Sesudah mengkalkulasi KAJ secara holistik, ternyata memang bagian Barat belum saya jamah secara sempurna. Maka, sesudah sempat ke Kemakmuran, saya lantas menguatkan hati, batin, dan ongkos untuk menapak jejak kedua di sebelah barat. Mempertimbangkan akses dan jadwal, maka pilihan jatuh di Mangga Besar.
Siapapun yang kenal Jakarta, pasti kenal kawasan Mangga Besar. Hotel-hotel di sepanjang jalan, hingga sebuah kompleks hiburan jelas menggambarkan itu semua. Di salah satu grup obrolan lelaki yang ada di ponsel saya, Mangga Besar jelas disebut sebagai sebuah lokasi untuk bersenang-senang di waktu malam. Saya kadang pengen ikutan, apa daya, untuk bayar ongkos taksi ke Mangga Besar saja tiada sanggup, kan disuruh hidup sederhana.
Saya menyisir jalan menuju Gereja Mangga Besar via Stasiun Mangga Besar. Penelusuran via Google Maps kali ini mengecewakan. Saya lantas dibantu oleh Wikimapia dan sedikit logika sederhana. Dari Stasiun Mangga Besar, cukup berjalan ke sebelah kiri, kemudian menyeberang, dan nanti sesudah Lokasari, kamu akan menemukan sebuah gerbang dengan tulisan berbackground merah pada bagian atas. Gereja Santo Petrus dan Paulus Mangga Besar berada di dalam kawasan yang dilindungi oleh gerbang itu. Perhatikan dengan saksama jalur yang saya tempuh, tampak jelas bahwa yin dan yang memang harus bersebelahan.
Gereja Santo Petrus dan Paulus Mangga Besar ini terletak di Jalan Mangga Besar Raya Nomor 55, Jakarta. Perihal generasinya, sudah saya ceritakan ketika saya membahas Gereja Kemakmuran. Paroki Mangga Besar sendiri berdiri 3 Januari 1940, tahun 1934 sudah ada Misa Minggu di sekolah Budi Mulia. Bangunan yang ada sekarang ditempati sejak 15 Agustus 1946. Kebayang kan tuanya? Begitulah menurut jakarta.go.id.
Sedangkan kalau mengikuti informasi di trinitas.or.id, ceritanya Gereja sekarang adalah bekas pabrik es yang dirancang ulang dan digunakan sejak 1970 menggantikan Gereja darurat dari kayu yang ada di pekarangan yang sama. Tanah Pabrik Ijs Djakarta dibeli tahun 1964 untuk memindahkan Gereja dan Pastoran dari samping kali Tangkilio. Pastor pertama yang menetap dalah Pastor. L. Zwaans, SJ yang pada tahun 1946 terpaksa mengusir WTS-WTS dari gedung yang diperuntukkan sebagai pastoran. See? Betapa sejarah Mangga Besar itu sudah panjang. Heu. Paroki Mangga Besar adalah embrio Paroki Toasebio dan Paroki Pademangan.
Begitulah, agak susah menelisik riwayat Gereja Katolik di internet, mungkin kurang seksi untuk ditulis. Saya juga belum sempat ke PNRI lagi, nanti kalau sempat pasti postingan #KelilingKAJ akan dilengkapi lagi.
Begitu masuk ke kompleks, tampak bahwa Gereja ini luas dan tidak berproblema serta dilema dengan lahan parkir. Namun impresi pertama bangunan Gerejanya sempit, eh, ternyata itu tampak samping! Saya mencoba mencari pintu depannya dan tampaklah bahwa Gereja ini besar sekali. Pantas trinitas.or.id bilang bahwa dulu Gereja ini pernah menampung umat dalam jumlah paling besar se-Jakarta. Dan salutnya, pas saya kesana, Gereja ini penuh.
Sebenarnya Gereja ini pernah marak di infotainment pada Mei 2011 ketika Delon menikah dengan Yeslin Wang. Dan saya lantas membayangkan betapa nikmatnya wartawan di Gereja ini karena…
…Gereja ini nggak ada daun pintu utamanya. Jadi pintu masuknya itu ya mau kelelawar juga bisa masuk wong beneran nggak ditutup. Dan dari pintu itulah saya melihat Gereja ini besar banget, dan karena terbuka maka satu perbedaan signifikan Gereja ini dengan TKP #KelilingKAJ lainnya adalah bebas AC. Belasan kipas angin bertiup dari langit-langit, namun karena jarak plafonnya sudah tinggi, jadi yang terasa ya sedikit. Ditunjang cuaca panas, makin berkeringat. Jadi ingat Cikarang.
Altarnya wah, dengan dua patung santo pelindung paroki ini. Sakristi di sebelah kiri altar, dengan LCD proyektor lengkap di dua sisi. Uniknya, di Paroki ini ada tim LCD khusus, dan ada rapatnya. Agak kritik pada kemajuan zaman, bahwa di Mangga Besar ini semua doa termasuk doa-wajib-hafal Orang Katolik ditampilkan di layar. Seharusnya nggak, sekalian ngetes ke-Katolik-an seorang umat. Heuheu. Di sini disediakan Kitab Suci dengan ayat bacaan ditampilkan di altar. Jadi lektornya perlu yang top agar bacaan sampai.
Dua lektor bertugas dan duduk jauh banget dari Pastor karena Pastor di kiri dan area lektor di kanan. Duduknya juga di bawah, sejajar umat. Lektornya–utamanya yang cowok–keren dan layak dapat apresiasi. Kiranya lektor macam ini yang harus digalakkan di Gereja manapun di Indonesia. Tidak sekadar membaca dan tidak sekadar mengalun, ada sesuatu yang berbeda yang bisa dijadikan ciri khas.
Satu hal yang unik di Mangga Besar adalah Putri Sakristi yang bertugas membawa lilin sepanjang Sakramen Ekaristi, jadi dimulai sejak persembahan hingga komuni berakhir. Mana PS-nya Mangga Besar ini gadis Tionghoa yang punya kecantikan tersendiri, pula. Mengingatkan saya pada mbak yang anu itu. Uhuk. Dan keunikan lainnya adalah karena besar, maka umat kan meluas, tapi kursinya diatur model U sehingga semua menghadap altar. Ini untuk antisipasi karena kalau Gereja lain kan memanjang, jadi semua tetap bisa fokus ke depan, Mangga Besar ini kan melebar, jadi kalau nggak di U, umat juga bakal miring-miring agar bisa fokus.
Oya, Gua Maria di Mangga Besar terletak di sisi kanan altar, tapi kanan jauh banget karena kan Gerejanya gede. Patungnya warna polos dan tempatnya juga kecil. Saya kurang tahu apakah ada tempat lain di sekitar Gereja ini karena saya keburu keluar area Gereja karena satu dan lain hal.
Sirkulasi keluar mobil memang tidak via pintu masuk, dan hal itu sangat membantu ketidakmacetan pasca misa selesai, apalagi saya datang pas misa terakhir di Minggu pagi jadi tidak ada masuk keluar di titik yang sama.
Untuk pulang menggunakan transportasi umum, bisa berjalan ke sisi kanan, nanti kalau mentok belok kanan lagi, ada halte Busway Olimo. Belok kiri juga boleh, ada halte Mangga Besar. Jangan lupa, sepanjang jalan ada kulineran khas Tionghoa. Kalau saya bukan karena pantang 40 hari, sudah saya embat itu semua. Plus jangan lupakan juga kamu akan melewati sekolahnya videomaker kondang, Kevin Anggara.
Adapun jadwal misa di Gereja Santo Petrus dan Paulus Mangga Besar adalah pukul 18.00 pada hari Sabtu. Untuk hari Minggu pukul 07.00, 09.00, 16.30, dan 18.30. Sampai-sampai ada kawan yang berkelakar, bahwa habis misa boleh mampir ke sebelah, atau dari sebelah semalaman, lantas misa buat pengakuan tobat. Well, kawan ini pegiat di lingkungan sebuah paroki, padahal. Yah, bercanda orang Katolik kadang memang suka ekstrem, ekstrem ngawurnya.
Sekian kisah tentang Mangga Besar, sebenarnya saya masih hutang 1, sih yang sudah diinjak tapi belum ditulis, cuma itu Gereja yang dekat, jadi disimpan dulu saja. Salam Keliling KAJ!
Q ikut donk jalan-jalannya..salam kenal bang
LikeLike
Jalan-jalan ke lokasari? hehehehe….
LikeLike