransJakarta ke Theresia ketutup lomba lari, sementara saya sudah sampai di Komdak. Nah, yang satu ini sebenarnya sudah saya incar dari dulu. Bahkan sejak saya masih di Cikarang dan lewat Manggarai sekadar hendak ke Gramedia Matraman. Diintip-intip kok kayak Gereja Katolik. Eh, ternyata benar. Berhubung waktu yang mepet akhirnya disahkan saja bahwa tujuan #KelilingKAJ berikutnya adalah Paroki Santo Ignatius Jalan Malang.
Buat saya, lokasi Gereja Jalan Malang ini cukup unik karena seolah memadukan dua sisi ekonomi umat. Ya, posisinya tepat di tengah-tengah antara pemukiman elit sekitar Menteng dengan pemukiman di sekitar Pasar Rumput. Kalau pengen tahu soal Pasar Rumput, ketik saya di Google ditambah kata ‘tawuran’. Itu halte TransJakarta entah sudah berapa kali ganti kaca. Supaya lebih jelas timpangnya, intip saja bagian bawah jembatan penghubung antara jalan yang ada busway-nya dengan jalan yang dekat rel. Dulu, di bawah jalan itu bahkan ada pemukiman. Sekarang sepertinya sudah ditertibkan, tapi kemaren iseng ngintip ada yang tampak merintis lagi. Untuk mencapai lokasi, cukup naik TransJakarta koridor 4, alias koridor paling ketinggalan jaman dalam e-ticketing. Turun saja di Halte Pasar Rumput, kemudian berjalan kaki paling lama 10 menit, dipastikan sudah sampai ke lokasi.
Untungnya, secara historis, nggak susah mencari informasi tentang Paroki Jalan Malang ini karena tersedia di website parokijalanmalang.org. Paroki Jalan Malang adalah stasi dari Theresia yang dimulai tahun 1946 oleh Pater Van Nierk, hingga dua tahun kemudian Misa Kudus dirayakan sampai 3 kali. Catatan, Regina Caeli pada hari ini juga mengadakan Misa 3 kali pada hari Minggu. Jalan Malang sudah melakukannya sejak era Konferensi Meja Bundar. Buku baptisnya sendiri ditetapkan per 18 Agustus 1948, dengan dipimpin oleh Pastor J Janssen SJ, sehingga resmi pisah dari Paroki Theresia. Dulunya umat di Jalan Malang adalah warga Eropa, termasuk Belanda tentu saja. Sebagian besar, malah. Maka ketika Indonesia merdeka, pelan-pelan mereka kembali ke Eropa dan secara otomatis menyusutkan jumlah umat sampai setengahnya. Nah, bangunan yang sekarang ini sebenarnya tidak tua-tua benar, karena dirintis tahun 1964, ketika Haji Lulung berusia kurang lebih 5 tahun, dengan dibeli dari orang Belanda yang sudah balik ke Belanda. Ya iyalah, masak balik ke Bekasi?
Rancang bangun dimulai tahun 1966 dan IMB didapat 1967, dan selesai dalam waktu dua tahun, tepatnya Juli 1969. Ketika itu jumlah umat sudah naik lagi ke level 2.400 orang. Bangunannya sendiri dirancang oleh Bernard Yusuf, arsitek yang juga anggota paroki. Buat saya hasilnya kece.
Secara bangunan, Gereja Jalan Malang ini terbilang mini, dibandingkan dengan lokasi #KelilingKAJ lainnya. Bentuknya sejenis kotak, namun secara dimensi jeroan malah jadi semacam limas karena di sudut-sudut ruangan ada bidang miring yang berpuncak ke bagian atas. Gereja Jalan Malang sudah standar dengan TKP #KelilingKAJ lainnya sejauh ini–kecuali Mangga Besar–dengan AC yang bikin suasana adem.
Gereja Jalan Malang sebenarnya bermasalah dengan parkiran, namun menjadi tidak karena di sebelahnya persis ada sekolah Katolik. Jadi halamannya dipakai untuk parkir. Menjadi lebih selamat lagi karena lokasinya yang terbilang bukan jalan ramai, karena masuk jalan perumahan, tidak seperti Gereja Santa misalnya. Jadi mau parkir di jalan juga nggak masalah. Asal jangan di tengah jalan. Ini sangat khas, di Kemakmuran juga dekat sekolah Katolik, di Bukittinggi juga demikian. Memang begitu sih modelnya.
Satu hal yang bikin runyam di Gereja ini adalah letaknya yang persis-sis-sis di seberang rel kereta, plus sebuah perlintasan. Runyamnya lagi ini bukan sekadar perlintasan KRL Tangerang atau Serpong yang lebih damai. Ini Manggarai, dari arah Sudirman dan sebaliknya. Manggarai-Sudirman ini meladeni rute Bogor/Depok-Jatinegara dan sebaliknya, belum dihitung kalau sekadar Manggarai ke Depok/Bogor dan sebaliknya. Ini jalur Bogor, jalur padat. Jadi bayangkan saja sepanjang misa akan berapa kali mendengar nguing-nguing perlintasan kereta, plus grojog-grojognya KRL. Sejujurnya, bising juga, tapi sekaligus nuansa yang berbeda.
Kalau dilihat-lihat, model segitiga di altar itu mirip Kemakmuran. Cuma tidak menjorok seperti di Harmoni saja. Altarnya terbilang mini, janganlah dibandingkan dengan Mangga Besar misalnya. Satu yang unik adalah adanya lubang-lubang yang berwarna di bagian tempat Salib digantung, berikut di belakang Gereja. Menarik karena ada burung Gereja berkeliaran secara natural bahkan sepanjang misa. Mirip Katedral kalau soal burung ini. Di bawah salib persis dipasang layar proyektor untuk membantu umat.
Lektornya ada di kanan altar, Pastornya di sebelah kiri. Mimbar Pastor dan kursinya berhadap-hadapan. Well, sejujurnya salah satu lektor yang masih muda tampak cantik. Pastornya tampak muda dan beruban, mungkin seangkatan Romo Yakin di Cikarang. Unik ketika Pastor menyapa umat dengan “Suster, Oma, Opa, Bapak, Ibu, dan Teman-Teman sekalian”. Memang, sebagai Gereja di tengah kota Jakarta yang nyaris ‘mati’ pertumbuhannya karena lahannya sudah penuh semua, Oma dan Opa adalah umat yang mendominasi. Saya memandang dari sisi kependudukan, karena sekarang keluarga muda nyaris nggak bisa tinggal di Jakarta. Kalau tinggal di Jakarta itu pilihannya cuma rumah orangtua, apartemen, ngontrak, atau memang kaya raya sampai bisa beli rumah di Menteng masa kini. Tapi, nyatanya masih banyak anak-anak di Gereja Jalan Malang ini. Menarik sekali.
Oya, sampai lupa. Mungkin karena faktor desain, misa dimulai dari belakang, karena tampaknya sakristinya di belakang. Jadi di depan itu murni altar, berikut koor di sisi kanan. Tatib di Jalan Malang cukup mumpuni, tidak semacam di paroki-paroki yang rerata banyak umat baru yang pasti disuruh tatib, sehingga kadang pahpoh.
Sebelum masuk ke Gereja, ada ibu-ibu ramah yang memberikan teks kepada saya sambil bilang, “Tuhan Memberkati”. Keren juga, nih. Semakin keren ketika saya membuka Warta Paroki itu dan ada hal yang sangat saya rindukan ada di Gereja Katolik. Transparansi. Dua kali kolekte disebut jumlah dan peruntukannya. Dua puluh delapan tahun hidup dan sudah misa di puluhan Gereja, belum pernah saya melihat yang semacam ini. Angkat jempol! Misa di Jalan Malang sendiri dipersembahkan setiap Sabtu pukul 17.30. Minggu pukul 06.30, 08.30, 17.30, dan 20.00. Luar biasa, sampai jam 8 malampun ada misa. Nikmatnya tinggal di Jakarta!
Gua Maria terletak di samping Gereja. Kalau dari pintu masuk kurang kelihatan, karena yang nampak justru Patung Santo Ignatius yang diberi porsi besar. Di Bukittinggi, namanya Santo Petrus Claver, sampai saya pindah, saya nggak pernah lihat patung Santo Petrus Claver sama sekali. Nah, kalau dari Patung Santo Ignatius tampak kandang anjing, berarti Gua Marianya nggak jauh lagi. Yaelah, cuma sampingan ini kok.
Gua Marianya dikemas sangat kece. Sayangnya waktu saya kesana pas hujan, jadi saya nggak sempat bereksplorasi lebih lanjut. Tempat doa sudah disiapkan dengan kursi yang boleh dibilang nyaman. Suasana jalanan juga lumayan sepi, sehingga predikat Bunda Maria di Keramaian bisa saya lepaskan untuk konteks Gereja Jalan Malang ini.
Baiklah, segitu saja laporan saya untuk #KelilingKAJ edisi perjalanan singkat di Jalan Malang ini. Dengan demikian, yang belum dilaporkan per Dekenat tinggal Barat II dan Utara. Semoga saya diberikan kelancaran untuk meneruskan proyek pribadi #KelilingKAJ ini. Amin.
8 thoughts on “Jalan Singkat di Jalan Malang”